5. Memutuskan

1982 Kata
Sudah tiga hari ini, Carissa tidak tampak terlihat di sekitar Gerrald. Semenjak hari di mana Gerrald nyaris kelepasan membentaknya, gadis itu pun seolah menyengajakan diri untuk tidak menghubungi apalagi mendekati Gerrald meskipun ia melihat cowok itu ada di dalam jangkauannya. Entah kenapa dengan gadis itu, padahal biasanya dia paling tidak tahan untuk tidak menghampiri bahkan merecoki keseharian pacarnya. Namun sampai hari ini, Gerrald merasa kehidupannya jauh lebih tentram tanpa adanya Carissa yang mengganggu hari-harinya. "Kak Gerrald!" Sontak, si pemilik nama pun menoleh ketika ia mendengar suara adiknya memanggil dirinya. Sudah hampir setengah jam, Gerrald tampak anteng bermain game di ponsel pintarnya. Berhubung sedang tidak ada tugas dan kuis pun masih langka, cowok itu pun menggunakan waktu kosong tersebut dengan cara bermain game online tanpa mengenal waktu dan keadaan sekitarnya seperti apa. "Kakak lagi apa?" tanya Jesika yang kemudian ikut duduk di kursi sebelah meja di beranda rumah. "Kelihatannya lagi apa," balas Gerrald malah bertanya balik. "Lagi mandi," sahut Jesika sekenanya. Spontan, Gerrald pun mendecak sebal setelah mendengar ucapan adiknya yang ngawur. Namun karena ia sudah terlalu asyik dengan kemagerannya yang tak bisa diganggu gugat, maka Gerrald pun berusaha untuk tidak mengisengi adiknya yang sekarang turut mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. "Oh ya, Kak. Kok belakangan ini Jesika gak pernah lihat Kak Caca main lagi ke sini sih? Kalian putus?" cetus Jesika tiba-tiba. Seketika, hal itu pun membuat Gerrald mematung di tempat karena sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang adiknya lontarkan barusan. "Sotoy banget sih. Siapa yang putus?" sahut cowok itu setelah beberapa saat berhasil mengendalikan rasa terkejutnya. "Nebak doang sih, Kak. Lagipula, seingat Jesika ... terakhir kali Kak Diary gak main ke sini, beberapa hari kemudian hubungan kalian kandas. Ya mana tau sekarang juga kasusnya sama," tukas Jesika sembari mengangkat bahunya tak acuh. Mendengar nama Diary disebut lagi, tanpa diduga, hati Gerrald mendadak didera getaran aneh. Pikirannya pun seketika buntu. Padahal hanya baru mendengar namanya saja yang disebut oleh adiknya, apa jadinya jika ia kembali berjumpa secara tatap muka? Mungkin, Gerrald bisa langsung berubah menjadi patung di waktu itu juga. "Kak, ngomongin soal Kak Diary, sampe sekarang Kakak belum pernah sama sekali dapet kabar tentang dia ya? Maksud Jesika, pernah gak sih Kak Gerrald kontekan lagi sama Kak Diary? Baik lewat sosmed atau seenggaknya nemu berita dari teman yang lainnya gitu yang kebetulan suka masih komunikasi sama Kak Diary," tutur gadis itu menatap serius. Tanpa dia tahu, Gerrald kini sudah semakin tak bisa mengendalikan perasaannya jika yang dibahas itu mengenai mantan kekasihnya tersebut. Untuk sesaat, Jesika menghela napas. Meski ia belum mendapat jawaban sepatah kata pun dari kakaknya, tapi sepertinya gadis itu masih belum menyerah untuk memancing sang kakak supaya angkat bicara. Pasalnya, dia sangat yakin sekali kalau kakaknya itu masih memiliki rasa yang terpendam terhadap mantannya itu. Walaupun sekarang dia sudah memiliki gandengan baru yang tak lain adalah Carissa, tapi hati dan perilaku yang Gerrald tunjukkan pada pacarnya itu tidak bisa dibohongi. Malah, ketika Jesika tak sengaja memperhatikan keduanya saat sedang duduk bersama. Jangankan terasa nyaman, yang ada, Jesika malah merasa kalau kakaknya itu terlihat risi sekali sampai ia memilih untuk memokuskan perhatiannya pada ponsel ketimbang menanggapi celotehan pacarnya yang sibuk bercerita di sebelahnya. Seketika, Jesika pun mendadak kasihan pada Carissa. Padahal, Carissa itu gadis yang baik dan ceria. Tapi justru, kakaknya malah menjadikan gadis itu sebagai pelampiasan saja di balik hubungan asmara yang dijalinnya hingga saat ini. *** Petang baru saja berlalu. Langit sudah menampakkan warna gelapnya seiring berjalannya waktu merambat ke malam. Carissa baru saja selesai memasukkan kotak makan berisi cake hasil tangannya sendiri ke dalam tote bag hijau tosca kesayangannya. Sepanjang sore tadi, ia berkutat dengan segala jenis bahan pembuatan cake bronis di dapur rumahnya sendiri. Rencananya, ia hendak bermain ke rumah sang pacar. Tiga hari mencoba tak mengganggunya mungkin sudah lebih dari cukup. Meskipun Carissa ingin sekali mengurungkan niatannya yang hendak memberi waktu luang bagi sang pacar, tapi demi menciptakan kembali kenyamanan di antara hubungan mereka khususnya bagi Gerrald, maka mau tak mau Carissa pun mencoba untuk menahan diri agar tidak terlalu mengusik ketenangan kekasihnya. Kini, ia sudah siap untuk membawakan cake ke rumah sang pacar. Carissa berharap, semoga Gerrald sudah bisa diajak berbicara seperti biasanya. Walaupun terakhir kali Carissa sempat dibentak dan dipelototi oleh Gerrald, tapi hal itu tidak memberi pengaruh besar pada dirinya yang malah semakin cinta pada cowok itu. "Ca, kamu mau ke mana?" Tiba-tiba saja, Wenda--ibu dari Carissa--muncul menghampiri sembari menatap Carissa yang sudah menyampirkan tote bagnya di bahu sebelah kanan. "Eh, Ibu. Bikin kaget Caca aja deh." Gadis itu sejenak mengelus dadanya. Lalu, ia pun merapikan ikatan rambutnya untuk beberapa detik setelah hilang rasa kagetnya. "Kamu mau ke mana? Lupa ya kalo ini udah malam?" lontar Wenda berusaha mengingatkan. "Caca mau ke rumah Gerrald, Bu...." "Mau ngapain? Gak bisa besok aja?" ujar Wenda mengernyitkan kening. "Gak bisa. Caca udah telanjur bikinin cake buat Gerrald. Kalo dikasihinnya besok bakalan gak enak, Bu. Tau sendiri kan, sekalipun dimasukin lemari es tapi rasanya gak akan seenak dadakan," tukas Carissa bersikeras. "Tapi, Sayang. Ini sudah malam. Gak baik kalo kamu pergi sendirian di malam kayak gini," ucap Wenda menyentuh bahu sang anak. "Bu, percaya deh ... Caca pasti baik-baik aja, kok. Lagipula, nanti juga pulangnya pasti dianterin sama Gerrald. Tenang aja. Ya, Bu?" balas Carissa begitu keukeuh. Jika sudah begitu, rasanya Wenda pun tidak bisa banyak berkomentar lagi. Alhasil, selain memberikan izin dan mendoakan agar anaknya itu selalu dilindungi oleh Yang Maha Kuasa dari segala marabahaya yang berpotensi mengancam, Wenda pun tidak bisa melarangnya lagi mengingat Carissa mempunyai sifat yang sulit dicegah. *** Gerrald menguap. Sehabis makan, rencananya ia mau tidur lebih awal malam ini. Besok ada kuliah pagi, jadi sudah semestinya Gerrald tidur cepat jika besok tidak ingin terlambat bangun yang bisa menyebabkan dirinya kesiangan ngampus. Maka, tanpa perlu banyak berpikir panjang lagi, kini ia pun sudah siap bergegas menuju kamarnya seusai pamitan pada bunda dan juga adiknya yang masih sibuk dengan isi dalam piringnya masing-masing. Akan tetapi, saat baru saja cowok itu hendak mengayunkan kedua kakinya guna melangkah, tahu-tahu sebuah dentingan bel pun berbunyi. Membuat mereka yang mendengar secara kompak saling melempar pandang bertanya-tanya perihal siapakah yang datang bertamu di malam ini? "Jes, Bunda yang buka atau kamu aja?" lontar Tasya melancarkan aksinya. Mengingat itu adalah jurus ampuh sang bunda yang mengandung unsur kode dalam menyuruh, mau tak mau Jesika pun memberikan jawaban bahwa biar dia saja yang membukanya. Kontan, hal itu pun membuat Tasya terkekeh geli. Sementara itu, karena pintu sudah akan dibuka oleh adiknya, Gerrald pun bertekad untuk melanjutkan lagi niatannya yang hendak pergi ke kamar. Untuk ke dua kalinya, sebelum sempat cowok itu benar-benar tiba di depan pintu kamarnya, malah ia baru saja melenggang beberapa langkah, tiba-tiba sebuah seruan yang muncul dari suara melengking Jesika pun terdengar jelas di telinga Gerrald. "Kakak, ada Kak Caca nih!" Mendengar hal itu, mendadak kekesalan pun seakan kembali merayapi kedalaman hatinya. Padahal ia sudah berniat untuk tidur lebih cepat bukan? Tapi justru tamu tak diundang malah datang di waktu yang tidak tepat. Niat hati ingin mengabaikan, apalah daya jika bundanya sudah turun bicara seolah mendorong anak lelakinya itu supaya segera menemui gadis yang sejauh ini masih dipacarinya. "Temui dia atau kamu akhiri malam ini juga," cetus Tasya memberikan pilihan.  Di tengah kekesalannya yang kian menjadi, Gerrald pun tercenung. Entah apa yang menyebabkan bundanya berbicara seperti itu. Namun, tidak ada yang salah dari perkataannya. Bahkan, Gerrlad pun seolah termotivasi dengan ucapan sang bunda. Maka, seakan sudah mengambil keputusan yang memang sudah seharusnya Gerrald lakukan sejak di awal dulu, kini ia pun bertekad untuk merealisasikannya tanpa segan lagi. "Kak Gerrald!" panggil Jesika lagi. Sontak, cowok itu pun terkesiap kaget dalam lamunannya. Lantas, ketika ia sudah keluar dari zona termenungnya, kini ia pun seolah sudah siap dalam menghadapi perihal yang sudah cukup berhasil mengusik kenyamanannya sejauh ini. "Iya bentar!" balas Gerrald agak membentak.  Untuk sesaat, suara lantang itu cukup berhasil membuat Tasya terperanjat dari duduknya. Namun, setelah melihat Gerrald pergi melengos menuju ruang depan, Tasya pun hanya bisa menggelengkan kepala di tengah helaan napas penuh sabarnya. Diiringi dengan seretan malas, Gerrald akhirnya sampai juga di teras rumah. Dilihatnya, Carissa sedang berbincang santai dengan adiknya. Tidak ada hal lain lagi yang bisa mereka bahas, jika bukan soal drama korea yang sama-sama diminatinya, maka mungkin kedua gadis itu sedang merumpi masalah artis k-pop yang sedang banyak digandrungi para bucinnya masing-masing. Menyadari itu, Gerrald bahkan sudah merasa muak. "Jes, dipanggil Bunda tuh!" Tahu-tahu, Gerrald berseru serta mengutarakan ucapan tak jujurnya terhadap sang adik.  Menoleh, Jesika pun menatap kakaknya dengan dahi yang mengernyit. "Masa? Emangnya Bunda mau apa, Kak?" lontar gadis itu malah bertanya. Padahal, Gerrald sengaja berbohong seperti itu hanya demi agar Jesika memberikan waktu untuk dirinya dan Carissa supaya bisa berbicara serius. "Mana Kakak tau. Samperin dulu sana! Jangan jadi anak bontot yang durhaka! Nanti kehidupan kamu bakalan sulit kalo sampe melalaikan panggilan bunda sendiri...." tukas Gerrald tiba-tiba berdalil. "Dih, sejak kapan Kak Gerrald kesurupan jin islam kayak gitu? Kakak salah makan ya pasti?" ujar Jesika sembari beranjak dari duduknya. "Yee, dibilangin juga malah balik ngeyel. Udah sana, diomelin Bunda tau rasa kamu!" usir Gerrald sembari menarik lengan Jesika agar segera masuk. "Sabar dikit napa sih, Kak. Bilang aja kalo Kak Gerrald gak mau diganggu pas lagi berduaan sama Kak Caca. Huu, gitu aja kok ribet!" celetuk Jesika yang kemudian langsung melarikan diri saat melihat kakaknya hampir melayangkan jitakan supernya tersebut. Lantas, sepeninggalnya Jesika yang sudah berlari ke dalam, kini hanya tersisa Gerrald dan Carissa yang saat ini sedang mengulas senyuman lebarnya.  "Hai, Ger!" sapa gadis itu melambaikan sebelah tangannya. "Mau apa kamu ke sini malam-malam?" lontar Gerrald to the point. Bahkan, ia pun seolah tidak mau repot-repot untuk sekadar berbasa-basi pada sang gadis. Diberi pertanyaan superketus seperti itu, tentu saja Carissa sedikit terluka. Padahal, ia pikir Gerrald sudah bisa bersikap seperti sedia kala kepadanya. Tapi jika diperhatikan, sepertinya cowok itu masih merasa kesal pada Carissa. Lalu selama 3 hari ini, apa tidak cukup bagi Gerrald meredakan kekesalannya terhadap sang pacar? "Kamu masih bete ya sama aku?" tegur Carissa menatap serius. Untuk sesaat, Gerrald pun menarik napas dalam-dalam. Hingga akhirnya, ia embuskan dalam satu desahan yang panjang.  "Aku salah apa sih sama kamu? Perasaan, aku gak lagi bikin kesalahan fatal kan? Tapi aku perhatiin, kok kamu kayak yang berubah banget sama aku. Apa jangan-jangan, kamu ada perempuan lain ya? Sampai-sampai, kamu bisa berubah sedingin ini sama aku...." Dengan perasaan tak keruan, Carissa pun berusaha untuk mencari tahu perihal apa yang terjadi pada pacarnya itu.  Seingatnya, ia bahkan belum pernah merasa berbuat yang tidak-tidak sampai bisa menyebabkan Gerrald kesal padanya dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Lantas, apa masalahnya? Jika bukan Carissa yang salah, apa Carissa boleh menuduh Gerrald yang sedang berusaha mencari-cari alasan agar tidak bertemu dengan Carissa? "Aku pengen kita putus, Ca!"  Bak disambar petir tanpa diiringi dengan turunnya hujan deras, kini tubuh Carissa pun mematung. Pandangannya lurus menatap Gerrald dengan sorot tak menyangka. Lidahnya pun mendadak kelu seakan ia sulit sekali untuk sekadar melafalkan huruf A. Sungguh, berita buruk macam apa yang baru saja Carissa dengar? Tidak ada badai apalagi topan, tahu-tahu cowok itu ingin putus darinya? "Sori to say, Ca. Tapi, sekeras apapun usaha gue buat buka hati dan terima lo sepenuhnya, justru semakin gue ngerasa tertekan. Oke, lo cewek yang baik. Lo juga sangat layak dicintai balik. Tapi, Ca ... entah kenapa, gue kok gak bisa mencintai lo sepenuh hati. Malah, saat gue semakin memaksakan diri buat buka hati untuk lo ... saat itu juga gue ngerasa gak nyaman. Jadi, Carissa ... gue minta maaf sama lo. Tapi, gue emang harus akhiri semuanya malam ini juga. Terlepas dari itu semua, kita masih bisa berteman kayak dulu. Lo juga masih bisa main ke sini kalo mau. Tapi untuk melanjutkan atau pun mempertahankan hubungan, sori ... gue belum sanggup, Ca." Tetes demi tetes air mata kini mulai meluruh membasahi pipi gadis itu. Meski belum ada kata yang terucap sebagai balasan untuk serentetan kalimat yang sudah Gerrald utarakan barusan, tapi seakan sudah menjadi kebiasaan, Carissa akan menjatuhkan air mata di saat ia menghadapi dua keadaan. Pertama, saat hatinya bahagia tak terkira dan kedua, saat seseorang berhasil telak melukai perasaannya. Dan malam ini, Carissa telah mengalami keadaan yang ke dua. Tanpa bisa dipungkiri, hati Carissa sudah patah berkeping-keping pasca mendengar ungkapan keputusan yang tengah Gerrald lontarkan secara nyata dan gamblang di hadapannya kini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN