Desas-desus mengenai Keith yang menyukai pria pun menyebar luas dalam waktu singkat. Para pelayan yang sedang gonjang-ganjing saling membicarakan Carol dan mengutuknya karena menggoda sang jenderal.
Tidak hanya itu, wajah permusuhan pun datang disetiap para pelayan. Mereka mengira, kalau Carol yang telah mengubah Keith menjadi gay. Sementara orang yang dibicarkan masih di dalam perpustakaan setia menunggu kabar.
Dia tak mengetahui bahwa gosip mengenai dirinya sudah menyebar. Dan siapa yang mengetahui gosip tersebut? Jelas Audrey, gadis itu sangat marah karena para pelayan tak mengetahui relita yang sesungguhnya, dan mereka dengan terang-terangan membenci Caroline.
“Aku yakin pria cantik itu sengaja menggoda tuan,” kata pelayan yang memiliki t**i lalat di pipinya.
“Biarpun dia pria, wajahnya sangat imut seperti seorang gadis. Dan dia persis seperti w*************a” sambung pelayan yang memiliki rambut kecoklatan.
Audrey yang mendegar celoteh mereka mengepalkan tangan begitu kuat. Karena tak tahan mendengar gunjingan itu, ia pun angkat suara. “Tutup mulut kalian! Kalian tak pantas menghinanya.”
Kedua pelayan itu menatap remeh ke arah Audrey. “Siapa kau?” tanya pelayan yang memiliki t**i lalat.
“Dia adalah orang yang ada di sisi Carol,” bisik pelayan berambut coklat.
“Oh... pantas saja dia membelanya. Ternyata ada jongos Carol disini.”
Sumpah, Audrey tak bisa tinggal diam, langsung menarik kerah mereka berdua. “Jangan menghinanya! Mulutmu tak pantas mengeluarkan kata-kata itu!” Gadis tersebut mendorong kedua pelayan hingga jatuh ke lantai.
“Kau! Kau menindas kami!” tunjuk mereka sambil meringis kesakitan.
“Itu wajar karena kalian mengoloknya. Aku tak akan tinggal diam begitu saja!” Audrey melipat kedua tangannya sambil berdecih. Kedua pelayan itu menatap seseorang yang ada dibelakang Audrey. Mereka pun saling pandang satu sama lain, lalu mengangguk.
“Apa kau akan terus membully kami?” tanya pelayan berambut coklat sambil membantu pelayan disampingnya untuk berdiri.
“Untuk Carol, tak ada masalah buatku. Aku bisa menguliti kalian hidup-hidup!” sentak Audrey masih tak menyadari ada orang yang berdiri di belakangnya.
“Madam Reta!” tangis kedua pelayan itu pecah seketika. Audrey pun mengerutkan kening, menoleh tanpa pikir panjang. Tampak jelas orang yang ada di hadapannya adalah Reta, tapi gadis itu tak peduli sama sekali, karena merasa ia benar.
“Apa yang kalian lakukan?”
“Dia mendorong kami hingga jatuh ke lantai,” bela pelayan berambut coklat.
“Benar... bahkan tanganku sampai tergores.” Padahal tangan itu tergores karena terjepit pintu. Memang dua pelayan itu sangat licik.
“Audrey... ikut aku,” kata Reta dengan nada dingin. Audrey mendesah, tapi tak takut. Malah dimasa depan ia akan membalas dendam. Mereka berdua pun pergi, Lantas dua pelayan tadi cekikikan satu sama lain karena merasa menang.
Keith yang melihat kejadian itu dari jauh pun meninggalkan mereka dengan wajah dinginnya. Di dalam otaknya terdapat amarah yang cukup besar karena mereka dengan lancnag menghina Caroline.
“Sepertinya, aku harus membungkam mulut semua orang.” Keith masuk ke dalam ruangan, dan melihat Devon sudah duduk santai.
“Sepertinya gosip itu memang benar,” kata Devon mengawali pembicaraan mereka.
Keith berjalan mengambil selembar kertas yang ada di atas meja, lalu diserahkan kepada Devon. “Dia adalah pria kecil itu.”
Mata Devon seolah hendak melompat dari sarangnya karena terkejut bukan main. “Apakah matamu rusak? Dia jelas seorang pria.”
Keith melempar topeng kulit manusia tepat di depan Devon. “Itu adalah buktinya. Dan tugasmu adalah membuat barang yang persis, beri yang tahan air.”
Devon mengacak rambutnya dengan frustasi karena gadis yang ada digambar adalah gadis raja. “Kau gila! Kau berurusan dengan Eugene setelah sekian lama.”
“Dia yang berurusan denganku. Sedari awal, Caroline adalah milikku. Aku yang menemukan dia lebih dulu.” Keith duduk sambil menatap tajam ke arah Devon. “Minta juga seluruh pelayan untuk berkumpul di aula. Aku akan membungkam mulut mereka.”
Keith memegang pedang yang ada di atas meja. Sementara Devon yang melihat itu sudah keringat dingin tak karuan. Demi apa, singa yang ada di tubuh pria itu seperti hendak keluar memangsa semua orang.
“I-iya. Aku mengerti.” Devon segera bergegas pergi menemui beberapa pelayan, sesuai dengan perintah Keith. Dalam waktu lima belas menit, semua pelayan berkumpul di aula, termasuk para penjaga.
Keith pun masuk ke dalam aula dengan wajah dinginnya. Tidak hanya itu, ia juga membawa pedang bersiap untuk menebas siapa saja. Tanpa pikir panjang, sebelum angkat bicara. Pria itu meminta dua pelayan yang berdebat dengan Audrey untuk maju ke depan.
Mereka terlihat gemetar, dan Devon menyayangkan kedua pelayan itu. “Mereka telah membangunkan singa yang sudah tertidur lama,” gumamnya menggelengkan kepala.
Sontak tanpa bicara, leher keduanya ditebas hingga darah mereka mengenai pakaian miliknya. Semua pelayan langsung menundukkan kepala. Sedangkan Devon membuang muka ke arah lain karena ngeri.
“Ini adalah peringatan untuk pelayan yang suka bergosip tak jelas. Hanya dengan cara ini, mulut mereka akan bungkam selamanya.”
Desas-desus mengenai kekejaman Keith benar adanya. Para pelayan yang meyaksikan adegan berdarah itu langsung ketakutan. Bayangkan, dua orang pelayan mati dalam sekali tebas. Mayat mereka pun tergeletak di atas lantai dengan darah menggenang.
“Setelah ini, bakar tubuh mereka.” Keith mengusap wajahnya yang terkena darah sedikit. Padahal ia berusaha agar bau amis itu tak mengenai dirinya, tapi tetap saja masih terkena.
Wajah Keith yang gelap itu terekam jelas di otak masing-masing para pelayan. Keith yang kejam, tak memiliki belas kasihan ternyata benar adanya. “Apakah kalian mengerti?”
“Mengerti, Tuan!” jawab mereka serempak. Keith pun langsung pergi meninggalkan aula itu, sontak semua pelayan yang merasa tercekik bernafas lega. Ada yang langsung duduk di lantai karena kakinya gemetaran. Ada yang langsung pingsan di tempat. Bahkan tak sedikit dari mereka yang merasa ketakutan.
“Bawa mereka ke luar, dan bakar jasadnya,” kata Devon memberi intruksi pada pelayan pria. Kalau pelayan pria, mereka memang sudah tahu bahwa Keith adalah orang seperti itu, makanya mereka terbiasa dnegan hal-hal kejam yang dilakukan sang jenderal.
“Aku harap kalian patuh. Jika tak patuh, maka akan bernasib sama seperti mereka berdua.” Devon pun segera pergi dari aula itu. Meskipun ia cukup lama bernaung di medan pertempuran, tapi ia hanya bertugas sebagai dokter. Artinya, sangat jarang pria itu melihat seseorang menebas leher orang lain.
“Hais... aku paling tak suka melihat Keith menebas leher orang layaknya pohon.” Devon berjalan menuju ke perpustakaan, hendak ingin masuk tapi dicegah oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Reta.
“Apakabar Reta?” tanya Devon dengan senyum tampannya.
“Anda tak boleh masuk ke ruangan ini, Tuan.”
Seperti dugaan Devon, bahwa gadis bernama Caroline itu memang sedang berada di perpustakaan. Karena sedari dulu, Keith selalu saja menyembunyikan sesuatu di dalam sana. Namun, sejauh ia mencari tak ada hal yang mencurigakan.
“Aku ingin mencari buku penting.” Devon berusaha keras membujuk Reta, tapi wanita itu tetap dalam pendiriannya.
“Saya tahu anda dengan baik. Anda pasti ingin bertemu dengannya, bukan?” Reta menatap Devon dengan tajam.
“Wow... pemikiranmu lebih tajam dari yang aku bayangkan, Reta. Pantas saja kau menjadi kepercayaan jenderal sebelumnya.”
Reta tak suka jika masa lalunya di kuak oleh orang lain. Ia pun memasang wajah permusuhan kepada Devon. yang jelas-jelas adalah orang asing.
Semakin lama aku mengenal Tuan Devon, semakin terlihat jelas kulit aslinya. Aku tak akan membiarkan dia merebut Caroline dari Tuan Keith.
Bersambung