Belum lama aku terlelap, tiba-tiba ku mendengar suara mas Rei membangunkan ku, sambil ia menggoyangkan lenganku. “ Han… bangun, Hanna bangun”
Reflex aku pun terbangun karna merasakan goncangan disebelah. “ iya mas Rei, ada apa? mas membutuhkan sesuatu?”
“ apa yang kamu lakukan disini?”
“ maaf mas, maksud mas Rei apa? aku kurang paham” aku pun langsung duduk mendengar pertanyaan-pertanyaan mas Rei, yang membuat selimutku jatuh ke bawah.
Ku lihat mas Rei memandangku dengan pandangan gusarnya, tak lama ia pun meninggikan suaranya. "apa yang kamu pakai, apa kamu berusaha untuk menggoda saya? sekarang cepat keluar dari kamar saya, lancang sekali kamu masuk dan tidur di tempat tidur saya”
Reflex aku menutupi tubuhku dengan selimut. “ maaf mas Rei aku tidak bermaksud untuk menggoda, aku hanya memenuhi permintaan bunda saja, bunda memintaku untuk mengenakan pakaian ini saat aku akan tidur. Lalu..lalu kenapa aku harus keluar dari kamar ini, bu..bukankah sekarang kita sudah resmi menikah, jika aku tidak tidur bersama suamiku aku harus tidur dimana mas?” dengan sekuat tenaga aku berusaha agar tidak menumpahkan air mata ku, sungguh aku tidak paham mengapa mas Rei bisa semarah ini, jika dia memang keberatan kami tidur bersama, harusnya dia mengatakkannya sejak kami baru sampai bukan?.
“ bunda..bunda..bunda. jangan menyebut nama bunda untuk bisa menjeratku, mari kita perjelas hubungan kita, kita memang sudah resmi menikah, itupun karna saya terpaksa menikahimu, jika bukan karna bunda, saya tidak akan pernah mau menikah dengan mu, sungguh aku tidak mengerti dengan bunda, kenapa bunda sangat mempercayaimu, asal kau tahu, karena dirimu, saya tidak bisa menikahi kekasihku, karena dirimu saya harus terpisah dari orang yang saya cintai, jadi karna hal itu urus dirimu sendiri, tidak perlu bersikap seperti kita ini sepasang suami istri sungguhan, saya akan tetap memberikanmu nafkah lahir, tapi tidak dengan nafkah batin, karna saya hanya akan menyentuh wanita yang saya cintai, sekarang bereskan barang-barangmu dan segera keluar dari kamar saya, kamu bebas memilih kamar lain yang ada di rumah ini, tapi tidak dengan kamar ini.”
Bagai disambar petir aku mendengar segala kemarahan mas Rei, tanpa terasa air mata ini mengalir begitu saja tanpa bisa aku cegah, dengan memberanikan diri aku bertanya kepadanya. “ ji..jika mas Rei memang sudah memiliki kekasih, ke..kenapa mas Rei menyetujui permintaan bunda, kenapa mas Rei tidak mencoba mengenalkan kekasih mas Rei kepada bunda, mengapa mas Rei hanya menyalahkan aku atas pernikahan ini, bukankah aku dan mas Rei sama- sama menyetujuinya ketika bunda meminta kita menikah. Kenapa tidak mas Rei tolak saja waktu itu. Jika saja aku tahu mas memiliki kekasih, pasti aku akan mencoba meyakini bunda agar tidak menikahkan kita mas, kenapa mas tidak mengatakkannya, kenapa mas?”
“kenyataannya ini tidak semudah yang kamu fikirkan Hanna, kamu tidak mengerti apapun, sungguh kamu tidak akan mengerti keadaan saya, tidak perlu membahas yang tidak kamu pahami, sekarang cepat bereskan barang-barangmu dan kamu bisa pakai kamar sebelah, karna hanya kamar ini dan kamar sebelah yang memiliki luas yang sama.”
Setelah mengatakkan itu mas Rei pergi meninggalkan aku sendiri di kamar dengan mambanting pintu secara keras. Air mata masih senantiasa mengalir di pipiku, sungguh aku tidak mengerti mengapa hidupku seperti ini, apa memang tak ada satupun orang yang menginginkanku? apa salah dan dosaku, sejak bayi aku sudah ditolak oleh orang tuaku, sekarang setelah menikahpun, suamiku sendiri menolakku di malam pernikahan kami, apa ada yang lebih buruk lagi dari ini? oh tuhan sungguh aku merasa tidak sanggup menjalani ini semua, jika memang ini takdir ku, tolong kuatkan hambamu ini, juga luaskan sabarku ini Tuhan....
Setelahnya aku segera bangun dan membereskan semua barang-barangku yang ada di kamar ini, tak lupa aku mengganti gaun tidurku dengan piyama panjangku, setelah mendapat tatapan sinis dari mas Rei tadi, dalam hati aku bersumpah tidak akan menunjukkan aurat ku ini di depan mas Rei, aneh bukan, harusnya mas Rei halal melihat auratku, tapi tatapan mencemooh yang mas Rei berikan tadi, membuat ku sadar, bahwa dia tidak akan mungkin memandangku, karna ia sudah memiliki pilihannya sendiri, aku masih sangat menyayangi diriku sendiri, aku tidak akan membiarkan orang memandang ku rendah, meskipun orang itu adalah suamiku sendiri.
Setelah yakin tidak ada barangku yang tertinggal di kamar mas Rei, ku langkahkan kaki ku ke kamar sebelah, jika aku bisa aku akan memilih kamar lain yang berada di lantai bawah, atau jika aku bisa aku akan memilih keluar dari rumah ini, agar aku tidak bertemu dengannya, namun itu pasti akan membuatnya marah bukan? bukan karna ia takut kehilanganku, tapi karna ia takut jika bunda tau, bunda akan memarahinya.
Setelah tiba di kamar baru ku, langsung saja ku jatuhkan tubuhku ke kasur, tanpa dikomando pun air mataku jatuh begitu saja, sungguh aku tidak tahu kalau akan begini jadinya, aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan kedepannya, apa aku mampu menjalani ini semua, apa aku mampu melihat sikap lain mas rei yang hanya ia tunjukkan kepadaku, yang jelas entah bagaimana kehidupan rumah tanggaku dengannya kedepannya, sungguh kenapa Tuhan terus-terusan memberiku cobaan berat ini, apa aku bisa menjalani ini semua. entah berapa lama aku menangis aku merasakan palaku pening, dan tak lama aku pun terpejam.
***
Sungguh aku tidak mengerti kenapa aku bisa begitu marah dengan Hanna, sungguh aku telah menyesal berkata demikian kasar dengannya, harusnya aku sadar bahwa ini bukan kesalahannya, aku dan dia sama-sama terjebak dengan kasih sayang bunda, kami sama-sama tidak kuasa menolak keinginan bunda, hatiku merasa tercubit melihat Hanna hanya dapat menangis mendengar kemarahanku, bagaimanapun dia adalah wanita baik, sebenarnya aku pun sudah menganggapnya adik ku sendiri, karna selama ini ia selalu ikut serta dalam kegiatan keluarga kami, bagaimanapun juga aku tidak pernah berkata kasar apalagi terhadap perempuan, namun melihat ia tertidur disampingku, dan juga mengingat aku tidak bisa menikahi kekasihku, itu membuat emosi ku meledak, aku tidak ingin kekasih ku salah paham, aku tidak ingin di cap sebagai lelaki yang tak setia, aku hanya mencintai kekasihku.
Raline Sekar Pratami, ya dialah wanitaku, satu-satunya wanita yang ku cintai dalam hidupku setelah bunda tentunya, kami menjalin kasih sejak kami sama-sama baru menempuh pendidikan menengah atas, kami selalu bersama bahkan sampai perguruan tinggi pun kami masih di universitas yang sama, kami mengambil jurusan yang berbeda, ia mengambil jurusan akuntansi, sedangkan aku mengambil jurusan arsitek, ya aku adalah seorang arsitektur, aku sangat tidak berminat menjadi pebisnis seperti yang digeluti ayah Bagas, aku lebih suka merancang bangunan-bangunan, ya seperti rumah ini, rumah yang ku rancang sendiri seperti keinginan kekasihku itu.
Namun naas bunda tidak pernah setuju dengan hubungan kami, awalnya saat pertama kali aku mengenalinya saat kami masih SMA, bunda tidak pernah mempermasalahkannya, namun ketka kami memutuskan untuk menjalani ke jenjang yang lebih lanjut, dimana dua keluarga bertemu yang terdiri dari keluarga ku juga dari keluarga Raline yang dihadiri oleh paman dan bibinya, tiba-tiba saja bunda memutuskan ikatan ini secara sepihak, tentu itu membuat ku sangat shock, selama ini bunda tidak pernah menentang hubungan kami, bahkan dapat ku lihat bunda juga senang dengan Raline, lalu kenapa tiba-tiba ketika dua keluarga sudah dipertemukan bunda malah menentang keras hubungan ini dengan alasan yang aku sendiri tidak pahami, bunda mengatakkan tidak ingin menjalin hubungan dengan keluarga pengkhianat.
Sungguh aku tidak paham dengan maksud bunda, bahkan sampai sekarang pun bunda maupun ayah tidak ingin menjelaskan pengkhianatan yang bunda maksud, dapat ku lihat setelah pertemuan itu, bunda hanya menangis bahkan mendiamkan aku juga yang lain, ayah hanya meminta agar kami tidak menganggu bunda, berikan bunda waktu untuk menenangkan diri dulu.
Setelahnya aku pun dibuat terkejut dengan permintaan bunda, ia memintaku untuk menjauhi Raline dan juga tidak meneruskan hubungan dengannya, bahkan bunda mengancam akan menyakiti dirinya sendiri jika aku tidak memenuhi keinginannya, setelahnya dengan amat terpaksa aku pun menuruti keinginan bunda, bukan, bukan aku memutuskan hubungan ini, aku hanya meminta Raline bersabar menunggu waktu agar aku bisa membunjuk bunda, ya selama ini kami menjalani back street, menjalin hubungan tanpa diketahui oleh keluarga kami, kami terpaksa menjalaninya, hingga pada akhirnya dimana bunda meminta ku untuk menikahi Hanna, gadis pilihan bunda, dan aku tidak bisa tidak mengikuti kemauannya, pada akhirnya inilah keputusan ku keputusan yang menyakiti semua pihak, keputusan yang menyakiti kekasihku, keputusan yang juga menyakiti Hanna yang telah menjadi istriku bahkan keputusan yang juga menyakiti diriku sendiri.
Entah akan bagaimana akhir dari kisah pernikahan ini, aku bersikap cuek terhadap Hanna, agar ia tidak menaruh rasa terhadapku, kendati sikap ku sendiri sudah sangat-sangat menyakitinya, aku hanya tidak ingin ia memiliki rasa yang pastinya tidak akan pernah ia bisa dapatkan balasannya, maafkan tolong maafkan aku Hanna yang secara tidak langsung aku menjeratmu dalam pernikahan penuh luka ini, maafkan aku, karna selamanya aku hanya mencintai dirinya, Raline Sekar Pratami, kekasihku.