Bab 13. Jamuan Makan Siang

1943 Kata
Jeronimo masuk ke kamar Esmeralda. Putrinya sedang duduk di ranjang seperti biasa, bagai boneka pajangan. Ia mendesah lelah lalu membuang muka. Tidak ada yang bisa dikatakannya pada Esmeralda. Anak itu tidak akan mendengar, apalagi menyahut. Jeronimo lalu menyapa pelayan yang sedang mengasuh Valentina. Bayi itu sedang mengedot. Jika saja Valentina anak Salvador, ia akan senang sekali, akan tetapi kehadiran Valentina justru menambah kekecewaan Salvador pada Esmeralda. "Bagaimana keadaan Valentina?" tanyanya. "Baik, Tuan," jawab Latanza. "Anak ini sedang tumbuh gigi. Kemarin cerewet sekali dan demam. Untung Nyonya Coraima segera menyadarinya." "Coraima? Perempuan yang diambil istri oleh Salvador?" "Iya, Tuan." "Hmm." Jeronimo berpikir dalam sesaat apakah perempuan itu tahu siapa ayah Valentina. Paloma masuk dan menyapa Esmeralda. Ia duduk di samping wanita itu, menggenggam tangannya dan berbicara basa basi seperti menanyakan kabar dan menceritakan cuaca di luar. Jeronimo kemudian mengajaknya meninggalkan kamar itu. Mereka turun lagi ke lantai bawah untuk acara makan siang. Ia menggerutu pada Paloma. "Kau tidak perlu mengajaknya bicara. Itu tidak ada gunanya!" Paloma mengusap punggung tangan pria yang menggandengnya. "Dia mungkin saja melihat dan mendengar, sayang. Katanya, orang yang koma dan lumpuh seperti itu bisa merasakan orang-orang di sekitar mereka meskipun tidak bisa berkomunikasi." Jeronimo mencibirnya. Mereka terus berjalan ke halaman dekat lapangan latihan berkuda karena acara makan siang diadakan di sana. Salvador sedang menyambut tamu lagi, yaitu Sergio Montenegro, seorang pengusaha muda yang berbisnis di perdagangan mobil mewah. Banyak bentuk pencucian uang dilakukan dengan modus jual beli mobil mewah. Sergio hadir bersama 10 anak buahnya. Di acara itu juga hadir Lorena de Silva dan dua temannya, Clara dan Gabriella, para artis dan model masa kini yang akan mendampingi Sergio. {{Nah itu Sergio Montenegro ? Sisil cari nama tokoh rekomendasi kalian aja ya}} Jeronimo bergabung dengan Salvador untuk beramah tamah dan mengakrabkan diri dengan Sergio. Paloma ke meja makan panjang yang ditata model bufet, di mana di situ ada dua tamu Salvador yang tampaknya merupakan suami istri. Sambil hendak duduk, Paloma menyapa mereka. "Hola ...." Namun, seketika ia mematung dan terbelalak setelah melihat saksama wajah suami istri itu. "Ka- kalian ...?" Luis Fernando dan Marimar tersenyum ramah. Paloma nyaris jatuh lemas jika tidak ada kursi di belakangnya. Ia duduk terhenyak, sesaat kemudian berusaha bersikap sesantai mungkin. Apa yang bisa dilakukan dua penipu ini di sini? "Ya, ini memang kami, Paloma. Nama kami sekarang adalah Luis Fernando dan Marimar Almos. Akhirnya kita bisa berhadapan langsung. Jangan terlalu terkejut, kami bukan pencundang dan penjudi seperti dulu lagi. Kami sekarang punya bisnis dan kaya raya," sahut Marimar, wanita yang berambut cokelat megar mirip artis beken pemain telenovela. "Ya, kami akan berbisnis dengan Tuan Salvador Torres. Kau tidak akan mempersulit kami, bukan?" imbuh Luis Fernando, pria berwajah tirus dan kemeja santainya terbuka sedikit memperlihatkan surai halus dadanya. Paloma menyesap sampanye yang tersedia untuk membantu menenangkan diri. "Kalian sengaja datang ke sini, bukan cuma urusan bisnis, 'kan? Kalian membuatku hampir mati jantungan. Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" "Putri kami, Paloma," ucap Marimar menahan getir di suaranya. "Kami pernah berjanji jika kami punya uang, akan kami tebus anak kami. Kami kembali ke Roquetes de Mar, tetapi kau tidak ada lagi. Rupanya kau hidup enak bersama Jeronimo Torres." Marimar juga meminum sampanyenya agar tidak terbawa emosi. Paloma menggeleng lalu tertunduk menahan sedih. "Maafkan aku, bukannya aku tidak ingat janji itu atau aku sengaja mengabaikan putri kalian, tetapi aku kehilangannya setelah kejadian kebakaran hebat di Roquetes de Mar." Tangan Marimar terkepal dan menghentak tertahan di meja. Luis Fernando merangkulnya berusaha menenangkan istrinya itu. "Hilang?" desis tak percaya Marimar. Paloma ingin menjelaskan, tetapi ia segera mengubah pembicaraan karena Jeronimo, Salvador, dan tamu mereka mendekat. "Senang berkenalan dengan kalian, Nyonya dan Tuan Almos," katanya semringah. "Jadi, berapa lama kalian akan tinggal di Madrid?" Marimar membalas dengan sandiwara yang sama. "Oh, kami memutuskan menetap di sini, Nyonya. Madrid adalah kota yang sangat spesial bagi kami. Ya 'kan, sayang?" katanya sambil menggaet mesra lengan Luis Fernando. Paloma menyambut Jeronimo duduk di sisinya. Salvador duduk di kursi utama. Di sebelah kirinya, ia persilakan Sergio Montenegro duduk, sementara anak buahnya duduk di meja lain. Salvador memperkenalkan Sergio Montenegro pada pasangan Almos. "Tuan dan Nyonya Almos, ini Tuan Sergio Montenegro. Saya yakin kalian sudah pernah mendengar tentangnya." Luis Fernando terperanjat takjub. "Jika saya tidak salah, Anda salah satu sponsor Formula 1, bukan?" "Ya, betul sekali, Tuan. Saya juga mensponsori Moto GP dan kompetisi La Liga Spanyol. Saya juga menanam saham di Real Madrid FC," jawab Sergio Montenegro. Marimar dan Luis Fernando menggeleng- geleng kehabisan kata -kata karena terkagum -kagum. Di samping masih muda, tampan, ternyata Sergio juga sangat kaya raya. Tanpa perlu kode khusus, Marimar dan Luis Fernando langsung satu hati dan pikiran berencana menggaet Sergio sebagai investor mereka selanjutnya. Lorena dan kedua temannya duduk berhadapan dengan Sergio, bersulang untuk pria itu. "Luar biasa sekali, Tuan Montenegro. Ini baru namanya pria sukses. Bisnis Anda sangat mendunia." Sergio membalas merendah. "Biasa saja. Sebelumnya banyak perjalanan turun naik yang tidak diketahui orang-orang, tetapi ya di sinilah saya sekarang, menjalani tahun terbaik dalam hidup saya." Percakapan semakin seru. Saatnya makanan pembuka disajikan. Chef Emanuel mengomando anak buahnya agar keluar membawa hidangan buatan Coraima. Masakan yang sempurna menurutnya, sehingga Chef Emanuel mendatangi Coraima dan memujinya. "Perfecto, seniorita!" ujarnya sambil menepuk pundak Coraima. Coraima berdebar-debar bahagia. "Gg-g- gracias, Senor," katanya. Di meja makan, Jeronimo dan yang lainnya menikmati makanan pembuka itu dan merasakan lidah mereka dimanjakan, rasa lapar terbit sehingga mereka menantikan makanan utamanya. Salvador mangut-mangut saja karena menyadari perbedaan rasa antara masakan buatan Coraima dan buatan Chef Emanuel biasanya. Jeronimo yang sering makan di rumah itu berceletuk. "Rasanya sangat berbeda, Sal. Apa kau mempekerjakan koki baru?" Salvador tersenyum lebar, lalu ia menenggak sampanye. Jeronimo heran Salvador bersikap misterius. Ia lanjut makan pinchitos, hidangan sate daging domba yang sangat disukainya. Makanan utama disajikan. Jamon (daging babi), gambas al ajilo (kombinasi seafood dan pasta), Rabo de Torro (hidangan sop buntut sapi jantan), dan mango agua fresca sebagai minuman penyegar makan siang tersebut, dibawa ke meja para hadirin. Ketika mencicipi makanan utama, Jeronimo baru mengenali rasa masakan Chef Emanuel. "Benar-benar transisi yang jauh berbeda dari makanan utama, tapi makanan pembuka tadi benar-benar tepat merangsang rasa laparku," celoteh Jeronimo. Sambil menyuap, Paloma melirik pada suaminya. "Memangnya sangat terasa?" tanyanya. Jeronimo menjawab antusias. "Sungguh. Semenjak Esmeralda jatuh sakit, aku tidak punya selera makan. Semua makanan aku telan karena terpaksa. Tapi kali ini ...." Jeronimo menggeleng agak kepanasan oleh bumbu masakan. "Aku benar-benar bernafsu makan." Paloma senang mendengarnya. Syukurlah jika Jeronimo merasa demikian. Jeronimo akan kembali bersemangat jika nafsu makannya membaik. Ia tersenyum saja lalu lanjut makan. Bukan hanya Jeronimo, pasangan Almos pun bersuara memuji. Luis Fernando bergumam, "Humm, kami sudah keliling Spanyol dan merasakan aneka masakan khas setiap daerah. Memang yang kali ini lebih autentik. Seperti yang pernah kita cicipi di mana ya, sayang?" Ia menoleh pada istrinya. "Oh, yang di Hotel Reyes Madrid, benar 'kan? Yang waktu itu kita baru tiba di Madrid dan aku malas makan karena kelelahan?" jawab Marimar. "Oh iya, benar, benar." Sergio Montenegro berkomentar datar. Ia mengangguk-angguk kecil. "Ya, saya rasa itulah gunanya makanan pembuka. Seharusnya memberi kesan yang menggoda agar lanjut ke sesi berikutnya. Benar 'kan?" Ucapannya disetujui semua orang, termasuk dua model yang akan menemaninya, kecuali Lorena, karena Lorena tahu ke mana pujian itu tertuju. Lorena memasang muka dingin dan jika tidak ada orang lain, ia ingin sekali meluak makanannya. Paloma menegurnya. "Kau kenapa, Lorena? Kenapa makan sedikit sekali?" Lorena menjawab tersipu-sipu. "Maaf, saya sedang diet, beberapa hari lagi ada pemotretan. Saya harus terlihat fotogenik." Paloma lalu berkelakar. "Oh aku kira kalian menggunakan photoshop. Lagi pula filter kamera banyak sekarang. Apa diet masih diperlukan?" Lorena manyun. "Kami model profesional, Paloma, bukan selebgram," elaknya. Jeronimo menyikut Paloma. "Biarkan saja, sayang. Itu sudah tuntutan pekerjaannya. Jangan kau urusi." Marimar menyela. "Oh, jadi kalau kalian ke restoran mahal dan foto- foto makanan itu, kalian hanya memotretnya? Tidak memakannya?" Lorena benci sekali dengan sindiran seperti itu. Bola matanya mendelik ke atas. Kemudian ia menjelaskan, "Kami melakukan itu karena dibayar, Nyonya. Kami mempromosikan restoran yang membayar kami dan kami tidak memakannya karena, terus terang saja, makanan yang ditampilkan itu properti studio. Coba bayangkan berapa jam pengambilan gambar yang harus kami lakukan. Tidak mungkin kami memakannya dan makanan itu sudah sangat dingin ketika kami selesai bekerja." "Ah, sayang sekali," gumam Marimar. Luis Fernando menyikut istrinya. "Setiap pekerjaan ada tantangannya masing-masing, sayang. Untungnya pekerjaan kita tidak sampai menghalangi kita makan- makan enak." "Kau benar sekali, suamiku," sahut Marimar. Mereka lanjut menikmati makan siang tersebut. Selesai makanan utama, makanan penutup disajikan, menemani percakapan riang gembira. Pelayan mengantarkan hidangan kue berupa puding karamel yang sangat lembut, lalu tarta de Santiago (keik almond bertabur gula halus), serta Crema catalana, yaitu puding krim dalam mangkok yang bagian atasnya dibakar, sehingga terbentuk lapisan kaca karamel. Sergio sangat puas dengan makanan yang dinikmatinya. Ia berbicara pada Salvador dan didengar semua orang di dekatnya. "Ini adalah makanan terbaik yang pernah saya santap. Apa Anda mempekerjakan koki khusus? Bolehkah saya menemuinya dan menyampaikan kekaguman saya?" "Tentu!" sahut Salvador. Ia mengelap tepi mulutnya lalu membisiki pelayan di sisinya agar menyampaikan keinginan Sergio Montenegro pada Chef Emanuel. Mendengar bahwa orang sekelas Sergio Montenegro ingin bertatap muka dengannya, Chef Emanuel semringah berbangga diri. Anak buahnya bertepuk tangan dan menyelamatinya, begitu juga Coraima. Sebuah penghargaan yang luar biasa jika penikmat makanan sampai memuji juru masaknya. Sangat mungkin nama Chef Emanuel akan semakin terkenal dan naik kelas. Bukan hanya selebriti, tetapi juga seorang master chef. Sambil melepas celemeknya, Chef Emanuel lewat di depan Coraima. Ia menyempatkan menyapa wanita itu. "Tampaknya kehadiranmu dalam tim membawa keberuntungan, Nona Aldevaro. Setelah kuingat- ingat, sepertinya kau pernah menjadi muridku." Coraima mengangguk penuh semangat. Matanya membulat berbinar gembira. Chef Emanuel menepuk pundaknya dan memujinya lagi. "Kerja bagus, chef muda. Aku harap kau berkembang lebih hebat lagi." Coraima berbunga- bunga rasa hatinya. Ia ingin menggenggam tangan Chef Emanuel mengungkapkan rasa terima kasihnya, akan tetapi chef itu segera pergi untuk memenuhi keinginan tuan rumah. Para pelayan yang membawa piring kotor bergegas masuk ke dapur. Semuanya kembali sibuk bersih- bersih dan juga menata hidangan cadangan kalau- kalau diperlukan. Hanya Coraima yang kebingungan, selain masih terkesima, ia kesulitan bertanya pada orang- orang apa yang bisa dibantunya. Asisten utama Chef Emanuel mengomandonya. "Nona, suguhkan anggur itu untuk Tuan Salvador." Pria itu merujuk pada set minum anggur yang siap di pantri. Coraima mengangguk mantap lalu membawa baki berisi sebotol anggur merah dan gelas- gelasnya. Ia menuju ke meja makan Salvador dan undangannya, melintasi hamparan rumput yang dipangkas rapi bagai karpet hijau. Chef Emanuel berdiri semeter dari Salvador dan tamunya, Sergio Montenegro. Chef itu membungkuk elegan setelah mendapat pujian dari Sergio. Ia menoleh Salvador dengan harapan pria itu mengatakan sesuatu padanya, tetapi Salvador cuek saja. Paloma berceletuk, "Pekerjaan Chef Emanuel luar biasa, Sal. Apakah ini artinya ia akan mendapat kenaikan gaji?" Salvador tersenyum tipis seraya menyulut cerutu dan asap mengepul di depan wajahnya. Ia menyahut ketus. "Aku tidak akan memberinya kenaikan gaji. Justru ini adalah terakhir kalinya ia memasak untukku dan siapa pun juga." Salvador berdiri tegap seraya mengeluarkan pistolnya dan mengacungkannya ke arah dahi Chef Emanuel. Pria paruh baya itu tersentak lalu gemetaran melangkah mundur disertai wajah seputih kertas. Salvador menyeringai. "Ucapkan selamat tinggal, Chef. Ciao!" Lalu ... Dor! Salvador menembaknya tepat di tengah dahi. Chef Emanuel terkapar di tanah dengan mata terbelalak dan kepala tergenang darah. Coraima merasa menginging dalam kepalanya. Pandangannya nanar seolah melihat lagi bagaimana Salvador membunuh Godfreido di depan matanya. Bakinya terjatuh. Botol anggur beserta gelas- gelas kaca pecah. Coraima terduduk lemas dan tidak menyadari kedua tangannya bertumpu ke beling- beling kaca. Ia tidak merasa nyeri. Coraima membisu menatap kedua tangannya yang berlumuran anggur dan darah, seperti ketika ia berusaha meraih jasad kekasihnya. Godfreido .... Kelopak matanya bergetar, lalu ia jatuh pingsan. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN