Galau 6

1654 Kata
Sesampainya di hotel yang akan menjadi tempatku menginap sekaligus mendapatkan pelatihan, seluruh peserta berkumpul di lobi hotel. Aku mendapat teman sekamar tiga orang. Dua diantaranya satu divisi denganku yang satu lagi berbeda divisi. Aku sudah berkenalan dengan salah satunya. Ada Margareta dari Salatiga, dan Fasha dari Jambi. Masih ada satu lagi bernama Titi yang sedang on the way dari Bandung. Aku mengikuti langkah Margareta yang meminta dipanggil Eta supaya lebih akrab. Dia yang mewakili saat pembagian key card tadi. Perempuan yang lebih pantas menjadi model itu berjalan melenggak lenggok penuh percaya diri di koridor yang sepi ini, sambil menatap satu persatu pintu kamar yang ada di kanan kirinya. "Ini kamar kita. Finally," ujarnya lalu mendorong pintu kamar ke arah dalam. Sepertinya ini adalah kamar kelas luxury dilihat dari bednya yang berukuran king. Ada dua buah tempat tidur di dalam kamar ini. Satu memiliki ranjang yang satu lagi hanya spring bed langsung di lantai. "Kita giliran ya tidurnya, gantian gitu. Sehari di atas sehari di bawah. Gimana?" ujar Eta menyampaikan solusi pembagian ranjang. "Terserah kalau aku. Fasha gimana?" "Bebaaas. Yang penting bisa bobok manis." "Good girl. Sayang deh sama kalian," balas Eta lalu mengempaskan tubuhnya di ranjang yang lebih tinggi. Selang beberapa menit terdengar suara ketukan di pintu kamar. Fasha yang baru keluar dari kamar mandi membuka pintu kamar yang kebetulan berdekatan dengan kamar mandi. "Hai," ujar perempuan berambut sebahu itu melangkah gontai sambil menarik travel bagnya dengan malas. "Kalian teman sekamar aku?" katanya, dengan logat Sunda yang sangat kental. "Titi," ujarnya menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku. Dilanjutkan perkenalan dengan Eta dan Fasha. Suara ponsel dari tas jinjing Titi berdering terus semenjak dia memasuki kamar ini. Namun perempuan berwajah keibuan itu sama sekali tidak berniat menerima panggilan di ponselnya. "Handphone siapa, sih? Kok nggak diangkat? Berisik deh," tegur Eta yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan ketus. "Sorry," ujar Titi lalu menonaktifkan ponselnya. Seketika suasana kamar ini menjadi tegang karena pertanyaan Eta yang ketus tadi. Kegiatan pertama yang aku lakukan di tempat pelatihan ini adalah perkenalan dengan seluruh peserta pelatihan. Untuk divisiku sendiri diisi oleh seratus persen perempuan. Ada 23 orang yang berasal dari Sabang hingga Merauke. Logat bicara mereka sangat lucu-lucu menurutku. Gaya berpakaian dan dandanan mereka juga beragam. Ada yang heboh, sederhana, agak jadul juga ada, kurang mbois juga ada. Kalau aku sih tengah-tengah aja. Sudah kutebak Eta langsung menjadi idola kaum adam. Saat sesi perkenalan berlangsung Eta menawarkan diri menjadi perwakilan dari divisi Customer Service. Sontak terjadi kericuhan di sudut ruangan aula hotel ini. "Mereka itu anak-anak marketing, suka pada heboh gitu emang kalau lihat makhluk berkromosom X, apalagi model kayak sih Margaretha gitu. Secara kan isi divisi mereka 99 persen makhluk berjakun," jelas salah seorang calon CS yang berasal dari Irian Barat. Namanya Winda. Kata Winda mulut anak-anak marketing itu racun mematikan bagi pengusaha-pengusaha swasta, terutama pengusaha kecil yang sedang terhimpit modal usaha untuk mengembangkan usahanya. Winda banyak tahu soal tempat pelatihan ini, karena dia pernah dikirim ke tempat ini untuk pelatihan juga. Hanya saja di divisi yang berbeda. "Wah, Winda pengalaman tuh. Dia kan pernah berada di sarang penyamun tuh dulu," sahut salah seorang yang lainnya. "Betul itu. Berisik banget lah mereka tuh kalau ada perempuan. Kayak lihat makhluk luar angkasa." Sontak kami semua tertawa mendengar candaan Winda. Dari tempatku duduk saat ini, aku menangkap sosok yang sedang ikut tertawa tatkala teman-teman yang lain menyoraki Eta yang sedang memperkenalkan masing-masing personel dari group CS. Daffi melambaikan tangannya padaku. Aku hanya mengangguk membalas lambaian tangannya. "Ciye, baru juga sehari si mbak Jawa ini udah nemu gebetan. Ati-ati loh mbak, mulutnya anak marketing itu racun mematikan. Bukan cuma bagi calon nasabah, tapi buat perempuan juga," goda Winda yang memergoki Daffi saat melambaikan tangannya padaku. Blegedes, aku kan tengsin mbok. Aku hanya mendengkus sebelum akhirnya menahan senyum karena ledekan Winda.. Selanjutnya perkenalan dilakukan oleh group dari divisi lain. Dan terakhir adalah group marketing yang diwakili oleh Daffi. Sepertinya Daffi bakal menjadi idola bagi kaum hawa, kebalikannya Eta yang digilai oleh kaum Adam. Yang satu tinggi langsing, yang satu tinggi gagah. Apalah aku yang cuma setinggi pohon bonsai. Seketika aku mengutuk kenapa menuruni tinggi badan ibuku yang semampai alias semeter tak sampai. Coba kalau menuruni postur tubuh Raden Sudarmono. Kesel, kenapa cuma Desta doang yang tinggi, aku enggak. Ini nggak adil, Ya Allah. Eh, tapi Desta kan juga nggak tinggi-tinggi banget untuk ukuran cowok. Acara perkenalan yang lumayan heboh akhirnya selesai sudah. Panitia memberi kesempatan pada seluruh peserta kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Hari-hari yang berat selama 14 hari di hotel ini akan menyambut kami semua esok pagi. Aku berjalan beriringan dengan Eta dan teh Titi. Fasha memang berpisah tadi sesampainya di aula, sebelum acara dimulai. Karena memang hanya Fasha sendiri yang berbeda group dengan kami bertiga. "Eh, itu bukannya cowok yang tadi dadah-dadah sama kamu ya?" bisik teh Titi. Aku memanggilnya teteh karena dia orang Sunda dan berusia dua tahun lebih tua dariku. Sedangkan Eta memanggilku dengan sebutan mbak, karena dia setahun lebih muda dariku. "Itu perwakilan group marketing waktu perkenalan tadi kan? Gebetan lo mbak?" "Opo? Gebetan?" Aku tertawa lalu melanjutkan ucapanku. "Gebetan gundulmu atos, Ta. Bukanlah, dia itu satu daerah sama aku. Satu region malah, cuma beda area." "Oalah begono. Kirain gebetan baru. Lumayan tuh mbak. Manis-manis gula jawa. Ya nggak sih, teh?" "Iye, Ta, iye. Asal jangan habis manis sepah dibuang aja." "Permen karet dong?" Seloroh Eta. Aku dan teh Titi sontak tertawa mendengar celetukan itu. Membuat dua orang laki-laki yang sedang berjalan dengan jarak hanya sekitar beberapa meter dari kami bertiga sampai menoleh. Ternyata benar, salah seorang dari dua laki-laki itu adalah Daffi. Daffi tersenyum padaku. Eta langsung saja menyikut ketiakku. Sedangkan teh Titi menyenggol bahuku. Ya salam, mereka berdua ini kenapa tho yo? "Mas Daffi ya? Kamarnya di mana?" Eta yang ternyata lebih ceplas ceploa dariku itu bertanya tanpa tedeng aling-aling. "B305," jawab Daffi sopan. "Eh, selorong nggak sih kita. FYI aja, Kamar kami B207, loh." Nggak penting deh, Ta. Salah makan opo bocah satu ini. Aku menyubit dengan gemas pinggang ramping Eta. Dia memekik pelan lalu mendelik padaku. Daffi dan temannya malah tertawa melihat tingkah konyol aku dan Eta. "Hadeh, repot kalo bareng gadis belia mah. Nggak bisa lihat yang kinyis-kinyis dikit, euy," celetuk teh Titi. Membuat aku dan Eta kicep berjamaah. Setelah itu kami mempersilakan Daffi dan temannya berjalan lebih dulu, karena kamar Daffi terletak di paling ujung koridor ini. Sedangkan kamarku berada diurutan pertama koridor ini setelah menaiki sebuah tangga yang cukup besar dan mewah seperti istana dalam film-film princess disney yang pernah aku tonton. Sesampainya di kamar aku menghubungi Ibu. Sekadar bercerita sedikit apa yang aku kerjakan sejak pagi tadi. Juga siapa-siapa saja yang menjadi teman sekamarku selama di sini. Pasti saat ini ponselnya sedang speaker aktif mode on. Dan bapak ikut mendengarkan obrolanku dan ibu. Hadeh bapak, gengsinya ketinggian, lama-lama nggak nyampek anakmu ini, pak. "Om Hamka udah nengokin kamu, mbak?" tiba-tiba ibuku bertanya seperti itu. "Belum, buk. Emang mau ke sini?" "Katanya gitu. Kalo ada waktu luang mau ke tempatmu. Tapi tadi ketemu di bandara?" "Enggeh, buk. Cuma ngobrol sebentar sambil nunggu bus jemputannya datang." "Oya wes kalo gitu. Mbak sampun sembayang" "Dereng buk. Sebentar lagi." "Ojo lali sembayang yo. Meski nggak ada bapak dan ibu kamu harus tetep solat. Inget lo mbak, solat itu tiang agama. Ibaratkan rumah kalo tiangnya nggak kokoh yo mudah roboh. Sama aja kayak manusia, kalau solatnya nggak kuat, imannya yo gampang bobrok." "Buk, udahan yo telponnya. Aku kebelet pipis. Asalamualaikum, buk." Lalu, cepat-cepat aku mematikan sambungan teleponku. Kalau nggak gitu, ibu pasti akan berceramah seperti Zainudin MZ versi perempuan. Lamaaa banget. Aku kembali ke masuk kamar setelah menelepon di balkon. Teh Titi sedang berbincang dengan Eta sambil menatap layar laptop milik Eta. Fasha baru lima menit yang lalu masuk kamar. "Lihat apa sih? Seru banget kayaknya." "Lagi skype sama temen dunia maya gue. Namanya Tomi. Dia dari Itali," jawab Eta. Dia menarik tanganku lalu memaksaku untuk mengarahkan wajahku di kamera laptop. Eta kemudian menyebutkan namaku serta daerah asalku. Teman bulenya itu tertawa dan mengucapkan salam kenal padaku. Meski Eta membawa Salatiga sebagai daerah asalnya, secara KTP dia berasal dari Jakarta. Hanya saja sejak duduk di bangku SMA sampai kuliah dia di Salatiga bersama kakek dan neneknya. Diantara kami berempat, hanya Eta yang beragama Protestan. Namun meski bukan seorang muslimah, Eta sangat fasih mengucap salam, mengucap istigfar dan hamdalah. Bahkan Eta hafal surah Al Fatehah dan Al Ikhlas. Katanya sih karena dia pacaran dengan cowok muslim sejak SMA sampai tamat kuliah. Meski bertahan bertahun-tahun hubungan keduanya akhirnya kandas juga sebulan yang lalu. Eta teguh pada Injilnya, si masnya memegang kuat ajaran Alqurannya. Kalau teh Titi sendiri sudah menikah di usia 18 tahun dan saat ini sudah mempunyai anak perempuan berusia 6 tahun. Fasha termasuk yang biasa-biasa saja seperti aku. Bedanya dia berjilbab, nggak dandan yang neko-neko dan lebih rajin solat dari pada aku. Dia juga belum pernah pacaran seumur hidupnya. Eta masih sibuk dengan teman dunia mayanya. Teh Titi da Fasha sudah terlelap. Sedangkan aku? Ketap ketip sendirian macam orang pekok. Berselancar sebentar di dunia maya menjadi pilihanku. Menengok akun facebookku yang sudah tiga hari ini nggak terjamah. Saat melihat unggahan seorang teman facebookku, sekarang aku ingat pernah melihat Daffi di mana? Dia pacarnya Alika, teman SMA ku. Alika pernah mengunggah foto mesranya dengan seorang laki-laki beberapa waktu lalu. Aku segera melihat akun milik Alika. Membongkar album foto yang jumlahnya belasan dan berisi puluhan foto ditiap albumnya. Namun dari sekian banyak foto, fotonya bersama seorang cowok yang aku yakini adalah Daffi yang sama dengan yang aku kenal di tempat ini musnah. Dari status percintaannya juga Alika tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa pun. Mungkin mereka sudah putus. Aku juga baru ingat kalau Daffi mengatakan mengenal musik Westlife dari mantan kekasihnya. Nggak salah lagi, pasti yang dia maksud nggak lain adalah Alika. Seingatku Alika memang sangat menyukai dan mengidolakan Westlife sama sepertiku. Akan aku coba tanyakan soal Alika besok kalau ada waktu bertemu Daffi. --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN