Pagi harinya, aku dan teh Titi berjalan beriringan menuju kelas komputer. Hari ini akan dilakukan praktek dari semua teori yang diajarkan selama lima hari yang lalu.
"Kamu yakin mau ikut Daffi and the gank ke Bandung?" tanya teh Titi dengan sedikit berbisik padaku.
"Iya teh. Kan perginya sama Eta. Emang kenapa?"
"Denger-denger mereka mau pergi ke Flix. Makanya kan berangkat sore, jadi malemnya bisa ke tempat itu."
"Flix? Itu tempat apa ya Teh?"
"Tempat karaoke biasa sih. Cuma ya gitu di tempat itu menyediakan minuman keras sama pemandu wanita gitu, dan boleh dibawa pulang si pemandunya itu."
"Boleh dibawa pulang?" tanyaku. Kayaknya aku mulai lola.
"Iya. Karaoke plus plus gitu loh. Dibawa pulang buat dijadiin selimut malam."
"Nggak ngerti, Teh."
"Semacam tempat prostitusi terselubung gitu lah. Paham kan sekarang maksud teteh?" Nada bicara teh Titi agak meninggi.
Lututku agak lemas. Aku mengatupkan kedua bibirku sambil menatap teh Titi mencari kebenaran atas semua percakapan kita pagi ini. Senyum ramahnya berubah menjadi kecut melihat tatapan galau di mataku.
"Eta tau?"
"Aku malah taunya dari Eta. Emang Eta nggak ngomong apa-apa sama kamu?"
Aku menggeleng dan mengulas senyum palsu. Mencoba berpikir positif tapi dalam hati khawatir nggak keruan.
"Lo nggak usah takut, mbak. Mereka memang mau ke Flix. Tapi cuma tiga orang. Daffi sama Trio nggak ikutan kok. Yang tiga itu para bos-bos yang udah pelatihan tiga minggu di sini. Selama itu pula mereka nggak dapat jatah dari istrinya yang nun jauh di mato. Jadi ya mereka butuh seseorang untuk memuaskan hasrat laki-lakinya. Gitu mbak."
Jadi Eta menguping percakapanku dengan teh Titi. Aku jadi merasa nggak enak sendiri sekarang. "Iya, Ta. Aku ngerti." Aku merogoh saku celana bahanku dan berbalik menjauhi Eta dan teh Titi. Daffi meneleponku.
"Nanti nggak bisa makan siang bareng. Nggak apa-apa ya?"
"Nggak apa-apa, Daf. Kenapa kalo boleh tau?"
"Aku sekarang lagi di pasar. Lagi praktek marketingan gitu. Mungkin sampai jam dua-an. Nanti berangkat ke Bandungnya jam empat-an. Aku jemput kamu di depan kamarmu ya."
"Oke deh. Aku masuk kelas dulu ya. Kamu hati-hati ya, Daf."
"Iya, kamu juga ya, yang."
"Apa, Daf?"
"Eh, sorry, sorry. Nggak sengaja. Nggak maksud apa-apa kok."
"Iya, it's oke kok. Kebiasaan lama sih ya, susah dihilangin," jawabku terkekeh. Padahal dalam hati gedebak gedebuk. Ngarep Daffi emang sengaja nyebut panggilan 'yang' tadi buat aku. Kependekan dari panggilan sayang.
"Beneran nggak sengaja kok."
"Iya, iya, woles aja, Daffi."
Daffi tertawa lalu mengakhiri percakapan kami di telepon. Aku bergegas masuk kelas karena baru sadar ternyata Eta dan teh Titi udah duluan masuk kelas, meninggalkan aku yang keasyikan mengobrol di semak-semak.
(*)
Pukul empat sore aku sudah rapi dan siap berangkat ke Bandung. Eta masih repot sama catokannya yang nunggu panas dulu baru bisa dipakai. Namun sampai jam segini belum ada tanda-tanda Daffi akan datang menjemputku di kamar. Ponselku juga teronggok begitu saja di atas tempat tidur, nggak ada satupun panggilan telepon dari Daffi.
Sekitar lima belas menit menunggu, pintu kamarku diketuk pelan. Saat membuka pintu Daffi sudah berdiri mengenakan kaus putih polos, celana jeans panjanh warna blue jeans lengkap dengan keds putih dan topi sport berwarna senada dengan celananya.
"Sorry telat. Tadi dari pasarnya kesorean. Masih mandi dulu," jelasnya, sebelum aku meminta penjelasan kenapa terlambat jemput.
"Nggak apa-apa. Aku sama Eta udah siap."
"Mana barang bawaan kamu?"
Aku menyerongkan sedikit badanku untuk memperlihatkan ransel di punggungku.
"Ransel doang?"
"Iya. Cuma semalam kan? Besok udah balik. Nggak perlu bawa baju banyak-banyak."
"Ya udah mana ranselnya biar aku bawain."
"Nggak usah, makasi. Ta, ayo! Daffi udah datang nih." Aku meneriaki Eta yang masih bergelut dengan rambutnya.
"Astaga! Satu jam nyatok ujung-ujungnya dikuncir?" Aku hanya geleng kepala mendapat respon sebuah cengiran t***l dari Eta.
Sudahlah ngapain mesti repot mikirin rambutnya Eta. Aku mengikuti langkah Daffi yang sedikit terburu-buru menuju lobi hotel.
Di dalam mobil, Eta, aku dan Daffi duduk bersebelahan di bangku tengah. Di belakang ada Trio dan dua pria yang aku tebak berusia sekitar 40-an. Mungkin dua pria itu yang dimaksud Eta tadi, bos-bos yang mencari kepuasan di ranjang.
Sepanjang perjalanan aku dan Eta hanya menjadi pendengar yang baik. Ikut tertawa kalau ada yang lucu, kalau nggak ngerti sama obrolan yang kadang memang menjurus ke omongan jorok, aku lebih memilih diam.
Karena macet di jalur tanjakan ke puncak, aku baru bisa sampai Bandung sekitar pukul delapan malam. Katanya memang biasa kalau weekend selalu macet, karena jalur di puncak dibuat buka tutup.
Tempat pertama yang aku kunjungi sesampainya di Bandung adalah Paris Van Java. Eta seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Melesat secepat kilat begitu melihat papan sale di pintu kaca beberapa outlet sepatu. Aku nggak minat, jadi aku memberi kesempatan pada Eta untuk berburu brand sepatu yang memang sangat diinginkannya dibeli di PVJ.
Aku dan Daffi memutuskan duduk santai di bangku taman. Mengobrol ringan sambil melihat orang yang lalu lalan di sekitar PVJ.
"Denger-denger boscab mau ke Flix malam ini?" tanyaku, sok tau banget lagi cara nanyanya. Boscab itu singkatan dari bos cabang atau istilah untuk kepala cabang.
Daffi melongo awalnya kemudian berdeham pelan. "Kamu kok tau Flix?" tanyanya dengan sangat hati-hati.
"Roommate aku kan warga Bandung, pak," jawabku.
Daffi tertawa renyah lalu menjawab. "Cuma mau karaokean aja. Bosen belajar mulu."
"Kamu ikut?"
"Ikut kalau karaokeannya."
Aku menatap Daffi. Dalam hati ingin sekali aku melarangnya untuk ikut. Tapi aku sadar diri, nggak punya hak buat melarang Daffi. Lah, aku sapanya? Gebetan bukan, pacar apalagi.
"Kenapa? Kamu mikir aku bakal ikut menikmati fasilitas plus-plus yang ditawarkan di Flix? Tenang aja, aku nggak sebejat itu kok. Aku cuma pengen nyanyi sambil teriak-teriak buat ngurangin beban otakku. Tapi kalau kamu ngelarang aku ke Flix, ya aku nurut-nurut aja."
Astaga, ketahuan banget ya wajahku mewakili isi kepala dan hatiku. Sejujur itukah wajahku di depan cowok ini???
"Eh, nggak gitu kok. Bolehlah. Siapa yang ngelarang," jawabku kikuk.
Daffi kembali tergelak. "Iya deh, iya. Kalau kamu nggak mau melarang. Karaoke plus-plus enak nih malam ini," imbuhnya, seraya melirik padaku dengan wajah jahilnya.
Aku melayangkan cubitan di perutnya yang liat. Namun perbuatanku ini sepertinya salah besar. Daffi menangkap tanganku lalu meremas pelan jemariku. Dengan gerakan reflek aku menarik tanganku yang berada di tangan Daffi setelah mendengar gertakan Eta yang cukup membuat jantungku hampir copot rasanya.
"Cie, cie....ditinggal belanja sepatu bentaran aja udah pegang-pegangan tangan. Kayaknya nanti malam bakal ada yang ngilang dari kamar hotel nih, trus check in di hotel lain," ucap Eta sambil menjawil daguku.
Daffi sendiri malah tertawa, sama sekali nggak berniat membantuku meluruskan kesalahpahaman yang ditangkap oleh indra penglihatan Eta.
Aku beranjak dari kursi yang aku duduki sejak tadi, lalu pergi meninggalkan Daffi dan Eta dengan perasaan dongkol. Aku bahkan nggak takut tersesat di tempat asing ini saking kesalnya.
Daffi menemukanku yang berada cukup jauh dari tempat kami duduk sebelum Eta datang. "Jangan jauh-jauh dari aku. Kalau kamu nyasar aku yang bingung," ujar Daffi saat ikut duduk di sampingku.
"Aku sudah besar, bisa baca dan tulis. Kalau nyasar ya tinggal cari pos keamanan terdekat. Ngapain kamu sewot gitu?"
Daffi tak menjawab ocehanku. Dia mengembuskan napas kasar lalu menyodorkan minuman kemasan kepadaku
"Kamu kenapa diem aja tadi waktu Eta ngeledek kita?" tanyaku saat Daffi masih dalam diamnya.
"Cuma ngeledek ini. Aku anggap itu cuma becandaan biasa. Kamu kenapa jadi sensi banget?"
"Aku nggak suka," jawabku ketus.
"Ya udah, kalau nggak suka jangan ditanggepi. Nggak perlu ngambek nggak jelas gini, dong."
Daffi meraih tanganku. Kembali menggenggamnya seperti tadi. Aku berusaha melepasnya, tapi Daffi semakin mengeratkan genggamannya.
"Lepasin, Daf."
"Nggak sebelum kamu nggak ngambek lagi."
"Aku nggak ngambek, cuma kesel dan malu aja. Bukannya bantuin kamu malah ikut ngetawain."
"Iya deh iya, aku minta maaf ya."
"Iya tapi lepasin tangan aku."
Akhirnya Daffi melepas tanganku. Kami berdua berjalan beriringan masuk ke sebuah outlet departemen store yang ada di PVJ.
Dari PVJ, sopir melanjutkan perjalanan mencari hotel tempat menginap malam ini. Daffi yang memesankan kamar untukku dan Eta, sekaligus mengantar ke kamar.
"Kamar aku ada di seberang. Kalau butuh sesuatu dariku, itu jalan menuju kamarku," jelas Daffi, setelah memastikan kamar yang akan aku tempati malam ini aman dan nyaman bagiku.
"Thanks ya."
Daffi mengangguk lalu meninggalkanku untuk kembali ke kamarnya sendiri.
Sekitar pukul dua belas malam, pintu kamar hotel diketuk pelan dari luar. Eta sudah terlelap. Kasihan kalau harus membangunkan dia untuk sekadar menemani membuka pintu kamar. Akhirnya dengan berjalan mengendap dan sangat hati-hati aku membuka pintu.
Aku mengusap d**a setelah tahu yang berdiri di depan pintu adalah Daffi. "Kamu ngapain ke sini?" tanyaku, sambil membenahi ikatan di rambutku.
"Aku lapar. Nggak ada temen buat diajak cari makan," kata Daffi sambil nyengir.
"Temen-temen kamu pada ke mana?"
"Kan udah tau mau ke Flix."
"Kamu nggak ikut."
Daffi menggeleng ringan. Wajahnya terlihat agak ngantuk. Tapi mungkin perutnya nggak bisa diajak kompromi buat diajak tidur malam ini.
"Temenin aku makan, yuk."
Aku mengangguk setuju. "Aku ganti baju dulu ya. Masa pakek babydol gini," ujarku kemudian.
"Iya. Aku tunggu sini aja."
Aku bergegas mengganti pakaian yang lebih pantas dipakai untuk keluar malam begini. Lima menit kemudian aku sudah berjalan bersama Daffi keluar dari hotel melati ini.
Di simpang jalan ada sebuah restoran cepat saji yang buka 24 jam. Aku dan Daffi sepakat makan di restoran itu.
"Kamu mau makan juga nggak?" tanya Daffi setelah dia memesan satu paket ayam dan nasi yang akan jadi menu makan tengah malamnya.
Aku mengangguk lalu meminta dipesankan paket menu yang dipesan oleh Daffi.
Setelah sampai di meja bersama nampan berisi makanan pesanan kami, Daffi mempersilakanku untuk duduk lebih dulu. Setelah dia ikut duduk, aku menyodorkan satu lembar uang pecahan lima puluh ribuan padanya.
Daffi melongo melihat aku menyodorkan uang ini padanya. "Buat apa?" tanyanya dengan ekspresi agak bingung.
"Uang makananku."
"Aku yang ngajak masa iya kamu bayar sendiri. Santai aja lagi. Uangnya kamu simpen aja buat kamu," katanya, lalu tersenyum simpul.
"Aku nggak biasa makan dibayarin orang. Apalagi tadi kita belum bikin kesepakatan apa-apa."
"Aku nggak biasa makan dibayarin cewek. Udah jadi hukum alam, kalau cowok dan cewek makan bareng, yang bayarin ya harus cowoknya. Prinsipku juga sama kayak gitu."
Daffi nggak menghiraukan ekspresi wajahku yang agak turun mendengar jawaban darinya. Dia nggak tahu aja kalau jawaban seperti itu terkesan merendahkan seorang wanita. Seolah wanita itu makhluk yang ditakdirkan untuk memoroti laki-laki. Malas berdebat aku memilih menghabiskan santapan makan tengah malamku.
Setelah selesai makan, kami nggak lantas kembali ke hotel. Daffi masih menahanku di restoran cepat saji ini hingga pukul setengah dua dini hari.
Kami berdua mengobrol banyak hal. Dari topik obrolan ringan hingga topik obrolan berat seputar perbankan. Ternyata Daffi sudah pernah bekerja sebelumnya di bank mikro lainnya di bagian pemasaran dan penagihan. Dia sudah berkecimpung di dunia perbankan selama kurang lebih tiga tahun sampai akhirnya memutuskan untuk pindah tempat kerja.
Daffi tertarik pindah ke bank mikro ini karena status kepegawaiannya tetap setelah melalui masa probation selama tiga bulan. Berbeda dengan tempatnya yang lama. Sampai dia resign satu bulan yang lalu dari tempat kerja lamanya, status kepegawaiannya masih sebagai pegawai kontrak.
Daffi tertawa melihatku nggak berhenti menguap. Dia lalu mengakhiri obrolan malam kami dan mengantarku kembali ke kamar.
"Makasih ya udah nemenin aku makan," katanya, setelah aku sudah membuka pintu kamar hotel.
"Sama-sama. Aku juga makasih banget karena ditraktir makan tengah malam begini."
Daffi tersenyum tertahan, lalu memintaku segera masuk kamar. Dia akan pergi setelah memastikan aku mengunci pintu kamar dengan benar.
---
^vee^