Benar kata orang bahwa hari apes itu tidak ada di dalam kalender. Dan, satu lagi ; serapat-rapatnya menyimpan rahasia pasti suatu saat orang-orang juga akan mengetahuinya.
Niat hati menerima ajakan Dokter Rain pergi ke kedai es krim, Apia justru menjadi korban dalam sebuah insiden kecelakaan kecil di parkiran rumah sakit.
Secara tidak sengaja sebuah mobil menyerempet tubuh Apia hingga membuat Apia jatuh sampai tak sadarkan diri.
Yang pertama kali Apia lihat ketika terbangun adalah raut wajah datar Dina. Sekuat tenaga Apia berusaha memanggil, “M—mbak Dina..”
Jika biasanya Dina selalu tersenyum saat namanya dipanggil oleh Apia, maka pengecualian saat ini karena raut wajah datar Dina tetap bertahan di sana.
Apia belum bisa berpikir tentang kenapa? dan mengapa?. Tapi firasat Apia mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu hingga membuat Dina tak menunjukkan senyumnya sedikitpun.
“Akhirnya kamu bangun juga. Kamu ingat dengan apa yang terjadi padamu sebelumnya?” tanya Dina membuat Apia harus menggali ingatannya.
“Ssshh..kepala saya pusing banget, Mbak,” keluh Apia yang sejak terbangun tadi sebenarnya sudah merasa pusing. Kini rasa itu bertambah sebab Apia memaksakan dirinya untuk mengingat yang samar-samar.
“Saya cuman ngerasa tubuh saya didorong sesuatu, entah apa? Saya enggak tahu pastinya. Tapi habis itu semuanya gelap, Mbak.” Begitu kata Apia setelah berusaha keras mengingat apa yang menimpanya sampai membuatnya harus terbaring lemah di atas brankar rumah sakit seperti ini.
Antara iba tapi juga marah, Dina dengan ketus menyahut, “Jelas pusing karena dahimu luka, Pia. Sudah jangan dipegang-pegang perbannya, nanti lepas. Kamu habis keserempet mobil tadi.”
Mendengar bahwa dirinya telah menjadi korban kecelakaan, Apia seketika panik dan mengkhawatirkan sosok yang kehadirannya masih dirahasiakan. “Mbak, gimana—”
“Tenang, kandunganmu baik-baik saja. Itu kan yang saat ini kamu khawatirkan?” potong Dina membuat sepasang bola mata Apia membulat sempurna.
Jadi..
‘Mbak Dina sudah tahu tentang keadaanku yang tengah berbadan dua. Dan, itu penyebab hilangnya senyum ramah Mbak Dina ke aku,’ batin Apia yang tanpa sadar telah menangis tanpa suara. Sedangkan bibirnya berusaha menjelaskan, “Mbak Dina, saya bisa jelasin semuanya.”
Seketika Dina menggeleng pelan dengan tatapan tajam yang membuat Apia sadar bahwa wanita ini tidak membutuhkan penjelasannya. Hal tersebut membuat Apia malu, sedih, dan tak tahu lagi harus mengatakan apa. Akhirnya Apia hanya bisa tertunduk malu sambil menunggu Dina kembali membuka suara.
Terdengar helaan napas sebelum akhirnya suara tegas Dina menggema di ruang rawat yang sepi ini. “Saya enggak butuh penjelasan kamu. Mau kamu jelaskan sampai mulutmu berbusa pun, hamil diluar nikah tetap tidak bisa dibenarkan.”
Marah dan kecewa, itulah yang dapat Apia lihat tergambar dengan jelas di dalam nada bicara dan ekspresi Dina. Wajar bila Dina seperti ini karena Dina sudah menganggapnya seperti adik sendiri, tapi adiknya malah melempar sebuah kotôran tepat ke mukanya.
Apia tidak tersinggung karena apa yang dikatakan Dina barusan memang benar adanya. Bahwasannya ini tidak benar. Tapi anak tak berdosa ini bukanlah kesalahan. Apia telah menyayanginya dan memutuskan untuk mempertahankannya tak peduli meski seisi dunia tak menerima kehadirannya.
“Sekarang kamu cukup menjawab pertanyaan saya dengan tegas dan jujur sejujur-jujurnya. Bisa, Apia?”
“B—bisa, Mbak..”
“Siapa ayah dari anak itu?”
“.........” Apia terdiam. Sebelumnya Apia telah menduga bahwa Dina pasti akan mempertanyakannya. Tapi apa mungkin Apia mengatakan yang sebenarnya? Apia takut jika Dina semakin marah dan memutus hubungan baik yang selama ini telah terjalin.
Padahal Apia sendiri juga telah menganggap Dina seperti kakaknya. Kepedulian Dina membuat Apia merasa mempunyai keluarga di tanah rantau ini.
“Jawab Pia, ” tekan Dina yang kini kedua tangannya berada di kedua lengan Apia, mencengkramnya kuat-kuat agar Apia mau segera membuka mulutnya untuk mengungkapkan kejujuran.
Karena ketidakjujuran Apia ini tadi rumah sakit sempat heboh!
Apia yang selama ini dikenal sebagai gadis yang tahunya hanya bekerja dan tampak polos, telah berhasil mengubah pandangan semua orang di sini. Tak terkecuali rekan-rekan kerjanya.
Ya, berita begitu cepat menyebar dan Dina tentu tidak bisa menghentikan itu.
Bagaimana tidak heboh?
Dokter Rain membopong Apia yang dahinya berdarah saja sudah menghebohkan seisi rumah sakit. Eh malah ditambah dokter yang menangani Apia mengabarkan bahwa kandungan Apia baik-baik saja. Semakin BÔǑM!
Semua orang berspekulasi masing-masing.
Parahnya, Dokter Rain yang diketahui akhir-akhir ini tengah dekat dengan Apia jadi terseret. Itulah yang membuat Dina marah besar. Dina mengira hubungan Apia dan Dokter Rain telah sejauh itu.
Sungguh..jika benar adanya bahwa anak dalam kandungan Apia ini merupakan anak Dokter Rain, maka Dina tidak akan segan-segan untuk mengataí Apia BODÓH bin TOLÒL!
Mau-maunya memberikan diri yang amat berharga ini serta seluruh hidupnya untuk seseorang yang tak dapat diraih.
Dina yakin jika keluarga Dokter Rain pasti tidak akan bisa menerima Apia. Sehingga Apia yang malang akan menjadi ibu tunggal bagi anaknya. Hahh..Dina jadi teringat akan putranya.
Mau bagaimanapun Dina telah melewati fase hamil hingga melahirkan, Dina seorang wanita yang ditemani sosok suami di beberapa fase itu. Tapi tetap merasa berat, apa kabar Apia? Yang mungkin akan melalui semuanya sendirian. Apia benar-benar bodóh karena menyerahkan semuanya pada pria.
Sekalipun cinta, tetap jagalah mahkota paling berharga dalam dirimu. Jangan sampai cintamu melampiaskan nafsu terlarang bahkan menjadikannya suatu kebenaran.
“Kamu masih bungkam? Tidak mau menjawab?”
“Mbak Dina s–sakit..” lirih Apia menyayat hati Dina.
Menyadari tindakan fisiknya telah keterlaluan sampai melukai Apia yang masih dalam tahap pemulihan, Dina segera melepaskan cengkraman tangannya dari lengan Apia.
Setelahnya, Dina menarik dan menghela napas sebanyak-banyak. Emosinya saat ini membuatnya buta dan menerjang apapun yang ada di hadapannya!
Tak peduli jika itu Apia—korban kecelakaan kecil beberapa jam yang lalu.
“Apa itu anak Dokter Rain?”
DEG.
Pertanyaan Dina langsung membuat Apia kepikiran dokter baik itu. Bagaimana reaksinya tatkala mengetahui Apia hamil?
‘Pasti sekarang Dokter Rain jijík sama aku. Pantesan aku enggak lihat dia ada disini. Padahal tadi aku sama dia sebelum insiden ini menimpaku. Ya Tuhan..beginikah sakitnya dicampakkan oleh teman baik? Semoga aku dan anakku senantiasa kuat kedepannya.’
Kedepannya pasti akan ada banyak lagi orang yang mencampakkannya, memandangnya sebelah mata, hingga menghujàtnya. Sehingga Apia hanya minta dikuatkan untuk menghadapi sanksi sosial itu.
“Kalau kamu diam, berarti benar bahwa anak itu merupakan anak Dokter Rain. Sebenarnya apa yang—”
“BUKAN. Ini bukan anak Dokter Rain,” sela Apia mulai menunjukkan ketegasannya seraya menahan rasa pusing yang teramat. Entah pusing karena insiden kecelakaan atau karena pikirannya mulai kacau? Apia tak tahu. Yang terpenting calon anaknya baik-baik saja.
Apia tidak ingin menyeret Dokter Rain yang tak tahu apa-apa. Selain itu, memang faktanya anak yang dikandungnya ini bukanlah anak Dokter Rain.
Siapa sebenarnya orang yang tega membuat berita tak masuk akal ini!?
Mereka saja baru kenal hitungan minggu!
Oh astaga..Apia semakin malu dan merasa tak enak hati pada dokter baik yang berstatus temannya itu.
“Lalu anak siapa, Pia!? Kamu harus jujur atau semua orang semakin yakin bahwa anak itu merupakan anak Dokter Rain! Apa yang nanti akan dilakukan oleh keluarga kaya raya itu, hah? Apa kamu tidak berpikir sampai sana? Jika sebatas dipecat dari pekerjaanmu, sudah barang tentu. Tapi jika mereka sampai mengancámmu, melukaimu, bagaimana? Saya mengkhawatirkanmu, Apia.”
“Itu tidak akan terjadi, Mbak Dina. Setelah ini saya akan pergi jauh.”
“Terserah! Yang jelas beritahu saya dulu siapa ayah dari anak itu, Apia! Dengan begitu setidaknya saya bisa membelamu dan membenarkan berita yang telah tersebar luas!” Dina mulai hilang kesabaran. Tapi juga sempat merasa lega mengetahui anak yang tengah dikandung Apia bukanlah anak Dokter Rain.
“Ini merupakan benih mantan kekasih saya, Mbak.”
“BODÒH KAMU PIA!”
***