"Hiks ...." Coraima terisak saat berlari kecil meninggalkan Salvador dan teman kencannya. Coraima merasa dirinya sangat murahan. Tidak ada kehidupan rumah tangga yang romantis dan penuh kasih seperti yang dikhayalkannya saat menikah. Hidupnya sekarang hanyalah pelampiasan gelora nafsu dari seorang Salvador Torres. Sampai kapan ia harus begini? Jika harta Godfreido yang diinginkan Salvador, mana kertas- kertas yang harus ditandatanganinya? Atau gantikan saja perannya dengan aktris lain.
"Uh, oh!" Coraima terperanjat ketika di belokan ia nyaris bertubrukan dengan Latanza yang menggendong Valentina. Bayi itu menangis kejer dan Latanza panik sambil berusaha menenangkannya. Valentina meraung sambil tangan menggapai ke arah Coraima.
"Aduh, Nyonya, maaf. Valentina rewel sekali. Dari tadi tidak mau berhenti menangis. Makan dan minumnya pun juga tidak karuan. Saya takut Tuan Salvador marah ...," ujar Latanza.
Coraima yang sedang menyedekap gaunnya, mau tidak mau membuka tangan dan menerima Valentina dalam dekapannya. Bayi itu meraih buah daranya, mencari bulir yang bisa diisapnya. Coraima pasrah, membiarkan bayi itu mendapatkan keinginannya. Apa saja asalkan Salvador tidak mengancam bayi malang itu lagi. Valentina berhenti menangis dengan mengemut bulirnya. Coraima merasakan mulut anak itu panas membara, juga badannya. Valentina sepertinya demam.
Coraima berwajah memelas pada Latanza, memberi isyarat bahwa ia akan membawa Valentina ke kamarnya. Latanza lekas setuju. "Iya, Nyonya. Saya akan ke dapur dulu membuatkan dot Valentina," katanya lalu bergegas pergi.
Coraima lanjut ke kamarnya sambil menyusui Valentina. Ia duduk di tepi ranjang seraya mendesah gelisah. Valentina bernapas tersedu-sedu sisa menangisnya. Coraima bingung bagaimana cara memberi tahu Latanza kalau Valentina sakit.
Tak lama kemudian Latanza datang membawa botol su.su bayi. Coraima tergagap. "Dd ... dok ... dok ... ter!"
Latanza keheranan. "Dokter? Nyonya, Anda butuh dokter?"
Coraima menggeleng. Ia menunjuk Valentina.
"Untuk Valentina? Valentina sakit? Terjadi sesuatu dengannya?"
Coraima mengangguk. Sedetik kemudian, Coraima terpekik, "Kyaaah!" Ia menjauhkan Valentina darinya agar bayi itu melepaskan bulirnya. Valentina menggigitnya. Coraima meringis menahan nyeri. Bayi itu malah menangis lagi dan lebih keras dari sebelumnya.
"Hussh ssh shhh ...." Coraima berusaha menenangkannya, akan tetapi Salvador datang dan membentak- bentak.
"Apa yang dilakukan bayi ini di sini? Bukankah dia punya ibu di atas sana? Kenapa dia tidak bangun dan mengurus sendiri bayinya? Menyusahkan saja!"
Salvador memberangus hendak mengambil Valentina dari tangan Coraima, tetapi wanita itu memeluk bayi tersebut dan berlutut di kakinya sambil mendesah mengiba- iba.
"Apa?? Kau membela bayi ini lagi, Cora? Kau tidak tahu bencana apa yang diakibatkan oleh bayi ini. Dia dan ibunya harus menanggung akibatnya!"
Coraima menggeleng kuat. Ia memeluk kaki Salvador, menyentuh dahi memeragakan memeriksa panas tubuhnya lalu panas tubuh Valentina. Ia geram sekali karena kesulitannya bicara. Tangan Coraima terkepal dan ia bersuara dengan rahang dirapatkan. "Ddd ... Dokter!"
Kening Salvador mengernyit. "Dokter? Jadi, bayi ini butuh dokter? Huh!" Ia mendengkus ketus. Salvador memutar tubuh memunggungi Coraima. Ia mangut-mangut sebentar berpikir membuat Coraima memohon lebih putus asa lagi padanya.
Namun, Benicio datang dan bergegas menghampiri Coraima beserta si bayi. Untuk kesekian kali Benicio menikmati pemandangan gundukan kembar Coraima, tetapi bukan saatnya tergiur pada benda itu. Ia meraba kening Valentina dan bergumam cemas. "Badannya sedikit panas. Kita harus panggil dokter untuk memeriksanya."
Benicio mengeluarkan ponselnya hendak menelepon, tetapi Salvador menahan tangannya dan berseloroh sebal. "Hei, aku baru hendak melakukannya. Kau tidak usah turut campur. Sana, berjaga di luar saja. Biar aku menangani di sini."
Benicio agak heran dengan sikap Salvador, tetapi ia tidak ingin membantah. Ia menurunkan ponselnya. "Baiklah, Sal," katanya lalu beranjak keluar dari kamar itu.
Coraima nyaris menangis melihat Benicio pergi, akan tetapi berangsur berkurang cemas karena Salvador menyuruh pelayannya. "Latanza, telepon Dokter Guinan. Suruh datang kemari memeriksa anak ini."
Latanza menyahut bersemangat. "Baik, Tuan!" Latanza lalu keluar kamar
Coraima melongo terpaku di lantai. Ia heran dengan sikap beringasan Salvador yang menakutkan, tetapi bisa sedikit tarik ulur yang rasanya ada maksud tersembunyi di balik itu semua. Itu bukan karena kebaikan hati, melainkan seperti memberi umpan pada hewan yang ingin kau tangkap.
Karena Coraima melamun, sementara Valentina terus saja menangis, Salvador mengubit pundak Coraima agar berdiri, lalu menyuruhnya duduk di tepi ranjang. Coraima menjejali mulut Valentina dengan bulirnya lagi. Bayi itu segera bungkam.
Mata Salvador terpicing pada bayi itu, yang seenaknya menyesap propertinya. Benar- benar bayi kurang ajar. Genetik Godfreido rupanya bekerja pada bayi itu. Beughh, ingin sekali Salvador merenggut Valentina dari dekapan Coraima.
Coraima mengernyitkan kening. Salvador di sini, jadi dia menyuruh pergi teman kencannya? Jadi, apakah itu berarti Salvador menjadikanku mainan favoritnya saat ini? Jika ia mengolesiku rasa vanilla, rasa apa yang dioleskannya pada Lorena?
"Kyaah!" Coraima tiba- tiba terpekik digigit Valentina lagi. Ia menjauhkannya dan bayi itu kembali menangis memekakkan telinga.
Salvador melihat bulir halus Coraima yang biasanya lembut, jadi merah meradang. Salvador tahu penyebabnya dan memaki Valentina lebih nyaring dari tangisnya. "Ada apa denganmu?! Kau mengisap bulir yang bukan untukmu, malah kau gigit pula sampai dia kesakitan. Kalau putus bagaimana? Apa kau mau merusak kesenanganku lagi?"
Salvador gila! Coraima malah jadi pengang kepalanya mendengar suara keras bersahutan tiada guna seperti itu. Ia menaruh Valentina di kasur lalu menutup kedua telinganya dan berteriak terbata- bata. "He- hen, hentikaaan!"
Salvador tercenung, sementara Valentina tetap saja menangis. Ia dan Coraima saling pandang. Mata wanita itu berkaca- kaca lagi, yang ia yakin demi membela bayi si lak.nat itu. Salvador berujar dingin sambil membuang muka. "Kau tidak akan membela bayi itu jika tahu dari mana dia berasal."
Coraima berhenti menutup telinga. Ia menarik napas dalam yang gemetaran karena sadar dirinya sendiri adalah anak pungut yang tidak jelas asal usulnya, tetapi sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang luar biasa dari Mami Juanita dan Papi Armando. Tertatih ia berujar pada Salvador. "Apakah ... itu penting?"
Salvador menolehnya dengan rasa tidak percaya. Itu akan jadi kalimat pertama Coraima bercakap-cakap dengannya. Coraima sesenggukan bicara lagi padanya. "Bayi ... ini ... butuh ... pertolongan .... Dan kasih ... sayang. Kita harus ... membantunya."
Salvador bukannya terharu atau tersentuh. Ia bersedekap lalu mendengkus mencemooh, kemudian berujar dingin. "Bayi ini adalah darah daging Godfreido Reyes."
Coraima tersentak. Seketika matanya membulat dan wajah pucat pasi. Mungkin ia salah dengar, akan tetapi Salvador menambahkan. "Godfreido Reyes berselingkuh dengan Esmeralda selama ia masih berpacaran denganmu. Aku ditunangkan dengan Esmeralda dan seharusnya menjadi suami sahnya, tetapi yang terjadi aku menjadi suami hanya untuk menutupi status kehamilannya dan memberi nama ayah untuk anaknya. Aku, Salvador Torres, hidup bukan untuk dihinakan seperti ini."
Coraima bergeming, terjebak dalam labirin yang mulai terbentuk lagi dalam kepalanya. Salvador mendesis di telinganya. "Sekarang kau tahu pria seperti apa Godfreido- mu itu. Dia tidak sesuci dan setulus kelihatannya. Sadarlah, Coraima. Kau pun diperalat olehnya."
***
Segalanya kembali terjungkir balik dalam hidup Coraima. Apa yang diketahuinya selama ini ternyata sama sekali berbeda dengan kenyataan. Apakah benar Godfreido mengkhianatinya?
Tidak mungkin!
Coraima beranjak menjauhi Valentina, memandangi bayi itu dengan sorot getir. Tangisan Valentina tidak lagi menyentuh hatinya. Pikirannya kalut dalam ketidakpercayaan.
Apa saja yang telah diperbuat Godfreido selama ini tanpa sepengetahuannya?
Bagaimana ia bisa begitu buta?
Ataukah Godfreido sangat lihai menutupi semuanya dan mempermainkan hatinya?
Atau ini semua hanya trik Salvador agar ia berpaling dari Godfreido?
Ya, pasti karena itu. Salvador ingin ia patah hati lagi dan lagi.
Coraima menghunuskan tatapan penuh kebencian pada Salvador. Pria itu menyeringai di wajah cacatnya. Ia menantang Coraima. Sekeras apa pun kecaman ditujukan padanya, ia tidak akan takut.
Latanza masuk setelah menelepon dokter. Menyaksikan tuan dan nyonya muda itu tampak bersitegang, Latanza buru- buru membawa Valentina keluar kamar. Ia akan menyiapkan bayi itu di kamar atas jika dokter tiba nanti.
Coraima gemetaran, dalam- dalam menarik napasnya. Ada banyak hal ingin diucapkannya pada Salvador. Ada banyak hal ingin ditanyakannya, akan tetapi dalam benaknya memberitahu itu semua tidak ada gunanya karena Salvador mengendalikan hidupnya. Tidak ada bedanya ia tahu kebenarannya atau tidak. Godfreido tidak bisa diajak bicara lagi. Begitu juga Esmeralda. Dan ia sendiri mengalami keterbatasan bicara.
Air mata Coraima berlinang lagi meratapi nasibnya. Ia ingin mengusir Salvador keluar kamar dan berteriak agar Salvador meninggalkannya sendirian. Ia ingin menyendiri menenangkan diri, akan tetapi pria itu malah mengunci pintu kamar lalu mendorongnya ke ranjang dan menyanggamainya lagi.
"Aaaahh!" Coraima berteriak seraya mempertahankan pakaiannya. Namun, kekuatan Salvador yang jauh melebihinya dengan mudah menyingkirkan baju yang sudah robek itu. Tersisa bra yang masih terkait di badannya, diabaikan Salvador karena itu tidak menganggunya memeras buah Coraima serta memasuki liang surganya. Kaki Coraima tertekuk dikempit pinggul Salvador saat ia memompakan kenikmatan ke dalam tubuh Coraima.
"Ti ... dak," erang Coraima berkial-kial sambil memukul- mukul da.da Salvador. Ia ingin Salvador menghentikan gerakannya, tetapi pria itu tetap gencar menghunjam tanpa pernah surut semangatnya.
Pria itu meneriakinya. "Kau pikir aku akan membiarkanmu berleha-leha meratapi kekasihmu itu, Cora? Tidak akan pernah! Aku tidak akan membiarkanmu menangisinya, apalagi mengenangnya. Itu tidak ada gunanya. Godfreido dengan mudah mengkhianatimu. Kenapa kau mesti memikirkannya? Jangan mempersulit dirimu sendiri, Cora. Ia menikmati bersanggama dengan Esmeralda. Kau harus bisa juga menikmati bersanggama denganku! Esmeralda melahirkan anak Godfreido Reyes, maka kau juga harus melahirkan anakku. Hamil dan lahirkan anakku, Cora!"
"Ti ... dak ...." Coraima menangis keras sambil menggeleng- geleng. Ia tidak sudi hamil dari benih pria yang tidak dicintainya dan memaksanya. Ia tidak ingin memiliki anak yang hadir karena kebencian dan dendam. Tidak mungkin ia sanggup menerima anak yang hanya akan mengingatkannya pada trauma dan kejahatan.
Salvador tidak mau tahu hal itu. Yang dipikirkannya adalah hasratnya harus terpenuhi, bagaimanapun caranya. "Tidak ada kata tidak, corazon. Kau tahu apa akibatnya jika menentangku," gumamnya di saat tubuhnya bersama tubuh Coraima bergetar cepat. Sekian puluh menit ia menghunjam tanpa ampun, hingga pertahanan Coraima luruh dan kehabisan daya.
Tangis perempuan itu pun berubah lirih dan berhenti memukulinya. Salvador menekan kedua tangan Coraima ke kasur sehingga dadanya terbuka lebar. Ia menunduk ke bulir kiri Coraima yang memerah bekas gigitan Valentina. Ia mengulumnya lembut dan mengitari dengan lidahnya. Di sela-selanya, Salvador berujar perlahan."Tidak ada gunanya kau melawanku. Kau milikku sekarang, corazon."
Coraima menulikan pendengarannya. Ia tidak ingin mendengar apa pun perkataan Salvador. Ia menutup rapat mata agar tidak melihat wajah pria yang menautkan tubuh dengannya. Ia ingin mengenang saat-saat di mana hidupnya begitu aman dan tenang. Ia rindu Cudillero. Rindu Mami dan Papi. Belaian lembut mereka dan pelukan hangat yang sangat nyaman.
Godfreido .... Semuanya seharusnya sempurna. Tetapi kenapa sekarang jadi seperti ini? Kesalahan apa yang telah diperbuatnya dalam hidupnya? Ia tidak pernah menyakiti siapa pun. Ia bahkan tidak pernah berbohong.
Seseorang, tolong selamatkan aku. Bawa aku pergi dari sini ....
"Aaahh ...." Coraima berteriak. Ia melihat seberkas cahaya terang ketika hunjaman Salvador mendorongnya klimaks. Ia ingin itu adalah cahaya harapan baru, menandakan dirinya pergi ke alam lain yang lebih baik. Namun ia tahu itu bukan. Itu adalah cahaya ledakan kenikmatan dalam dirinya. Semuanya sangat salah bersama Salvador Torres. Ia terpenjara bersamanya, tetapi tubuhnya mendapatkan kebebasan yang membuat ketagihan.
"Oh, Cora ...," desah Salvador, membuka mulut melahap bulir da.da kanan Coraima lalu mengemutnya perlahan.
"Oh, hmm ... Sal ...," sahut Coraima tanpa sadar. Air mata mengalir di sudut matanya yang terpejam.
Salvador mengangkat wajah, melihat Coraima kehilangan kesadaran. Ia mengecup kuat bibir wanita itu seraya mendorong miliknya dengan kekuatan penuh, menembakkan muatannya hingga menyentuh titik terdalam rahim Coraima. Ia merapal lega. "Oh, mi corazon, tu eres solo mio, mi amor." (*)
(*): Oh, kekasih hatiku, kau milikku seorang, cintaku.
19 tahun yang lalu, di jalanan Roquetes de Mar.
Kota kecil itu kumuh dan lingkungan masyarakat yang keras, memaksa seorang pemuda di usia yang masih sangat dini harus hidup seorang diri. Ia berkelahi, mencuri, dan menipu untuk mendapatkan makanan demi bertahan hidup dari hari ke hari. Hingga usianya 15 tahun, pemuda itu terlatih berkelahi dan cukup ditakuti di kalangannya.
Di suatu siang yang panas terik, setelah perkelahian sengit, meskipun bibirnya bengkak dan berdarah, ia memakan lahap roti yang didapatnya dari hasil perebutan dengan anak-anak lain. Roti itu kotor oleh butir pasir, tetapi ia tetap memakannya. Belum tentu di hari itu ia akan mendapat makanan yang lebih baik.
Makannya terusik ketika terdengar sorak sorai sekelompok anak- anak usia 6-7 tahun mengolok-olok teman mereka. Anak- anak itu berseragam sekolah dasar dan sedang dalam perjalanan pulang. Sekitar 10 orang anak laki-laki dan perempuan, mengepung satu anak perempuan teman kelas mereka.
Gadis cilik berambut kecokelatan dikucir dua tertunduk dalam sambil mendekap erat tas ranselnya. Kemeja putihnya belepotan bercak lumpur yang dilemparkan anak- anak sekitarnya. Anak perempuan itu menangis, tetapi tidak ada satu pun temannya yang iba. Mereka menjambak- jambak pakaiannya sambil mengata- ngatainya.
"Corazon Suarez, anak ha.ram. Kau tidak punya ayah. Ibumu, Paloma Suarez bukan seorang tukang masak. Ia seorang pela.cur. Ia tidur dengan pria mana saja yang membayarnya. Bisa- bisanya kau mengaku ayahmu seorang polisi. Kau mengkhayal."
Corazon Suarez, hanya bisa menangis sesenggukan. Semua itu memang khayalannya karena keperluan tugas sekolah mengarang sebuah cerita tentang keluarga. Ia tidak punya teman di sekolah. Tidak ada yang mau bicara dengannya, lalu apakah ia juga tidak boleh mengungkapkan isi pikirannya?
Seragam sekolahnya acak- acakan oleh ulah para anak- anak pengganggu. Corazon berjongkok melindungi diri, akan tetapi rambut berkucir duanya jadi sasaran jambakan dan kepalanya dipukul beberapa kali. Lagi-lagi, ia hanya bisa menangis.
Pemuda yang melihatnya menjadi naik pitam. Ia lekas- lekas melahap rotinya lalu berdiri mendatangi gerombolan itu. Ia membentak sambil menyepak beberapa dari mereka. "Dasar anak- anak bengal, beraninya beraksi di hadapanku? Kalian cari mati, hah?! Pergi kalian! Pergi semuanya!"
"Kyaaah!" Anak-anak itu berteriak seraya berlarian kocar kacir, meninggalkan Corazon yang meringkuk ketakutan.
Pemuda itu berkacak pinggang memandangi gadis kecil itu.
Corazon mendongak perlahan-lahan dan mata polosnya berkaca-kaca mengiba. Saking ketakutannya, ia tidak berani bergerak. Ia menyodorkan kotak bekalnya sebagai seserahan. Gelagapan ia memelas, "Ja- jangan ... sakiti aku .... I- ini ... ambil saja ... bekalku ... ta- tapi ... bi- biarkan a- aku ... pergi .... Hu hu huuuu."
Pemuda itu melirik isi bekal tersebut melalui wadahnya yang transparan. Terlihat sangat lezat, tetapi bukan itu tujuannya. "Aku bukan mau mengganggumu. Pulanglah. Ibumu pasti cemas menunggumu," katanya.
Corazon terpana. Ia mengusap sisa air mata di pipinya. Pemuda yang berpenampilan kumuh dan beringasan itu ternyata tidak berniat jahat padanya. "Anak- anak itu ... menungguku di jalan lain. Mereka akan terus menggangguku sampai aku tiba di rumah. Ibuku tidak ada di rumah karena ia sibuk bekerja. Ia seorang juru masak. Ia mesti memberi makan banyak orang setiap harinya." Itulah yang dikatakan Paloma Suarez pada anak angkatnya.
Pemuda bermata biru aquamarine itu bersedekap dan keningnya mengernyit dalam memikirkan nasib gadis kecil itu. Akhirnya ia mendesah mengalah. "Baiklah, aku antar kau sampai ke rumahmu."
Corazon berdiri disertai binar penuh semangat di wajahnya. "Sungguh? Tuan penyelamat, kau mau mengantarku sampai ke rumah?"
Pemuda itu menajamkan matanya. "Aku penasaran dengan anak- anak tadi. Apa mereka benar-benar mengganggumu sampai segitunya? Akan kuhajar mereka jika kutemukan," geramnya.
Jadi, mereka mulai melangkah bersamaan. Pemuda itu tidak nyaman melihat seragam sekolah anak perempuan itu tercerabut tidak karuan. Ia berhenti sebentar merapikannya. "Jadi, namamu Corazon?" gumamnya.
"Hmm." Gadis itu mengangguk bersemangat.
"Ibumu Paloma Suarez?"
"Hmm. Kau mengenalnya?"
Pemuda itu menyengir sinis. "Tentu saja. Siapa yang tidak kenal Paloma Suarez."
Mereka lanjut berjalan, dengan tinggi badan yang jauh berbeda, seperti kakak dan adik kecilnya.
"Ibuku juru masak yang hebat, bukan?"
"Ya, ya, tentu saja," sahut pemuda itu meskipun ia tahu yang sebenarnya.
"Coba cicipi ini. Masakan ibuku benar- benar enak." Corazon menyodorkan kotak makannya lagi. Isinya adalah albondigas, bakso daging sapi/domba khas Spanyol. Sedikit mengandung tepung, sehingga rasa serat dagingnya sangat kentara. Albondigas dimasak bersama saos tomat, ditambah irisan peterseli dan taburan oregano. Rasanya gurih, asam, dan beraroma rempah.
Pemuda itu menelan ludah karena masih merasa lapar, tetapi ia juga enggan menerima makanan dari seorang anak kecil. Ia mengibaskan tangannya. "Tidak. Tidak usah," katanya.
Corazon menutup bekalnya lagi dan tertunduk sedih. "Aku tidak bisa memakannya karena anak- anak di sekolah akan mengambilnya lalu menumpahkan makananku ke lantai. Aku harus memakannya sembunyi-sembunyi atau kubawa pulang dan makan di rumah."
Pemuda itu kesal mendengarnya. "Kenapa kau tidak melawan mereka? Jika kau pukul saja salah satu dari mereka, mereka akan berhenti mengganggumu," gerutunya.
"Itu tidak akan berhasil. Aku sendirian dan mereka akan membalasku bersama- sama. Lagi pula, mereka akan membawa orang tua mereka. Apa yang harus kulakukan? Ibuku terlalu sibuk dan aku tidak punya ayah."
Mereka bertatapan dan terdiam sesaat. Pemuda itu menyadari bahwa situasi dan kondisinya tidak bisa disamakan dengan gadis kecil itu.
Mereka berjalan lagi selangkah dan pemuda itu melihat beberapa anak yang menganggangu tadi keluar dari persembunyian mereka dan berlari menjauh. "Sialan!" desisnya. Anak- anak itu rupanya benar-benar menunggu Corazon lewat.
Pemuda itu tiba- tiba merebut kotak bekal di tangan Corazon dan beberapa suap saja dihabiskannya albondigas itu. Corazon terdiam takjub. Pemuda itu kemudian berujar tegas seraya mengusap tepian mulutnya yang belepotan saos. "Begini saja. Aku akan mengawalmu setiap pulang sekolah sampai tiba di rumahmu. Sebagai bayarannya kau serahkan makanan bekalmu untukku."
Gadis kecil itu tersenyum menerima kotak bekalnya yang kosong. "Baiklah, Tuan Penyelamat! Saya akan senang sekali melakukannya."
Hari itu, Corazon diantar sampai ke rumahnya, sebuah flat yang cukup berada walaupun ukurannya kecil. Meskipun sendirian di rumah, Corazon cukup tangkas mengurus diri. Ia membuka pintu menggunakan kuncinya sendiri. "Tunggu di sini," katanya pada pemuda tadi.
Corazon bergegas masuk ke dalam rumah. Ia berlari menuju lemari es dan mengambil seember es krim vanilla. Ia membawa es krim itu kepada si pemuda. "Ini, makanlah ini. Mami memberiku es krim ini setelah aku cabut gigi. Ini akan mengurangi rasa sakit dan darah cepat berhenti," katanya karena melihat lebam dan luka di wajah pemuda itu.
Pemuda itu duduk di tangga teras dan menyantap es krim tersebut. Ia mengangguk- angguk keenakan. Memang makanan manis dan menyegarkan adalah yang diperlukannya saat cuaca panas menyengat. Rasa nyaman itu juga membantu mengurangi rasa nyeri cederanya.
Corazon berjongkok di sisinya dan tersenyum manis. "Bagaimana? Enak 'kan?" tanyanya.
"Ehmm, ehmm," sahut pemuda itu sibuk mengemut es dalam mulutnya.
"Siapa namamu?" tanya Corazon.
Pemuda itu menjawab santai. "Aku tidak punya nama."
Corazon semringah berpikir pemuda itu pasti bercanda dan mungkin merahasiakan namanya seperti seorang superhero sehingga ia tidak ingin mengatakannya. "Baiklah, karena kau telah menyelamatkanku, aku akan menamaimu Salvador," katanya kemudian.
Pemuda itu mangut- mangut saja, tidak keberatan sedikit pun, malah berujar antusias, "Nama yang bagus."
***
Bersambung ....