Perkataan Kenan beberapa hari lalu masih menari-nari dikepala cantiknya, bisa-bisanya pria itu mengatakan hal seperti itu. Memangnya pria itu siapa? Percaya diri sekali jika dirinya hamil, cih. Dia tidak mungkin hamil, karena dirinya setiap hari selalu memakan nanas juga soda. Jadi amat sangat tidak mungkin jika dirinya hamil, hanya karena Kenan menidurinya sekali. Tapi, dia juga tidak tahu apakah Kenan melakukannya hanya sekali? Atau mungkin berkali-kali? Niara seketika menggelengkan kepalanya, tidak-tidak. Pria dingin itu mana mau menidurinya berkali-kali, lagi pula Kenan bukan pria yang gemar tidur dengan wanita. Itu menurut dirinya ketika mengenal Kenan saat remaja, tapi untuk sekarang dia jelas tidak tahu dan tidak mau tahu.
Niara berjalan menuruni tangga sambil menenteng tas dan juga ponselnya, kali ini Roby yang akan mengantarnya. Pria pemilik restoran itu ingin mengajak dirinya brunch di restoran barunya, Niara sih senang-senang saja. Dirinya juga sedang malas untuk menyetir, maka begitu Roby mengajaknya dirinya setuju.
Niara berjalan ke dapur untuk berpamitan pada Niko. Matanya terpaku pada tamu tak di undang di seberang meja. Kenan. Pria itu tengah duduk sambil meminum kopi di hadapan Niko, Niara mengalihkan tatapannya pada Kenan sambil mengedikan bahunya tak acuh.
"Pagi, Mas." Sapa Niara sambil mencium kedua pipi Niko.
Niko bergumam kemudian tersedak roti begitu melihat dress Niara yang begitu pendek.
"Apa-apaan pakaian kamu itu?!"
Niko berseru keras, sedangkan Niara hanya mendengus. Kakak satunya ini benar-benar lucu.
"Plis deh, Mas Niko. Kenapa kaget gitu sih? Pakaian aku masih normal oke? Jangan terlalu mendramtisir deh, bye Mas."
Niara melenggang begitu saja tanpa mempedulikan tatapan dingin Kenan dan teriakan Niko.
Siapa peduli?
"Roby?"
Kenan bergumam yang jelas didengar oleh Niko.
"Cowok Niara yang entah keberapa."
Kenan mengangguk-anggukan kepalanya, tidak percaya jika penglihatannya kemarin itu benar. Jika selama ini Niara memiliki kekasih lebih dari satu, sulit dipercaya.
Niara melihat BMW i8 berwarna putih yang terparkir di depan rumahnya, wanita itu segera keluar dari gerbang rumahnya menghampiri Roby.
"Lama?"
Tanya Niara begitu dirinya masuk ke dalam mobil. Pria yang memandangnya itu tersenyum, melihat pujaan hatinya yang begitu cantik.
"Nggak kok, berangkat sekarang?"
Niara mengangguk sambil memberikan senyum, mereka kemudian pergi meninggalkan rumah Niara.
***
Niara merasa tidak enak dengan perutnya, rasanya begah dan mual. Apa dirinya masuk angin, ya? Kemarin dirinya begadang sampai pukul 3 dini hari untuk mengerjakan pesanan. Banyak para ibu yang meminta dirinya membuatkan pakaian untuk wisuda di taman kanak-kanak. Niara jelas sangat senang, maka dari itu sepulangnya dirinya dari butik. Dia langsung menyendiri di dalam kamar, bahkan dirinya melewatkan makan malamnya. Maka dari itulah sekarang dirinya merasa tidak enak perutnya, seharusnya tamu bulannya pun datang sekarang. Sebenarnya sih dirinya terkadang suka telat datang bulan, pengaruhnya bisa karena stress atau karena kurang makan sayur. Jadi dia tidak perlu khawatir soal itu, iya tidak usah khawatir.
Niara bangkit dari kursinya dengan kepala sempoyongan, sial. Kepalanya terasa berputar, dia harus makan obat agar dirinya bisa kembali fokus. Begitu dirinya akan masuk ke kamar mandi, pintunya diketuk sekali kemudian terbuka menampakkan Siska yang memandangnya aneh.
"Lo sakit?"
Niara menggeleng.
"Masuk angin kayaknya, gue ke air dulu deh."
Siska mengangguk, dia lantas berjalan menghampiri meja Niara. Di atas meja sana terdapat beberapa kertas yang berisi rancangan yang telah digambar oleh Niara. Sudut bibir Siska berkedut, dia bangga dengan sahabatnya itu. Sedang asyik-asyiknya Siska melihat-lihat gambarnya, pintu kamar mandi terbuka dan Niara keluar dari sana.
"Sis, bawa pembalut nggak?"
Siska menaruh kertas yang dipeganganya ke atas meja, wanita ity menghampiri Niara.
"Lo dapet?"
Niara mengangguk dengan senyum lebarnya, dia benar-benar senang melihat bercak dara di dalam celana dalamnya. Karena itu berarti jika dirinya tidak sedang mengandung, dan itu membuktikan jika dirinya benar-benar selamat dari Kenan.
"Yah, kok lo datang bulan sih!"
Niara mengerutkan keningnya bingung, tidak mengerti dengan perkataan Siska.
"Kok lo sedih sih, bukannya seneng. Gue nggak hamil, Sis. Itu tandanya gue bebas, gue nggak bakalan nikah sama Kenan."
"Ah nggak seru, lo."
"Ih lo ngaco ya, Sis."
Siska malah tertawa mendengarnya.
"Itu berarti air semen Kenan nggak secanggih otaknya."
Niara terkekeh mendengarnya.
"Hm gue akui itu, tapi gue bener-bener lega. Ternyata gue nggak hamil, itu berarti gue masih bisa jalan sama semua cowok gue."
"Kalau gitu, lo traktir gue nanti malam."
Niara mendengus namun mengangguk juga.
"Kafe biasa?"
Siska mengangguk, setelah itu dia kembali keluar untuk mengambil pembalut yang diminta Niara.
***
"Mas,"
Niara berlari menghampiri sang kakak yang tengah duduk di sofa, Niko menaikan alisnya tinggi.
"Apa?"
Wajah Niara berbinar, dia memeluk lengan Niko membuat Niko jengah.
"Apa sih?!"
Niara mendongak menatap wajah Niko masih dengan binar bahagia di matanya.
"Aku datang bulan, Mas Niko. Itu berarti rencana konyol Mas Niko untuk nikahin aku sama Mas Kenan itu nggak akan terwujud. Yes!"
Niko begitu lega mendengar adiknya itu tengah datang bulan, jujur saja dirinya selama sebulan ini begitu ketar-ketir takut adiknya itu benar-benar hamil. Jika adiknya itu hamil, itu berarti dirinya harus melepaskan beban tanggung jawab yang dipikul dirinya dan sang ayah berpindah kepada Kenan. Tapi, mendengar Niara tidak hamil membuat dirinya benar-benar lega. Dia bukannya tidak menyukai Kenan menjadi adik iparnya, tidak. Ada hal-hal yang membuat dirinya tidak ingin sahabatnya itu menjadi adik iparnya. Karena feelingnya mengatakan jika mereka berdua menikah, mereka tidak akan bahagia.
"Kamu bener? Nggak bohongin Mas?"
Niara berdecak sebal.
"Ngapain aku bohongi Mas Niko!"
"Yah siapa tahu aja kan, kamu emang hamil dan nggak mau diketahuin semua orang, jadi kamu beralasan kalau kamu datang bulan."
Niara memandang sang kakak dengan takjub, hebat sekali cara pikir abangnya itu.
"Terserah Mas Niko aja deh, yang penting aku udah ngomong. Kalau aku nggak hamil, jadi malam ini aku mau izin."
Wajah Niko berubah, membuat Niara waspada.
"Izin?"
Niara mengangguk lagi.
"Aku mau makan-makan sama Siska."
Niko menyorot curiga.
"Bukan sama semua pacar kamu?"
Niara berdecak. "Mas Niko gimana sih, kalau aku ketemu sama semua pacar aku. Aku bakalan abis sama mereka."
Kali ini giliran Niko yang tergelak. "Lagian kamu, bisa-bisanya punya kekasih lebih dari satu,"
Niara menjawab dengan menampilkan gigi rapihnya, membuat Niko mendengus.
"Yaudah Mas, aku mau ke atas. Aku mau siap-siap."
Niko hanya mengangguk kembali sibuk dengan ponselnya.
Sedangkan Niara, wanita itu langsung bersiap. Dia benar-benar merasa senang, karena setelah ini dia akan kembali bebas. Tanpa Kenan yang akan merecokinya, emm sebenarnya terakhir dia bertemu dengan pria itu dua minggu lalu saat pria itu sarapan dengan Niko. Dan setelah itu dia tidak bertemu lagi dengan Kenan sampai sekarang, itu membuat perasaanya lebih baik. Wanita itu bahkan menyanyi saat memilih-milih pakaian, mata cantiknya tertuju pada sebuah mini dress berwarna abu-abu.
Setelah siap, Niara kemudian meninggalkan kamarnya, untuk pamit kepada abangnya. Kedua orangtuanya masih berada di luar kota, dan sekarang di rumah hanya ada mereka berdua.
Niko menghela napasnya begitu melihat pakaian Niara yang benar-benar membuat dirinya ingin marah.
"Apa kamu nggak punya pakaian lain, Ra?"
Niara mendengus mendengarnya.
"Ini pakaian normal, Mas."
"Tapi lekuk tubuh kamu terlihat jelas, Ra. Dan tinggi dress kamu itu juga di atas paha kamu!"
"Mas Niko! Aku pergi yah, nggak usah ngomel-ngomel lagi. Mending sana pacaran, daripada ngomelin adiknya terus."
Setelah mengatakan itu Niara mencium kedua pipi Niko lalu berjalan meninggalkan sang kakak yang sibuk dengan laptopnya.
***
Niara yang tengah asyik berbincang dengan cowok yang baru dikenalnya seketika merasa terganggu, begitu ponselnya di atas meja berdering nyaring. Dia melihat nomor asing di sana membuat dia mengacuhkannya, tidak peduli dan kembali melanjutkan obrolannya.
Siska sahabat satu-satunya itu sudah gila, wanita itu mengatakan jika mereka akan kencan buta. Niara jelas tidak percaya dengan perkataan Siska, dia berpikir jika Siska hanya bercanda. Tapi begitu dirinya duduk, kedua laki-laki menghampir meja mereka. Dan mereka mulai memperkenalkan diri mereka sendiri, pria yang duduk di hadapannya itu bernama Alexi. Wajahnya begitu rupawan, lebih tampan dari ketiga kekasihnya. Pria itu juga pintar dalam memulai obrolan, membuat dirinya tidak bosan untuk mengobrol.
Namun rupanya malam ini sepertinya tidak akan berjalan mulus, karena nomor asing yang menelponnya tadi kini kembali meneleponnya membuat dia kesal sekali.
"Angkat saja, siapa tahu penting."
Niara bingung dia sebenarnya malas sekali, namun pertanyaan Alexi membuat dia tak urung penasaran.
"Aku ke toilet dulu."
Niara mengangguk, setelah Alexi pergi. Barulah Niara bisa mengangkatnya, belum juga Niara menyapa si penelepon. Tapi si penelepon di ujung sana langsung menodongnya dengan pertanyaan.
"Apa yang kamu lakukan?"
Niara jelas tidak mengerti dengan pertanyaa pria itu.
"Tuan, sepertinya kamu salah sambung."
Kenan seketika berdecak kesal.
"Pulang Niara! Kamu seharusnya mengingat dengan jelas, perkataan saya dua minggu lalu."
"Mas Kenan?"
Bukannya Niara menjawab, dirinya justru malah bertanya karena tidak percaya jika yang meneleponnya adalah Kenan.
"Hn."
"Kenapa Mas meneleponku?"
"Pulang! Kamu secepatnya harus pulang!"
"Kalau aku tidak mau?"
"Jangan membantah, Ara!"
"Tapi aku nggak mau, kamu dengarian aku. Aku tidak hamil, hari ini aku kedatangan tamu bulanan. Jadi stop untuk recokin aku, karena ternyata air semen kamu, tidak se tokcer otak Mas Kenan, bye!"
Niara langsung menutup panggilan sepihaknya itu, dia tidak peduli jika Kenan akan marah kepadanya, toh sekarang mereka berdua tidak akan hidup bersama, lalu apa yang harus dirinya takutkan? Tidak ada. Untuk saat ini memang tidak ada, batin Niara.