Saat senja sudah berlalu beberapa menit yang lalu, Clarista baru saja tiba di depan rumahnya. Seakan tidak ingin berlama-lama berada di luar rumah, gadis itu pun tampak terburu-buru sekali ketika mencoba untuk membuka pintu. Bukan karena ia sedang ada dalam kondisi mendesak, melainkan Clarista tengah merasa kedinginan mengingat hari akan berganti malam.
Seperti yang sudah diketahui, New York masih berada di musim gugur. Dan udara akan jauh lebih dingin ketika malam segera tiba.
"Astaga, dingin banget sih...." gumam gadis itu sembari terburu-buru melangkah masuk ketika pintunya sudah berhasil ia buka. Lalu, ia pun kembali menutup lagi pintunya saat dirinya sudah berada di dalam.
"Andai aja ada Mbok Jen di sini. Mungkin pas baru pulang kayak gini aku bisa langsung minta dibikinin mie rebus pake telor. Sayang, Mbok Jen gak aku ajak ke sini. Kalo diajakin ke New York, mungkin seru kali ya. Kalo ada tamu, si Mbok pasti semangat banget ngomong pake bahasa inggris campur aduknya...." tukas Clarista terkekeh. Tahu-tahu, ia teringat dengan salah satu ART-nya yang hobi sekali berbicara dalam bahasa inggris yang tercampur aduk dengan bahasa indonesia juga.
"Jadi kangen masakan Mbok Jen," lanjutnya sembari menghela napas. Sejurus kemudian, gadis itu pun kembali melanjutkan langkahnya memasuki ruangan dalam guna mengistirahatkan diri dari sekelumit aktivitas yang ia kerjakan di kampus sepanjang hari tadi.
Memasuki kamar tidurnya, Clarista pun kini menaruh tasnya lebih dahulu ke atas sofa yang tersedia. Disusul dengan ia yang melepaskan jaket tebal dan menggantungkannya di permukaan pintu bagian dalam. Lantas, sesudah itu, sang gadis pun mulai berjalan menuju tempat tidurnya.
"Ah, rasanya hari ini melelahkan banget," ucapnya sembari menyentuh tengkuk dan memberikan pijatan ringan di bagian sana. Demi menghilangkan rasa kaku dan pegal yang terasa, ia pun sesekali memutarnya demi melemaskan kembali otot-otot yang semula sempat menegang.
Di tengah kegiatannya yang sedang memijat tengkuk sendiri, tiba-tiba ponselnya pun berdering nyaring. Spontan, Clarista pun menoleh ke arah tasnya--yang tadi ia letakkan di atas sofa--yang menjadi tempat bersemayam dari benda berbunyi yang seakan meraung-raung meminta diperiksa.
Mengembuskan napas kesal, gadis itu pun harus terpaksa menyeret langkahnya guna mengambil tas di sofa sana. Rasanya, ia sedikit menyesal karena sebelumnya sudah menaruh tas tersebut di atas sofa. Gara-gara hal itu, dia pun kini harus memaksakan diri untuk berjalan lagi mengambil ponsel dari dalam tasnya.
Sampai ketika Clarista sudah berada di dekat sofa sudut yang letaknya tak jauh dari pintu kamar, dengan segera ia pun merogoh ponselnya agar bisa memeriksa nama si penelepon yang sepertinya sedang menunggu jawabannya saat ini.
Lantas, tatkala ponsel tersebut sudah berada dalam genggamannya. Clarista pun sigap memusatkan pandangannya ke arah layar. Kontan, pupil matanya setengah melebar ketika ia menemukan nama Keyna terpampang di layar ponselnya sekarang.
Tanpa berpikir panjang, Clarista pun langsung menerima panggilan yang masuk ke ponselnya itu.
"Halo!" sambutnya sembari mengempaskan diri ke atas sofa.
"Hai, Di? Apa kabar?" sapa si penelepon yang baru lagi menghubunginya setelah sekian lama tidak saling berkomunikasi secara via phone seperti ini.
"Baik, baik. Kamu sendiri apa kabar, Key? Tumben telepon jam segini, kalo gak salah ... di sana masih pagi banget kan?" sahut Clarista mengernyit bingung.
"Iya nih. Gue ada kuis nanti di kampus, makanya maksain bangun subuh buta. Terus, pas abis kelar hafalin materi ... gue keingetan sama lo. Jadi, gue telepon aja deh sekalian. Betewe, gue gak ganggu aktivitas lo kan?" cerocos Keyna begitu lancar.
"Enggak kok. Kebetulan aku baru balik ngampus juga," ujar Clarista terkekeh pelan.
"Syukur deh kalo gue gak ganggu," balas Keyna turut terkekeh juga. "Oh iya, Di. Mumpung sekalian gue lagi teleponan sama lo nih. Sebenarnya, ada hal penting yang mau gue sampein ke elo...."
"Hal penting apa?" tanya Clarista yang spontan mengernyit.
"Jadi gini loh, kapan hari ... gue sama Petra sengaja jebak si Gerrald dengan cara jelek-jelekin lo. Gue suruh Petra buat mancing reaksi si Gerrald. Ya, penasaran aja sih ... sebenernya, dia masih naruh perasaan yang istimewa gak sih sama lo? Terus, lo tau gak pas si Petra pura-pura jelekin lo reaksi si Gerrald kayak apa?" tutur Keyna melontarkan pertanyaan. Tentu saja, jantung Clarista pun sedikit berdebar kala menantikan kelanjutan dari cerita sepupunya itu seperti apa.
"E-emangnya gimana reaksinya?"
"Dia pukul Petra, Di...." ungkap Keyna yang sontak mengejutkan Clarista. Bahkan, kini mulut gadis itu pun terlihat setengah menganga saking merasa kagetnya ia setelah mendengar sedikit kabar yang Keyna sampaikan.
"Kok bisa?" lontar Clarista bertanya-tanya.
"Ya bisalah, Di. Itu artinya, dia tuh masih cinta sama lo. Secara gak langsung, dia gak terima denger ada orang lain yang jelek-jelekin lo. Apalagi orang itu adalah Petra yang notabene pernah suka juga sama lo. Ayolah, gue gak b**o, Di. Kalian itu masih sama-sama naruh perasaan serupa. Cumaaan, baik lo atau pun Gerrald, gak ada satu pun yang mau ngakuin. Iya kan?" urai Keyna mencoba mengambil kesimpulan.
Clarista terdiam. Entah dia harus memberikan respon sejenis apa perihal yang baru saja Keyna utarakan. Pasalnya, Clarista pun merasa terheran-heran saat mendengar kabar tentang mantannya itu yang ternyata diam-diam masih juga menyimpan perasaan lamanya meski sudah dua tahun berlalu.
"Di, lo masih di sana kan?" tegur Keyna berusaha memastikan.
"Yeah, i am here!" balas Clarista menghela napas.
"Kenapa sih lo gak pulang aja? Pindah kuliah kek ke sini. Biar lo tuh gak tersiksa terus sama situasi yang lo pendam selama ini. Gue tau kok, diam-diam lo juga sering mikirin mantan lo itu kan? Cuman, lo sok menyangkal aja biar gak dicap jadi orang yang susah move on!" ungkap Keyna lagi. Seketika, menyebabkan Clarista kembali didera perasaan yang begitu gamang dan tak urung membuatnya bimbang juga.
Gadis itu mendesah berat. "Aku juga bingung, Key...." gumam Clarista menyerupai bisikan.
Namun, suaranya masih bisa terdengar jelas oleh telinga Keyna yang cukup tajam apalagi posisinya sedang berbicara lewat telepon.
"Bingung kenapa? Menurut gue, lo tinggal balik aja ke Indonesia. Terus, lo samperin si Gerrald secara baik-baik. Mungkin setelah itu, kalian bisa memulainya lagi dari nol."
Kali ini, Clarista pun mendengkus. "Gak semudah itu, Key. Apalagi kan posisi Gerrald udah punya gandengan baru. Emangnya kamu mau kalo aku dicap sebagai pelakor?" seloroh Clarista di tengah putaran bola matanya.
Untuk sesaat, tidak ada sahutan dari Keyna. Tampaknya, sepupunya itu sedang memikirkan sebuah cara agar Clarista bisa kembali lagi ke Indonesia dan tentunya supaya gadis itu bisa bersatu lagi dengan cinta masa lalunya.
Sebab, entah kenapa Keyna merasa, sejujurnya Clarista dan Gerrald itu sangat serasi dalam segala hal. Hanya saja, pikiran labil dan ego mereka yang masih tinggi di masa silam, membuat keduanya harus terpisah bahkan tanpa adanya komunikasi secara langsung terlebih dahulu.
***
Gerrald baru saja selesai mandi. Sehabis meredakan keringat yang berasal dari aktivitas jogingnya tadi pagi, kini ia berencana untuk turun ke bawah guna menyantap menu sarapan yang sempat ia intip ketika bundanya sedang menyajikan ke atas meja sepulangnya ia dari joging. Sayang, Tasya sangat anti sekali pada bau keringat yang berasal dari tubuh anaknya. Maka, dengan sigap ia pun menyuruh Gerrald untuk membersihkan diri dulu sebelum dirinya ikut sarapan bersama adiknya yang tadi mengatakan hendak mandi juga pasca mengantar Carissa ke depan.
Membicarakan soal Carissa, Gerrald juga sempat berpapasan dengan gadis itu di depan pintu. Rupanya, dia hendak pulang sewaktu Gerrald baru kembali dari joging. Tidak dapat dipungkiri, sejujurnya Gerrald merasa iba saat melihat raut memelas dari wajah sang gadis kala mereka tak sengaja saling melempar pandang tadi. Hanya saja, Gerrald pun harus terpaksa bersikap ketus padanya agar Carissa tidak terus menerus mengusik kehidupannya seperti yang sudah dilakukannya sejauh ini.
Maka, meski rasanya tidak tega, Gerrald pun berkewajiban memperlakukan Carissa layaknya itu hanya demi agar sang gadis merasa putus asa dan tidak lagi memperjuangkannya yang sudah jelas tidak akan bisa mencintainya balik.
Dor dor dor,
Ketahuilah, itu bukan suara tembakan. Melainkan hanya bunyi ketukan yang berasal dari balik pintu sana dengan sangat kencang. Makanya suaranya sedahsyat itu, mungkin karena saking terlalu bersemangatnya si pengetuk dalam mengapresiasikan diri, maka menyebabkan suaranya berubah menyerupai suara tembakan.
"Kak Gerrald!" Selang beberapa detik, suara teriakan pun terdengar menyusul. Membuat Gerrald mendecak pelan seraya berjalan menghampiri pintu. Untung dia sudah berpakaian lengkap, jika belum maka mungkin adiknya itu harus menunggu beberapa saat sampai Gerrald benar-benar siap membuka pintu tersebut.
Tak lama kemudian, pintu pun sudah cowok itu buka. Tanpa disangka, tahu-tahu Jesika memukul lengan atas kakaknya yang sontak mengejutkan si pemilik lengan sendiri.
"Jes, apa sih? Dateng dateng kok maen pukul aja. Kamu pikir kakak ini samsak?" sembur Gerrald memelotot kaget.
"Kak Gerrald emang pantes buat dijadiin samsak. Kenapa sih Kak Gerrald jahat banget sama Kak Caca. Gak sadar ya kalo punya adik perempuan?" lontar Jesika menyolot. Dia pun terlihat begitu kesal di tengah sorot jengkel yang dilemparkan dari pandangannya saat ini.
Gerrald mengerjap. Sungguh tidak menyangka jika adiknya akan berkata seperti itu. "Maksud kamu apa sih? Kok di sini Kakak merasa kayak jadi terdakwa," tatap Gerrald superbingung. Membuat Jesika mendengkus sebal dan rasanya ingin sekali ia memukul kakaknya kembali.
"Kakak emang cocok dijadiin terdakwa. Suruh siapa bikin anak orang nangis sampe matanya bengkak di pagi hari," cerocos Jesika mencak-mencak.
"He? Apa sih. Siapa juga yang udah bikin anak orang nangis? Ngaco deh omongan kamu makin ke sini...." dengkus Gerrald mendelik.
"Kak Gerrald kenapa jahat banget sih sama Kak Caca? Salah dia apa sampe-sampe Kakak memperlakukannya seenak jidat? Kak Caca itu orang yang baik loh. Kenapa juga harus disakitin sama cowok labil macem Kak Gerrald ini," ujar Jesika terang-terangan. Sontak mengakibatkan cowok itu semakin membelalakkan matanya dengan sangat sempurna.
"Jesika gak suka ya kalo Kakak nyakitin cewek terus. Setelah dulu Kak Diary, plis jangan lagi Kakak sakitin Kak Caca. Karma itu nyata loh. Gimana kalo suatu hari ada cowok berengsek yang nyakitin Jesika juga? Apa Kak Gerrald bakalan terima?" urai gadis itu menatap kakaknya begitu serius.
Pasalnya, meskipun Carissa tidak berkata secara langsung bahwa ia sudah dilukai bahkan dibuat sampai menangis oleh Gerrald, tapi itu sangat kentara sekali di mata Jesika. Mereka sesama perempuan, Jesika pun begitu peka terhadap perasaan perempuan lainnya ketika ia sedang berada dalam fase sakit hati pasca dilukai orang yang dikasihinya.
Maka, tidak heran jika sekarang Jesika datang melabrak Gerrald. Walaupun Gerrald itu adalah kakak kandungnya, tapi kalau kakaknya itu telah melakukan kesalahan, bukan hal yang aneh kan jika Jesika datang untuk menegur atau sedikit memberikan nasihat terhadap kakaknya itu?
"Kak, Jesika tau ... Kak Gerrald itu emang belum bisa move on dari Kak Diary. Tapi tolong dong, seenggaknya ... hargai juga perasaan Kak Caca yang udah bersusah payah buat bersikap sebaik itu sama kakak. Kenapa harus diketusin juga? Jesika lihat loh pas tadi Kak Gerrald lagi gak mengindahkan Kak Caca yang jelas-jelas papasan sama Kak Gerrald di depan pintu. Coba Kakak bayangin! Misalkan posisi itu kebalik, sesakit apa rasanya dicuekin sama orang yang kakak sayang?" celoteh Jesika panjang lebar.
Seolah dia sedang berusaha keras untuk menyadarkan sang kakak bahwa apa yang sudah dilakukannya itu merupakan tindakan yang tidak benar. Mudah-mudahan saja kakaknya itu bisa cepat menyadari kesalahannya. Jika tetap tidak berpengaruh, maka sudah dipastikan kalau hati kakaknya telah ditutupi kabut hitam yang tak memiliki lagi nurani terhadap perempuan selain mantan kekasihnya itu.
Sementara itu, Gerrald masih terdiam dalam posisinya. Semua perkataan yang terlontar dari mulut adiknya telah ia serap secara otomatis. Jesika tidak salah, Gerrald bahkan sesekali membenarkan sebagian ucapan yang adiknya utarakan melalui kata hatinya. Tapi apa yang bisa ia perbuat? Gerrald tidak bisa bersikap baik lagi pada Carissa. Sebab, seandainya ia menunjukkan sikap baiknya seperti sedia kala, maka justru hal seperti itulah yang akan membuat Carissa semakin sulit untuk melepaskan dirinya.
Jadi, tidak ada pilihan selain bersikap ketus pada gadis itu. Dengan begitu, mungkin Carissa bisa sedikit menyadari keadaan yang menunjukkan bahwa Gerrald tidak bisa memenuhi keinginannya yang berharap dirinya dicintai balik sepenuh hati.