Hujan

1439 Kata
Suara hujan terdengar begitu menggema. Seolah menunjukkan bahwa aliran air langit yang turun begitu deras. Suasana hujan terasa teduh membawa aroma tanah. Pasalnya hari ini adalah hari pertama hujan turun setelah sekian lama terik matahari menemani. Saat ini adalah saat kepulangan para siswa siswi International High School. Mawar tampak merogoh tas untuk mencari keberadaan payung yang dia simpan. Hingga akhirnya gadis itu bisa meraih payung berwarna pink di dalam tasnya. Kini Mawar mulai menarik gagang payungnya kemudian bersiap menekan pengunci agar payung itu mengembang. Namun, sayangnya belum sempat gadis itu menekan pengunci payung, payung itu justru sudah berpindah tangan pada seseorang. "Gue enggak ga bawa payung. Thanks ya," ucap gadis berambut coklat madu bergelombang sambil menggoyangkan payung itu di depan wajah Mawar. Sedangkan Mawar hanya bisa diam. Rasanya melawan pun percuma. Tapi saat ini dia membutuhkannya. Terlebih lagi saat melihat hujan yang semakin deras. Akhirnya gadis itu pun berusaha untuk meminta payungnya dengan baik-baik. "Cellyn. Tolong kembalikan payungku," ucap Mawar lembut berusaha sabar. Entah ada keberanian yang didapatkan dari mana, Mawar menggenggam tangan Cellyna. Hal yang tak pernah dia lakukan selama ini. Sayangnya, Mawar tetaplah gadis yang lemah. Cellyna justru menghempaskan tangan Mawar hingga gadis itu hampir saja terjatuh. Beruntung ada sebuah tiang yang bisa Mawar genggam untuk menahan bobot tubuhnya. Alhasil gadis itu tak sampai terjatuh. Sedangkan Cellyna pergi dengan membawa payungnya. Cellyna bahkan melangkahkan kakinya dengan begitu riang seolah sedang memancing amarahnya. Tapi gadis itu hanya bisa berdiam diri. Tanpa melawan sama sekali. Dia tak ingin merasa sakit hati karena kalimat tajam papa, jika dirinya melawan anak kesayangan papa dari wanita yang dicintainya itu. Mawar pun menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Sungguh dadanya terasa sesak. Kini Mawar berdiri sendirian. Semua siswa siswi sudah pulang dijemput keluarganya. Tinggal dia yang masih tersisa di sebuah koridor sepi bermusik melody hujan. Gadis itu menangis. Meratapi hidupnya yang begitu malang. "Seandainya Papa tidak mengusir Mama." "Seandainya aku bisa menahan mama untuk tetap di sisi ku." "Seandainya Opa tidak terkena Strouk." "Oma pun pergi meninggalkan ku." "Pergi untuk selamanya karena sebuah pembunuhan yang aku ketahui namun aku tak bisa berbuat apa-apa." "Ya nyatanya aku memang se lemah itu. Bahkan pembunuhnya tetap hidup bebas dan bahagia tanpa merasa dosa." "Ya Tuhan." Mawar terus membatin. Bahkan dia sudah kehabisan kata untuk mewakili berapa pedih hidupnya saat ini. Kini dia hidup bersama Papa yang tak pernah menyayanginya. Dan penderitaan itu semakin lengkap dengan kehadiran ibu tiri dan saudara tirinya. "Mama dimana?" "Mawar rindu Mama." Mawar masih terus membatin. Kini gadis itu berjalan menerobos hujan. Hingga air matanya terasa payau karena bercampur air hujan yang tawar. Air matanya semakin tak terbendung. Tumpah ruah begitu saja. Hati ini teramat sangat pedih. Hanya airmata yang terus meleleh tanpa isakan. Dengan langkah gontai, gadis itu terus berjalan pelan di bawah guyuran hujan. Berharap air hujan bisa menghapus semua luka di dalam hatinya. Tapi sayang, memory itu terlalu kuat menggenggam perasaannya. "Sampai kapan nilaimu selalu buruk? Lihatlah Cellyna nilainya selalu bagus bahkan dia masuk juara umum. Kau memang bodoh sama seperti ibumu." Ucapan ayah kandungnya selalu membekas di hati gadis itu. Andai Mawar bisa melawan. Nyatanya dia terlalu lemah. Membiarkan tak ada yang mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Padahal nyatanya Cellyna lah yang selalu mengambil buku tugas dan kertas ujian Mawar. Merampas semua nilai Mawar dengan kejam. Seharusnya Rapor Cellyna adalah milik Mawar. "Lihatlah!!! Anakmu sungguh memalukan. Lagi-lagi mendapat surat panggilan untuk orang tua." Ucapan Mommy Alexa selalu terngiang. "Surat apa lagi?" "Dia sudah lebih dari 10X tak mengerjakan tugas sekolah." "MAWAR!" Teriakan nyaring itu benar-benar merobek pertahanan Mawar. Dia selalu saja disalahkan. "Tugas aku di rampas Cellyna. Seharusnya surat panggilan ini untuk Cellyna bukan aku, Pa." Sekuat apapun Mawar berusaha untuk membela diri. Dia tetaplah menjadi pihak yang selalu disalahkan. "Wah. Lihat Pa! Dia memfitnah anak kita." "Aku tidak memfitnah. Ini kenyataan," ucap Mawar agak berteriak. Gadis itu berusaha untuk membela diri. Dia sudah lelah selalu disalahkan dan terus dipojokkan. Namun sayangnya, bukan mendapatkan pembelaan dari ayah kandungnya. Gadis itu justru malah mendapatkan sentuhan yang teramat sana kasar di pipi. Dengan tega ayah kandungnya memberikan sebuah tamparan yang cukup keras. "Kenapa Papa tak pernah mau percaya pada ku? Papa, aku juga anak mu, Pa. Bukan hanya Cellyna. Tolong berlaku adil padaku," ucap Mawar sudah tak mampu menekan perasaannya lagi. Gadis itu menangis sambil memegang pipinya yang terasa panas. Tak hanya panas, bahkan sampai membengkak. Benar-benar sakit dan pedih. Tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan perasaannya yang hancur. "Kau bukan anakku. Anakku tak mungkin bodoh sepertimu." "Kenapa? Karena aku anak Mama? Wanita yang tidak kau cintai." Sungguh ini adalah takdir yang tak ingin Mawar pilih. Lahir dari benih pria kejam seperti pria di hadapannya. Dan akibat dari apa yang Mawar sampaikan sukses membuat Dirham kembali menamparnya. Lengkap sudah kedua pipinya mendapatkan perlakuan yang teramat kejam. "Pukul aku lagi, Pa! Silahkan!" Hati Roseline terasa sesak. Bahkan gadis itu sampai gemetar tak kuasa menahan emosinya. Dia tampak mulai memukuli d**a ayah kandungnya yang kejam dengan brutal. Dan sayangnya Dirham malah mendorong tubuh putrinya hingga jatuh terjerembab. Dia melepas gespernya dan mencambuk putrinya tanpa perasaan. Terasa perih dan sakit. Tapi rasa sakit itu tetap tidak sebanding dengan rasa sakit yang mencabik-cabik perasaannya. Ingin sekali Mawar membunuh dirinya sendiri tiap mengingat moment pilu malam itu. Dan gadis itu masih terus berjalan di bawah guyuran air hujan. Dengan banyak memory kelam yang terus berputar di kepalanya. Dia berusaha melupakan rasa perih di sekujur tubuhnya. Rasa perih saat sisa sisa kekerasan yang dilakukan ayah kandungnya semalam. Mawar memang tak pernah berdaya. Mawar memang selalu lemah. Gadis itu hanya bisa menangisi dirinya yang tak pernah mampu melindungi dirinya sendiri. "Mama di mana, Ma? Aku butuh pelukan Mama. Aku rindu Mama." Langkah gadis itu berhenti saat mengingat Mamanya. Gadis itu berusaha memeluk tubuhnya sendiri sambil terus terisak. Mengobati luka batinnya sendiri. Tanpa ada siapapun di sisinya. Dan sesaat kemudian Mawar merasa ada sesuatu yang tak terlalu berat bertengger di pundaknya. Gadis itu pun membuka mata dan menoleh ke belakang. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan betapa terkejutnya saat dia melihat Rayhan yang tersenyum manis padanya. Senyum yang menciptakan pelangi di bawah guyuran air hujan. "Rayhan?" Pria tampan bertubuh gembul itu melebarkan senyumnya. Senyum yang tulus menawan. Entah sejak kapan senyum itu seolah menjadi obat di setiap luka Mawar. "Pakai jaket aku," ucapnya. Mawar pun melirik sebuah jaket jeans yang ikut basah tersiram air hujan. Mawar tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Rayhan. Jelas percuma jika Mawar menggunakan jaket berbahan jeans itu. Pasalnya tetap saja air hujan akan membasahi tubuhnya. "Ga usah. Lagian udah kepalang tanggung. Udah basah semua. Jaket kamu juga jadi ikut basah. Percuma juga pakai jaket," ucap Mawar hendak melepas jaket itu. Tapi Rayhan malah berteriak. Bahkan terlihat begitu panik. "Jangan dibuka!" Hal itu tentu saja membuat Mawar semakin bingung. Kenapa Rayhan harus berteriak se panik itu? "Jangan di buka," ucapnya melembut dengan wajah yang semakin merah. "Kenapa?" tanya Mawar benar-benar bingung. "Pakaian dalam mu terlihat. Sudah pakai saja jaket nya. Maaf aku tak bermaksud mengintip. Tapi sangat jelas kalau yang di dalam warna nya pink," ucap Rayhan pelan dengan wajah menunduk. Wajah pria itu semakin lucu. Karena pipi chubby miliknya tampak memerah. Padahal seharusnya Mawar yang malu. Tapi malah dia. Mawar pun langsung mengeratkan jaket jeans itu ke tubuhnya. Terlalu besar memang. Tapi bukan masalah. Karena menyembunyikan pelindung aset jauh lebih penting saat ini. "Terima kasih," ucap Mawar. "Sama-sama," jawab Rayhan sambil melepas kaca mata tebalnya. Wajahnya terlihat semakin tampan saat dia melepas kaca mata baca itu. Seolah ketampanannya sempat tertutup oleh kaca matanya. Dan hal itu sukses membuat Mawar tersenyum. "Terima kasih," ucap Mawar. "Untuk apa lagi?" tanya Rayhan bingung. "Atas banyak hal," ucap Mawar menampilkan senyum terbaiknya. Dan hal itulah sukses membuat Rayhan mengerutkan keningnya. "Jangan mengerutkan kening seperti itu. Kalau pandanganmu tak jelas lebih baik kau pakai kaca matamu lagi." "Aku memang sengaja melepas kacamataku. Karena aku tak sanggup jika terus melihat wajah cantikmu dengan jelas," ucapnya. "Dasar gombal," ucap Mawar kesal walau sebenarnya gadis itu merasa bahagia. Baru kali ini ada yang memuji dirinya. Mawar tak menyangka pria cerdas dan culun ini pandai merayu. Atau mungkin memang semua pria seperti itu? "Sudah mau Ashar. Aku mau ke masjid dulu. Kamu ga sholat?" "Tidak." "Baiklah. Aku permisi duluan. Jangan dilepas ya jaket nya. Sungguh jelas. Lain kali kau pakai kaos sebelum seragam. Jadi saat kau bermain hujan, pakaian dalam mu tak akan terlalu terceplak jelas." "Ya." "Aku duluan ya," ucapnya kemudian berlari. Roseline tersenyum mengingat Rayhan remaja yang polos. Hanya Rayhan yang selalu bisa membuat Mawar tersenyum. Tapi sayang Roseline terlalu membenci kehidupan Mawar. Dia tak ingin kembali memeluk kepedihan. Dan dia sudah memutuskan, untuk menjadi Roseline.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN