Galau 5.1

1420 Kata
"Kalau aku tadi nggak narik kamu, kayaknya kamu bakal ketinggalan pesawat," bisik laki-laki asing itu kemudian melangkah mendahuluiku setelah kami sudah sama-sama berada di kabin pesawat. Saat aku hendak mengucapkan terima kasih, seorang pramugari memintaku menunjukkan salinan tiket, lalu membantuku menemukan tempat dudukku. "Permisi," ujarku pada seseorang yang sudah duduk terlebih dulu di deretan bangku yang sama denganku. Seorang laki-laki dengan suara berat bersuara, "Silakan," katanya. "Eh, kita deketan ya ternyata duduknya," imbuhnya. Laki-laki yang menyeretku menuju pintu keberangkatan itu menyodorkan tangannya seraya menyebutkan namanya. "Aku Daffi," diiringi dengan nama kota asalnya. Ternyata dia salah satu dari dua orang yang dimaksud pimpinan cabangku yang dikirim ikut pelatihan juga sepertiku. Yang satu lagi dapat giliran pesawat di jam berikutnya. Katanya ada kesalahan teknis saat pemesanan tiket oleh kantor pusat. Aku merasa nggak asing dengan senyum bersahabat ala laki-laki bernama Daffi ini. Entah di mana, sepertinya aku pernah melihat senyum yang sama seperti miliknya itu. Aku bisa menemukan jawabannya nanti jika sudah sampai di Jakarta. Sekarang aku mau fokus pada penerbanganku dulu. "Kamu gugup? Apa ini penerbangan pertamamu?" tanyanya saat aku kesulitan memasang sabuk pengamanku karena grogi. Duh gusti, kemana sikap sombongku bila ada yang bertanya seolah merendahkanku seperti ini?? Aku hanya tersenyum kikuk lalu berpaling dari wajah Daffi saat kedua matanya berkedip menanti jawabanku. Bulu matanya tolong dikontrol dong. Bisa panjang, lentik dan sehat banget kayak yang dirawat gitu? Aku saja membutuhkan penjepit bulu mata supaya saat memakai maskara, cairan hitam dari kuas maskara tidak menggumpal di helaian bulu mataku yang pendek dan tegak menghadap ke depan mata. Ketertarikanku pada bentuk mata seseorang memang cukup besar. Apalagi yang memiliki keunikan seperti pada warna bola mata dan bentuk bulu mata. Pasti aku akan memberikan perhatian lebih pada tempat yang katanya orang adalah jendela hati itu. Saat burung besi ini mulai mengudara, aku mulai panik, tanganku terasa dingin dan mulai lembab. "Tenang ya. Suka begini sih kalau pesawat baru take off. Nanti kalau udah stabil kamu nggak ngerasain apa pun. Semoga saja nggak ada turbulance," ujar Daffi tanpa sekalipun aku minta penjelasan darinya. Sepertinya dia biasa dengan alat transportasi yang terkenal mahal ongkosnya. Untung aku ke Jakarta diakomodasi sepenuhnya sama perusahaan ongkos transport pulang pergi. Kalau bayar sendiri mah emoh. Raden Sudarmono yang agak perhitungan itu pasti mikir tujuh kali mau ngongkosi pesawatku. Pulang pergi pula. Daffi menyentuh bahuku lalu menyumpal lubang telingaku kananku dengan salah satu earphone miliknya. "Dengerin lagu mungkin bisa bikin kamu nyaman," katanya lagi. Aku tersenyum semringah saat sebuah lagu yang sangat tidak asing mengalun merdu di telingaku. Sebuah lagu milik Westlife yang berjudul Flyng Without Wings berputar dengan suara tidak terlalu rendah di telingaku. "Gimana? Udah better?" tanyanya saat aku tidak kunjung berkomentar atas perbuatan baiknya. Aku salah tingkah. Kesannya kok kayak aku ini nggak tahu terima kasih saja. Habis dikasih kenyamanan bukannya terima kasih malah bengong. "Makasih banyak, aku suka lagunya," jawabku kikuk, tak lupa menghadiahi Daffi sebuah senyum paling tulus dariku. "Kamu suka Westlife?" tanyaku saat earphone masih terkait di lubang telingaku. "Awalnya nggak suka. Tapi ketularan temen aku." "Cewek kamu?" tanyaku sotoy. "Mantan sih lebih tepatnya." Eh, ini kok malah curcol dianya. "Nggak bisa move on ya? Sampai masih dengerin lagu favorit mantan?" candaku. Sorry guys, aku memang selalu kesusahan mengontrol mulutku yang kadang nggak tahu sikon ini. Bukannya marah atau apa, Daffi justru tertawa renyah. Membuat tulang pipinya terangkat secara serempak. Saat bibirnya terangkat ke atas sebuah gingsul lucu di deretan gigi sebelah kiri atas menyembul keluar. Manis banget, Gusti. Jarang-jarang loh ada cowok punya gingsul, menurutku sih. "Bukannya nggak bisa move on. Tapi aku memang udah terlanjur suka. Lagu-lagunya juga easy listening gitu. Kebetulan juga aku bukan penyuka musik metal, jadi ya lagu-lagu Westlife oke lah. Menurutku nggak terlalu buruk meski didengarkan oleh seorang laki-laki kan?" "Iya menurut kamu. Tapi nenurut kebanyakan orang sih bukan lagu yang pantas buat cowok. Lagu-lagunya tuh agak melow aja buat ukuran seorang cowok. Kurang maskulin gitu kesannya." Begitu penilaianku selama ini. Desta juga bilang lagunya Westlife itu kayak lagu cengeng, lagu patah hati garis keras dan bla bla bla pendapat cowok sotoy itu. "Memangnya cuma cewek doang yang boleh suka Westlife? Cowok boleh dong suka sama Bryan cs. Suka bukan dalam arti ngefans sampai mengidolakan. Aku cuma suka lagu-lagu mereka aja sih." Aku mengedikkan bahuku tanda tidak terlalu mempersoalkan sejauh apa dia mengidolakan Westlife. Yang jelas kalau aku ya ngefans bangeeet. Nggak peduli kata orang aku alay. Sejak SMP aku memang penggemar berat Westlife. Di saat remaja seumuranku mulai bergeser ke Kpop, aku masih setia mengidolakan Westlife dan mempertahankan poster-poster mereka terpajang manja di dinding kamarku. Berani ribut deh kalau sampai ada yang mengganggu gugat poster-posterku. Termasuk dengan Raden Sudarmono sekalipun. Obrolan mengalir begitu saja. Aku bersyukur, secara nggak langsung Daffi sudah menyelamatkanku dari mabuk udara, atau sindrome naik pesawat. Selain membahas soal Westlife tidak ada lagi obrolan di antara kami berdua. Aku mulai merasakan ngantuk yang luar biasa saat ini. Bagaimana bisa mataku terpejam di atas penerbangan yang memakan waktu bahkan tidak sampai dua jam ini. Padahal aku sama sekali tidak mengkonsumsi obat anti mabuk. Sesorang menggoyang tubuhku. Perlahan aku membuka bola mataku. "Sebentar lagi pesawatnya mendarat," ujar orang di sampingku yang masih sama seperti satu jam yang lalu. Daffi tersenyum saat aku membuka dan mengucek mata di balik kacamataku. Daffi memintaku menoleh ke jendela kecil yang berada di samping kiriku, kemudian berkata, "Kamu nggak boleh melewatkan pemandangan paling berkesan saat berada di ketinggian 35ribu kaki. Lihat deh! Langitnya begitu indah, kan?" serunya ketika pesawat melewati gumpalan awan di atas langit biru nan indah ini. Masya Allah...indah banget. Aku mengagumi ciptaan Tuhan ini dengan khidmat sampai Daffi menyentuh punggung tanganku. "Sebentar lagi pesawatnya landing. Kamu siap-siap ya. Nggak usah takut," ucapnya penuh perhatian. Aneh sekali rasanya jika ada orang asing tiba-tiba begitu perhatian sama kita. Kenal juga baru di sini. Untung aku bukan tipe cewek yang gampang kege-eran. Diperhatiin dikit sama cowok sudah terbang melayang sampai langit ke tujuh bahkan sampai lupa caranya balik lagi ke bumi. Saat aku menanti koperku keluar dari bagasi pesawat di bandara Soekarno Hatta Jakarta, aku menghubungi ibu mengabarkan kalau aku sudah sampai bandara dengan selamat. "Om mu katanya mau nyusul ke bandara, mbak. Telpon geh, kasih tau kalau kamu sudah ada di bandara?" "Om Hamka? Ngapain? Kantor dia bukannya jauh banget ya sama bandara?" "Yo embuh. Ibu cuma bilang sama dia kalau kamu sudah terbang ke Jakarta, *moro-moro dia bilang mau nyusul kamu. Yo ibu bisa bilang apa kalo om mu itu wes karep?" (tiba-tiba; berkeinginan) "Huh, yo weslah, aku telpon om Hamka sekarang," ucapku lalu memberikan salam penutup. "Gabung sama yang lain yok," suara berat Daffi cukup mengejutkanku. Dia lantas menunjuk kerumuman orang-orang dengan spanduk menempel di tembok bertuliskan selamat datang peserta pelatihan dan workshop tak ketinggalan nama dan logo bank tempat aku bekerja. "Katanya bus yang akan mengantar kita ke Bogor telat kena macet," jelas Daffi lagi saat aku tak kunjung memberinya respon baik. "Oke, bentar. Aku mau nelepon kerabat aku dulu." "Ya udah, aku gabung duluan kalau gitu. Koper kamu mau dibawain sekalian?" Duh gusti lanangan iki kok apik tenan tho??? Aku menggeleng sungkan lalu mempersilakan Daffi melangkah lebih dulu meninggalkan aku. Baru juga sambungan teleponku pada om Hamka terdengar, aku melihat sosok itu sedang melambaikan tangannya menuju ke arahku. "Om telat nggak, mbak?" tanyanya, setelah aku mencium punggung tangannya. "Enggak telat sih, om. Cuma ngapain om mesti repot-repot nyusul aku ke sini sih? Orang aku mau ke Bogor bukannya ke Jakarta," keluhku, omku malah cengengesan mendengar dumelanku. Bukannya menjawab pertanyaanku, om Hamka malah menggaruk tengkuknya dengan gerakan canggung. "Oh, kebetulan om lagi ada kerjaan di sekitar sini, mbak. Mbak udah sarapan?" tanyanya, aku tahu itu hanya sebuah trik mengalihkan kekesalanku. Dia tahu perutku ini paling mudah dirayu dibanding hatiku. Eh... Aku meringis sambil menggeleng. Om Hamka serta merta menarik koperku lalu membawaku masuk ke sebuah restoran cepat saji masih di area bandara. Bus yang akan mengantarku ke Bogor datang 20 menit kemudian. Om Hamka menungguiku sampai aku duduk nyaman di kursi penumpang. Namun senyum semringah di wajahnya memudar kala melihat seorang laki-laki yang tak lain adalah Daffi duduk di sampingku. Om Hamka yang masih melihatku dari luar bus lalu memberi sebuah isyarat melalui jemarinya akan meneleponku. Aku hanya mengangguk pasrah, sembari memberi salam dadah melalui kelima jariku pada om Hamka. "Kursi ini kosong kan?" tanya Daffi setelah mendaratkan pantatnya. "Iya," jawabku singkat, membiarkan Daffi duduk di sampingku. Biarlah dia mau duduk di mana saja sesuka dia. Yang penting sekarang aku butuh tidur nyenyak. Lama perjalanan Jakarta Puncak sudah cukup memberi waktu untuk aku beristirahat. --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN