Hari ini sudah hari kelima aku menjalani pelatihan di kota hujan ini. Rasa bosan sudah mulai menghantui hari-hariku. Padahal di sini banyak teman dan banyak hal yang bisa aku lakukan untuk membunuh kebosanan. Tapi ya gitu, namanya udah bosan ya bosan aja gitu.
Setelah kelas terakhir Jumat sore ini, aku mengikuti jadwal Eta. Kita berdua nongkrong di tempat gym sekalian tebar pesona di sana. Biasanya kalau Jumat sore gini, teman-teman dari group marketing menghabiskan waktunya buat berenang dan ngegym.
Baru juga sepuluh menit, Eta sudah asyik aja mengobrol dengan salah seorang teman marketing yang ditunjuk menjadi pelatih GYM oleh kaum hawa yang sebenarnya sama sekali nggak pernah bersentuhan dengan alat-alat gym, tapi sok-sokan pengin ngegym. Termasuk aku salah satunya.
Bosan di tempat gym aku memilih keluar. Angin di luar lebih segar daripada di ruangan ini, di sini pengap. Keluar dari area gym, aku melihat Daffi duduk di pinggiran kolam dengan telanjang d**a. Rambut cepaknya masih basah bekas berenang. Tiba-tiba dia melambaikan tangan ke arahku lalu memintaku untuk mendekat padanya.
Dalam hati istighfar, tapi mata nggak bisa bohong. Masih tertuju pada satu titik, perut rata dan keras milik Daffi. Aku menggeleng malu-malu kucing alias jual mahal, membuat Daffi tertawa tertahan lalu beranjak dari pinggiran kolam. Sambil berjalan ke arahku dia mengenakan kaus abu-abu bergambar vespa artsy di depannya.
"Aku nggak tau cewek kayak kamu ternyata suka ngegym?" katanya, ikut duduk denganku di bangku taman.
"Nggak suka. Cuma ikutan aja."
Daffi paham maksudku. "Lagi ngecengin siapa? Tunjuk aja orangnya, nanti aku kasih tau nama sekalian nomor handphonenya," ujarnya sambil terkekeh.
"Nggak seniat itu juga kali. Nggak ngecengin siapa-siapa. Beneran cuma ikutan aja. Boring di kamar mulu."
Daffi mengangguk seraya tersenyum manis. "Sabtu besok ada acara ke mana gitu?" Dia bertanya.
"Nggak ada. Sama aja kayak kalau di rumah. Weekend cuma *ndekem di kamar kerjaannya. Aku anaknya ngebosenin pasti ya? Weekend malah nggak punya acara." Bagus juga kesannya, kayak cewek manis dan baik-baik gitu, tapi sedikit pekok karena aku sudah menjelekkan diriku sendiri di depan cowok, Daffi pula orangnya. (Mendekam)
Daffi hanya tertawa lepas sampai mempertontonkan gigi gingsulnya mendengar gerutuanku, bikin deg-deg serrr saja. "Ikut aku aja. Temen-temen mau lihat Bandung," ajaknya kemudian.
"Bandung?"
"Iya. Kamu udah pernah ke Bandung?"
Aku menggeleng. Boro-boro ke Bandung, diizinin kuliah di luar kota sama Raden Sudarmono dengan perjanjian setiap akhir pekan kudu pulang ke rumah saja sudah bagus.
Nelongso men nasibku, buk.
"Tuh kan. Kebetulan kamu nggak pernah tau Bandung, jadi mumpung di sini ikut aja."
Awalnya mikir keras. Tapi selanjutnya malah tanya, "naik apa?" Mulai kepincut akunya.
"Temen-temen patungan sewa mobil sama drivernya. Berangkat Sabtu sore balik ke sini Minggu sore. Gimana?"
Tawaran yang menggiurkan. Trus aku kudu izin piye sama Raden Sudarmono? Nggak mungkin lah nggak izin. Kalau nggak izin trus sampai nanti ada apa-apa di Bandung, malah tambah rame dapat sumpah dari Raden Sudarmono, kan apesnya double kuadrat.
"Aku boleh ajak temenku?" tanyaku lagi. Mulai ngelunjak ini ceritanya. Udahlah ditawarin gratisan masih minta ngajak temen yang lain.
"Boleh aja. Mobilnya muat sampai tujuh penumpang. Yang pasti ikut baru lima orang. Jadi masih ada dua kursi lagi buat kamu dan temen kamu."
"Gitu ya? Pendaftaran terakhirnya kapan?"
Sumpah, selugu dan se-ndeso apa aku ini menggunakan istilah pendaftaran terakhir, seperti anak SMA mau masuk universitas saja. Jelaslah sekarang Daffi menahan tawa sampai geleng-geleng.
"Aku tunggu malam ini ya jawaban fixnya. Pas makan malam nanti aku nyamperin kamu."
Aku mengangguk setuju. Daffi kemudian pamit karena teman-temannya memanggil dari arah kolam renang.
"Apa atuh yang mau dilihat di Bandung? Bandung mah gitu-gitu wae. Mending kamu ke Jakarta neng," komentar teh Titi saat aku mengajaknya ke Bandung. Aku mengajaknya terlebih dulu bukan tanpa alasan. Sebab dia yang paling tua usianya, dan juga dia orang Bandung. Ya kali aja dia mau pulang gitu, jadi kan bisa sekalian.
"Makanya aku ngajak teteh. Kan enak ada guidenya. Jadi nggak perlu repot-repot di jalan tanya sana sini, bingung mau kemana abis dari sini. Gitu teh. Biar simpel gitu loh."
"Enggak deh. Aku aja ini nggak pengen pulang ke Bandung dulu sampe pelatihan ini kelar. Tau kan suamiku tuh lagi bikin darah mendidih mulu bawaannya."
Deuh, malah curhat si teteh. Lalu aku pun merayu Fasha. Dia langsung geleng kepala sekaligus badan. Apalagi perginya sama geng cowok-cowok. Bahaya katanya.
"Ya udah sama aku aja, mbak," kata Eta menawarkan diri.
"Katanya kamu mau pulang ke Jakarta weekend ini?"
"Nggak jadi mbak. Mama papaku ke Medan nengok opungku yang lagi sekarat," jawabnya asal nyablak.
Seketika aku melompat untuk memeluk Eta dan mengucapkan terima kasih pada gadis itu.
"Tapi minggu paginya antar aku ke gereja bentar ya. Aku mau ikut misa minggu di gereja Bandung. Aku udah janjian sama temennya Daffi yang bakal ikut ke Bandung juga besok."
Aku mengarahkan kedua ibu jariku padanya. Setelah sepakat, kami berempat turun ke aula untuk menikmati santapan makan malam. Sekaligus bertemu Daffi untuk menyampaikan keikutsertaanku dan Eta dalam perjalanan ke Bandung.
"Nanti nginepnya di mana, Daf?" tanyaku saat ditinggal mengobrol berduaan saja dengan Daffi, oleh tiga teman sekamarku.
"Nanti cari hotel murah meriah aja. Banyak kok di Bandung. Biar aku yang nanggung biaya hotelnya. Kamu nggak perlu khawatir soal itu," kata Daffi. Obrolan soal ke Bandung pun kelar. Trus bunyi krik, krik, krik karena kita kayak kehabisan bahan obrolan malam ini.
"Oya Daf, kamu kenal Alika nggak?"
Kening Daffi berkerut lalu mengulang nama yang aku sebut tadi dengan intonasi bertanya. "Alika?"
"Iya, Alika. Anak Fakultas Hukum angkatan 2006 kalau nggak salah."
"Oh, Alika itu. Dia mantanku. Kenapa? Kamu kenal?"
"Iya, teman SMA ku. Lumayan deket pas sekolah. Tapi pas kuliah nggak pernah ketemu lagi. Bisa dibilang lost contact juga."
"Oh, pantes. Aku nggak pernah tau sama kamu. Soalnya waktu aku jalan sama Alika, aku juga lumayan akrab sama temen-temen deketnya Alika. Jadi aku hampir tau sama semua temen-temen dia."
"Kamu kenapa putus sama Alika?"
"Udah mulai nggak cocok aja."
"Kalian jalan berapa lama?"
"Sekitar tiga tahunan. Udah putus enam bulan yang lalu."
"Tapi bulan lalu kayaknya foto kamu masih ada di galeri facebooknya Alika deh, Daf."
"Mungkin dia lupa buat ngehapus foto-foto kami yang berduaan. Maklumlah, Alika kan super sibuk orangnya. Jadi mungkin nggak terlalu care sama dunia maya."
Aku hanya angguk-angguk saja. Daffi sama sekali nggak merasa terganggu aku menanyakan soal Alika padanya. Malah aku yang rasanya jadi enggak enak sendiri. Baru kenal beberapa hari udah maen ngorek kehidupan pribadi seseorang.
"Kamu sendiri sekarang lagi deket sama siapa?" Tiba-tiba Daffi bertanya seperti itu. Aku langsung cegukan. Daffi menyodorkan air mineral kemasan gelas padaku.
"Kebanyakan makan mie," kilahku supaya nggak ketahuan kalau cegukannya karena kaget dapat pertanyaan sensitif macam tadi dari cowok.
"Pantesan, makan mie sama nasi. Ya seret tenggorokanmu," katanya, yang aku jawab dengan cengiran t***l. "Pertanyaanku nggak pengen kamu jawab?" tanya Daffi lagi.
"Apa?"
Pengen noyor kepala sendiri deh jadinya. Kenapa aku jadi lola gini sih?
"Tadi aku nanya, sekarang kamu lagi deket sama siapa? Nggak enak aja kalau aku ngajak jalan pacar orang. Kan mending ngajak jalan pacar sendiri. Ya nggak?"
"Oh, iya betul." Eh...
"Trus jawabannya apa?"
Aku menggeleng lalu tersenyum tersipu. Kalau Desta lihat mbaknya model gini, pasti udah *ditapok bakiyak mukaku. (Ditepuk)
"Cuma mau bilang nggak punya pacar aja pakek malu-malu. Kenapa sih cewek-cewek itu pada minder kalau statusnya jomlo? Kelihatan ngenes banget ya?"
"Semacam itu lah, Daf. Nggak bisa diungkapkan dengan kata-katalah pokoknya pas usia-usia kayak aku gini malah jomlo."
Ditambah lagi bapakku tipekal orang tua yang otoriter dan konservatif. Hati kecilku yang melanjutkan kalimat itu.
Daffi hanya tertawa mendengar jawabanku. Berbicara dengan jarak sedekat ini dengan Daffi membuatku tersadar kalau laki-laki berkulit bersih ini punya kantong mata yang menggemaskan ketika tersenyum apalagi tertawa. Segitu gilanya aku pada bentuk mata seseorang, sampai memperhatikan sedetail itu. Bulu mata lentik, cek, kantong mata lucu, cek. Fix, aku fans garis keras mata Daffi mulai detik ini.
"Besok kamu masih ada kelas?" tanya Daffi setelah menemani sampai depan pintu kamarku.
"Ada, tapi cuma satu materi aja. Abis coffe break udah kelar."
"Makan siang bareng aku ya." Ini bukan pertanyaan tapi lebih ke pernyataan mengajak.
Eh, loh, aku kudu njawab piye?
"Aku jemput di sini aja gimana?"
"Ng....nggak usah, Daf. Ketemuan di lobi aja, biar kamu nggak naik turun," jawabku. Daffi setuju lalu pamit kembali ke kamarnya yang berada di ujung lorong.
Ya Allah...aku kok deg-degan ngene tho???
Fasha, Eta dan teh Titi menyambutku dengan senyum-senyum gaje alias nggak jelas.
"Ada yang lagi kesemsem tuh kayaknya," celetuk Fasha.
Eta bergegas mengambil botol lotionnya kemudian berdiri di atas ranjang, "Jatuh cinta...berjuta rasanya...biar siang biar malam terbayang wajahnya...syalalala...syalalala."
"Dia dekat aku senang tapi salah tingkah....dia aktiv aku pura-pura jual mahal. Oh repotnyaaa....jatuh cintaaa..."
"Berdebar jantungku saat bertemu dia. Ingin rasanya aku memilikinya. Ooo....oooh..."
"Berdebar jantungku bila kuingat dia...apakah ini yang namanya cinta...aku jatuh cinta, cinta kepadanya..."
Eta dan Fasha sahut-sahutan menyanyikan lagu milik eyang Titik Puspa dan Jatuh Cinta-nya Base Jam. Untungnya suara mereka berdua merdu. Satu penyanyi gereja yang satu lagi anggota paduan suara dari SMA sampai kuliah. Cocok wes.
Aku dan teh Titi hanya tertawa melihat aksi gila dua teman sekamar kami ini. Kemudian kami berempat melompat-lompat bersama di atas ranjang seperti remaja usia belasan tahun. Lupa kalau umur kami masing-masing sudah menjelang 25.
Ponselku bergetar sekali. Sebuah pesan singkat datang dari nomor baru.
Sorry ganggu. Ini daffi. Lupa bilang selamat istirahat tadi. Have nice dream ya.
Ketiga teman sekamarku langsung berseru dan melempari tubuhku dengan bantal setelah ikut membaca pesan singkat yang dikirim oleh Daffi. Aku hanya bisa menahan senyum dengan tingkah konyol mereka.
"Pulang dari pelatihan ada yang jadian nih kayaknya."
"Untung sih se-area, nggak perlu jadi pejuang ldr tuh, Teh."
"Jangan bahas ldr, ada yang terluka di sini kalau mengenang jadi pejuang ldr."
"Ldr jarak udah biasa kali, uni Fasha. Sekali-kali nyobain ldr kayak yang pernah aku alami. Ldrnya rumah ibadah, dong."
Kami bertiga hanya menggeleng dan menadahkan tangan bersama-sama, lalu berdoa semoga dijauhkan dari kemelut cinta yang pernah dialami oleh Eta. LDR beda kota, pulau atau negar aja sudah berat, apalagi beda tempat ibadah. Nggak bisa membayangkan kalau hal itu terjadi padaku. Bisa disembelih pas hari raya kurban aku sama Raden Sudarmono yang otoriter dan koservatif, trus dagingku di bagikan ke fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Amit-amit jabang bayi tujuh keturunan nggak ada yang mengalami hal seperti itu.
---
^vee^