Sudah hampir dua minggu aku menjalani OJT di kantor baruku. Cie, kantor baru, yang udah jadi anak kantoran, biasanya juga disko alias gadis toko. Seperti itu yang selalu diucapkan Desta saat dia menghubungiku, menanyakan tentang keberadaanku lalu aku menjawab sedang di kantor. Sumpah ya, Desta itu memang tengil parah anaknya. Makin kita marah sama celetukannya, makin bahagia dia.
Sekarang akhirnya aku tahu rasanya kerja yang sebenarnya. Capek luar biasa. Seluruh organ tubuh kita bekerja. Otak, otot dan perasaan. Otak dituntut untuk mengerti dengan cepat dan mengingat dengan baik seluruh materi serta arahan yang diberikan oleh mbak Lisa. Otot digunakan untuk naik turun tangga saat membutuhkan sesuatu seperti dokumen pencairan kredit, data rekening nasabah, mempelajari SOP, buang air kecil, dan menggunakan mesin fotokopi sekaligus mesin scan yang letaknya berada di lantai dua. Sedangkan perasaan gunanya untuk menghadapi sikap menyebalkan dan sewenang-wenang mbak Aily.
"Kamu ke Surabaya sama siapa?" tanya mas Amran saat menemaniku makan siang di depot sederhana tidak jauh dari kantor. Setiap hari aku sarapan dan makan siang di tempat ini sejak hari pertama OJT. Kadang kalau sedang malas makan nasi pesan mie kuah rasa soto campur telur dari warung samping kantor. Kalau makan malam nggak tentu, kadang beli nasi goreng yang lewat depan rumah kos, kadang juga bareng sama mas Amran dan teman-teman kantor yang lain, tapi kadang juga nggak sempet makan malam karena ketiduran dan bangun saat matahari sudah bersinar cerah.
"Dianter bapak," jawabku singkat atas pertanyaan mas Amran.
"Oh, kirain sendiri. Kalau sendiri sih niatnya mau aku antar."
Aku terkekeh lalu menjawab, "nggak usah lah mas. Ngerepotin banget pakek diantar ke Surabaya."
"Nggak repot lah. Besok kan Sabtu. Kantor juga libur. Bingung aja gitu mau ngapain di rumah kalau libur."
"Ya jalan-jalan atau tidur aja seharian," jawabku, sambil terkekeh lagi.
"Bosen tidur mulu. Gimana kalau aku nganter kamu aja ke Surabaya, ya, ya, boleh ya?" bujuk mas Amran teguh.
Mas Amran tersenyum lebar setelah memberi tawaran itu. Aku sih mau-mau saja diantar mas Amran. Tapi mau bilang apa sama bapak? Yang ada aku langsung disuruh resign sebelum bekerja yang sesungguhnya kalau baru dua minggu di sini sudah ada cowok yang berani mengantarku ke luar kota. Aku cari aman saja demi bisa bekerja di kantoran daripada jadi tukang ukur kain seumur hidup.
Aku balas senyuman mas Amran dengan senyum lebih lebar. Cengiran lebih tepatnya. "Nggak usah mas. Bapak sekalian mau belanja kain buat tokonya besok di Surabaya. Jadi sekali jalan gitu. Maklumlah, bapakku itu kan orangnya perhitungan banget sama waktu dan biaya," kilahku.
Syukurlah mas Amran nggak terlalu mengambil pusing penolakanku ini. Dia mengedikkan bahu lebarnya. "Ya udah terserah kamu," jawabnya, lalu menandaskan makanan yang ada di piringnya.
°°°
Setelah berada di rumah aku mulai mempersiapkan segala keperluanku selama pelatihan di Bogor. Desta menemaniku di dalam kamar.
"Kayaknya besok bapak nggak bisa ngantar kamu deh, mbak," celetuk Desta di sela kesibukannya di depan laptop. Seperti biasa cowok itu selalu menumpang laptop dan modemku untuk bermain game online.
"Lah terus siapa yang akan mengantar putri cantiknya Raden Sudarmono ini?" tanyaku, lalu mengibaskan rambutku yang kini sudah berwarna hitam legam. Ibu protes karena katanya warna hitamnya nggak lazim. Bapak langsung menebak rambutku disemir pakai cat rambut. Aku jawab saja kalau pakai vitamin rambut yang klaimnya bisa menghitamkan rambut. Cari amannya.
Desta mencibirku sebelum menjawab, "sendiri napa sih?"
"Nanti kalau aku diculik gimana?"
"Najis! Yang nyulik kamu rugi. Kamu makannya banyak."
"Setan! Bedes, mending kamu keluar dari kamar mbak!"
"*Ojok nesuan tha, mbak. Nanti nggak ada cowok yang tahan pacaran sama kamu." (Jangan mudah tersinggung)
"Destaaa..."
Sambil menutup telinganya, Desta keluar dari kamarku detik itu juga.
Setelah selesai mempersiapkan keperluan selama pelatihan, aku keluar kamar lalu bergabung dengan keluarga kecilku untuk menikmati makan malam di ruang keluarga.
"Kamu kok kurusan, mbak?" Bapak menegurku saat aku mengambil posisi duduk di sisi kirinya. Desta dan Ibu duduk di seberangku di sisi kanan posisi duduk bapak. Makan malam bersama adalah hal yang wajib dilakukan di rumah ini saat aku dan Desta belum kuliah di luar kota. Bahkan saat kami berdua sedang di rumah, peraturan itu tetap berlaku.
"Kan bagus, Pak, nggak perlu diet-dietan," jawabku sambil terkekeh.
"Bagus dari mana? Kalau kerja cuma bikin kurus buat apa? Kerja itu buat cari uang biar bisa menikmati hidup. Kalau kamu tambah *lemu artinya kerjamu makmur lan sukses." (Gemuk)
Teori dari mana tuh? Desisku dalam hati.
"Siapa bilang kerja bikin kurus? Mana buktinya? Bapak nih mengada-ada deh," jawabku tak mau kalah.
"Kamu tuh buktinya," balas bapak dengan gaya pongahnya. Seolah ada nada bicara yang mengatakan bahwa apa yang bapak katakan sepenuhnya benar.
Aku berdecak kesal merespon perkataan Bapak. Sedangkan Ibu balas memelototiku karena menganggap perbuatanku itu sangat tidak sopan. Aku tidak lagi menjawab ucapan Raden Sudarmono. Mending segera menghabiskan makanan di piringku lalu tidur nyenyak supaya besok tidak bangun kesiangan.
Acara makan malam yang cukup menegangkan akibat perdebatanku dengan bapak berakhir sudah. Desta lebih dulu meninggalkan ruang makan diikuti oleh Bapak. Sedangkan para wanita kebagian tugas membereskan meja makan dan mencuci semua perabotan bekas makan malam keluarga ini.
Ibu sering menasehati Desta supaya kelak kalau dia sudah menikah, kebiasaan seperti ini dihilangkan. Ada baiknya seorang suami tak enggan menyisingkan lengan kemejanya untuk membantu pekerjaan istri, minimal membereskan meja makan, membawa piring bekas makan ke bak cuci piring, itu saja sudah cukuo menbantu. Hitung-hitung sebagai bentuk penghargaan pada istri karena sudah menyiapkan makan yang membuat perut yang tadinya kosong, menjadi terisi penuh dengan masakan istri, yang tentu dibuat dengan penuh cinta dan ketulusan. Ibu juga menasehatkan supaya membuang jauh peraturan Bapak yang menyatakan bahwa tugas dapur itu memang sudah dikodratkan untuk wanita dan laki-laki tidak diperkenankan masuk dapur untuk mengerjakan pekerjaan wanita. Pamalih kata bapak.
Entah Desta memasukkan setiap nasehat ibu yang satu itu ke dalam otaknya atau malah membuang jauh-jauh nasehat itu. Hanya Destan dan Tuhan yang tahu. Yang aku tahu Desta masih mengikuti apa pun itu bentuk peraturan bapak. Terutama peraturan soal laki-laki adalah raja di dalam sebuah rumah tangga. Desta memang beda sekali denganku, yang selalu membantah dan memberontak hampir semua peraturan dari bapak.
Suara bapak di depan pintu seraya mengentuk pintu kamarku mengurungkan niatku yang akan berseluncur ke dunia maya. Setelah kupersilakan masuk, bapak baru membuka pintu kamarku. Di sinilah letak kesegananku pada bapak. Beliau selalu bersikap sangat menghormati privasi anak-anaknya. Terutama jika menyangkut soal kamar pribadi anak-anaknya. Jarang sekali memang, baik bapak maupun ibu masuk kamar nyelonong aja tanpa izin sang empunya kamar. Minimal ketuk pintu dulu seperti tadi.
"Sudah tidur mbak?" tanya Bapak saat melihat lampu kamarku sudah dalam kondisi remang, menyisakan lampu tidur berukuran lima watt yang ada di dalam hiasan berbentuk kepala doraemon.
"Belum, pak. Kenapa?"
"Bapak cuma mau ngomong, besok bapak ndak bisa nganter kamu. Biar Desta aja yang mengantar kamu sampai Juanda ya, nduk," kata bapak setelah duduk di pinggiran ranjangku.
"Nggak usah pak. Aku bisa sendiri kok."
"Bisa sendiri gimana? Kamu pikir Surabaya itu kota ramah kayak di sini? Masih mending kalau kamu cuma kecopetan, kalau hal lebih buruk dari itu terjadi sama kamu gimana?"
"Naudzubillah, pak. Bapak kenapa malah doain yang enggak-enggak, sih?" bantahku nggak terima dengan ucapan bapak.
"Bukan doain, bapak cuma ngingetin aja. Udah, pokoknya besok kamu diantar sama Desta. Jangan dibantah lagi. Ini *sangu buat kamu di Bogor. Nanti kalau kurang bapak transfer lagi ke rekening kamu," ujar Bapak, lalu mengacak puncak kepalaku sebelum keluar dari kamar.
Titah Raden Sudarmono itu semacam Kepres kalau dalam Undang-ndang Dasar. Nggak bisa diganggu gugat, cuy. Mau aku nangis guling-guling di lantai sampai ingusan juga nggak bakal diubah tuh keputusannya. Ya sudahlah kalau kata Bondan and Fate2black mah.
○○○
Keesokan paginya Desta menemaniku menuju Surabaya. Dari kota kelahiranku ini aku menggunakan kereta api sampai Surabaya. Sesampainya di stasiun menggunakan alat transportasi taksi menuju bandara. Desta ogah banget diajak naik bus. Parlente kali memang anak laki-lakinya Raden Sudarmono ini. Kesel aku.
Sesampainya di bandara aku dan Desta menunggu di ruang tunggu calon penumpanh. Jadwal keberangkatan pesawatku ternyata masih dua jam lagi. Lebih baik menunggu daripada ketinggalan pesawat.
"Kamu
berangkat sendirian aja ke Bogornya, mbak?" tanya Desta.
"Katanya bertiga, Des. Cuma aku nggak tau yang dua lagi siapa dan dari cabang mana."
"Masa nggak dikasih tau gitu sama bosmu?"
"Enggak. Cuma dikasih taunya yang dua itu dari divisi pemasaran. Nama-namanya aja aku lupa."
Desta tidak lagi bertanya padaku. Dia beranjak dari kursi untuk mencari lokasi toilet terdekat. Aku menunggu dengan gelisah jadwal pesawatku. Ini adalah pengalaman keduaku menaiki alat transportasi udara seperti pesawat. Pertama kali dulu saat masih duduk di bangku kelas dua SMP. Dan itu sudah lama sekali. Aku sudah lupa bagaimana rasanya berada di ketinggian 36.000 kaki.
Desta mengingatkanku saat tiba waktunya aku melakukan check in. Desta lalu membantu menarik koperku menuju barisan antrian orang-orang yang akan melakukan check in.
"Aku nganter sampai sini ya, mbak. Kamu hati-hati. Kalau sudah sampai Soetta sms aku dan orang rumah ya, mbak," ucap Desta sambil menyerahkan gagang koper padaku.
"Iya. Kamu juga hati-hati ya, Des," jawabku menerima uluran tangan Desta yang akan menyalamiku.
Sambil menunggu akan masuk ke dalam pesawat, aku memilih duduk dan tidak melakukan apa pun. Kegelisahanku yang berlebihan membuatku tidak sadar bahwa aku hampir saja ketinggalan pesawat. Sampai namaku dipanggil beberapa kali oleh petugas bandara dari pintu masuk pesawat. Ini sungguh memalukan. Kalau Desta sampai tahu, dia pasti akan menertawakanku habis-habisan.
Saat aku berlarian menuju pintu keberangkatan, tiba-tiba tanganku ditarik pelan oleh seseorang yang sama sekali tidak aku kenal. Lalu orang itu sedikit menyeretku supaya aku mengikuti langkah larinya. Ingin sekali aku mengumpat kurang ajar pada orang asing itu. Namun ketika aku sampai di depan pintu kekesalanku itu menguap begitu saja ke udara. Dia penyelamatku dari adegan ketinggalan pesawat.
---
^vee^