Setelah telepon hari itu, Kenan tidak pernah menghubungi Niara lagi, dan itu terhitung sudah sebulan lamanya. Kenan bahkan tidak ke rumah Niko yang biasanya pria itu rajin mengunjungi kakaknya. Tapi tentu saja, Niara tidak ambil pusing. Butiknya semakin ramai saja, dan itu membuat dia selalu sibuk bahkan untuk makan saja dia sampai memesannya. Lalu, untuk urusan kekasihnya dia selalu menyempatkan untuk bertemu dengan mereka berempat. Niara membuatkan jadwal untuk para kekasihnya, malam minggu ini dengan Bagas, malam minggu depan dengan Roby, dan malam minggu lainnya dengan dua kekasihnya yang lain.
Akibat kesibukannya itu lah, yang membuat Niara akhir-akhir ini merasa tidak enak badan. Perutnya terasa begah, belum lagi mual yang selalu datang tidak tepat waktu. Hari ini badannya terasa lemas, kemarin malam dia tidak bisa tidur karena pekerjaannya butuh perhatian ekstra darinya.
Niara keluar dengan wajah yang tidak baik, wajahnya hanya dipolesi oleh cream dan juga lipblam. Tanpa perias apa-apa lagi, dia merasa sangat malas untuk berdandan sungguh sangat bukan Niara sekali.
Niara menghampiri Niko yang sudah duduk di meja makan, kedua orangtuanya pun ada di sana. Mereka bertiga memandang Niara dengan wajah yang cemas.
"Kamu sakit sayang?"
Itu suara ibu nya.
"Aku hanya sedikit lelah."
"Jelas saja, kamu bekerja seperti orang patah hati."
Niara tidak mengacuhkan Niko dia hanya diam melihat makanan di atas meja yang tidak membuat nafsu makannya naik.
"Siapa yang membuat putriku patah hati, hm?"
Ayahnya mulai ikut-ikutan terprovokasi oleh kakaknya.
"Ayah jangan dengarkan Mas Niko, dia pembohong."
Pria paruh baya itu hanya tersenyum melihat putri bungsunya.
"Apakah tidak ada makanan yang lain?"
"Apa yang kamu inginkan sayang?"
Niara berpikir ketika sang ibu bertanya.
"Mungkin teh hijau dengan sedikit gula,"
Niko mengenyitkan keningnya juga dengan ibu dan ayahnya, begitu mendengar Niara menginginkan teh hijau.
"Kamu serius?"
Niara memandang Niko aneh. "Mas Niko kenapa sih? Emangnya salah aku minta itu?"
Niko mengangguk. "Kamu sangat aneh, kenapa kamu meminum teh hijau, kamu nggak menyukainya."
Niara mengernyit, kemudian berpikir. Dia baru menyadari jika dirinya memang tidak menyukai teh hijau. Teh hijau itu pahit, rasanya yang pahit itu lah membuatnya tidak menyukainya. Tapi, sekarang mengapa dia menginginkannya?
"Niara sedang ingin saja, apa tidak boleh?" Niara malah membalas dengan kesal.
"Sudah-sudah, biar Ibu panggilkan Bu Astri membuatkanmu teh hijau. Lagi pula kenapa kamu aneh Nik? Baguskan adikmu itu mau minum teh. Ketimbang kopi terus yang dia minum."
Niara tersenyum di atas angin mendengar ibunya yang membela dirinya.
"Aku hanya merasa aneh, dia tidak menyukai teh hijau. Dan sekarang tiba-tiba saja dia ingin teh hijau, wajar kan jika aku bilang dia aneh?"
Niara mengerucut bibirnya lucu, kesal dengan perkataan Niko yang terus saja mengatainya aneh.
"Yang aneh itu Mas Niko, pacaran sama Citra bertahun-tahun kayak kredit rumah. Nggak kelar-kelar."
Niko yang di skak oleh adiknya itu hanya bisa diam membatu.
Aksi sarapan itu kembali berjalan setelah Bu Astri membuatkan teh hijau juga roti bakar untuk Niara. Yang lagi-lagi membuat anggota keluarganya heran, Niara itu tidak suka roti bakar. Karena menurutnya roti bakar itu kering dan agak pahit, tapi sekarang wanita berumur 27 tahun itu memakan makanan yang tidak disukainya. Dan lagi, lagi yang membuat orangtua serta sang kaka makin terheran-heran adalah. Niara makan tanpa mengoceh, karena biasanya dia itu tidak pernah berhenti mengoceh sekalipun makan. Tapi, sekarang lihatlah Niara makan dengan tenang tanpa berbicara sepatah kata pun. Hanya satu pikiran yang melintas dikepala keluarganya. Jika Niara benar-benar sedang tidak enak badan!
Niara memandang layar ponselnya ketika benda pintar itu bergetar, pertanda pesan masuk.
Alan
Aku sudah di depan Baby...
Niara hanya membalas oke, kemudian segera menyelesaikan sarapannya. Ia kemudian bangkit dari duduknya, kemudian menciumi pipi kedua orangtuanya berikut Niko.
"Niara berangkat."
"Biar Mas antar."
Niara menggeleng. "Nggak usah, di depan udah ada Alan."
"Ayah pengen tahu, Alan-Alan mu itu yang mana?"
"Yang punya mata, hidung, bibir, tangan dan juga kaki."
Balas Niara asal yang mendapat delikan dari sang ayah.
"Udah ah aku berangkat dulu ya, bye semua."
Setelah mengatakan itu Niara pergi meninggalkan keluarganya yang masih sarapan.
Sepeninggalan Niara, sang kepala rumah memandang Niko intens.
"Kamu tahu Alan, Nik?"
"Hmm yang aku tahu, dia anak pak Dharma."
"Yang punya perusahaan textile itu?"
Niko mengangguk.
"Ibu tidak percaya, selera Niara boleh juga."
"Awasi adikmu, Ayah tidak mau jika adik mu kenapa-kenapa."
Niko membalasnya hanya dengan sebuah anggukan. Apa jadinya jika kedua orangtuanya itu tahu jika putri kesayangannya itu tidak hanya memiliki satu orang kekasih? Apakah ayah dan ibunya akan tenang-tenang saja? Dan Niko jelas tidak akan percaya.
***
Niara melihat jam dipergelangan tangannya yang sudah menunjukan waktu makan siang. Perutnya memang tidak lapar, tapi bibirnya ingin saja mengunyah sesuatu yang asin. Dia kemudian meninggalkan ruangannya, toh butik nya hanya ada beberapa pelanggan.
"Sis, gue makan siang dulu yaa."
Siska yang berada di depan meja kasir mendongak.
"Oke, perlu gue temenin nggak?"
"Nggak usah, gue cuman bentar kok."
"Yaudah hati-hati."
Niara mengangguk kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
Butik miliknya berada di jantung kota, yang dekat dengan ke mana saja. Butiknya di apit oleh beberapa toko pakaian, sepatu, dan juga kedai. Sedangkan di seberang, hanya ada restoran dan kafe-kafe kecil khusus tempat nongkrong.
Mata cantik Niara tertuju pada sebuah coffe shop yang selalu ramai, dia jarang ke sana untuk ngopi-ngopi. Karena malas untuk mengantre, tapi sekarang dia ingin sekali ke sana untuk mencicipi minuma pahit lainnya di sana. Omong-omong bukan hanya coffe yang dijual di sana, berbagai teh juga ada. Maka wajar saja jika coffe shop itu ramai oleh pengunjung.
Niara masuk ke dalam coffe shop tersebut, beruntunglah hari ini tidak begitu ramai. Sehingga dirinya bisa mendapatkan tempat duduk, tak lama setelah dia duduk. Seorang pria menghampiri mejanya menyerahkan menu kepadanya. Niara tersenyum lalu mengambil menu tersebut, matanya jatuh kepada matcha latte dan juga croffle.
"Mas, matcha latte nya gulanya sedikit aja ya."
Mas-mas itu mengangguk kemudian menuliskan pesanan Niara.
"Ada lagi, Mbak?"
Niara menggeleng. "Kayaknya untuk sekarang itu aja."
"Baik, ditunggu sebentar pesanannya ya."
Niara kemudian mengalihkan tatapannya kesekeliling coffe shop. Tempat ini sangat cozy, dan bagus untuk foto-foto, pantas saja banyak pengunjungnya.
Tak membutuhkan waktu lama, pesanan Niara sudah datang. Niara mengucapkan terima kasih, dan dia mulai mencicipi makanan dan minumannya. Hingga sebuah kursi di hadapannya tertarik, dan seketika itu juga degup jantungnya mulai berdebar tak karuan.
Kenan-duduk di depannya dengan stelan formal. Pria itu sepertinya habis meeting, dan mungkin meetingnya di sini. Demi mengatasi jantungnya yang selalu berulah setiap di dekat Kenan, Niara berpura-pura untuk tidak mempedulikan Kenan yang duduk di hadapannya. Dia dengan cepat menandaskan minumannya juga camilan. Setelah itu dia kemudian beranjak dari duduknya, dan kembali tidak mengidahkan kehadiran Kenan. Padahal sejak limat menit lalu, pria itu terus diam memperhatikan Niara.
Ketika Niara bangkit dari duduknya, Niara merasa ada yang aneh. Namun dia tetap berjalan tak mengidahkan Kenan. Namun dia merasa jika perutnya saat ini merasa tidak baik-baik saja, ia lantas segera berlari yang langsung saja dikejar oleh Kenan.
"Tunggu!"
Perkataan Kenan jelas dianggap angin lalu oleh Niara. Sampai kemudian Niara berhenti dan membungkuk, ia ingin muntah. Dan pada saat itu, Kenan berhenti di depannya, Niara memuntahkan cairan bening tepat di atas sepatu mahal Kenan.
"Ayok aku antar ke klinik."
Namun Niara jelas batu, dia tidak mau. Yang akhirnya membuat Kenan membopong wanita itu untuk masuk ke dalam mobilnya.
Kenan tidak mengidahkan Niara yang terus merengek untuk minta diberhentikan di jalan. Sampai kemudian mereka sampai ditempat tujuan.
"Saya tidak yakin, tapi dari tanda-tandanya. Nona Niara sepertinya hamil."
Ucap pria paruh baya yang telah memeriksa Niara.
Kenan terdiam mencerna ucapan pria itu, dia masih syok dengan kata-kata dokter itu.
Hamil?
Benarkah?
***