Sadar dari pingsannya, Coraima bukannya lega, dia malah terkejut mendapati dirinya berada di altar ruangan penyiksaan dalam keadaan terpasung lagi. Tubuhnya lengket sisa es krim yang sudah dijilati Salvador. Tangan tergantung ke atas, kedua kaki berborgol, dan salah satu kakinya diangkat Salvador. Pria itu sedang mengulum ibu jari kakinya yang diolesi es krim vanilla penuh penghayatan. Seluruh tubuh Coraima meremang. Gabungan desiran hangat dan rasa ngeri yang menggelikan. Ia tergagap menyebut nama pria itu. "Sss ... Sal?"
Pria itu nanar menoleh padanya. "Oh, Cora, kau sudah sadar, sayang? Biarkan aku menyantap es krim di seluruh tubuhmu dulu, sayang," erangnya parau. Lidah Salvador lalu menyapu lelehan es krim di telapak kaki Coraima.
"Kyaaah," pekik lemah Coraima. Pinggulnya menggeliat akibat sensasi geli nan seksi tersebut. Bagi Coraima itu sangat menjijikkan, akan tetapi Salvador sangat menikmatinya. Ia tidak mengerti bagaimana bisa kegemaran terhadap es krim sampai ke tahap segila ini. "Eunggh, Sal ...," engah Coraima.
Pria itu melumuri kakinya dengan es krim lagi. Sensasi dinginnya membuat tubuhnya ingin berjengkit, tetapi borgol di tangan dan kaki mencegah hal itu. Entah siksaan jenis apa yang Salvador lakukan padanya. Semua sensasi itu memecah labirin dalam otaknya. Salvador menyeruput setiap ujung jari kaki dan menjilat- jilat telapak kakinya, hingga rasa geli menjalar menjadi getaran halus hingga ke sumsum tulang.
Sembari tangan Salvador mengoleskan es krim ke sepanjang kaki Coraima, krim dingin itu cepat mencair akibat panas tubuh wanita itu. Lelehan es krim meluncur di paha dalam Coraima dan tetesan itu menggenang di muara surga kenikmatannya.
Kecupan Salvador mengiringi ke mana pun lelehan itu jatuh. Ia menyeruput kuat muara surga itu, sebagaimana di situlah sumber minuman yang disukainya.
Salvador yang berbadan kekar, penuh codet dan tato, menunduk di kaki Coraima bagaikan iblis bersayap hitam yang menjamah madu di bunga bidadari surga. Coraima terpekik pasrah, setengah nyeri karena tangannya terkekang. "Kyaahhhh ... Sal ... Jjj- ja ... ngan ...."
Ah, dua kata itu manis sekali kedengarannya. Peringatan tanpa daya Coraima tak digubrisnya. Salvador menyeruput semakin rakus. Ditambahkannya sekepal es krim di sana, dijejalkannya ke dalam liang Coraima lalu dilahapnya lagi, menjilat- jilat sampai ia sendiri terengah- engah. "Oh, Cora ... aku sangat suka kamu, Cora," katanya.
Ditariknya p****t Coraima sehingga kepalanya semakin dalam terbenam di sana. Coraima terpekik bertambah tidak karuan. "Hungghh ... Saaal .... He- hen ti khaaan ...."
Salvador terdiam saat menyeruput. Matanya mendelik Coraima yang mendesah terdongak dalam pasungan. Kata demi kata mulai bisa diucapkan wanita itu seolah menjadi pencapaian keberhasilannya memanjakan Coraima. Salvador menyeringai lalu melanjutkan cumbuannya. "Tidak akan, corazon. Aku tidak akan berhenti sebelum aku puas dan membuatmu bicara lebih banyak."
Coraima menggigit bibirnya. Jika dia bisa bicara lebih lancar, Pertama kali ia akan memaki. Makian yang akan diutarakannya adalah, Salvador, kau pria gila dan sakit. Oh, ya, dan kemudian Salvador akan menembak kepalanya setelah terlebih dahulu memerintahkan orang membunuh kedua orang tuanya. Tindakan yang sangat bodoh. Itulah kenapa sebuah kebisuan lebih berharga daripada sejuta kata.
Puas mencumbu liangnya, Salvador menyanggamainya dengan hentakan cepat dan kasar. Ia membuat Coraima klimaks berkali-kali baru ia menumpahkan benihnya dan melepaskan Coraima dari borgol. Wanita itu tidak berdaya ketika ia memindahkannya ke kamar tidur dan memandikannya.
Tubuh Coraima berbalut handuk, direbahkan Salvador di ranjang. Ia beranjak sebentar menjauhi Coraima untuk memasang bokser dan celana panjang piamanya.
Coraima diam- diam memandanginya, terpikir, seperti inikah caranya melayani Esmeralda? Kemudian Salvador tidak menggubrisnya lagi karena wanita itu berhenti merespons? Benar-benar tragis nasib Esmeralda.
Salvador bersiul sambil memilah gaun dalam lemari untuk dikenakan Coraima. "Selera pakaianmu tipikal gadis baik-baik semua, Cora. Bahkan kau tidak menyiapkan pakaian dalam seksi untuk kau kenakan di hadapan suamimu. Hal lucunya justru aku senang kau tidak berencana menggoda Godfreido dengan cara murahan seperti itu."
Coraima terangkat keningnya mendengar ucapan Salvador barusan.
Salvador berbalik, mendatangi Coraima membawa sestel dress mid-length berbahan perpaduan renda dan sifon berwarna merah muda. "Kau akan terlihat seperti gadis pulang dari misa mingguan mengenakan ini," katanya.
Coraima bergegas bangkit dan mengambil baju itu dari tangan Salvador. Baju itu memang akan dikenakannya jika ke gereja bersama Godfreido saat liburan bulan madu mereka, akan tetapi apa yang terjadi? Ia akan mengenakannya untuk memuaskan keinginan si iblis lak.nat ini. Coraima mengenakan sendiri dress-nya walaupun tertatih-tatih karena kakinya masih lemas.
Salvador membiarkannya saja. Ia memandangi dengan kepala terteleng. Terkekeh sendiri melihat gerakan kikuk Coraima, seperti gadis kecil yang belajar mengenakan pakaian sendiri. Ia mendekati belakang Coraima. "Biar kubantu, sayang," katanya seraya menaikkan retsleting dress wanita itu.
Coraima pun tidak bisa menampik bantuan Salvador. Pria itu kemudian memutar tubuhnya sehingga mereka berhadapan. Jemari Salvador menyisiri rambut basahnya. "Aku yakin kita sama-sama lapar, Cora. Masaklah sesuatu yang mengenyangkan untuk kita berdua."
Antara benci dan dendam, rasa lapar lebih dulu harus diatasi agar punya energi untuk membenci dan balas dendam. Coraima tidak segan sedikit pun jika harus berurusan dengan perut dan dapur.
Hari masih siang, tetapi rumah itu sunyi senyap. Tidak terlihat orang lain seliweran dalam rumah. Salvador memang tidak suka rumah inti banyak orang atau ribut. Ia butuh ketenangan sewaktu-waktu dari waktu panjangnya yang banyak berbaku hantam atau baku tembak. Para penjaga serta anak buahnya biasa berada di halaman, bersantai di gazebo dan pondokan di mana mereka bebas berbuat apa saja di sana.
Coraima belum menjajaki keseluruhan kediaman Salvador sehingga tidak tahu apa saja yang ada di lahan luas tersebut. Dalam pikirannya adalah Salvador punya tanah seluas itu agar punya banyak lahan untuk mengubur orang-orang yang dibunuhnya. Mungkin jasad Godfreido terkubur di sana. Di salah satu sudut taman, atau jadi pupuk pohon-pohon di sekeliling ranch.
Makan kali ini, Coraima teringat makanan pertama yang disantapnya tatkala ia merasa ketakutan dan kelaparan saat seorang diri tersesat entah di mana. Makanan buatan Mami Juanita. Paella.
(Paella: dibaca 'paeya')
Membuat paella butuh daging dan hewan laut yang segar. Hebatnya, ruang pendingin Salvador yang semula dikiranya tempat menyimpan mayat, berisi aneka daging beku yang diawetkan sempurna. Coraima keasyikan memilah- milah bahan dalam ruangan itu. Di situ juga menyimpan dus ember es krim vanilla kesukaan Salvador. Dalam otak Coraima bicara, apa-apaan ini? Ketua gangster yang seram bukan main ternyata penggemar berat es krim vanilla. Ya, dan juga cara menyantapnya yang aneh.
"Oh?" Coraima tersentak Salvador memeluknya dari belakang dan tangan menyusuri pahanya. Pria itu bergumam di tepi telinganya. "Mau berlama- lama di sini, Cora? Kau bisa beku kalau hanya mengenakan baju seperti ini."
Coraima berbalik gusar lalu menunjuk- nunjuk da.da telanjang Salvador disertai sorot mata menantang. Pria itu berpakaian lebih minim darinya tetapi berani mengejeknya.
Salvador menertawakannya. "Hohoho, aku tidak akan merasa kedinginan, karena aku punya kamu di sini untuk menghangatkanku," tampiknya sambil segera menyandarkan Coraima ke rak dan mengecup kuat bibirnya.
Boks berisi bahan pilihannya terjatuh. Coraima menggeleng kuat menepis ciuman Salvador, tetapi pria itu tetap menahannya dan bibir menyusuri lekukan lehernya. "Unggh ... Sal ...," desah Coraima. Kalau terus menerus diperlukan seperti itu, tubuhnya jadi memanas dan Salvador akan kegirangan membuatnya lemas tak berdaya lagi.
Coraima mendorong Salvador hingga melepaskan diri lalu buru- buru memungut boks bahan masakan dan keluar dari ruang pendingin.
Salvador mengulum senyum memandangi wanita itu lari terbirit-b***t. Ia berjalan santai keluar dari situ lalu menutup rapat pintu bajanya. Coraima berlagak menyibukkan diri di dapur. Wanita itu mulai menakar beras Senia, beras khas Spanyol.
Kali ini ia membuat paella Valencia.
Paella adalah hidangan nasi khas dari Valencia, Spanyol. Hidangan ini memiliki akar sejarah kuno, tetapi tampilan modernnya berasal dari pertengahan abad ke-19 di daerah sekitar Teluk Albufera di pantai timur Spanyol, bersebelahan dengan kota Valencia.
Banyak orang non-Spanyol memandang paella sebagai hidangan nasional Spanyol, tetapi orang Spanyol asli menganggapnya sebagai hidangan dari daerah Valencia. Masyarakat Valencia, pada gilirannya menganggap paella sebagai salah satu simbol bagi daerah mereka.
Kebanyakan koki paella menggunakan beras Bomba karena cenderung tidak terlalu lembek, tetapi orang Valencia menggunakan varian beras yang sedikit lengket (dan cukup sulit menjadi lembek) yang dikenal sebagai beras Senia.
Variasi dari paella bermacam-macam. Paella sayuran (paella de verduras), paella seafood (paella de marisco), dan paella campur (paella mixta), serta beberapa varian lainnya. Paella Valencia dipercaya merupakan resep paella yang asli.
Paella Valencia terdiri dari nasi putih, kacang hijau (bajoqueta dan tavella), daging (ayam, bebek atau kelinci), kacang putih (garrofón), siput, dan berbagai macam bumbu seperti saffron dan rosemary. Bumbu yang juga umum dipakai tetapi musiman adalah artichoke.
Coraima memegang pisau untuk memotong daging ayam dan beberapa batang sosis Spanyol serta bacon, secara naluriah matanya melirik tajam pada Salvador yang bersandar santai di pantri.
Pria itu terkekeh sambil membuka tangan mempersilakan. Coraima boleh mencoba menyerangnya dengan pisau itu, ia persilakan dengan senang hati, tapi lihat saja akibatnya nanti.
Bibir terkatup rapat dan mendengkus kesal, Coraima menebaskan pisaunya ke badan ayam, lalu memusatkan konsentrasi membelah hewan itu menjadi beberapa bagian. Ia bisa mendengar Salvador menertawakannya. Pria itu bertopang dagu menontonnya memasak.
Jika bisa bicara, Coraima bisa menjadi celebrity chef yang memasak sambil menjabarkan masakan mereka. Meskipun dia membisu, Salvador menikmati proses memasak itu karena ia bisa memandangi wajah Coraima yang tanpa kesedihan maupun kebencian.
Memasak menjadi pelepasan stress bagi Coraima. Segala pikiran buruk bisa terlupakan saat memasak.
Oven dipanaskan. Ayam ditaburi lada dan garam serta sedikit tepung terigu, lalu digoreng dengan minyak zaitun hingga kecokelatan. Sembari menunggu ayam matang, Coraima mencacah bawang bombay, bawang putih, dan peterseli, lalu memasukkannya ke dalam panci dan direbus bersama kaldu ayam. Beras ditambahkan diikuti paprika dan bubuk kunyit. Isi panci tersebut dipanaskan di api sedang selama 20 menit sambil sesekali diaduk.
Nasi mulai matang dan mengeluarkan bau wangi yang sangat sedap, membuat perut lapar berdendang perih. Salvador sampai bertelungkup di meja karena sangat kelaparan jadinya. "Sialan ...," gerutunya pelan, sebelah mata yang berbekas luka bakar melirik Coraima. Jika proses memasak tidak terganggu, ia ingin menaikkan Coraima ke pantri dan mencumbunya sebagai pengisi waktu menunggu. Namun, ia tidak ingin makan tertunda lagi.
Coraima tengah semringah dengan bola mata berbinar-binar melihat isi pancinya masak sempurna dan sekarang tinggal tahap penyelesaian. Sisa kaldu ayam dimasukkan, ditambahkan kacang-kacangan,
bumbu safron dan rosemary, lalu ditambahkan ayam goreng zaitun tadi, kemudian panci dimasukkan ke dalam oven sekitar 10 menit.
Aroma udara menguarkan kelezatan yang terbayang- bayang hingga air liur menetes. Ketika panci dikeluarkan, Salvador menegapkan tubuhnya penuh semangat.
Sepanci nasi paella tersedia di hadapannya. Coraima menaburkan peterseli dan perasan jeruk lemon di atas masakan itu.
Salvador berseru takjub pada masakan yang masih mengepulkan asap wangi. "Woaah ... rasanya sudah lama sekali terakhir kali aku makan paella. Aku harap ini memenuhi ekspektasiku, Cora ...."
Ketika mengangkat wajahnya, Coraima menyajikan porsi untuknya di piring, menatanya cepat dengan hiasan potongan jeruk lemon dan peterseli. Singkat saja, tetapi mampu mempercantik sajian. Coraima kemudian merentangkan tangan, mempresentasikan hasil karyanya.
Ditemani segelas wine merah, mereka menyantap hidangan tersebut. Salvador tidak banyak bicara, hanya mendesah antara kepanasan dan ingin mengunyah secepatnya karena rasa masakan Coraima benar- benar enak. Seolah, jikapun ada penari striptease mengelilinginya, ia tidak akan punya waktu melirik mereka saking asyiknya makan.
Sambil menyesap anggurnya, kepala Coraima terteleng berpikir dalam. Melihat cara Salvador makan, lalu keteguhannya menontonnya memasak, serta memikirkan kondisi Esmeralda, Salvador mungkin berharap istrinya melayaninya dengan cara demikian. Seperti apa pun latar belakang atau sifat Salvador, ia tetaplah laki-laki. Selalu butuh perhatian dan kemanjaan yang tidak dimengerti perempuan. Jika di luar ia menjaga wibawa dan pamor berkuasa, di rumah mungkin ia ingin menjadi bocah manja yang suka menagih- nagih keinginannya.
Kenapa aku memikirkan Salvador? Pria yang seharusnya aku pikirkan adalah Godfreido. Apa kesukaannya? Apa yang ingin dilakukannya saat bercin.ta atau ritual hendak tidur atau bangun paginya?
Tapi pria itu sudah mati.
Dibunuh pria yang sedang makan bersamamu.
Tenggorokan Coraima tercekat. Ia menaruh gelas anggurnya, lalu menarik piringnya hendak membawa ke pencucian. Namun, Salvador menarik tangannya. Coraima tersentak, entah ia yang kurang waspada atau gerakan Salvador memang secepat itu, pria itu bisa tiba- tiba saja menyentuhnya.
Salvador paling tidak suka orang pergi dari meja saat ia masih asyik makan. Ia mencecar Coraima. "Kenapa kau makan sedikit sekali? Cora, aku berencana menyetubuhimu lagi malam ini. Aku tidak mau kau lemah saat melayaniku, seolah aku tidak memberimu makan saja. Makan lagi atau kau ingin aku memaksamu seperti sebelumnya?"
Coraima duduk kembali lalu mengisi piringnya dengan nasi paella, lebih banyak dari porsi pertama. Ia mulai makan dengan mangapan yang lebar menelan sesendok penuh nasi seraya menatap ke dalam mata Salvador agar pria itu tahu ia benar-benar makan. Pria itu menyengir kemenangan. Berdebat tanpa banyak kata- kata bersama Coraima menjadi hal yang menyenangkan untuk dilakukan.
Selesai makan, Coraima mencuci piring serta peralatan memasak. Pekerjaannya ringkas dan sebentar saja dapur rapi bersih seperti sediakala.
Hari masih terang, Salvador yang tidak pernah selama itu berada di rumah menjadi bosan sehingga ia menarik pinggang Coraima lalu memanggulnya.
"Kyaaah!" pekik wanita itu sambil memukul- mukul punggung Salvador.
Pria itu tidak menggubrisnya. Salvador membawa Coraima ke ruang santai di lantai satu, ruangan biasa ia berpesta dan minum- minum serta berhadapan dengan kolam renang.
Di ruangan itu ada televisi besar untuknya menonton bareng sepak bola atau pertunjukan matador serta karpet bulu yang sangat tebal dan empuk. Ia menjatuhkan Coraima di sana, menengkurapkan tubuh wanita itu lalu tangkas menarik segitiga rendanya lepas di ujung kaki.
Di saat sesantai itu pun Coraima masih berusaha mengelak. Ia bertanya-tanya tidak bisakah Salvador tidak menyentuhnya? Apa selama seminggu sebelumnya Salvador belum puas juga? Atau Salvador akan terus memakainya sampai ia lumpuh seperti Esmeralda?
"Gyaaah!" Salvador menindih seraya memasukinya dari belakang. Ia susah payah merangkak menahan berat tubuh Salvador sekaligus diguncang kuat. "Sss ...Saaal ...." Coraima mengerang panjang.
Salvador tertawa puas. Menyanggamai Coraima kali ini seperti menculik gadis sepulang misa dan menjadikannya bu.dak seksnya. "Ayo, Cora, berteriaklah. Aku persilakan kau memakiku selama aku menunggangimu, sayang," geram Salvador.
Tetapi ia benar-benar tidak bisa memaki. Jemarinya terbenam di karpet tebal, mempertahankan otot kewanitaan agar tidak meledak oleh ulah Salvador, akan tetapi rasa itu tetap saja memuncak. Coraima menangis antara nikmat dan memalukan. Bagaimana bisa pria yang seharusnya dibencinya setengah mati, membuat tubuhnya menghamba candu percintaan. Apakah karena pengaruh obat-obatan sebelumnya? Apakah ia masih diberi obat? Apakah es krim itu mengandung perangsang jenis baru yang bekerja lamban, tetapi manjur?
Salvador memacu Coraima sembari mencengkeram gundukan dadanya hingga bagian depan dress ke gereja Coraima robek.
"Heungggghhhh .... Saaaal ...," teriak Coraima akhirnya lepas bebas. Ia merasakan dalam dirinya menciprat- ciprat letusan dahsyat.
Salvador berujar girang. "Ugh, bagus, sayang. Ya, berteriaklah! Aaahhh, aku suka sekali mendengarnya, sayang ...."
Pria ini gila! Seseorang, tolong hentikan dia!
"Salvador!" bentak seorang perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Lorena de Silva. Wanita itu tiba-tiba saja muncul, berkacak pinggang menatap murka Salvador dan tunggangannya.
Lorena tampil cantik dan seksi seperti biasanya. Mengenakan super mini dress, sepatu hak tinggi, dan rambut tergerai megar. Ia datang untuk kencan lagi dengan Salvador, tetapi menemukan prianya bersama wanita baru sangat menyinggungnya.
Untungnya, Salvador sudah melepaskan muatannya dalam rahim Coraima. Ia mencabut batangnya lalu membenahi bokser dan celana piamanya. Ia menepuk p****t Coraima. "Bangun. Pergi ke kamarmu, sayang," suruhnya.
Tergopoh-gopoh Coraima bangkit, merangkak meraih celana dalamnya, kemudian berlari kecil sambil menutupi belahan dadanya.
Salvador duduk berselonjor di sofa panjang di ruang santai itu. Ia mengamati mata Lorena tajam mengawasi Coraima menjauh. "Ada perlu apa kau ke sini, Lorena?" tanyanya.
Lorena terperangah. "Jadi sekarang aku harus menjelaskan maksud kedatanganku ke sini? Sal, apakah aku orang asing bagimu? Kau menghilang seminggu lalu secepat itukah kau berubah?"
Salvador menggaruk-garuk dahi. "Berubah apa, Lorena? Kau jangan membuatku pusing oleh hal- hal tidak penting seperti itu. Apa aku harus minta izin padamu sebelum melakukan sesuatu? Aku laki-laki, aku menemukan kesenangan baru dan aku menyukainya. Lalu apa masalahnya? Seingatku aku tidak membuat ikatan cinta kasih putih tulus suci sehidup semati denganmu."
Lorena menarik napas berusaha menyabarkan diri. "Maafkan aku. Aku terbawa emosi tadi." Ia melenggok mendatangi Salvador, lalu mengempas duduk manja di sisi pria itu. Ia mengecupi pipi Salvador sambil mengelus da.da kekarnya. "Aku merindukanmu, sayang. Kemarin sedikit kacau karena aku cemburu, tapi sekarang sudah tidak apa- apa lagi. Bercintalah denganku, Sal. Aku tahu kau mampu melakukannya lagi sekarang juga."
"Aku tidak bisa," tegas Salvador dan mengelak beberapa kali ciuman Lorena.
Wanita itu jadi gugup. "Ke- kenapa?"
"Kau merusak mood-ku. Aku tidak ingin melihatmu saat ini. Kau pergi saja, tunggu sampai aku menghubungimu."
Lorena sontak menangis seraya berlutut di hadapan Salvador. "Tolong, jangan lakukan itu padaku, Sal .... Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku tidak akan mengusik apa pun yang kau lakukan. Jangan suruh aku pergi, Sal ...."
"Isshh ...!" Salvador meringis dan mulai menggaruk-garuk pinggang celananya di mana biasa ada pistolnya.
Melihat gelagat Salvador, Lorena tegang dan seketika berhenti menangis. Dengan berat hati ia undur diri. "Ba- baiklah, aku pergi. Aku pergi, Sal. Kumohon, jangan marah lagi padaku, ya sayang?"
Salvador memasang tampang datar. Lorena tahu itu maksudnya ia jangan bicara macam- macam lagi. Wanita itu bergegas mundur lalu pergi lagi dari kediaman Salvador dengan rahim hampa.
***
Bersambung ....