Keesokan harinya, tepat pukul sepuluh pagi, Birdella diseret menuju gerbang kerajaan Abaskus. Tidak ada lagi perhiasan yang melekat ditubuhnya. Pakaian yang dikenakannya pun berbahan kasar berwarna putih, khas tahanan kerajaan. Bercak darah bekas hukuman yang dijalaninya saat dini hari mengotori gaun putihnya. Ini adalah saatnya dia di arak keseluruh penjuru kerajaan Abaskus. Sepanjang perjalanan seluruh rakyatnya melemparinya dengan berbagai barang. Diperlakukan sebagai orang paling hina. Segala macam sorakan dan hinaan Birdella terima. Bahkan ada pula orang yang dengan lancang menyiramnya dengan air seni dan ludah. Sangat tidak bisa dipercaya. Keberadaannya dalam kesempatan ini adalah bentuk dari revisi hukuman yang dijatuhkan padanya. Birdella mengambil alih hukuman yang akan dijatuhi pada putrinya dengan cara ini. Meski dirinya merasa akan berakhir dengan cara yang paling terhormat, rupanya orang lain justru memandang dia dengan cara yang hina. Tapi dibalik segala hal buruk yang dimilikinya saat ini hanya Grizelle dan harga dirinya yang dijunjung tinggi. Jika dia memang harus mati hari ini, maka biarkan dia mati dengan kepala terangkat.
Di atas singgasananya Achazia sudah menanti, suaminya itu duduk angkuh. Bahkan Pejabat kerajaan sudah berbaris rapi menunggu kehadirannya. Ruangan itu sungguh sunyi, mereka bahkan takut untuk bernapas dengan suara keras. Birdella mengamati wajah pria bodoh yang duduk diatas singgasana emasnya, ekspresinya terlihat gelap karena marah. Birdella rasa suaminya mendapat kabar baru atas penganiayaan yang dia lakukan pada selir tercintanya. Birdella dipaksa berlutut, memberi hormat. Achazia lantas menyerahkan sebuah perkamen pada seorang kasim yang berdiri penuh hormat di samping kanannya. Kasim itu membungkuk, tangannya terulur, menerima perkamen bersulam benang emas itu dari tangan Achazia. Sang Kasim kemudian melirik kearah Birdella sebelum lagi-lagi membungkuk hormat, berjalan mundur setelah perkamen diterimanya.
“Tua bangka sialan !” Desis Birdella menangkap gelagat licik dari orang yang berdiri disebelah suaminya. Sementara itu Achazia menatap lurus wajah permaisuri yang masih berlutut, jauh di depannya. Kasim kembali ke tempatnya semula, perlahan dibukanya perkamen yang berisi keputusan kaisar itu.
"Sesuai Perintah Kekaisaran" kasim itu berucap lantang. "Dengan ini,
memutuskan hukuman untuk Permaisuri Birdella berupa hukuman gantung. Mayatnya akan digantung balai kota karena tindakannya yang melukai anggota kerajaan kaisar. Namun dengan kuasa yang dimiliki Permaisuri, dia meminta putrinya Grizelle untuk dikeluarkan dari istana ditemani dengan ksatria Ezra untuk menemani sang putri.” Setelah selesai membacakan keputusan Kaisar, kasim itu kembali menggulung perkamen di tangannya.
"Laksanakan hukuman!" seru Achzia lantang.
Beberapa pengawal kerajaan membungkuk, memberi hormat, bergegas melaksanakan apa yang menjadi perintah kaisarnya.
"Anda bahkan menerima permintaan saya dengan mudah Yang Mulia ? Apa permintaan saya justru memudahkan Anda membuang kami ? saya sempat berharap kaisar yang bijaksana akan mengadakan sebuah pengadilan sebelum menjatuhkan hukuman.” Birdella bertanya dengan nada tenang dan lantang. Gerakan pengawal itu terhenti, menanti jawaban kaisar akan pertanyaan sang permaisuri yang memang sangat benar. Hukuman yang dijatuhkan pada Permaisuri sangat tergesa-gesa dibanding saat akan mengeksekusi narapidana yang menjagal ratusan orang. Suasana mendadak terasa semakin dingin, saat Achazia melotot ke arah Birdella. Semua orang yang berada disana terpaku di tempatnya berdiri, menunduk dalam, gemetar karena takut akan amukan sang kaisar yang tidak tahu kapan akan meledak.
"Lancang sekali kau mempertanyakan keputusan yang kuambil!" Achazia melolong keras. Matanya masih melotot marah, rahangnya mengeras, dia sangat murka.
"Setiap rakyat berhak mendapat keadilan, Yang Mulia. Kami adalah rakyat Anda. Bukankah itu adalah janji yang Anda katakan saat sebelum Anda berhak duduk diatas singgasana itu ?” sahut Birdella masih terlihat tenang.
"Saya ingin mendapat keadilan."
"Setelah semua bukti yang aku miliki, kau masih menginginkan pengadilan?" Achazia tertawa, mencemooh. "Kau hanya akan membuat dirimu sendiri malu, Birdella! Atau kau ingin putrimu mendengar ketidakbermoralan
Ibundanya?" Mata Birdella membelalak saat Achazia menyebutkan soal putrinya. Padahal Birdella berkata pada kaisar untuk tidak melibatkan putrinya dalam acara ini
“b******k ! dasar sialan ! kau bahkan tidak menepati janjimu dan malah membawa putriku ?!” sang kaisar yang sudah ditutup kabut amarah telah kehilangan hatinya. Otaknya sudah tidak mampu berpikir jernih. Kebencianya menutupinya
"Pengawal, seret dia dan laksanakan hukumannya sekarang juga!" raung Minato geram. Tangannya refleks mengepal erat hingga jari-jarinya memutih, menahan marah. Tanpa perlawanan Birdella terus melangkah, langkah yang membawanya semakin dekat ke tempat eksekusi. Mungkin ini sudah jadi garis hidupnya, apa yang harus disesalinya? Dia hanya tersenyum, seolah berkata 'tidak masalah'. Birdella mengerjap saat matanya menangkap Grizelle yang berdiri ditahan oleh dayang Chiyo, lalu kepalanya mendongak menatap langit biru di atasnya, mencoba menahan laju air mata yang sudah mulai berkumpul di sudut-sudut matanya.
Suara rantai yang menarik beban berat pada kakinya seolah menjadi lagu kematian. Dengan kejam, Achazia memerintahkan Grizelle untuk menyaksikan eksekusi yang akan segera dilaksanakan. Dia ingin Grizelle mengingatnya, dan menjadikan hal ini sebagai suatu pembelajaran, bahwa tidak ada satu orang pun yang boleh
mengkhianati dan bersikap lancang pada kaisar.
Tidak memakan waktu lama, tubuh ibunya diseret dengan kasar dengan tali yang siap menjadi sarana pengakhiran hayatnya.
***
Aku yang menyaksikan detik-detik kematian ibunda dari dekat, berdiri bergeming, mulutku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Aku terlalu syok, bahkan untuk berteriak pun aku merasa sudah tidak mampu. Aku masih belum pulih dari syok saat melihat betapa banyak luka yang ada ditubuh sang ibu. Darah yang segar mengotori baju putihnya. Diatas sana Mulut Birdella disumpal sapu tangan putih, hingga tidak ada satu teriakan kesakitan pun yang keluar dari mulutnya. Matanya ditutup kain putih. Tubuhku kini lantas bergerak secara otomatis, kaki kecilku kupaksaan untuk berlari dengan cepat menuju tempat eksekusi ibunda. "Ibunda?!" teriakku histeris, langkahku terhenti saat dua orang pengawal menangkap tubuhku dan menahanku untuk tetap diam di tempat.
“Lancang sekali kalian menahan Putri Mahkota kerajaan Abaskus ini !” Aku berteriak kalap lalu kini aku hanya bisa menangis keras saat tubuh ibuku sudah tak terselamatkan. Tubuh ibunda telah kosong melompong dengan seluruh mata yang melihatnya. Aku meronta, mencoba untuk melepaskan diri dari kurungan kedua pengawal kerajaan itu. Kedua pengawal itu saling melempar pandang, melihatku dalam kondisi ini. Tak ada yang mempedulikan aku, mereka mengesampingkan rasa kemanusiaan mereka hanya karena Ayahanda yang seorang kaisar. Mereka terlalu patuh pada titahnya sehingga menjalankan tugas yang diembankan pada mereka tanpa perlu berbelas kasih pada anak kecil sepertiku yang kehilangan ibundanya didepan mataku sendiri. Aku berusaha menggapai Ibunda namun karena tubuhku pendek dan kecil. Aku tak bisa menggapainya. Dari atas sini aku bisa melihat seluruh mata licik penuh kepuasan atas kematian Ibunda. Kejam ! Aku menghapus air mataku dengan kasar dan lantas memandang sang kaisar yang tanpa rasa memandang ibuku dari atas singgasananya. Aku harus mengesampingkan rasa sakit kehilangan beliau. Dan apa yang kulihat ? pria itu tersenyum diatas penderitaan Ibunda ? Benarkah dia ayahku ?
"Ayahanda Kaisar!!!" teriakku keras, pita suaraku bahkan berdenyut sakit karenanya. "Ayahanda Kaisar!!!!" Teriakku lebih lantang. “Apa Anda sekarang telah berpuas diri karena menyingkirkan Ibunda yang saya cintai dari hirarki istana ini dengan cara yang keji ? Apa anda sekarang bisa membusungkan d**a dan berbangga hati karena menghabisi perempuan yang telah berada disisi Anda selama ini demi perempuan tidak tahu diri yang menyebut dirinya selir ?” Seluruh mata menatapku dengan membelalak. Mereka mungkin tak menyangka akan muncul kata-kata seperti itu dari anak perempuan berusia delapan tahun. Tapi yang kudapati sekarang bukan sebuah jawaban melainkan sosok Achazia yang menulikan telinga dan mundur begitu saja dari tempat eksekusi. Seluruh aula berdengung. Mereka mungkin berpikir jika aku beruntung sebab Kaisar tidak memenggal kepalaku karena ucapan bengisku.
“Turunkan Yang Mulia Permaisuri dan makamkan beliau dengan cara yang benar !” titahku pada seorang pengawal yang berdiri dibelakangku. Dia menggeleng.
“Apa perlu aku memenggal kepalamu agar kau mau mendengarkan titahku ?”
“Maafkan saya Yang Mulia Putri Grizelle, Jasad Permaisuri akan digantung hingga satu pekan sebagai hukuman karena telah mencelakai anggota keluarga kerajaan.”
“IBUKU SUDAH MATI APA PERLU KALIAN MENYIKSA ORANG YANG SUDAH TAK BERNYAWA MENJADI SEBUAH BENTUK TONTONAN ?!” aku berteriak kalap, namun tidak ada yang mendengarku. Semua orang yang menyaksikan hanya terkikik geli bahkan menganggapku sudah gila. Kebanyakan dari mereka justru bersuka cita atas kematian Ibunda. Manusia tidak tahu diri !
Tanpa menunggu waktu lama aku akhirnya diseret secara kasar dan dimasukan ke dalam sebuah kereta kuda sederhana. Dayang yang setia terhadapku tidak mampu berbuat banyak. Mereka hanya bisa menangis dalam keheningan melihat kondisi dan nasib buruk yang menimpa tuannya. Aku tidak bisa menangis. Meski hatiku hancur dan terluka. Melihat kematian ibuku dengan kedua mataku dan aku malah diusir dari istana yang menyimpan banyak kenanganku dengan Ibunda.
Seorang pelayan pria membungkuk, menjadikan punggungnya sebagai tempat pijakan untukku naik ke atas kereta. Ya, meski aku telah menjadi seorang yang terusir aku bersyukur dia masih menerapkan prilaku penghormatan padanya. Sebab sudah ada aturan yang mengatur pelayan pria dilarang menyentuh seorang bangsawan wanita. Aku lantas merangkak masuk ke dalam kereta. Aku tidak banyak bicara, air mataku sudah mengering.
“Yang Mulia..” suara rendah dan tenang itu tak banyak membantu membangkitkan suasana hatiku yang buruk dan muram.
“Kenapa kau ada disisiku Dayang Chiyo ?” aku bertanya tanpa meliriknya. Mengapa dia masih disisiku ketika aku bahkan tak memiliki apa-apa ditanganku. Kuasa dan harta bahkan pengakuanku sebagai putri mahkota mungkin telah dicabut sekarang. Mengapa dia perlu mengikutiku ?
“Saya sudah bilang akan berada disisi Anda sampai napas terakhir saya.” Entahlah.. kurasa aku sudah melemah sekarang. Maafkan saya ibunda, saya ingin menangis saat ini. Kupeluk dayang Chiyo yang telah bersamaku sejak aku kecil. Kemudian menangis tersedu mengingat betapa pahitnya takdir yang aku rasakan.
“Tidak apa-apa Yang Mulia. Semuanya akan segera membaik, ini hanya mimpi buruk.”
“Hiks... Hikss..”
***
Alvaro berada dalam perjalanan dengan beberapa pasukan khusus dalam misi penaklukan benua dalam rangka memperluas tanah jajahan Kerajaan Abaskus. Namun karena perjalanan masih cukup jauh pada akhirnya dia mampir ke negara Ephraim dimana dia memiliki seorang sahabat yang berusia sama dengannya. Tanpa memiliki pemikiran apa-apa dengan ringan Bocah berusia lima belas tahun itu sama sekali tidak tahu menahu dengan kondisi istana Abaskus. Tidak ada kabar yang disampaikan padanya, padahal sang Ibunda telah meninggal dengan cara yang mengerikan. Dieksekusi oleh ayahandanya sendiri. Satu hal yang dikabarkan padanya adalah pesta ulangtahun untuk adiknya dari selir Humeera. Alvaro sendiri menyempatkan waktu untuk mampir kesebuah toko untuk membelikan barang yang akan diberikannya sebagai hadiah saat hari ulang tahun Elvina.
"Hah..." Alvaro menghela napas panjang. Adiknya Grizelle pasti sangat marah jika saja dia ketahuan membelikan hadiah pada Elvina. Alvaro sebenarnya kurang menyukai adiknya yang satu itu. Ya, meskipun parasnya cantik, matanya sayu, bahkan ramah lebih baik dibanding Grizelle. Entah mengapa Alvaro selalu tidak merasa nyaman dengan Elvina. Padahal ayahanda sudah memaksa dirinya untuk mendekatkan diri pada putri Favorit beliau.
"Kau yakin mau pulang hari ini?" suara Feliks mengembalikan Alvaro dari lamunannya. Putra Mahkota Abaskus itu melirik lewat bahunya, menyipitkan mata sebelum akhirnya kembali menyibukkan diri, mengecek sadel, tali
kekang dan pelana kuda yang akan ditungganginya. "Hei, kau masih marah padaku?"
Hening. Alvaro sengaja tidak langsung menyahuti perkataan pria itu.
“Jika kau melakukannya saat didepan orang banyak kepalamu akan jadi taruhannya.” Alvaro memutus keheningan. Tanpa rasa canggung, dia
Mengancam pada Putera Mahkota Kerajaan Ephraim. Feliks tersenyum lebar, seolah sudah terbiasa akan sikap kasar sahabatnya ini.
“Apa yang menyebabkanmu ingin buru-buru kembali ?”
"Perjalanan dari Ephraim menuju Abaskus memakan waktu satu pekan, itu-pun jika aku tidak beristirahat sama sekali." Alvaro menghela napasnya cukup panjang lalu kembali melihat wajah sahabatnya dengan tatapan penuh kebencian.
“Ini semua karena kau. Kalau saja aku tidak beristirahat disini dulu.” Feliks justru malah dibuat terkekeh puas, nyaris membuat Alvaro yang kalem melayangkan pukulan pada wajah tampannya.
"Adikmu tidak akan marah jika tahu alasan telatmu" Katanya beralasan setelah tawanya berhenti. "Dia pasti sangat~ menyukai giok yang ku pilihkan untuknya.”
"Kau tidak tahu sifat adikku. Dia sangat—“ Alvaro mengernyit, lalu menggelengkan kepala cepat, wajahnya muram.
"Sangat apa?" tanya Feliks menaikkan sebelah alisnya, penasaran.
"Sangat cuek !" sembur Alvaro membuat Feliks kembali dibuat terbahak keras. Feliks paling menyukai obrolan Alvaro soal adiknya. Pria itu akan sangat berapi-api dan menjelaskan dengan sangat detail soal adik perempuan kesayangannya. Bahkan saat ini ketika dia nampak kesulitan menghadapi adiknya, ekspresinya sangat bagus dan langka
"Itu benar, ketika aku berada disisinya dia bahkan mengacuhkanku begitu saja. Kau harus melihatnya dengan mata kepalamu sendiri." Feliks berdeham untuk menghentikan tawanya, meski penjelasan yang ini lebih menggelikan dibanding yang sebelumnya. Feliks hanya tak habis pikir ada seorang bocah cilik yang menghiraukan begitu saja keberadaan Alvaro yang memiliki paras rupawan dan kharisma maskulin padahal usianya masih lima belas tahun. Sementara itu Alvaro kembali menatapnya galak.
"Ah..." Feliks menganggukkan kepalanya sebagai gesture jika dirinya mengerti mengerti. Bahkan jarinya digunakan untuk menopang dagu, "Selain cantik, adikmu juga cuek. Bahkan sangat cuek ? Perpaduan yang tidak biasa." Alvaro mengangguk
“Itu sebabnya dia istimewa.”
"Wah.. penjelasanmu soal dia membuatku penasara loh~." Tambah Feliks lagi, dengan senyum nakalnya. Membuat Alvaro dibuat begidik.
"Oy.. jangan banyak bermimpi. Seumur hidupku aku tidak akan menyerahkan adikku padamu, Keriput!" ujar Alvaro tegas dan mutlak seolah dirinya bisa membaca pikiran sahabatnya.
"Kenapa? Aku cukup tampan untuk bersamanya. Aku juga seorang Putra Mahkota" goda Feliks. Dia sangat suka menggoda Alvaro mengenai adiknya. Sebab ekspresi pria itu akan sangat beragam jika menyangkut adik bungsunya.
"Kau itu tidak lebih dari pria m***m penyuka anak kecil!" sembur Alvaro kesal.
"Kau mau mati di sini atas tuduhan pencemaran nama baik ?"
Baik Alvaro maupun Feliks keduanya langsung membeku di tempat mendengar ucapan dingin dan mengancam dari Gavin seorang pangeran kedua dari negara Epharim. Pangeran berusia dua belas tahun itu berjalan layaknya seorang
bangsawan, dengan dagu terangkat, dan langkah yang tertata. Sayangnya, wajah tampannya selalu tanpa ekspresi.
"Kau terlalu kaku," sahut Feliks sambil menghambur kearah adiknya. Merangkul bahu sang adik. Membuat masalah dengan Gavin adalah hal terakhir yang
diinginkannya hari ini.
"Dia bilang jika kau lebih tenang dan bisa diandalkan, " tambahnya sambil mengancungkan jempol tangannya ke udara.
"Cih," balas Gavin, membuang muka.
Alvaro menutup mulutnya rapat, sesekali hanya menjadi penonton, boleh juga. Benaknya.
"Kau selalu bercerita mengenai kecantikannya," ucap Gavin tiba-tiba diarahkan pada Alvaro, kini pria itu terpaku pada pria cilik yang bertingkah lebih dewasa dari umurnya ini
"Kenapa kau tidak pernah memperlihatkan lukisan diri adik bungsumu pada kami?"
Alvaro menarik napas panjang, tatapannya tertuju pada langit biru di atasnya. Keindahannya mengingatkannya pada Grizelle.
"Tidak ada satu orang pelukis pun yang bisa menggambarkan kecantikan adikku," sahut Alvaro dengan tenang. Bibirnya ditekuk ke atas, tipis. "Kalian harus melihatnya dengan mata kalian sendiri. Untuk menilainya secara objektif"
"Apa itu undangan pada kami untuk berkunjung ke Kerajaan Abaskus ?" tanya Feliks yang tiba-tiba bergabung kembali dalam obrolan dengan cara yang antusias.
"Kau temanku," Sahut Alvaro yang kini sudah memastikan segalanya siap setelah terlalu lama dijebak dalam obrolan basa basi Feliks. Namun tingkah Alvaro pada kakaknya membuat Gavin mengernyit, tidak paham kenapa kakaknya masih memiliki kepala utuh padahal sudah bersikap lancang pada kerajaan Abaskus yang lebih besar.
"Kalian tidak perlu undangan khusus untuk datang berkunjung." Tambah Alvaro cepat setelah dia duduk diatas kudanya. Feliks mengangguk.
"Kami akan datang berkunjung, " janjinya lagi.
"Terserah," Alvaro mengangkat sebelah bahu, pura-pura cuek.
"Sebaiknya aku pergi sekarang. Kemarin aku sudah pamit pada Yang Mulia. Terimakasih atas perhatiannya” Alvaro menarik tali kekang kudanya berteriak 'jiah', dan kuda yang ditungganginya pun berlari kencang.
"Sampai jumpa, Al !" Feliks melambai penuh semangat hingga sosok Alvaro tak terlihat lagi. Menyadari ada seseorang yang menatapnya, Feliks menatap si pelaku
"Apa?"
"Kalian seperti sepasang kekasih." Balas Gavin tanpa sungkan.
"Benarkah?" Feliks kembali bertanya dengan antusias. Gavin kembali mendelik dan membalikkan badan, meninggalkan Feliks yang justru malah mengekor dibelakangnya
"Kamu harus bersikap baik padanya," goda Feliks. Pria berusia tujuh belas tahun itu
mempercepat langkahnya untuk menyamai langkah kaki Gavin. Padahal usianya lebih tua dari dia, tapi Gavin selalu merasa jika Feliks terlalu kekanakan untuk usianya.
"Untuk apa?" balas Gavin terdengar malas. Pangeran kedua dari kerajaan Ephraim itu lantas merapatkan jubah yang dikenakannya, angin musim dingin memang datang lebih cepat di wilayah ini. Feliks terkekeh sebelum menjawab senang. "Firasatku mengatakan jika Alvaro kelak akan jadi kakak iparmu."
"Kenapa bukan kau saja yang menikahi adik dari pria angkuh itu ?"
"Karena usiamu dan adiknya Alvaro itu tidak terpaut jauh" Gavin tertawa dingin dan hambar
"Coba kau katakan itu pada Ayahanda Kaisar yang memiliki selir seusiamu, Kakak Pertama."
"Ssstt... Jaga bicaramu!" tegur Feliks. "Ingat, dinding istana itu bertelinga!" pria itu berdiri tidak jauh dari Gavin. Wajahnya Feliks yang hobby cengar cengir lantas berubah serius, matanya menyapu ke sekeliling. Memastikan tidak ada siapapun selain mereka berdua.
"Hn," balas Gavin datar, tidak takut sedikit pun akan peringatan Feliks. Si kakak pertama.