Gadis itu menggeliat dari balik selimut tebal berwarna putih susunya. Setelah semalaman dia terlelap dalam tidur nyenyaknya, kini sudah saatnya ia bangun dan beraktivitas seperti biasanya sebelum diharuskan pergi ke kampus sekitar 3 jam lagi.
Menyembulkan kepala yang semula tertimbun selimut, sekarang gadis itu menyibakkan selimutnya sembari menguap lebar. Beruntung dia hanya tinggal sendiri, maka tidak ada yang perlu ia khawatirkan kalau-kalau ada orang lain yang memergokinya kala menguap lebar seperti barusan.
Seusai puas menguap, tahu-tahu dering ponselnya pun berbunyi. Sontak, pandangannya pun mengedar ke segala arah mencari sumber suara ponselnya yang entah berada di mana setelah semalam ia gunakan untuk mengirim surel pada salah satu dosennya secara dadakan.
"Waduh, suaranya kedengeran tapi wujudnya belum kelihatan. Handphone-ku di mana sih?" gumam gadis itu sembari menggaruk kepalanya yang entah beneran gatal atau tidak.
Sampai ketika ia beranjak dari kasur, barulah gadis itu menemukan sumber suara dering tersebut yang ternyata ada di balik bantal entah bagaimana caranya.
"Kok bisa sih ada di bawah bantal," desisnya setengah mendecak. Namun kemudian, ia pun segera memeriksa layar ponselnya guna melihat nama si penelepon yang sekarang sedang berusaha menghubunginya.
Oliver Calling!
"Mau ngapain ni bule telepon sepagi ini...." ucap gadis itu mendengkus. Lalu, ia pun segera menerima panggilan tersebut sembari kembali mendudukkan diri di tepi ranjang.
"Halo!" sambutnya sambil sejenak mengucek mata.
"Are you kidding me?" pekik si penelepon yang seketika membuat si pendengar buru-buru menjauhkan ponsel dari telinganya saking terkejutnya ia mendengar suara pekikkan barusan.
Sejurus kemudian, ia pun kembali mendekatkan ponselnya ke telinga seraya berkata, "Apa kau bisa berbicara dengan nada yang biasa saja?" lontar sang gadis dalam bahasa Universal.
"I can, but ... kau baru bangun? Bagaimana mungkin? Apa kau lupa jika pagi ini kau harus mengunjungi museum sejarah bersamaku?"
Untuk sesaat, gadis yang tak lain adalah Diary Clarista pun menepuk dahi. Dia benar-benar lupa jika pagi ini memiliki janji untuk menemani teman dekatnya ke museum sejarah. Padahal, tadi malam temannya yang bernama Oliver itu sudah mewanti-wanti agar ia tidak lupa, tapi sekarang, gadis itu justru malah bersikap teledor sampai membuat Oliver harus merasa kesal karena dirinya yang sedikit melupakan janjinya tersebut.
"Maaf, Oliv ... aku lupa kalau pagi ini ada janji bersamamu. Aku--"
"Oh, come on!" seru Oliver menahan geram. "Aku tidak mau tahu, Clarista. Apapun alasannya, kau harus segera datang ke sini dan tepati janjimu atau aku tidak akan mengganggapmu lagi sebagai teman. Do you understand?" ancam lelaki itu sekaligus memutuskan sambungan.
Bahkan, gadis itu sendiri belum sempat menanyakan perihal harus ada di mana ia sekarang. Tapi, alih-alih memberinya kesempatan untuk bertanya, justru temannya itu malah sudah keburu mengakhiri percakapannya secara sepihak.
"Lihat! Teman macam apa dia? Hobinya marah-marah, main mengancam sembarangan pula! Dasar bule gak sabaran!!!" gerutu sang gadis mencak-mencak. Namun meski begitu, ia pun tetap harus bergegas bersiap diri untuk memenuhi janjinya pada Oliver.
Mengingat selama ia menjalani kehidupan di New York Oliver adalah teman yang sangat baik dan setia terhadapnya, maka tidak ada alasan yang membuat Clarista harus mengingkari janjinya pada lelaki itu. Malah, sepertinya masih banyak hutang budi yang harus Clarista bayar. Saking sudah terlampau seringnya Oliver memberikan bantuannya di kala sang gadis merasa kesulitan, maka Clarista pun memiliki kewajiban untuk sekadar membalas perbuatan baiknya sekalipun Oliver sendiri tidak menuntutnya untuk membalas.
***
Seorang lelaki berambut pirang tampak sedang berdiri sambil sesekali melirik jam tangannya yang melilit di pergelangan tangan kiri. Sepertinya, dia adalah Oliver. Teman dekat Clarista yang sempat menelepon gadis itu ketika dirinya menagih janji terhadap sang gadis yang justru malah lupa dengan janjinya sendiri.
Sudah berulang kali, Oliver tampak mengembuskan napasnya kasar. Dia sudah tidak bisa menunggu lagi seandainya dalam waktu 10 menit ke depan, gadis itu tidak datang memenuhi janjinya. Mau tak mau, mungkin Oliver akan pergi sendiri saja ke museum. Perihal temannya yang mungkin akan sangat terlambat datang, Oliver bertekad mengurusnya nanti pasca dirinya sudah menuntaskan urusannya di museum sejarah yang akan dikunjunginya tak lama lagi.
Akan tetapi, saat baru saja Oliver memiliki niatan untuk beranjak dari tempat berdirinya, tanpa diduga ia pun melihat gadis yang sedari tadi ditunggunya akhirnya muncul sambil setengah berlari-lari. Tanpa bisa dicegah, senyuman geli pun terbit di bibir Oliver. Saat dia pikir temannya itu tidak akan datang, tapi justru kini gadis itu tampak sedang berjalan terburu-buru menghampiri dirinya yang sedang bersedekap santai sembari mengarahkan tatapannya pada Clarista.
"You're late, Clarista!" seru Oliver sesampainya gadis itu di hadapannya.
Sambil terengah, Clarista pun menyahut, "Yeah, I know...."
"Sebenarnya, kau ini sungguh ingin menemaniku atau tidak? Kenapa kau bisa sampai lupa seperti itu, hem?" omel Oliver seakan-akan ia tidak akan bisa tidur nyenyak seandainya belum mengomeli temannya itu.
"Aku kan sudah meminta maaf. Kenapa harus dibahas lagi? Ayolah, bukankah kau harus segera mengunjungi museum yang kau sebut? Memangnya, kau ingin kita tambah terlambat hanya demi kau belum puas mengomeliku seperti ini, huh?" tukas Clarista memutar bola mata sebal. Lalu, hal itu pun segera dibenarkan oleh Oliver.
"Kau benar. Ya sudah, kalau begitu ... ayo kita pergi! Lebih baik aku tunda dulu saja omelanku ini," tutur Oliver yang kemudian menarik pergelangan tangan sang gadis setelah memutuskan untuk segera beranjak dari posisinya sekarang.
Oliver Javier, dia adalah bule asli yang kebetulan sudah saklek memilih Clarista sebagai teman dekatnya sejak pertama kali mereka bertemu di taman kampus. Walau berbeda jurusan, tapi entah kenapa, rasanya Oliver sangat nyaman sekali jika sedang berada di dekat gadis itu. Hal serupa bahkan dirasakan juga oleh Clarista. Walau Oliver terkadang selalu bersikap sedikit menyebalkan, tapi kebaikan hatinya membuat Clarista seolah-olah tidak bisa jauh dari jangkauan Oliver selama ia hidup seorang diri di New York.
Ya, setelah diharuskan menimba ilmu di luar negeri oleh papinya, Clarista pun diwajibkan untuk hidup mandiri di kota tersebut. Hanya sekali dalam satu bulan ia dikunjungi oleh orangtuanya, itu pun tidak lama. Mungkin hanya sekitar dua sampai tiga hari saja mami atau papinya datang berkunjung. Di luar itu semua, mereka hanya menyempatkan diri untuk menanyakan kabar sang anak melalui layanan daring atau telepon biasa. Beruntung Clarista sudah terbiasa hidup tanpa didampingi orangtua sewaktu dulu, jadi dia merasa biasa saja walaupun kedua orangtuanya jarang menjenguk.
Hanya saja, sesekali Clarista pun merindukan suasana rumah. Meskipun selalu sepi, tapi dia rindu pada keadaan rumah termasuk kedua ART dan satu sopir pribadinya. Sudah dua tahun ini Clarista tidak merasakan kehangatan yang selalu mereka berikan di kala Clarista kesepian. Apalagi ia pun terkadang rindu dengan masakan Mbok Jenny atau Bik Minah. Sungguh, rasanya Clarista ingin sekali berjumpa dengan mereka dan menikmati hasil masakan mereka yang begitu lezat seperti dahulu kala.
Trak.
Clarista terkesiap kaget ketika jemari Oliver menjentik tepat di depan wajahnya. Kontan, gadis itu pun menoleh.
"Kau melamun?" tanya Oliver mengernyitkan dahi.
Sepintas, Clarista mendecak. "No. Aku tidak melamun, hanya saja ... mendadak aku merindukan suasana rumah di Indonesia," tutur gadis itu menghela napas.
Di tengah kegiatan mengemudinya, Oliver pun melirik walau hanya sesaat. Ia lihat, Clarista sedang menundukkan kepalanya diserta dengah wajah yang sedikit bermuram.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba merindukan rumah?" tanya Oliver lagi ingin tahu.
Lantas, Clarista pun mengangkat bahunya sejenak. "Entahlah, mungkin ... ini hal lumrah. Kau tahu betul bukan? Aku berada di sini hanya seorang diri. Bahkan, kedua orangtuaku hanya menjengukku setiap awal bulan baru saja. Maka, bukan hal aneh menurutku jika aku mendadak merindukan suasana rumah di sana," tukas sang gadis tersenyum samar.
"Hem, i see. But, memangnya di rumahmu ada hal apa saja? Maksudku, kenapa kau bisa merindukan rumahmu? Apakah ada sesuatu yang pantas untuk kau kenang di sana?" lontar Oliver lagi. Tampaknya dia memang sengaja ingin mencaritahu tentang apa-apa saja yang ada di rumah temannya itu.
"Banyak sekali, Oliver. Aku tinggal di sana dari mulai aku bayi. Banyak hal yang sudah aku lalui di rumah itu. Pahit, asam, manis, asin ... pokoknya, semuanya aku alami di sana. Meski terkadang, tidak jarang juga aku menangis sendirian di dalam kamar. Tapi, aku merindukan semuanya. Aku merasa ingin pulang. Tapi apa daya, aku masih memiliki kewajiban di sini. Menuntaskan pembelajaranku hingga mendapat gelar sarjana adalah salah satu impianku dan juga kedua orangtuaku...." urai Clarista mengutarakan impiannya.
"Good. Aku suka dengan pernyataanmu. Jadi, misalkan kau mempunyai tekad untuk menuntaskan kewajibanmu dalam menimba ilmu di sini. Maka jangan mudah terbawa arus. Tidak baik seandainya kau memiliki pemikiran untuk pulang ke Indonesia di saat seharusnya kau memokuskan segalanya ketika di sini. Kecuali sedang libur panjang, mungkin tidak masalah jika kau pulang sejenak."
Mendengar kata libur panjang, dalam sekejap mata Clarista pun berbinar. Oliver benar, hanya jika saat libur saja ia bisa kembali ke tanah airnya. Setidaknya, selama liburan ia bisa menghabiskan waktu untuk merajut kenangan yang dimilikinya selama di sana. Lagipula, bukankah musim gugur tinggal hanya satu bulan saja. Artinya, bulan berikutnya sudah memasuki musim dingin kan? Setelah itu, ia akan diberi libur dalam beberapa waktu tertentu sesuai kebijakan dari pihak kampus
Pasalnya, menjalani kuliah di New York sistemnya memang begitu. Ketika musim dingin datang, maka seluruh kegiatan biasanya dibatasi. Bahkan ada yang full diliburkan juga proses belajar mengajarnya. Maka, saat waktu itu tiba, mungkin Clarista bisa menggunakan kesempatan tersebut untuk pulang ke negara tercintanya.
"Oliver, sepertinya aku bisa pulang dulu ke Indonesia dalam waktu yang sudah bisa kuprediksi," cetus Clarista menerbitkan senyum gembiranya.
Sementara itu, seakan sudah bisa membaca gelagat sang gadis, Oliver pun hanya tersenyum simpul saja seraya mengaminkan keinginan Clarista yang sudah bisa ditebaknya dari cara gadis itu tersenyum sekarang.
***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, kini Oliver dan Clarista pun sudah tiba di museum historical society. Museum bersejarah yang didirikan pertama kalinya di kota New York. Bagi pecinta sejarah seperti Oliver Javier, mengunjungi museum di setiap minggunya itu adalah hal yang harus dirutinkan dalam daftar kegiatannya. Entah mengapa, Oliver ini sangat suka dengan sejarah. Padahal, jurusan yang diambil dari perkuliahannya bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah. Tapi ya begitulah, bukan Oliver namanya jika dia tidak memiliki kepribadian seunik itu.
Setibanya di museum yang dituju, mereka pun mulai menjelajahi setiap jalan yang dilaluinya. Terdapat banyak sekali koleksi tentang perang dunia 1 dan Presiden JFK. Untuk Clarista yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di sana, dalam sekejap ia langsung terpukau dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang. Setelah mengetahui betapa banyaknya koleksi harta yang tertata baik, barulah dia menyesal karena setiap kali Oliver mengajaknya ke museum tersebut, justru gadis itu malah berusaha untuk melontarkan berbagai alasan demi agar ia tidak jadi diajak ke tempat yang menurut pemikirannya akan sangat membosankan.
Namun setelah ia mengetahui banyak koleksi yang memukau mata, di detik ini juga, Clarista menyatakan bahwa museum tidak seburuk yang ia pikir. Percayalah, Clarista ini bukan tipikal orang yang menyukai hal-hal berbau sejarah. Tidak heran jika di SMA pun ia memilih IPA sebagai jurusannya. Tapi dimulai dari sini, Clarista pun sepertinya harus selalu hadir jikalau Oliver mengajaknya lagi ke museum yang terdapat di New York atau kota lainnya.
"Bagaimana pendapatmu?" tegur Oliver setelah beberapa saat mengamati berbagai pernak pernik yang ada.
Menoleh, Clarista pun mendecak kagum. "This is amazing. Aku tidak tahu kalau isi museum bisa semegah ini. Kukira, ketika aku masuk ke museum ... rasa bosan akan segera menyerbuku. Tapi hari ini, aku bahkan sangat takjub dengan apa yang kulihat di sekeliling museum ini," ujar Clarista sungguh-sungguh.
"Bukankah sudah kubilang sebelumnya. Kau sendiri pasti akan ketagihan jika sudah menyelami satu museum bersamaku. Mungkin, di lain waktu ... kau akan bersemangat seandainya aku mengajakmu lagi ke museum lainnya," tukas Oliver terkekeh. Kontan, membuat Clarista mendengkus seiring kembalinya ia mengedarkan pandang.
Di tengah keasyikannya yang sedang menikmati keunikan dari segala hal yang terpajang di setiap tempat yang ada, tiba-tiba ponsel Clarista pun berdering mengejutkan. Sontak, baik Oliver maupun Clarista si pemilik ponsel itu sendiri, keduanya kini sama-sama mengalihkan pandang ke arah sumber suara yang sedikit membuat mereka terkejut barusan. Lalu, ketika Clarista merogoh benda berisik tersebut yang bersemayam di dalam tasnya, ia pun menemukan nama yang sudah sangat tak asing lagi di ingatannya telah terpampang di layar saat ini.
"Siapa?" tanya Oliver melirik.
"Temanku dari Indonesia. Bolehkah aku menjawabnya sebentar?" lontar sang gadis meminta izin.
"Tentu saja. Selagi kau berbicara dengan temanmu itu, aku akan berjalan seorang diri ke arah sana...." putus Oliver menunjuk ke arah yang akan ditujunya. Kemudian, Clarista pun mengangguk bersamaan dengan dirinya yang sigap menerima panggilan masuk tersebut.
"Ya, Halo?" sambut gadis itu mengawali.
"Halo, Clarista. Saya hanya ingin mengingatkan, bulan depan saya sudah mulai prepare segalanya untuk pernikahan saya. It means, bulan berikutnya hari yang paling mendebarkan pun akan tiba. Seperti sebelumnya, apakah kau sudah memutuskan untuk datang ke acara sakral saya?" Seolah tak ingin berbasa-basi, si penelepon yang tak lain adalah Bara pun seketika menodongkan pertanyaan yang bahkan sudah berulang kali ia tanyakan kepada Clarista.
Memutar bola mata, gadis itu pun menyahut, "Lihat nanti aja ya, Om. Aku gak janji bisa dateng atau enggak...." kekeh Clarista sok misterius. Padahal, ia sendiri pun sudah bertekad untuk pulang ke Indonesia saat musim dingin di New York nanti melanda.