Niara yang masih menginap di rumah mama mertuanya itu mengerjapkan matanya. Dia melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul 6 pagi, dia melirik ke seberang tepat di atas ranjang. Kenan sudah terbangun terlihat dari selimut yang acak-acakan, dan suara di dalam kamar mandi. Dia akan berpura-pura untuk kembali tidur hingga siang, tidak mempedulikan kedua orangtua Kenan yang menganggap dia menantu buruk. Karena tidak mengurusi suami dengan baik, dia benar-benar tidak peduli dengan penilaian mertuanya. Toh dari awal pernikahan ini bukan kemauannya kan, toh dari awal dia tidak menginginkan menikah dengan Kenan. Jadi, jangan salah kan dirinya yang tidak menjadi istri yang baik. Karena dari awal saja, mereka menikah dengan suatu alasan. Karena sekarang alasan itu sudah tidak ada, jadi pernikahan ini pun tidak diperlukan lagi.
Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, Niara segera membalikkan tubuhnya menghadap sandaran sofa dengan mata ia pejamkan. Kenan yang sudah selesai mandi berjalan menghampiri Niara yang rupanya masih tertidur.
Ada beberapa alasan yang membuat dia membiarkan Niara tetap tidur di sofa. Pertama, dia tidak mau menyentuh Niara sekalipun hanya untuk menggendongnya mengingat hubungan dia dan Niara yang selama ini tidak baik. Kedua, dia tidak mau dianggap kurang ajar karena menggendong Niara tanpa seizin wanita itu. Maka dari itu, dia membiarkannya saja.
Melihat Niara yang masih tertidur lelap, Kenan berjalan ke arah lemari mengambil pakaiannya untuk bekerja. Setelah siap dia berjalan keluar dari kamar meninggakan Niara yang masih tertidur.
"Niara masih tidur?" Tanya ibunya pada Kenan.
Pria yang telah rapi memakai pakaian kantornya itu mengangguk.
"Kenapa kalian tidak memberitahu kami? Bagaimana kalau terjadi apa-apa kemarin dengan Niara?"
Kenan diam, bingung untuk menjawab.
"Apa kamu tidak menganggap kami orangtua kamu, Ken?"
"Bukan seperti itu, Bu."
"Lalu, apa? Kamu seharusnya memberitahu kami. Kami khawatir, lihat istrimu begitu kurus. Dia pasti sangat terluka, mulai sekarang kamu harus lebih perhatian dengan Niara. Ibu tidak mau Niara stress dan membuatnya sakit, dia paling menderita. Kau paham?"
Kenan hanya diam, menghela napasnya berat.
"Ibu tidak akan membiarkan Niara pulang, kalian sebaiknya tinggal di sini untuk beberapa hari. Ibu tidak mau Niara diam di rumah kalian sendirian,"
Bahkan ibunya saja lebih tahu mengenai keadaan istrinya, sedangkan dirinya? Dia tidak tahu apa pun. Selama dua minggu ini dirinya bahkan tidak pulang ke apartementnya, maka wajar saja jika dirinya tidak mengetahui.
Setelah selesai sarapan, Kenan pamit kepada kedua orangtuanya untuk pergi bekerja.
Sedangkan di atas, tepatnya di kamar Kenan. Niara bangkit dari sofa, dia harus segera keluar dari sini. Dia tidak bisa diam lama di rumah orangtua Kenan. Karena, mau sebaik apa pun itu mertua. Tetap saja mertua, mereka tidak akan seperti orangtua kandung kita sendiri.
Niara masuk ke dalam kamar mandi, dia melepaskan seluruh pakaiannya. Memandang di cermin perutnya yang memakai korset. Perlahan air matanya menurun ketika dirinya mengusap perutnya, ia kembali ingat jika sekarang di dalam perutnya kosong. Tidak ada keberadaan bayi nya, perlahan namun pasti dia semakin terisak. Tubuhnya merosot sambil memeluk tubuhnya, dengan tangisan yang semakin keras. Karena tak dapat dipungkiri, dia sudah menyanyangi janin yang berada di dalam perutnya. Maka dari itu dia benar-benar merasa bersalah dan sakit hati.
***
Niara menuruni anak tangga dengan pakaian yang sudah rapi, wajahnya dipoles sebaik mungkin menutupi bengkak di matanya.
"Sayang, kamu mau ke mana?"
"Hi, Bu. Niara mau pulang,"
Wajah ceria mama mertuanya itu berubah.
"Kenapa? Ibu sudah bilang pada Kenan untuk kalian tinggal sementara di sini, dan Kenan setuju."
Niara tersenyum tipis, tidak mungkin suaminya itu menyetujuinya.
"Bu, bukan Niara tidak mau. Hanya saja, banyak pekerjaan yang Niara tinggalkan dari kemarin."
"Ibu tahu, baiklah kalau begitu. Ibu tidak akan melarang kamu, tapi ingat. Kalau ada apa-apa kamu harus cerita, jika nanti Kenan menyakiti kamu. Kamu harus cerita, sekalipun dia anak Ibu. Ibu tidak akan membelanya, kau mengerti?"
Bukan nanti, tapi dari dulu dia selalu menyakitiku.
Niara hanya menyunggingkan senyum tipisnya, dia tidak akan mengatakan apa pun. Bukan dia tidak percaya dengan ibu mertuanya, tapi dia tidak mau kedua orangtua Kenan ikut campur urusan rumah tangganya. Toh dia saja tidak menceritakan apa pun kepada keluarganya, jadi untuk apa dia bercerita.
"Terima kasih, Bu."
Niara memeluk ibu mertuanya dengan sayang, dia kemudian undur diri meninggalkan rumah besar tersebut.
Di dalam perjalanan menuju butiknya, ponselnya yang berada di dalam tas nya berdering. Pertanda ada yang meneleponnya, Niara mengambil ponsel pintarnya. Dia melirik nama Niko di sana, dia agak ragu untuk mengangkatnya. Tapi jika tidak di angkat kakak nya itu pasti akan menerornya terus.
"Hallo, Mas."
"Ara, kamu di mana?"
"Lagi di jalan mau ke butik, kenapa?"
"Tidak, hanya saja dari kemarin Mas selalu ingat kamu."
Niara diam, dengan bibir yang dikatupkan. Mencoba menahan perasaan sensitifnya, dia tidak mau Niko menyadari jika ada yang tidak beres dengan dirinya.
"Ck, tumben. Biasanya Mas nggak pernah nanyain keadaan aku, tuh." Ujar Niara pura-pura acuh tak acuh.
"Kamu ini yah, mau makan siang dengan, Mas?"
Niara diam, jika dia bertemu dengan kakaknya sekarang akan dipastikan kakaknya itu akan mengetahui dirinya yang seperti ini. Dan dia jelas tidak mau, dia tidak mau oragtuanya khawatir.
"Emm tidak, aku harus meeting dengan beberapa klien." Tolaknya halus.
Tidak seperti biasanya Niko diam tidak langsung membalas perkataan Niara.
"Kamu tidak membohongi, Mas kan, Ara?"
"Bohong apa sih, Mas Niko aneh deh."
"Karena, Mas ngerasa kamu nutupin sesuatu dari, Mas."
"Mas, Niko. Aku nggak nutupin sesuatu kok. Mas Niko tahu aku kan?"
"Justru itu, Mas tahu betul kamu seperti apa. Awas aja, kalau ada yang sembunyiin dari Mas."
"Hm yaudah deh, aku mau turun dari taksi nih Mas. Bye."
Niara segera menutup panggilan teleponnya, setelah membayar argo Niara turun dari taksi. Dia kemudian berjalan menuju butik, tempat yang menjadi kekuatannya seminggu terakhir ini.
***
Kenan masuk ke dalam rumah orangtuanya, dengan tubuh yang letih.
"Loh, Ken. Ada barang yang ketinggalan?"
Tanya sang ibu bingung, melihat Kenan yang masuk ke dalam rumah sendiri.
"Ibu udah bujuk Niara tadi pagi untuk tinggal di sini, tapi dia nggak mau. Ibu juga nggak bisa paksa dia, karena Ibu tahu dia bekerja sekarang untuk mengobati rasa sakit hatinya. Kamu jangan biarin Niara sendirian yah, Ken. Kasihan dia, wajanya tirus badannya juga kurus. Dia seperti tidak memiliki suami yang mendukungnya, kamu jangan sakitin dia yah. Sakitin dia, kamu sama saja dengan menyakiti Ibu."
Perkataan sang ibu jelas menampar telak Kenan. Tubuh letihnya seperti tersiram es, dia benar-benar tertampar akibat perkataan ibunya. Dia kesulitan untuk membalas, maka dia hanya bisa terdiam beberapa saat.
"Ken ke atas dulu, Bu mau ambil barang yang tertinggal." Dustanya. Karena alasan dirinya kesini adalah Niara. Dan dia tidak tahu jika Niara pergi dari rumah ibunya.
Setelah berpura-pura mengambil barang yang tertinggal, Kenan langsung saja pamit kepada kedua orangtuanya. Dia segera menjalankan mobilnya ke arah apartementnya dengan kecepatan tinggi. Namun, sayangnya ketika dia sampai di apartemen. Apartemennya itu gelap gulita, dia seolah tersadar jika Niara sudah tidak tinggal lagi di sini.
Mendengus kasar dia menyalakan lampu ruang tamu, kemudian merogoh celana denimnya untuk mengambil ponsel. Kenan menelepon Niara namun tidak diangkat oleh wanita itu, Kenan kembali meneleponnya namun tidak diangkat lagi hingga panggilan kelima. Namun, begitu dering ke enam barulah ada yabg mengangkatnya.
"Kau di mana?!"
"Apa?"
"Kamu ada di mana, Ara?!"
"Ck untuk apa Mas Ken menanyakan keberadaanku?"
"Niara, jangan memancing kesabaran saya! Kamu pergi dari rumah ibu dan tidak memberitahuku?!"
"Ck, memangnya aku peduli?!"
"Niara Prameswari jawab pertanyaan saya. Kamu berada di mana sekarang?!"
"Hotel! Aku sedang bersama kekasihku, jadi sebaiknya Mas Ken tidak usah mengangguku!" Sentak Niara marah yang langsung menutup panggilan telepon secara sepihak.
Kenan yang mendapati Niara memutus panggilannya mengumpat marah. Dia meremas ponselnya, rasanya dia benar-benar ingin menghancurkan seseorang. Dengan amarah yang masih menyelimutinya, dia berjalan keluar sambil membanting pintu apartementnya.
***