Galau 8.1

1394 Kata
Sekitar pukul enam, Daffi sudah memintaku untuk bersiap melakukan perjalanan hari ini sekalian check out. Tujuan perjalanan pagi ini adalah mengunjungi kawah putih di Ciwidey. Sayangnya mendung dan gerimis menyambut kedatanganku di Kawah Putih. Kata Daffi kalau sudah cuacanya nggak bersahabat seperti ini, kami nggak bisa berlama berada di sini. Benar saja, sedang asyik foto-foto gerimis kembali mengganggu aktivitas. Daffi menyewa sebuah payung untukku. Cuacanya semakin siang makin nggak keruan. Sebentar panas sebentar gerimis. Setelah puas mengambil foto di beberapa angle yang keren, Daffi mengajak kami semua meninggalkan tempat ini. Dari Kawah Putih perjalanan berlanjut ke Pasar Baru Bandung. Belanja sepuasnya dengan harga bersahabat nggak kayak harga barang bermerek di PVJ semalam. Setelah itu kami mampir ke jalan Dago Bandung. Sepanjang hari itu aku merasa sikap Daffi beda dari biasanya. Apa ya, bisa dibilang sedikit lebih posesif dan protektif. Namun aku merasa nyaman dengan semua sikap yang ditunjukkan Daffi padaku. Daffi kelihatan banget kurang suka tadi, saat Trio menggoda ingin menjadikanku kekasih gelapnya selama pelatihan. Padahal aku dan Trio hanya bercanda. Daffi juga tahu itu. Namun wajah dan caranya membalas guyonan Trio yang bikin setiap orang berpikir bahwa Daffi dan aku memiliki hubungan khusus. "Mestinya kamu nggak perlu ngomong sekasar itu sama Trio. Kamu kan sekamar sama dia. Aku nggak apa-apa kok. Biasa aja," protesku, saat Daffi menolak bermain tebak-tebakan, kalau aku nggak bisa menjawab pertanyaan dari Trio, maka aku harus mau menjadi pacar pura-puranya Trio untuk bikin pacarnya Trio yang katanya cuek tuh cemburu. Kalau hanya sekadar menolak nggak apa-apa, lah Daffi pakai acara gebrak meja segala kayak orang nantangin berkelahi. "Tapi Trio udah kelewatan. Mestinya dia nggak bersikap merendahkan perempuan kayak gitu. Memang kamu nggak merhatiin tatapan mata Trio mengarah ke mana waktu ngomong gitu ke kamu?" Aku menggeleng dengan ekspresi bodoh. "Sorry, d**a kamu," kata Daffi dengan tatapan menatap ke segala arah. Otomatis aku menutupi dadaku dengan menyilangkan kedua tanganku di depan d**a. "Kamu serius?" tanyaku, merasa sangat malu saat ini. "Iya," jawab Daffi lalu membuka kemeja flanelnya dan memakaikannya kepadaku. "Kalau Trio ngajak ngomong kayak tadi, nggak usah ditanggepin. Dia memang ngawur kalo mgomong. Kalau ditanggepin ngelunjak orangnya." Aku mengangguk lalu mengekori Daffi ke tempat kami menikmati makan sore sebelum kembali ke puncak. Sekitar pukul lima sore, mobil yang aku tumpangi ke Bandung sampai juga di hotel tempat pelatihan. Saat menutup pintu mobil, pandanganku langsung bersirobok dengan tatapan nggak bersahabat om Hamka. Dia sedang duduk di sofa yang disediakan di lobi sambil menatap lurus ke arah pintu utama hotel. "Ayo," Daffi menyentuh pundakku, mengajakku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti saat melihat keberadaan om Hamka. "Kamu duluan, Daf. Aku masih ada perlunya." "Ransel sama belanjaan kamu mau dibawain nggak?" Aku menggeleng lalu menyuruh Daffi masuk hotel terlebih dulu. Daffi menurut dan nggak banyak tanya. "Kamu dari mana, mbak?" tanya om Hamka setelah aku berada di hadapannya. "Abis jalan-jalan." "Ke mana?" "Om Hamka ngapain ke sini?" "Kamu ditanya malah nanya lain. Om tanya kamu dari mana? Semobil isinya cowok semua." "Ada ceweknya kok." "Iya cuma kamu sama temen kamu satu orang. Bapak atau ibu tau kamu pergi sama mereka, ke Bandung? Nginep?" Aku syok karena om Hamka tahu aku ke Bandung. Aku malas bertatapan dengan kedua mata om Hamka yang kurang menyenangkan itu. "Om tau dari temen sekamar kamu kalau kamu pergi ke Bandung dari semalam. Kamu izin sama orang tuamu?" Aku menggeleng tegas lalu membuang muka dari om Hamka. "Apa susahnya mbak, minta ijin bapak atau ibu kalau kamu ke Bandung? Kalau bapak tau kamu ke Bandung, bareng cowok-cowok dan nginep lagi, habis kamu sama bapakmu yang kolot itu, mbak." "Bapak ataupun ibu nggak akan tau kalau om nggak ngasih tau mereka. Om pergi aja sana, nggak usah ke sini-sini lagi. Mulai saiki ojo ngriwuki uripku maneh. Aku iki wes gedi, dudhuk cah cilik koyok biyen!" (Mulai sekarang, jangan ikut camput hidupku lagi. Aku ini sudah besar, bukan anak kecil seperti dulu) "Kamu kok kasar gitu ngomongnya, mbak? Sejak kapan kamu jadi *ngelamak gitu sama orang yang lebih tua dari kamu?" (Melawan) "Aku tau om pasti dikirim sama ibu untuk memata-matai aku kan? Iya kan, om?" "Astaghfirullah. Demi Allah nggak, mbak. Om ke sini bener-bener atas inisiatif sendiri. Om cuma pengen tau keadaan kamu. Di sekitar sini kamu nggak ada saudara. Cuma Om yang lokasinya paling dekat dengan tempat pelatihan ini. Kalau sampai kamu kenapa-kenapa, sakit atau kecelakaan misalnya. Trus Om nggak tau apa-apa, ibu apalagi bapak kamu pasti marah besar sama Om." Aku nggak menjawab ucapan panjang dan cukup menohok om Hamka. Nggak menyangka orang sesabar om Hamka bisa marah juga. Om Hamka lalu mengembuskan napas kasar dan memberiku sebuah bungkusan plastik. "Ini apa?" "Cuma makanan kecil buat kamu." Aku nggak lantas membuka bungkusan itu. Hanya menatapnya dengan wajah ditekuk. "Om minta maaf kalau kata-kata Om tadi bikin kamu tersinggung." Aku masih diam dan menundukkan wajah. Kesal sekaligus malu sama om Hamka. "Ojo nesu mbak. Om itu ngomong gitu buat kebaikan kamu juga." (Jangan ngambek) Sambil memberengut aku mengangkat wajah untuk melihat wajah om Hamka. Dia sedang menatapku dengan senyum tertahan. "Aku nggak nesu, cuma kesel aja. Kalo Desta yang ngomong gitu udah aku tendang bokongnya." Om Hamka tertawa tapi sedikit ditahan. Membuatku juga ingin tertawa melihat ekspresinya yang lucu menurutku. "Mbak sudah makan?" "Sudah." Om Hamka lalu melihat jam tangannya dan beranjak dari sofa. "Om harus balik ke Jakarta. Besok ada meeting pagi, tapi Om belum nyiapin bahan meetingnya." "Om!" Panggilku. Om Hamka menoleh. "Om mau janji kan, nggak bakal bilang ibu kan kalau aku abis nginep di Bandung?" Om Hamka menghela napas panjangnya lalu menepuk bahuku. "Kali ini om tutup mulut. Tapi kalau kamu kayak gini lagi, Om nggak akan tinggal diam." Aku berjalan beriringan dengan om Hamka. Mengantarnya ke tempat parkir khusus kendaraan roda dua. Sebelum pergi, seperti biasa om Hamka menyodorkan tangan kanannya padaku. Aku kira untuk menyalamiku. Ternyata om Hamka menyerahkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan padaku "Buat apa, Om?" "Buat kamu. Pakek aja kalau ada yang pengen dibeli. Kalo nggak ada, mbak simpen aja untuk kebutuhan yang lain." "Ngapain mesti repot-repot gini sih, Om?" Dia tersenyum lembut lalu meletakkan sejumlah uang itu di genggaman tanganku. Tak membutuhkan debat panjangku, Om Hamka kemudian memintaku menyalaminya. Saat aku mencium punggung tangannya dengan hormat dia tersenyum hangat. "Kamu pinter-pinter jaga diri ya, mbak. Kalau mau berbuat yang nyeleneh inget bapak sama ibu di rumah." "Iya, makasi. Om hati-hati di jalan ya." Aku melepas kepergian om Hamka sampai kendaraan yang dikendarai om Hamka menghilang dari pandanganku. "Tadi ada yang nyariin kamu. Udah ketemu orangnya?" tanya teh Titi saat aku masuk kamar. "Udah Teh. Itu Om aku dari Jakarta." "Om? Om-om-an apa om beneran?" teh Titi bertanya lagi dengan wajah heran. "Om beneran, Teh. Dia adiknya ibuku. Adik sepupu sih tepatnya." "Oooh. Masih muda banget ya? Cakep lagi." "Iya Teh. Usianya masih 29 tahun dan single." Wajah teh Titi terlihat semringah dan memegangi kedua pipinya yang sedikit cubby. "Andai aku belum married, mau deh dikenalin sama om kamu." Aku hanya tertawa kecil merespon komentar teh Titi. Kami mengobrol sambil membongkar barang bawaanku dari Bandung. Eta sedang pergi dengan Fasha mencari warung internet terdekat untuk menerima kiriman fax dari kantor cabang masing-masing. "Teteh kok tau sama Om aku? Ketemu di lobi ya?" "Iya. Pas itu aku lagi nungguin suami dan anakku di lobi. Denger ada yang nyebut-nyebut nama kamu di meja resepsionis, ya aku samperin aja orangnya. Wajahnya juga kelihatan banget kan kalau dia orang baik-baik, jadi ya aku negur ramah trus nanya siapanya kamu dan ada perlu apa sama kamu." "Emang Om aku dari jam berapa di sini?" "Sebelum makan siang. Sekitar dhuhur gitu. Soalnya pas adzan itu dia nanya masjid atau musholla terdekat di hotel ini. Setelah aku tunjukin dia langsung ke masjid hotel trus solat di sana." Aku mengatupkan bibir mendengar penjelasan teh Titi. Artinya om Hamka sudah lama banget menunggu kedatanganku. Tapi setelah ketemu aku malah marah-marah dan mengusirnya dari sini. Kan pekok. Om Hamka juga sama pekok-nya. Ngapain nggak telepon dulu coba sebelum berangkat dari Jakarta? "Teteh ngomong kalo aku ke Bandung?" "Iya, aku bilang kamu pergi ke Bandung sama Eta, teman sekamar kamu yang lain." Aku jadi merasa bersalah sama om Hamka. Seandainya saja aku tahu kalau dia sudah lama menungguku sebelum bertemu dia tadi, mungkin aku lebih bisa mengontrol emosiku. "Jakarta ke sini tuh berapa lama kira-kira ya, Teh?" "Sekitar dua sampai tiga jam. Tergantung kondisi jalannya, macet atau lancar jaya." Aku nggak lagi membahas soal om Hamka dengan teh Titi. Hal itu membuatku semakin merasa bersalah. Memilih membuka bungkusan yang diberikan oleh om Hamka. Aku spontan menutup mulut dengan sebelah tanganku. Isi kantong plastik ini segala jenis snack, cokelat dan wafer kesukaanku. Ada juga minuman ringan dan beberapa kotak s**u uht. Om Hamka, desisku menyebut nama laki-laki itu penuh rasa bersalah dan penyesalan. Aku berdoa semoga om Hamka tidak memasukkan ke hatinya omonganku yang kasar tadi padanya. --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN