Bab 9

1401 Kata
Niara menelepon sahabatnya, dia ingin meminta tolong padanya untuk menemaninya di sini. Dia masih lemas, setelah apa yang terjadi padanya. Air matanya terasa kering akibat dari tadi menangis, sekarang tinggal dirinya yang merasa lelah. Tak berapa lama, Siska datang. Wanita itu menangis melihat Niara yang terlihat lemas di atas ranjang. "Pulang ke apart gue yah?" Niara mengangguk, dia memang tidak akan kembali ke apartemen Kenan ataupun rumahnya. Dia tidak mau keluarga besarnya mengetahui hal ini, terlebih Niko - kakaknya. Meskipun dia percaya Niko akan membuat Kenan mati, tapi dia tidak mau. Orangtuanya akan sedih melihat keadaannya sekarang, lagi pula dia tidak mau keluarganya merecoki rumah tangganya. Dua hari kemudian, setelah menyelesaikan administrasi, Niara diperbolehkan keluar. Di dalam mobil pun Siska tidak mengatakan apa-apa, hanya terus mengenggam tangan Niara. Menguatkan sahabatnya itu. Sesampainya di apartemen Siska, Niara langsung masuk ke dalam kamar khusus tamu. Siska yang melihat itu semua hanya bisa menghela napasnya, dia mengerti keadaan sahabatnya itu. Niara butuh waktu, dan dia akan membiarkan sahabatnya itu hingga dia sendiri yang akan memberitahunya. Sedangkan di dalam kamar, Niara meringkuk dengan air mata yang terus mengalir. Tangannya memegangi perut yang kini terasa kosong, air matanya kembali tumpah dengan deras. Dia benar-benar sedih dan merasa bersalah, seharusnya dia mendengarkan apa yang dokternya itu katakan. Dia terlalu egois, dan berakhirlah bayinya kini yang menghilang. Ah iya, bukankah ini juga keinginannya untuk tidak menginginkan bayi ini? Dan ketika bayinya kini sudah tidak ada sesuai keinginannya. Kenapa dia menangis? Kenapa dia sakit? Karena tanpa sadar, dia mulai menyayangi bayinya itu. *** Sudah hampir seminggu, Niara berada di apartemen Siska. Wajah Niara sudah tidak sepucat kemarin, Niara sudah bisa tersenyum ketika Siska membuat lelucon. Ibu dan Niko mulai menanyakannya, karena tidak biasanya dia tidak memberi kabar kepada mereka seminggu ini. Mereka khawatir, namun dia mengatakan jika dia sedang sibuk dan berada di luar kota untuk urusan pekerjaannya. Sedangkan Kenan? Pria itu tidak memberikannya pesan, hatinya sudah mati rasa untuk Kenan pria itu benar-benar menghancurkannya hingga tak tersisa. Dan dia sudah membuat keputusan, dia akan berpisah dengan pria itu. Karena yang membuat mereka menikah sudah tidak ada, tidak ada lagi yang mengikat mereka di dalam pernikahan ini. "You oke?" Siska bertanya pada Niara ketika melihat sahabatnya itu tengah berada di balkon, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Tanpa memandang sahabatnya itu, Niara mengangguk. "Lo beneran mau pisah sama Kenan?" Tanya Siska yang masih tidak percaya dengan pendengarannya tadi. Niara menganggukan kembali kepalanya. "Nggak ada yang ikat kita lagi, toh kita menikah gara-gara ada bayi di perut gue. Sekarang udah gak ada, jadi buat apa gue mempertahankan pernikahan status ini." Kini giliran Siska yang mengangguk, wanita itu memegang tangan Niara menguatkan sahabat putih biru nya itu. "Apapun keputusan lo, gue akan selalu dukung." Niara membalikan wajahnya, memandang Siska yang duduk disampingnya sambil menyunggingkan senyum. "Thanks ya, gue nggak tau kalau lo nggak ada di sisi gue, Sis." Siska mengangguk membalasa senyum Niara dengan senyuman juga. "Itu gunanya sahabat," Niara kembali tersenyum dan mengangguk. "Gue mau ketemu sama Mas Davi." Alis Siska terangkat ke atas mendengar ucapan Niara. "Mau gue temenin?" Niara menggeleng. "Nggak usah, soalnya gue mau janjian ketemu sama Alan." "Lo yakin mau ketemu Alan?" "Iya, dia baru balik dari Jerman dan ngajak ketemu." "Oke deh kalau gitu, gue mau ke butik yah. Bu Mer udah janji mau liat contoh kain buat seragam anaknya." "Sorry ya, Sis. Lo jadinya yang repot gantiin gue." Siska beranjak dari duduknya, dia mengibaskan tangannya. "Alah kayak ke siapa aja sih, lo. Kayak biasa aja gaji gue lo naikin." Niara mendengus namun tersenyum juga, sahabatnya itu memang bisa di andalkan. *** Niara memasuki sebuah cafe tempat janji temunya dengan Davi. Davi ini seorang pengacara, salah satu teman Niko dan Kenan. Dia ingin meminta bantuannya, untuk mencarikan seorang pengacara untuk mengurusi perceraiannya dengan Kenan. Penampilan Niara yang selalu elegan, tak jarang menjadi pusat perhatian ditunjang dengan tubuhnya yang tinggi dan langsing. Wajahnya ia pulas sedemikan rupa agar tidak terlihat pucat, karena selama seminggu ini dia dihabiskan dengan menangis. Matanya terlihat berbeda, namun dia bisa menutupinya dengan riasan. "Mas Davi, udah lama?" Tanya Niara yang kini berdiri di hadapan Davi. Pria seumuran Kenan dan Niko itu memiliki tubuh yang seperti Robby, kekasihnya. Robby memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi, namun tidak terlalu pendek. Jika berdiri dengannya, tetap saja tinggi pria itu. Namun, dibanding dengan Kenan dan Niko jelas Davi kalah. Untuk wajahnya, Davi memiliki wajah yang kalem dan bersahaja. Pria itu juga sering tersenyum dan tidak kaku, jenis pria yang disukai wanita karena keramahannya. Sayangnya, pria seperti Davi sering dikecewakan oleh wanita. Andai saja dia menyukai Davi, dia pasti tidak akan pernah merasakan sakit hati. "Nggak kok, silakan duduk, Ra." "Tumben nih, ngajakin Mas ngopi. Ada apa?" "Aku mau minta tolong sama, Mas." "Minta tolong apa?" "Apa Mas punya teman yang bisa ngurusin perceraian." Mata Davi seketika memicing menatap Niara, membuat wanita yang sudah dia anggap sebagai adiknya itu mulai tidak nyaman. "Kamu mau cerai?" Todong Davi yang tepat sasaran. Tubuh Niara seketika menegang, namun dia mencoba untuk rileks. "Eng-enggak kok." "Ra?!" Niara mengembuskan napasnya berat, dengan mata yang ia gulirkan ke arah lain. "Tapi Mas Davi jangan cerita ke siapa-siapa, termasuk Mas Niko." "Ara!" "Plis." Niara memohon dengan wajah memelas. Jika Niara sudah memohon seperti itu, Davi tidak bisa menolaknya. "Baiklah, Mas akan tutup mulut." Wajah Niara kembali cerah, setelah Davi menyanggupi permintaannya. "Aku sama Kenan udah nggak cocok, dari awal kita nikah karena alasan. Dan di saat alasan itu udah nggak ada, apa lagi yang harus dipertahankan?" "Kamu udah pertimbangin ini dengan matang?" Niara mengangguk tegas. "Kalian udah bicarain ini bareng-bareng?" Niara mengangguk, tidak ada pembicaraan antara dirinya dan Kenan untuk perceraian ini. Karena ini murni keinginannya, dan sepertinya Kenan juga menginginkan hal yang sama dengannya. "Jadi, Mas Davi punya teman yang bisa urusin peceraian aku kan?" "Biar Mas saja yang urusin perceraian kalian." Niara mengerjapkan matanya, kaget dengan jawaban Davi. Yang benar saja, masa perceraiannya di urus oleh sahabat Kenan? "Kenapa? Apa kamu tidak percayai sama Mas?" Niara mengangguk membuat Davi mendengus. "Mas sudah janji kan barusan? Mas tidak akan membocorkan rahasia ini kepada siapapun, termasuk Niko. Tapi dengan catatan, kamu harus jelasin alasan keinginanmu yang berpisah dengan Kenan." "Aku kan udah jelasin tadi, apa itu nggak bisa?" Davi menggeleng. "Ayolah, Mas." "Ara." "Kalau Mas Davi nggak bisa, biar aku aja yang cari sendiri pengacara." Niara tiba-tiba bangkit dari duduknya, namun Davi segera menahannya. "Baiklah, Mas akan mengurusnya." "Makasih, Mas." Davi tersenyum sambil mengangguk. *** Sudah dua minggu Niara tidak pulang ke apartemen Kenan, begitupun dengan Kenan. Karena terlihat sekali apartemen yang ditinggalkannya itu masih seperti dua minggu kemarin, Niara lantas pergi ke kamarnya. Dia sudah memutuskan untuk pergi dari sini, dia akan tinggal dengan Siska. Sebelum dia kembali ke apartemennya dulu, dia tidak mau jika orangtuanya tahu. Sebelum perceraiannya belum sah, dia tidak mau memberitahu keluarganya. Niara membereskan semua barang yang berada di sini, dia tidak mau meninggalkan barang sekecil apapun. Karena dia tidak mau harus kembali ke sini, dia tidak sudi. Setelah membereskan barangnya, Niara kembali meninggalkan apartemen Kenan. Dia tidak akan merindukan tempat ini, karena di sini hanya ada kepahitan saja. Memasukan semua barangnya ke dalam taksi. Niara meminta sang supir untuk membawa dirinya kembali ke apartemen Siska. Di lain tempat di waktu yang sama, Davi mendatangi kantor Kenan. Pria yang menjabat sebagai salah satu sahabatnya itu sedang fokus. "Sepertinya kau sibuk sekali." Tegur Davi yang langsung masuk ke dalam kantor Kenan, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan sahabatnya itu. Mendengar salah satu sahabatnya itu yang datang secara tiba-tiba tanpa memberitahunya dulu, membuat Kenan menghentikan aktifitasnya itu. "Tumben kau kemari, apakah kita memiliki janji?" Davi mendengus mendengar jawaban Kenan. "Tidak, aku hanya menyampaikan amanat." Alis Kenan tertarik ke atas, bingung dengan ucapan Davi. Tanpa membuang waktu, Davi menaruh sebuah berkas di atas meja Kenan. "Apa itu?" "Kau bisa membacanya sendiri." Kali ini tidak ada suara main-main dari Davi. Kenan mengambil sebuah dokumen yang dibawa oleh Davi. Dia kemudian membacanya, sebuah dokumen perceraian. Begitu membuka dokumen tersebut, sebuah nama dan tanda tangan sudah terisi di sana, Niara mengajukan percerain. "Aku tidak tahu kalian selama ini memiliki masalah, hanya saja aku sangat meyangakan kalian berpisah." Ucapan Davi sepertinya tidak digubris oleh Kenan, karena pria itu sedari tadi sibuk dengan pikirannya. Namun sedetik kemudian, dia bangkit dari duduknya kemudian mematikan laptopnya. Membawa ponsel serta kunci mobilnya, lalu berjalan dengan langkah cepat meninggalkan Davi yang bingung karena ditinggalkan di dalam kantor. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN