Jakarta, Rabu-pukul 10.00 WIB
"Come on, Ger. Lo gak perlu berlagak gak ngerti kayak gitu. Si Diary tinggal di sana cuma sendiri kan? Dan gue denger kabar dia lagi deket sama bule asli sana. You know what i mean? Bisa aja mereka udah main-main sesuka hatinya tanpa ada larangan dari pihak mana pun. Siapa yang tau kan?"
Sekeras apapun Gerrald berusaha mengenyahkan perihal apa yang sudah Petra utarakan, tapi yang ada malah kalimat itu selalu terngiang kembali di pendengarannya. Seolah sudah melekat juga di benaknya, Gerrald bahkan merasa terganggu dengan pernyataan Petra yang tak berdasar.
"Cowok b*****t! Mana mungkin mantan gue seliar itu. Gue tau betul, Diary gak seburuk yang dia pikir. Meskipun sekarang dia tinggal di luar negeri, tapi gue yakin dia gak akan terbawa sama arus buruk yang ada di sana," gumam Gerrald berusaha untuk tidak terpengaruh dengan semua kalimat yang sudah ia dengar dari Petra tadi.
Cowok itu kini sedang berada di taman kampus yang luasnya hampir setara dengan lapangan sepak bola. Sebelum memasuki kelas mata kuliah pertamanya, dia butuh penyegaran supaya hati dan pikirannya bisa ia ajak untuk berkonfromi. Maka, demi mengendalikan diri serta emosi yang kini masih melekat dalam dirinya, Gerrald pun berulang kali menarik napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan.
"Lagi pemanasan mau olahraga ya?" Tanpa diundang, tiba-tiba saja sebuah suara yang sudah tak asing lagi telinga Gerrald melontarkan pertanyaan isengnya. Sontak, Gerrald pun sigap menoleh dan mendapati sosok Carissa yang saat ini sedang berdiri di sebelah bangku yang Gerrald duduki sembari melambaikan sebelah tangannya.
Mendadak, kedua alis cowok itu pun terangkat kompak. "Elo?"
"Hai, Ger! Omong-omong, kamu lagi apa di sini? Bukannya pagi ini seharusnya kamu ada kelas ya?" tegur gadis itu seakan dirinya masih memiliki wewenang untuk sekadar menyapa cowok yang jelas-jelas sudah memutuskannya tempo hari.
Terlihat kentara sekali kalau Gerrald merasa tak suka melihat kehadiran Carissa yang tak pernah diharapkannya. Terbukti dengan cara dia langsung beranjak seakan ia sudah siap untuk melengos pergi sekaligus mengabaikan lontarannya barusan.
"Eh, Ger!" seru sang gadis yang begitu tahu betul bahwa cowok itu hendak melangkah pergi.
"Apa sih?" sentak Gerrald menatap risi.
"Ini, aku cuma mau kasih ini aja ke kamu. Sori ya, aku hampir lupa kalo dulu pernah pinjam jaket adik kamu sewaktu kamu anterin aku pulang pas lagi gerimis," ujar Carissa sembari menyodorkan jaket berwarna merah marun yang Gerrald ketahui memang milik Jesika.
Sekilas, Gerrald pun mendecak. "Itu kan punya Jesika. Kenapa lo kasih ke gue?" tatap Gerrald tak habis pikir.
"Ya kan kamu kakaknya. Maksud aku, mungkin aku bisa titip ini sekalian biar kamu balikin ke Jesika pas di rumah nanti," balas Carissa mengutarakan alasannya.
"Males banget. Lo balikin aja sendiri ke orangnya!" tolak Gerrald yang begitu enggan.
"Tapi, Ger. Kita kan udah putus, lebih tepatnya ... kamu kan udah putusin aku," cicit gadis itu menunduk sedih.
"Terus?" tanya Gerrald menaikkan sebelah alisnya.
"Ya menurutku, gak enak aja gitu kalo semisal aku main ke rumah kamu ... tapi dalam kondisi aku yang udah bukan pacar kamu lagi. Nanti, dikiranya aku--"
"Serah lo kalo gitu," potong Gerrald benar-benar tak mau ambil pusing.
"Maksud kamu?" lontar Carissa lagi menatap tak mengerti.
Lagi-lagi, Gerrald mendecak jengah. "Kalo lo mau niat balikin jaket itu ke ade gue, ya lo datang aja dengan tujuan itu. Tapi kalo lo gak niat sama sekali, lo bisa buang jaket itu. Toh ade gue masih punya jaket yang lain!" tandas Gerrald menyarankan.
Carissa terdiam. Harapannya yang ingin bisa berdekatan lagi dengan Gerrald sepertinya sudah tidak akan bisa direalisasikan. Tampaknya, cowok itu memang sudah mendepak nama Carissa di dalam hatinya, atau bahkan, dia memang tidak pernah benar-benar memposisikan gadis itu sebagai--setidaknya--orang yang sempat mewarnai kehidupannya selama setahun ini.
Menyadari keterdiaman sang gadis, Gerrald pun hanya bisa melayangkan tatapan datar serta rasa tak pedulinya. Lalu, seakan ia sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk sekadar menanggapi omongan Carissa, lantas kini cowok itu pun mulai bersiap diri guna mengayunkan kedua kakinya.
Akan tetapi, belum sempat Gerrald melangkah lebih jauh, tiba-tiba saja Carissa berseru, "Atas dasar apa sih kamu bisa sampe benci sama aku, Ger? Apa karena kamu masih terjebak di kisah asmara masa lalu, terus kamu bisa seenak jidat perlakuin aku kayak gini?"
Dalam sekejap, Gerrald pun menghentikan pergerakannya dan mematung di tempat seolah mendadak seluruh syaraf motoriknya tak dapat difungsikan seperti pada umumnya.
***
Andaikan aku,
Tak tergesa memutuskanmu,
Karena egoku, hati ini tak akan begini,
Setiap ingat dirimu, rasanya ingin kembali....Mungkin,
Ingin bertemu masih ada,
Ingin memeluk masih ada,
Sayang kini tak bisa,
Kau telah memilihnya....
(Brisia Jody ft Arsy Widianto - Rindu dalam hati)
New York, Kamis- pukul 2 PM.
Meski kuliah dan tinggal di New York, tapi Clarista tak pernah gengsi untuk mendengarkan lagu-lagu yang dilantunkan oleh penyanyi Indonesia. Sebab, walau bagaimanapun juga, Clarista masih penduduk Indonesia. Maka, tidak ada hal yang bisa membuatnya gengsi ketika ia memilih untuk mendengarkan playlist musik yang dinyanyikan para penyanyi tanah air. Seperti halnya yang sedang ia lakukan saat ini tepatnya di taman kampus. Tatkala sebagian orang sedang hilir mudik atau bercengkerama dengan temannya masing-masing, justru gadis itu malah sedang fokus dalam lamunannya di tengah kedua telinganya yang disumpal oleh earphone bluetooth yang otomatis tersambung ke playlist musik di ponsel pintarnya.
Sesekali, dia pun ikut bersenandung. Tapi sayang, Clarista tidak hafal dengan semua lirik lagu yang sedang didengarkannya sedari tadi. Betapa lagu itu sangat mewakili dirinya yang sedang didera rasa rindu sejak semalam tadi. Bahkan, Oliver yang semula hendak ia kelabui pun malah bisa menebak dengan sangat tepat mengenai sang gadis yang sempat diterpa rasa gelisah yang menghantui. Apalagi, Oliver sempat mencap gadis itu sebagai pembohong yang buruk. Semenjak itu, Clarista pun sudah benar-benar tidak bisa lagi menyembunyikan apapun dari lelaki sepeka Oliver Javier.
Di tengah kegiatannya yang masih mendengarkan musik dengan pandangan kosong mengarah lurus pada diktat di tangannya, tiba-tiba sebuah tepukan yang cukup mengejutkan mendarat telak di bahu sang gadis. Secara refleks, ia pun kini menengok ke asal tepukan. Rupanya, teman perempuannyalah yang kini sedang berdiri di belakangnya sembari mengernyitkan dahi penuh keheranan.
"Lagi apa?" tegur temannya itu. Dia adalah Paramita, mahasiswi asal Indonesia yang kebetulan kuliah di kampus yang sama bahkan satu jurusan dengan Clarista.
"Eh, hai. Bikin kaget aja," ucap gadis itu lantas mendengkus. Kemudian, ia pun segera mematikan putaran musiknya seraya melepas earphone-nya juga seiring duduknya Paramita di bagian kosong yang ada di sisi kanan Clarista.
"Kamu lagi apa sih?" tanya Paramita kembali mengulang.
"Ini, aku lagi baca-baca aja. Bentar lagi kan kita ada kelas, jadi ... aku iseng aja baca materi sendirian di sini. Hehehe."
Namun, sepertinya Paramita bukan tipikal orang yang mudah percaya begitu saja. Tanpa disangka, ia pun menilik ke bagian sampul buku yang Clarista pegang entah sejak kapan. Lantas, Paramita pun terkikik geli ketika ia melihat sedikit kejanggalan dari buku yang dipegang temannya tersebut.
"Kenapa? Kok tiba-tiba ketawa. Kamu gak lagi kerasukan kan, Mit?" lontar Clarista menatap aneh.
Sejenak, Paramita pun berdeham demi meredakan kikikkannya. Sekilas, Clarista malah merasa kalau kikikkan temannya itu sedikit mirip dengan salah satu jenis hantu yang ada di Indonesia. Beruntung di New York tidak ada hal sejenis itu, maka Clarista masih aman sekalipun ingin mencela si mbak Kun.
"Kenapa sih?" tatap Clarista semakin tak paham.
Pasalnya, kini Paramita malah memokuskan pandangannya ke arah sampul buku yang Clarista pegang. Spontan, gadis itu pun mengikuti arah pandang yang Paramita tujukan. Sampai ketika Clarista sendiri melihat sampul buku yang dipegangnya terbalik, barulah ia paham tentang kenapa Paramita tiba-tiba terkikik tanpa ia ketahui alasannya sebelumnya.
"Astaga," desis Clarista sambil buru-buru membalikkan letak bukunya secara benar. Lantas, hal itu pun mengundang kembali Paramita untuk tertawa yang membahana bukan lagi sebuah kikikkan semata.
Di tengah Paramita yang masih asyik tertawa meski sebenarnya hal itu tidak lucu sama sekali di mata Clarista, tahu-tahu Oliver pun muncul sembari menatap heran ke arah Paramita yang belum juga menghentikan tawanya tersebut.
"What happened? Kenapa gadis ini tertawa sebahagia itu? Apakah dia baru saja memenangkan lotre?" seloroh Oliver mengernyit heran. Bahkan, kini tatapannya pun memusat fokus pada Paramita yang ujung-ujungnya terbatuk-batuk saking ia girangnya menertawakan sikap salah tingkah Clarista pasca tertangkap basah sedang membaca buku dengan sampul terbalik.
"Udah kali, Mit. Girang amat sih kamu ketawain aku," hardik Clarista mendengkus sebal.
"Ya lagian, kamu ada-ada aja sih. Masa bisa-bisanya baca buku dengan posisi kebalik gitu. Yang ada, mata kamu berubah juling entar...." tukas Paramita geleng-geleng kepala.
"I am here!" seru Oliver yang merasa tak dihiraukan. Sontak, perhatian Clarista dan Paramita pun kini langsung beralih menatap si lelaki berambut tembaga yang sedang berdiri dengan kedua tangan diletakkan di masing-masing pinggangnya.
"I am sorry, Mr. Javier. But, it so fun for me," ujar Paramita nyengir lebar.
"Lalu, apa yang membuatmu sampai tertawa seperti barusan? Apakah ada hal yang lucu yang tidak kuketahui?" tanya lelaki itu yang merasa penasaran sekali dengan penyebab Paramita bisa tertawa sepuas hati layaknya yang terjadi sesaat lalu.
"Tidak usah kau hiraukan, Oliver. She is crazy!" sahut Clarista sembari beranjak dan mengemasi buku serta ponselnya ke dalam tas yang tersampir di bahu kanannya.
"Really?" pekik Oliver tak percaya.
"Kau percayai saja ucapan Clarista. Setidaknya, dia tidak ingin kau melakukan hal serupa yang sudah lebih dulu aku lakukan...." tukas Paramita mengangkat bahu tak acuh.
"Shut up, Paramita!" seru Clarista lagi setengah memelotot. "Mending kamu diem aja deh. Gak usah racunin otak bule ini dengan pikiran gila kamu! Cukup kamu aja yang sedeng. Selebihnya, aku pamit undur diri buat pergi ke kelas duluan," cetus Clarista yang selalu mengubah bahasa bicaranya menjadi ke bahasa Indonesia setiap kali ia berkomunikasi dengan sesama mahasiswa/i yang berasal dari negara yang sama.
"Where are you going?" lontar Oliver kala melihat Clarista sudah siap melenggang pergi. Kemudian, yang dilontari pertanyaan pun spontan menoleh.
"Aku ada kelas. Kalau sudah selesai, aku akan menghubungimu...." sahut Clarista tanpa basa-basi. Lantas, ia pun segera melenggang meninggalkan Oliver dan Paramita yang juga sedang bersiap beranjak dari duduknya.
"I have to go. Bye, Mr. Javier!" pamit Paramita sembari turut bergegas menyusul kepergian Clarista yang sudah sedikit jauh dari jangkauannya.
"Tunggu sebentar!" seru Oliver menghentikan langkah Paramita sebelum ia benar-benar menjauh.
"Ada apa?" tanya perempuan itu tanpa mau repot menoleh.
"Apa yang terjadi pada Clarista? Apakah dia sempat mengatakan sesuatu padamu?"
Demi mencari tahu perihal yang terjadi pada teman karibnya, Oliver pun sampai memberanikan diri untuk bertanya pada Paramita. Paling tidak, Paramita dan Clarista itu selain satu negara juga sesama perempuan. Biasanya, jika pada sesama gender, mereka akan saling terbuka. Maka, siapa tahu Oliver bisa mendapatkan informasi tentang masalah yang selama ini Clarista sembunyikan dari Paramita. Untuk itu, tidak ada salahnya bukan jika lelaki itu ingin sedikit menanyai perempuan tersebut?
Dalam posisinya, Paramita pun mendesah kasar. Lalu, menolehkan kepala dari balik bahunya, ia lantas berkata, "Sayangnya kau bertanya pada orang yang tidak tepat, Mar. Javier. Aku tidak tahu permasalahan apa yang dimiliki Clarista. Bahkan, kami pun saling mengenal hanya saat kami berdua sama-sama kuliah di kampus yang sama. Tidak ada sedikit pun persoalan yang aku ketahui dari teman satu negaraku itu. Maaf, tapi aku mengatakan yang sebenarnya di kesempatan ini...." pungkas Paramita mengutarakan apa adanya.
Lalu, ketika ia merasa sudah cukup dengan penjelasannya, kini ia pun kembali berjalan menapaki rerumputan hijau di sepanjang taman kampus yang banyak digunakan sebagai tempat bercengkerama bagi mereka yang ingin melepas penat selain pergi ke kantin.
***
Jakarta, Kamis-pukul 2 dini hari.
Tidak seperti biasanya, Gerrald terbangun secara mendadak tepat di waktu dini hari tiba. Sambil menguap, ia pun menggaruk kepalanya yang sedikit gatal di tengah rambutnya yang berantakan. Tanpa diduga, perutnya pun keroncongan. Seolah cacing di dalam sana sedang menagih jatah makan malam yang sudah cowok itu lewatkan ketika dirinya lebih memilih tidur ketimbang ikut bergabung dengan bunda dan adiknya yang tahu-tahu mengajak Carissa agar ikut makan malam bersama.
Ya, dengan kenekatannya, gadis itu datang berkunjung di waktu makan malam akan berlangsung. Tentu saja hal tersebut pun mengusik kembali ketenangan Gerrald yang tak menyangka bahwa Carissa akan kembali datang ke rumahnya. Walaupun tujuannya hendak mengembalikan jaket yang pernah dipinjamnya dari Jesika, tapi tetap saja, Gerrald tidak suka seandainya gadis itu bersikap sok akrab terhadapnya. Bukankah sudah Gerrald tekankan di taman kampus kemarin saat dia mengajukan pertanyaan padanya?
"Gue gak benci sama lo, Ca. Tapi gue ngerasa gak nyaman tiap kali lo lagi ada di sekitar gue. Dan soal anggapan lo tentang masa lalu ... gue rasa itu bukan urusan lo! Sekalipun memang iya, tapi lo gak berhak buat tau tentang hal itu. Jadi mulai sekarang, berhenti kepoin urusan pribadi gue. Dan jangan bertingkah seolah lo itu masih punya hubungan spesial sama gue. Paham?"
Walau tak berniat untuk mengingatnya kembali, tapi secara spontan ucapannya itu kembali ia dengar melalui benaknya. Seketika, cowok itu pun mengembuskan napasnya kasar seraya beranjak dari tempat tidurnya guna menyatroni dapur demi mendapatkan makanan apa saja yang bisa ia santap untuk mendiamkan para cacing yang sedang berdemo di dalam perutnya kini.