Gerrald benar-benar melangkahkan kakinya menuju dapur. Tanpa bisa dihentikan, perutnya terus menerus menimbulkan bunyi berisik pertanda si cacing sudah tidak mau menunggu lagi. Entah kenapa, mereka senang sekali berdemo di dini hari seperti ini. Padahal, besok pagi juga kan masih bisa.
"Dasar cacing gada ahlak!" umpat cowok itu di tengah langkahnya.
Tanpa berniat menghentikan ayunan langkahnya yang baru saja melewati tengah rumah, Gerrald pun menguap dulu tanpa perlu ia tutupi dengan tangan. Lagipula, tidak akan ada yang melihatnya ini. Secara, bunda dan adiknya pasti sedang anteng di alam mimpi jika masih jam segini. Tapi, sekalipun mereka lihat saat Gerrald tengah menguap lebar seperti barusan, Gerrald rasa itu bukan masalah besar. Menguap itu hal yang sangat lumrah bukan? Jadi, kenapa harus repot-repot ditutupi. Pikir cowok itu kritis.
Kini, ia pun sudah tiba di dapur yang selalu kinclong jika tidak sedang digunakan. The Power of bunda Tasya. Satu-satunya orang yang gak pernah betah kalau melihat dapurnya berantakan apalagi kotor sedikit. Sambil mengusap perutnya, Gerrald pun beringsut mendekati lemari es yang kemudian pegangannya ia tarik hingga terbuka. Saat pintu dibuka, seketika hawa dingin pun menguar dari dalam sana.
"Wah, ada pizza...." gumam cowok itu dengan mata berbinar.
Melihat sekotak pizza yang entah isinya masih utuh atau sudah terambil, mendadak perutnya pun semakin berisik. Ibarat cacing di dalam sana bisa melihat dari dalam secara tembus pandang, mereka meronta-ronta mendorong Gerrald agar segera melahap pizza tak bertuan itu.
"Punya siapa ya? Bunda sengaja beli, atau ini titipan orang?" tanya Gerrald pada diri sendiri.
Sejujurnya, Gerrald sudah ingin sekali mengambil kotak pizza tersebut dan menyantap isinya tanpa pikir panjang. Tapi, bagaimanapun juga Gerrald harus tahu dulu siapa pemilik sah pizza tersebut. Dia tidak terbiasa memakan atau menggunakan barang orang lain tanpa seizin orang itu sendiri. Takut kualat. Pikirnya.
Maka, demi memastikan agar ia memakan pizza-nya secara nyaman, berkah, halal dan terkendali, kini ia pun bertekad untuk menghampiri kamar sang adik sekaligus bertanya kepadanya mengenai pizza yang ditemukannya di dalam lemari es tadi.
Lantas, seolah ia sudah membulatkan tekadnya untuk mendatangi kamar Jesika, Gerrald pun kembali menutup lemari esnya dan menahan diri untuk tetap sabar sampai ia bisa menyantapnya dengan bebas. Lalu, langkahnya pun mulai diayunkan meninggalkan dapur. Sampai ketika cowok itu tiba di depan pintu kamar Jesika, mula-mula ia pun menerapkan adab mengunjungi ruangan orang lain sesuai aturannya. Walaupun itu kamar adiknya, tapi Gerrald tetap harus berperilaku sopan dengan tidak asal masuk yang bisa menyebabkan si pemilik kamar merasa tidak nyaman. Hingga akhirnya, ia pun mengangkat sebelah tangannya dan mulai mengetuk pintu di hadapannya dalam batas wajar.
"Jes!" seru Gerrald merendahkan suaranya. Dia tidak mungkin berteriak juga kan, bisa-bisa, yang terbangun malah bundanya dan berujung mengomeli dirinya karena sudah mengganggu waktu berkualitasnya di waktu sedini ini.
"Jesika!" panggilnya lagi sembari menggaruk tengkuk. Sigap, ia pun kembali mengetuk pintunya lagi seolah masih berupaya keras untuk membangunkan adiknya yang mungkin saja sedang berkelana di alam mimpi.
"Tidur apa koma sih dia. Dipanggil-panggil kok gak ada nyaut sama sekali," gerutu cowok itu mendengkus kasar.
Lantas, saat Gerrrald sudah berniat untuk membalikkan badannya dan mencari makanan lainnya saja daripada tiba-tiba harus sakit perut karena memakan pizza yang belum tahu juntrungannya milik siapa. Tak lama kemudian, dari arah dalam pun terdengar suara orang yang sedang berusaha membuka kunci di pintu tersebut.
Kontan, Gerrald pun menerbitkan senyuman lebarnya. Tidak percuma ia memanggil-manggil adiknya sejak tadi. Akhirnya, Jesika pun terbangun juga setelah beberapa kali Gerrald mengetuk-ketuk pintu itu hingga sebelumnya ia sudah hampir putus asa. Namun, ketika Gerrald kembali berbalik ke arah pintu, bersamaan dengan itu pintu di hadapannya pun terbuka. Saat dipikirannya bahwa Jesika yang kini muncul dari balik pintu tersebut, justru malah sosok lainlah yang saat ini tengah berdiri setengah canggung yang seketika membuat pupil mata Gerrald melebar sempurna.
***
Meski diseret Gerrald, tapi Carissa tidak berusaha meronta apalagi berontak. Dia lebih ke mengikuti saja ke mana pun cowok itu hendak membawanya. Malah, Carissa akan sangat senang seandainya Gerrald membawa ke atas pelaminan sekalipun. Dalam sekejap, lamunan konyolnya pun buyar kala Gerrald mengempaskannya setibanya di teras rumah.
Wushh~
Tanpa bisa dicegah, embusan angin malam pun menerpa nakal menyentuh kulit lengan Carissa yang kebetulan tak terhalangi kain piama yang melekat di tubuhnya yang dipinjamnya dari Jesika.
"Ca, lo ngapain tidur di rumah gue?" lontar Gerrald langsung pada inti.
Setengah bergidik, gadis itu pun kini menatap cowok di hadapannya dengan raut wajah yang seceria biasanya.
"Aku disuruh nginep sama bunda kamu, Ger...." ujar Carissa mengemukakan alasan kenapa ia bisa sampai menginap di rumah cowok tersebut.
"Bohong!" sentak Gerrald tak mudah percaya.
"Aku bicara apa adanya. Kalo gak percaya, kamu tanyain aja sama Jesika. Orang dia juga kok yang dukung aku biar nginep di sini," tukas Carissa mengatakan yang sebenarnya.
Sekilas, Gerrald pun mendengkus. Lalu, ia pun mengusap mukanya kasar sembari sedikit menggeram.
"Tujuan lo apa sih sebenernya?" tanya Gerrald seakan sudah habis kesabaran.
Mengerjap, Carissa pun berusaha menjawab apa adanya. "Aku gak ada maksud apapun kok. Cuman, tadi tuh aku sebenernya udah siap-siap mau pulang. Tapi tiba-tiba aja bunda kamu larang aku buat pulang. Katanya bahaya kalo aku maksain diri pulang malem-malem. Gak baik juga katanya kalo cewek pulang sendirian apalagi di sepanjang jalan komplek sini suasananya selalu sepi. Terus, Jesika juga bilang ... mending turutin aja apa katanya bundanya. Toh itu pun demi kebaikan aku juga. Gitu katanya...." terang Carissa begitu rinci.
"Terus lo nerima aja?" lontar Gerrald berkacak pinggang.
"Aku gak enak sama mereka, Ger. Lagipula, cuman malem ini aja kok aku nginep di sini. Gak akan selamanya juga. Kecuali...." ucap Carissa tak sampai selesai. Tiba-tiba, gadis itu pun mesem-mesem tidak jelas yang menyebabkan cowok di hadapannya memicing penuh curiga.
"Kecuali apa?" tatap Gerrald penasaran juga.
"Kecuali kalo kamu mau jadiin aku sebagai istri kamu. Mungkin, aku akan tinggal selamanya di sini sambil berbakti sama kamu sebagai suami aku," cetus gadis itu terkikik. Kentara sekali kalau Carissa begitu memiliki harapan yang besar untuk masa depannya kelak. Namun setelah mendengar kalimat sejenis itu, mendadak amarah Gerrald pun membuncah.
"Gak lucu! Lo bisa gak sih kalo ngomong itu disaring dulu. Gak usah asal jeplak! Siapa juga yang mau nikahin lo. Bukannya gue udah bilang kalo gue gak ada perasaan cinta sama lo? Kenapa ngeyel banget sih jadi orang. Lo paham kan arti dari kata gak bisa cinta? Kalo lo masih aja bersikeras buat deketin gue dan bikin gue berubah pikiran, itu sama aja kayak lo maksain kehendak lo sendiri sama gue. Dan gue sama sekali gak suka sama sikap dan perlakuan lo yang norak kayak gitu. Paham?" cerca Gerrald menggebu-gebu.
Lagi-lagi, cowok itu pun berhasil telak menorehkan luka di hati sang gadis. Bahkan kali ini, rasanya teramat pedih dibanding yang pertama. Seperti sebuah film, tanpa melalui tahap sensor, Gerrald telah membeberkan segala sesuatunya di hadapan Carissa. Maka kini, gadis itu kembali meneteskan air mata isyarat bahwa ia sudah terlalu sering menerima luka yang bahkan tidak pernah sembuh jika si pemberi luka terus menerus menimpalinya dengan torehan luka yang baru.
***
Pagi-pagi sekali, bahkan sebelum matahari memunculkan keberadaannya di langit sana, Carissa sudah menukar piama yang ia kenakan semalam dengan pakaian miliknya lagi. Matanya tampak sembab, raut wajahnya pun tak sesegar biasanya.
Sehabis melipat piama bekas yang ia pakai semalam dan menaruhnya di ujung tempat tidur, kini Carissa pun memberanikan diri untuk membangunkan Jesika yang terlihat masih pulas dalam tidur nyenyaknya. Meski awalnya ragu, tapi mau tak mau ia pun harus membangunkan Jesika sekaligus untuk berpamitan pulang kepadanya.
"Jes, Jesika...." ucap Carissa sembari sedikit mengguncang tubuh yang masih berbaring miring tersebut.
Lantas, tak lama kemudian yang dibangunkan pun akhirnya bergerak dari posisi berbaringnya. Sejenak, dia menggeliat. Lalu, setelah itu pun ia mengalihkan pandangannya ke arah Carissa yang saat ini sedang duduk di tepi ranjang tepat di belakangnya.
"Kak Caca," gumamnya serak ciri khas orang baru bangun tidur.
"Jes, aku mau pamit pulang." Carissa mengatakan niatannya tanpa basa-basi.
"Ha? Emangnya ini jam berapa?" pekik Jesika yang spontan bangun terduduk. Selain itu, ia pun refleks mengedarkan pandang mencari arah jam dinding yang mendadak ia lupakan letak dipajangkannya di mana.
"Masih pagi, kok. Kamu bisa lanjut tidur lagi kalo masih ngantuk. Aku bangunin kamu cuma buat pamitan aja kok. Kan gak enak kalo misalkan aku pulang tanpa kasih tau kamu," ujar Carissa terkekeh pelan.
Untuk sesaat, Jesika mengucek sebelah matanya demi menormalkan pandangannya agar tidak terlihat buram. Lalu, ia pun kini mengernyitkan dahinya kala mendapati mata Carissa yang sedikit bengkak.
"Kak, mata Kak Caca kenapa? Kok bengkak gitu," gumam Jesika bertanya. Sorot matanya pun menunjukkan bahwa ia sedang didera rasa penasaran yang berujung menantikan jawaban dari pihak yang ditanyainya barusan.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Carissa pun refleks mengerjap. Bahkan, kini ia pun memalingkan wajahnya ke arah lain agar Jesika tidak terus mengamati bentuk matanya yang tak seperti biasa.
"Kakak abis nangis ya tadi malam?" tebak Jesika tepat sasaran. Entah kenapa gadis itu bisa sepeka itu terhadap kondisinya sekarang, membuat Carissa lantas segera beranjak guna menghindari topik sensitif yang sedang tidak mau ia bahas.
"Kak Caca kok ngindar gitu sih?" lontar Jesika yang kali ini sudah siap beranjak juga.
"Aku gak apa-apa, Jes. Siapa juga yang nangis. Sok tau deh kamu," sahut Carissa mencoba menutupi kebenarannya.
"Tapi kenapa mata Kak Caca bisa bengkak gitu? Setau Jesika, orang kalo matanya bengkak di pagi hari ... kalo gak malemnya abis nangis paling ya dikencingin kecoa. Tapi, untuk opsi kedua ... Jesika gak yakin deh. Sepanjang sejarah Jesika tidur di kamar ini, belum pernah tuh ada kecoa mampir apalagi numpang kencing," celoteh gadis itu teramat rinci.
Jika keadaan hati Carissa sedang seperti biasa, mungkin ia akan tergelak mendengar kicauan Jesika barusan. Sayang, Carissa bahkan sedang tidak berselera untuk sekadar menanggapi banyolan yang Jesika lontarkan. Maka, demi mengamankan dan menghindari sejumlah pertanyaan yang bisa saja Jesika layangkan kembali, Carissa pun bertekad untuk segera pamit kembali dengan alasan dia tidak bisa berlama-lama lagi mengingat ada kepentingan yang harus lekas diurusnya di rumah.
***
"Bun!" panggil Jesika yang menghampiri bundanya di dapur.
Sejenak menghentikan kegiatannya yang sedang mengaduk kuah kaldu di dalam panci yang bertengger di atas kompor menyala, Tasya pun lekas menengok ke sumber suara.
"Ya, Jes. Ada apa?" tanya wanita berciput hitam itu. Sekilas, ia pun melirik ke arah Carissa yang kini berdiri di belakang anak bontotnya tersebut.
"Ini, Kak Caca mau pulang katanya...." ujar Jesika memberitahu.
Sontak, Tasya pun mengernyit. "Ini kan masih pagi. Belum juga kita sarapan bareng masa udah mau pulang. Nanti aja, tunggu Gerrald bangun baru kamu pulang diantar sama dia, ya."
Mendengar nama Gerrald disebut, mendadak hati Carissa bak tersayat oleh silet tak kasatmata. Sungguh, Carissa sudah memantapkan hatinya untuk tidak mengusik lagi kehidupan Gerrald setelah dini hari tadi cowok itu memakinya habis-habisan. Maka, seolah ia tidak mau lagi berhubungan dengan Gerrald, Carissa pun sigap menggeleng seraya berkata. "Gak perlu, Tante. Aku biar pulang sendiri aja. Lagian Ibu udah nunggu di rumah. Gak enak kalo harus terlambat pulang dan bikin Ibu nunggu lebih lama lagi... "
Sejenak, Tasya melemparkan pandangannya ke arah Jesika. Tanpa disadari Carissa, wanita itu seolah melayangkan kode penuh tanya pada Jesika. Namun, mengingat Jesika pun tidak tahu menahu perihal yang menjadi penyebab Carissa ingin pulang sepagi ini, dia pun hanya mampu menggeleng saja yang seketika membuat bundanya menghela napas pelan.
"Yakin mau pulang sendiri aja?" tanya Tasya memastikan.
"Iya, Tante. Lagian, jam segini kan angkot juga suka udah pada keliaran. Jadi, aku bisa naik angkot aja sekalian jalan-jalan hirup udara segar. Hehehe," ucap Carissa cengengesan.
"Ya sudah kalau kamu maunya gitu. Maaf ya kalo Tante belum bisa jamu kamu dengan baik. Padahal, Tante udah buatin beberapa menu sarapan buat kita santap bersama. Eh, kamunya malah mau buru-buru pulang...." tukas Tasya mendengkus kecewa.
Carissa hanya bisa tersenyum kikuk di tengah tangannya yang mengusap tengkuk. Tasya begitu baik padanya, berbeda jauh dengan anak lelakinya yang hanya bisa menorehkan luka saja kepadanya. Padahal, dulu Gerrald sangatlah baik juga pada Carissa. Tapi entah kenapa, belakangan ini cowok itu seakan menunjukkan perubahan yang sangat drastis. Membuat sang gadis pada akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengganggu kehidupan Gerrald sesuai keinginan cowok itu pribadi.
Seusai berpamitan pada Tasya, kini Carissa pun berjalan menuju ke arah pintu ke luar diantar Jesika. Bersamaan dengan itu, Gerrald pun muncul dari arah luar dengan keringat yang membanjiri permukaan wajahnya. Tampaknya dia baru saja pulang joging.
Ketika kedua anak manusia itu berpapasan di ambang pintu, Carissa sempat ingin berpamitan untuk yang terakhir kalinya. Akan tetapi, saat melihat sikap Gerrald yang seakan tidak ingin berinteraksi, dengan terpaksa Carissa pun mengurungkan niatnya. Melihat raut wajahnya yang datar, Carissa pikir Gerrald memang sudah tidak mau bertatap muka lagi dengannya. Untuk itu, Carissa pun segera melenggang tanpa sempat mengindahkan kehadiran Jesika yang sedari tadi berada di belakangnya.