7. Sulit Melupakan

2036 Kata
Aku yang minta maaf walau kau yang salah, Aku kan menahan walau kau ingin pisah, Karna kamu penting, Lebih penting, Dari semua yang kupunya.... Jika kamu salah aku akan lupakan, Walau belum tentu kau lakukan yang sama, Karna untukku kamu lebih penting dari egoku. (Mawar de Jongh - Lebih dari Egoku) Hari ini adalah hari ke lima pasca Gerrald memutuskan hubungannya dengan Carissa. Semenjak itu, tidak ada komunikasi lagi yang terjadi di antara keduanya. Baik lewat telepon, chat apalagi secara langsung. Sebenarnya Carissa sempat nekat menghubungi Gerrald di hari kedua pasca diputuskan. Tapi nihil, jangankan mendapat respon baik, yang ada panggilannya ditolak mentah-mentah. Tentu saja hal itu membuat Carissa kembali bersedih. Lagi-lagi, usahanya gagal.  Kemudian di hari ketiga, dia pun memberanikan diri menemui Gerrald ketika sedang di kampus. Kala itu, Gerrald sedang berbincang dengan teman satu fakultasnya. Seakan sudah bulat dengan tekadnya, Carissa pun mendatangi cowok itu dan menyapanya seperti biasa. Lalu, apa yang terjadi? Tanpa sedikit pun berniat untuk menyahut sapaannya, Gerrald justru dengan sengaja mengabaikan kehadirannya dengan cara ia yang langsung undur diri dari hadapan temannya tersebut. Dicampakkan seperti itu, hati Carissa pun kembali hancur. Bahkan luka yang awal ditorehkannya pun belum sembuh sama sekali, tapi kemudian, dia justru malah menambahnya lagi seolah Carissa itu sudah teramat kebal dengan sikap yang ditunjukkannya.  Sampai akhirnya, gadis itu pun bertekad untuk tidak lagi mengganggunya. Carissa bahkan mendadak tidak sanggup untuk sekadar menunjukkan dirinya di hadapan Gerrald lagi. Ia masih takut kalau-kalau Gerrald akan kembali tak mengindahkan keberadaannya. Malahan, kemarin pun ketika dirinya baru selesai menunaikan mata kuliah terakhirnya,  ia  hanya bisa memerhatikan cowok itu dari kejauhan saja. Walau hatinya memaksa untuk menghampirinya, tapi itu semua hanya bisa ia pendam dalam angan-angannya semata. Tampaknya, Carissa pun telah memiliki tekad yang kuat untuk memenuhi keinginan cowok itu yang katanya tidak mau diusik lagi kehidupannya.  Tapi bagaimana jika Carissa sendiri malah tidak bisa melupakan Gerrald dalam ingatannya? Sebab sesungguhnya, baik nama maupun bayangan wajah cowok itu sudah seakan melekat dalam hati dan ingatannya. Sejak awal pertemuannya dulu di kedai es krim, Carissa sudah sangat terkagum-kagum pada Gerrald. Bukan karena cowok itu mempunyai paras tampan, tapi entah kenapa, yang jelas Carissa merasa seperti ada magnet tersendiri yang membuatnya harus mendekat ke arah cowok tersebut. Maka, ketika lima hari yang lalu Gerrald tiba-tiba memutuskannya dengan alasan ia tidak bisa memaksakan diri untuk mencintainya, Carissa pun paham. Walau sakit dan rasanya begitu perih di hati, tapi sebisa mungkin ia akan tetap teguh pada pendiriannya. Tidak peduli cowok itu tak bisa mencintainya di kesempatan ini, terpenting Carissa sendiri akan terus berupaya untuk membuat Gerrald bisa menatap ke arahnya tanpa dihantui bayang-bayang masa lalu lagi. Tapi untuk melakukan hal tersebut, Carissa pun butuh waktu untuk mengumpulkan keberaniannya dalam bertindak kembali. Mengingat soal bayangan masa lalu, Carissa bahkan sangat tahu betul jika cowok itu masih belum bisa mengalihkan hatinya dari mantan kekasihnya yang kini sedang berada di luar negeri. Bukan Gerrald yang bercerita soal ini, tapi Jesika seolah berinisiatif untuk menjadi informan terakuratnya setiap kali Carissa membutuhkan sebuah informasi yang ingin diketahuinya. Seperti yang terjadi malam ini, tanpa diduga, Jesika menghubunginya sekitar beberapa menit yang lalu. Malah, ia pun menyayangkan keputusan kakaknya yang tiba-tiba saja memutuskan Carissa. Hal itu, tentu saja hanya mampu menyebabkan Carissa termenung sendiri sampai akhirnya ia kembali ditegur oleh si penelepon. "Kak!" panggil Jesika dari seberang sana. Seketika, Carissa pun tersadar dan kembali teringat bahwa kini ia masih berteleponan dengan adik dari lelaki yang dicintainya. "Ya, Jes?" sahut Carissa setelah beberapa detik sempat terdiam. "Kalo boleh Jesika tahu, sebenarnya ... Kak Caca ini sungguhan cinta gak sama Kak Gerrald?" Sekonyong-konyong, gadis itu melontarkan pertanyaan yang mendadak membuat Carissa kembali tercenung.  "Maaf kalo pertanyaan Jesika sedikit lancang. Tapi setahu Jesika, kalo Kak Caca beneran cinta dan gak mau kehilangan Kak Gerrald, seharusnya Kak Caca gak nyerah gitu aja dong. Maksud Jesika, ada masanya Kak Caca harur berjuang bahkan mungkin berkorban buat Kak Gerrald. Paling enggak, tunjukin kesungguhan Kak Caca sama Kak Gerrald. Kasih tau dia bahwa Kak Caca teramat cinta sama dia, misalkan dengan ucapan hanya dianggap bualan semata ... maka tunjukin dengan perbuatan yang bisa meyakinkan Kak Gerrald kalo Kak Caca itu layak buat dicintainya balik. Bukan malah diputusin. Sakit tau, Kak...." celoteh Jesika seolah ikut merasakan. Carissa menghela napas berat. Semua hal yang dikatakan oleh Jesika bahkan sudah Carissa lakukan semampu yang ia bisa di sepanjang tahun ini. Saat ia tahu bahwa Gerrald masih suka memikirkan mantannya pun sekuat hati Carissa menahan diri untuk tidak mengusiknya. Perjuangan seperti apa yang sebenarnya patut Carissa tunjukkan lagi? Apa bahkan selama ini usahanya untuk membuat Gerrald menatap dirinya masih kurang? Setahun itu bukan waktu yang sebentar untuk berjuang sendiri mempertahankan hubungan tersebut. Walau pada akhirnya harus kandas, tapi sebelumnya Carissa sudah nyaris mati-matian memperjuangkan cintanya pada cowok itu. "Kak, ingat! Usaha gak akan pernah mengkhianati hasil. Jadi saran Jesika, kalo Kak Caca gak terima sama keputusan Kak Gerrald yang putusin Kak Caca gitu aja, maka lebih baik Kak Caca segera bertindak. Jesika yakin, perlahan tapi pasti ... Kak Gerrald pasti bakalan balik cinta kok sama Kak Caca," cetus Jesika penuh percaya diri. Sekaligus memberikan dorongan semangat bagi Carissa yang semula sudah hampir putus asa dengan perjuangannya yang ternyata memang masih kurang dan belum sempurna. *** Sesuai jadwal kuliahnya hari ini, Gerrald datang tepat di pukul 10 pagi. Sesampainya di parkiran, ia pun langsung menuruni motornya setelah sempat melepas helm yang membungkus kepalanya terlebih dahulu. Kemudian, kini ia pun sudah bersiap untuk melenggang menuju aula kampus setelah sebelumnya memastikan tidak ada barang atau apapun yang tertinggal. Sambil mengantongi kunci motornya, Gerrald pun mulai melangkah meninggalkan motor kesayangannya yang ia parkirkan di tempat biasa. Mendapati satpam kampus yang sedang berjaga di pos, cowok itu pun menyapanya tanpa segan, "Pagi, Pak Abdul!" seru Gerrald melambaikan tangan. Menoleh, satpam berperawakan tinggi kurus itu pun lantas mengangguk akrab pada salah satu mahasiswa yang tak pernah absen dalam menyapanya di setiap kali mereka berjumpa. "Eh, Pagi juga, Mas Gerrald. Wah, hari ini kebagian kuliah pagi ya, Mas?" balas Pak Abdul begitu ramah. "Iya nih, Pak. Sebenarnya saya malas kalo udah dapet jadwal kuliah jam segini. Tapi apa boleh buat? Daripada saya diomelin ibu saya di rumah, kan mending patuhin aturan aja...." tukas cowok itu terkekeh. "Bener tuh, Mas. Memang sebaiknya Mas Gerrald ini patuhin aturan yang ada saja. Dibanding dapat risiko yang buruk ke depannya kan Mas Gerrald sendiri yang merasa rugi. Jadi saran saya, alangkah lebih baiknya jika Mas Gerrald tidak pernah main-main dalam menimba ilmu. Apalagi biaya kuliah kan gak murah. Gak lucu dong kalau Mas Gerrald tidak serius dalam belajar di tengah orangtua Mas Gerrald yang susah payah banting tulang sekolahin anaknya tinggi-tinggi," tutur Pak Abdul menasihati. Membuat Gerrald mengangguk-anggukkan kepalanya seolah ia memang setuju dengan perkataan pria paruh baya tersebut. Di sela obrolan kecil yang tercipta di antara Gerrald dan Pak Abdul, tahu-tahu seseorang datang menepuk bahu Gerrald. Kontan, cowok itu pun langsung menoleh dan mendapati sosok Petra yang kini sedang nyengir lebar di belakangnya. "Elo, ngapain lo berdiri di sana?" lontar Gerrald menaikkan sebelah alisnya. "Nungguin lo kelar curhat sama Pak Satpam," sahut Petra disertai kekehannya. Untuk sesaat, Gerrald pun mendecak. Kemudian ia pun pamit undur diri pada Pak Abdul dan lekas mengajak Petra segera beranjak dari posisinya. "Rajin-rajin, Mas, belajarnya!" seru Pak Abdul menyemangati. Sementara Gerrald hanya mengacungkan jempolnya saja sebagai isyarat bahwa ia akan selalu menerapkan kegigihannya dalam mencari ilmu. "Gue perhatiin, lo akrab banget sama Pak Abdul...." ujar Petra yang sudah berada di sebelah Gerrald sambil melangkah beriringan dengannya. "Emang apa salahnya kalo gue akrab sama Pak Abdul. Selama gak ada larangan keras, gue rasa sah-sah aja." "Ya emang gak ada larangan. Cuma aneh aja, kok bisa-bisanya lo akrab kayak gitu? Maksud gue, apa sebelumnya kalian udah saling mengenal?" tanya Petra yang mendadak penasaran. Sebab, ini bukan kali pertama ia menemukan Gerrald sedang berbincang akrab dengan satpam kampus tersebut. "Gimana ya, gue sama Pak Abdul murni saling kenal di kampus aja. Cuman, karena emang gue sering ketemu pas dia bagian jaga dan gue juga suka titipin motor gue ke dia, ya sejak saat itu gue menganggap Pak Abdul itu bukan hanya sekadar satpam kampus. Tapi, dia itu sama seperti orangtua yang patut buat dihormati. Gak ada alasan buat kita mengabaikannya," terang Gerrald begitu bijak. "Well, gue selalu salut sama cara berpikir lo. Meskipun gue belum bisa berbuat banyak hal seperti lo, tapi gue akan jadiin lo sebagai acuan dan motivasi hidup gue. Begonya, gue baru sadar sekarang aja kalo lo merupakan tipikal orang yang pantas dijadiin sebagai teman. Coba aja dari dulu kita deket, mungkin ... gue gak perlu hajar lo sampe babak belur pas di koridor sekolah," tukas Petra terkekeh. Sontak, ingatan Gerrald pun melambung jauh ke masa lalu sewaktu mereka masih menyandang status pelajar SMA. Gerrald masih ingat betul betapa membabi butanya Petra memukulinya tanpa ampun. Sampai-sampai, muka tampan Gerrald jadi sedikit bonyok gak berbentuk pasca diberi bogem mentah oleh cowok si rambut berjambul tersebut.  "Udahlah, yang lalu biarin aja jadi kenangan. Terpenting, sekarang kan lo udah menyadari betapa baiknya gue dan layak banget kan buat dijadiin partner," celetuk Gerrald membusungkan d**a. Hanya saja, jika Gerrald sudah bersikap semenyebalkan itu, Petra pun selalu spontan menoyor kepalanya agar cowok itu tidak sampai lupa daratan. "Eh iya, ngomongin soal masa lalu. Kira-kira, apa kabarnya ya sama cewek masa lalu lo?" lontar Petra tanpa diduga. Dalam sekejap, jantung Gerrald pun kembali berdetak lebih kencang hanya jika ia mengingat masa lalunya bersama sang mantan. Gerrald mendesah kasar, di tengah langkahnya yang mendadak diperlambat, ia pun mengangkat bahunya sedikit tak acuh. "Gak tau gue, Pet. Lo kan tau sendiri, dia mutusin gue gitu aja. Terus, dia pergi ke New York tanpa pamitan secara langsung sama gue. Lo bisa rasain gimana sakitnya gue kalo lo ada di posisi gue waktu itu. Bahkan sampe sekarang, rasanya gue belum bisa benar-benar lupain kenangan sama dia. Lebih tepatnya, gue masih belum bisa hilangin rasa sakit yang dia torehin di hati gue waktu itu," ungkap cowok itu menatap nanar jalanan di depannya. Petra turut menghela napas. Kemudian, ia pun menepuk bahu Gerrald seraya berkata, "Terakhir gue denger dari Keyna, dia bilang ... sepupunya itu lagi deket sama bule. Entah mereka pacaran atau enggak, tapi lo tau sendirilah, New York adalah negara bebas. Kita gak tau seperti apa watak bule yang tinggal di sana." "Maksud lo?" "Come on, Ger. Lo gak perlu berlagak gak ngerti kayak gitu. Si Diary tinggal di sana cuma sendiri kan? Dan gue denger kabar dia lagi deket sama bule asli sana. You know what i mean? Bisa aja mereka udah main-main sesuka hatinya tanpa ada larangan dari pihak mana pun. Siapa yang tau kan?" urai Petra yang secara tidak langsung sudah berani berpikiran yang tidak-tidak terhadap mantan kekasih Gerrald yang sejauh ini masih betah di luar negeri sana. Spontan, saat Gerrald menyadari arah tujuan pembicaraan Petra mengacu pada hal yang buruk, maka tanpa bisa dicegah Gerrald pun melayangkan satu pukulan keras mengenai rahang temannya itu setelah ia menghentikan gerak langkahnya. Seketika, segelintir orang yang tak sengaja melintas ke halaman aula kampus pun refleks menjerit saat mendapati Petra yang kini sudah terjengkang jatuh ke permukaan aspal. "Lo kenapa pukul gua?" teriak Petra meraba rahangnya yang berdenyut perih. "Gue gak suka dengan cara pemikiran lo. Asal lo tau, cewek yang lagi lo omongin itu pernah lo suka juga di masa SMA dulu. Dan lo pun tau sendiri sebaik apa perilakunya dulu. Sekali gue denger lo jelek-jelekin dia, gue bahkan gak akan segan buat hancurin hidup lo sampe ke akar-akarnya!" tandas Gerrald penuh ancaman. Lantas, setelah berkata seperti itu, ia pun segera angkat kaki tanpa berniat mendengarkan lagi perkataan Petra yang tak berguna baginya. Lalu sepeninggalnya Gerrald, Keyna pun berlari menghampiri Petra yang kini sedang menggelengkan kepalanya tak habis pikir.  "Sayang, kamu gak apa-apa?" tegur Keyna turut berjongkok. "Ngilu dikit," jawab Petra terkekeh.  "Ya ampun ... maafin aku ya, Sayang. Gara-gara ide konyolku, rahang kamu jadi kena sasaran deh." Keyna menatap sendu saat melihat Petra sedang meringis sembari sesekali menyentuh rahangnya. "Gak masalah. Yang penting kita udah tau perasaan si Gerrald kayak apa. Seperti yang kita duga selama ini, dia emang masih menaruh rasa sama sepupu kamu. Buktinya, dia bisa berubah jadi garang kayak tadi cuma karena aku jelek-jelekin mantannya itu," kekeh Petra berpikir lucu.  Usut punya usut, dua sejoli itu memang sengaja ingin memancing reaksi Gerrald ketika Petra sendiri mencoba berkata yang tidak-tidak mengenai mantan kekasihnya tersebut. Dengan begitu, kini baik Petra maupun Keyna akhirnya bisa memastikan dengan sangat jelas bahwa kenyataannya, Gerrald itu masih sangat mencintai Diary meski 2 tahun sudah berlalu sejak terakhir kali gadis itu memutuskan untuk mengakhiri hubungan asmaranya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN