Kenan berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam apartemen, dia mencari Niara di seluruh tempat. Namun, wanita itu tidak ada. Ketika dia masuk ke dalam kamar wanita itu, Kenan menaikan alisnya tinggi. Di atas meja pun tidak ada peralatan makeup Niara, secepat kilat dia berjalan melihat isi lemari pakaiannya. Tapi, lagi dan lagi tidak ada satupun pakaian Niara yang tergantung di lemari.
Pria itu berpikir keras, ke mana Niara pergi. Karena jelas tidak mungkin istrinya itu pergi ke rumah orangtuanya, Niara bukan wanita yang terbuka mengenai masalahnya. Terbukti dulu, ketika dia menolak wanita itu. Niko tidak mengatakan apapun kepadanya, bahkan dia terbilang biasa saja. Padahal jelas dia melukai perasaan adiknya, untuk urusan ini wanita itu memang dewasa.
Kenan yang masih berpikir akan kepergian Niara, fokusnya hilang ketika ponsel yang berada di dalam saku celana kerjanya berbunyi. Kenan mengambil ponsel tersebut, dan melihat caller id di sana.
Ibu calling
Tak mau membuat sang ibu berpikir macam-macam karena tidak secepatnya mengangkat panggilan telepon. Kenan segera menjawab ponselnya.
"Hallo, bu?"
"---"
"Aku tidak janji,"
"---"
"Hm, aku usahakan."
"Ingat, kalian harus datang. Ini penting, ibu ingin membicarakan soal 4 bulanan anak kalin."
Perkataan sang ibu membuat Kenan membeku, ibunya tidak tahu jika cucunya sudah tidak ada.
"Hm, kami akan ke sana." Jawab Kenan sambil menutup panggilan dengan ibunya.
Sudah dua minggu ini, bayi mereka tidak ada. Rasa sesak kembali menghampiri perasaannya, rasanya lebih menyesakkan ketimbang dirinya yang ditolak oleh Citra dulu.
Kenan menghela napasnya berat, pandangan matanya menyapu seluruh kamar Niara. Dan matanya berhenti di satu titik, di pojok kasur Niara dekat dengan jendela. Perlahan namun pasti, Kenan berjalan menuju sebuah box berwarna cokelat. Kenan lantas membukanya, dan tertegun melihat beberapa pakain bayi berwaran biru langit dengan gambar burung, kapal, dan juga mobil. Di sana juga ada sepatu bayi berwarna merah dan hitam, serta topi rajut. Perasaan Kenan kembali bergejolak melihat itu semua, barang-barang ini pastinya dibeli oleh Niara bukan olehnya. Karena sampai sekarang pun, dia tidak membelikan apa-apa untuk bayinya dan Niara. Mata Kenan nanar melihat itu semua, hatinya kembali diremas mengingat jika bayinya tidak akan pernah hadir ke dunia ini.
***
"Lo, yakin mau pergi?" Tanya Siska melihat Niara yang sudah siap dengan pakainnya.
Niara mengangguk kemudian memberikan senyum menenangkan untuk sahabatnya itu.
"Nggak apa-apa, gue nggak mau nyokapnya Kenan kepikiran soal masalah anaknya."
Siska tidak bisa berkata-kata lagi jika Niara sudah berbicara seperti itu.
"Mau gue anter ke sana?"
Niara menggeleng. "Nggak usah, lagian lo bukannya mau pergi sama Ben?"
"Nggak masalah sih, kan kita bisa anterin elo dulu."
"Udah deh, gue nggak kenapa-kenapa."
"Yaudah deh, lo emang keras kepala. Kabari gue kalau ada apa-apa, kalau perlu lo hajar aja mantan laki lo itu."
Niara malah tersenyum mendengarnya, dia segera pamit kepada Siska karena acara makan malamnya akan dimulai sebentar lagi.
Niara masuk ke dalam taksi yang sudah dipesan olehnya, dia tidak mau jika harus mengendarai mobil. Lagi pula, malam ini dia akan tidur di apartemennya. Jarak rumah mertuanya itu tidak begitu jauh dengan apartemen lamanya, jadi dia tidak perlu memikirkan bagaimana dirinya akan pulang.
Lamanya Niara melihat jalanan, tak sadar jika dia sudah sampai di sebuah rumah mewah milik mertuanya.
Niara berjalan memasuki rumah megah milik mertuanya tersebut, rumah milik mertuanya itu tak jauh bedanya dengan rumah milik keluarganya. Bedanya rumah milik kedua orangtuanya lebih modern.
"Ibu?" Panggil Niara melihat ibu mertuanya yang tengah berbincang dengan pengurus rumah.
Mertua wanitanya itu menoleh, raut senang tergambar diwajahnya.
"Sayang, akhirnya kamu datang juga." Ibu Kenan segera memeluk Niara ketika wanita itu menghampirinya.
"Kamu tidak bersama Kenan?"
"Kenan masih sibuk," dustanya sambil menampilkan senyum tipis.
Karena jelas, Niara tidak tahu dan tidak mau tahu. Dan dia berharap jika pria itu tidak datang kemari.
"Anak itu benar-benar, ya sudah. Ayo ke ruang makan, sudah ada ayah di sana."
Niara mengangguk sambil berjalan berdampingan dengan mertuanya tersebut.
Di ruang makan, mereka mulai memakan makan malamnya setelah ayah Kenan bertanya mengenai kabarnya dan juga kesehariannya. Mereka asik bercengkrama, sampai sebuah suara menghentikan obrolan ketiga orang di sana.
"Ibu pikir kamu tidak datang ke sini,"
Kenan hanya menatap datar ibunya, lalu duduk di samping Niara.
"Kamu mau makan? Biar aku ambilkan." Ujar Niara memandang Kenan datar.
Kenan jelas kaget dengan sikap Niara, pasalnya Niara tidak menunjukan jika mereka memiliki masalah.
"Tidak usah, saya masih kenyang."
Dan Niara mengangguk lalu kembali menatap kedua orangtua Kenan di depannya.
"Kalian akan menginap kan?" Tanya ibu Kenan.
"Sepertinya tidak bisa, Bu. Niara masih punya kerjaan lain,"
Mendengar jawaban yang dilontarkan Niara kepada ibu mertuanya, membuat Kenan mendengus.
Kerja my ass ...
Wajah ibu Kenan berubah sendu, namun sedetik kemudian kembali cerah.
"Ibu meminta kalian berdua untuk makan malam di sini, sekalian ingin mengatakan sesuatu."
Wajah Kenan berubah tegang mendengar perkataan ibunya.
"Ibumu, Ra. Kemarin datang kemari, dan kami merencanakan untuk mengadakan 4 bulanan bayi kalian."
Wajah Niara seketika berubah, tubuhnya kaku dengan wajah menegang. Niara seketika menundukkan wajahnya, berusaha mati-matian untuk tidak menangis.
Kenan yang melihat Niara di sampingnya menegang pun kebingungan, dia harus menghentikan sang ibu untuk tidak membicarakan perihal ini. Sayangnya, ketika Kenan akan membuka mulut.
Niara mendongak, menatap kedua orangtua Kenan dengan senyum tipis.
"Tidak usah, Bu. Sebaiknya kita ke panti asuhan saja untuk berbagi rezeki."
"Karena, bayi kami sudah tidak ada. Aku keguguran dua minggu lalu."
Wajah kedua orangtua Kenan berbubah pias, jelas kaget dengan perkataan Niara. Kenan pun kaget, karena Niara sendiri yang mengatakannya.
Ibu Kenan segera menghampiri Niara, memeluk tubuh wanita muda itu dengan tangis yang mulai terdengar. Niara hanya diam ketika tubuhnya dipeluk, dia tidak bisa menangis. Tangisnya sudah habis seminggu lalu, karena pekerjaan dia selama seminggu itu hanya menangis dan menangis.
"Kenapa kamu tidak bilang, Ra?"
Niara hanya diam, enggan membalas. Perasaannya kembali campur aduk mendengar ibu mertuanya itu yang terus menangis sambil memberinya ucapan-ucapan untuk menguatkannya.
"Aku tidak apa-apa, Bu. Sungguh, aku sudah bisa menerimanya." Niara berujar untuk menenangkan ibu mertuanya.
Namun ibu mertuanya itu malah terus menangis sambil memeluk Niara.
"Ken, kenapa kamu tidak bilang pada kami? Kamu tidak menganggap kami?" Ujar ayah Kenan yang kini berada di samping Kenan.
Kenan menghela napasnya.
"Bukan maksud kami tidak memberitahu Ibu dan Ayah, kami tidak ingin membuat kalian kepikiran." Dusta Kenan.
Jelas dia berdusta, dia tidak mungkin mengatakan hal ini kepada kedua orangtuanya. Dan menimbulkan huru-hara di sana, ada beberapa faktor yang membuat dia tidak memberitahu mereka. Dan sepertinya Niara memiliki pemikiran yang sama seperti dirinya.
"Kalian menginap di sini yah?" Pinta ibu Kenan.
Niara tidak bisa menolak, wanita itu hanya bisa mengangguk.
Setelah puas memeluk Niara, ibu Kenan melepaskan pelukannya.
"Yasudah, kalian istirahat di atas." Sahut ibu Kenan lagi sambil menghapus air matanya.
Niara mengangguk sambil tersenyum tipis kepada kedua orangtua Kenan. Kemudian pamit ke lantai atas untuk beristirahat.
"Ken susul dulu, Ra."
Kedua orangtua Kenan mengangguk menyetujui.
Baru saja sampai di dalam kamar, Niara langsung berujar begitu mendengar pintu kamar yang terbuka.
"Aku akan tidur di sofa, Mas Kenan bisa tidur di kasur." Sahut Niara datar, Niara kemudian mengambil bantal dan juga selimbut yang berada di atas kasur.
Sedangkan Kenan sendiri diam memerhatikan Niara.
Ada banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan oleh Kenan, terutama mengenai surat perceraian!
***