Galau 4

1521 Kata
Keesokan paginya ditemani Ibu dan Desta, aku melakukan pindahan ke tempat kos baru. Bapak tidak ikut mengantar dengan alasan ada pesanan kain yang datang. Kain impor katanya, jadi harus di bawah pengawasan ketat saat gulungan-gulungan kain tersebut masuk gudang. "Bapak ngurung diri di kamar habis nganter mbak kemarin," kata Desta membantuku memindahkan ranjang ke posisi yang lebih tepat menurutku dari posisinya semula. "Paling capek, Des. Seharian loh kita kemarin," jawabku. Desta menggeleng sambil berkacak pinggang, menolak jawabanku. "Bapak tuh aslinya nggak pengen banget jauh-jauhan sama mbak." "Udah jadi rahasia umum kalau itu, pekok." Desta hanya membalas dengan mencibir dan segera menyelesaikan tugasnya membereskan bakal kamarku entah sampai kapan aku berada di sini. Setelah beres kamar kelar, Desta dan Ibu pamit. Ibu agak berat melepasku. Padahal ini bukan yang pertama kalinya aku hidup merantau jauh dari orang tua. Waktu kuliah juga aku ngekos dan jauh dari orang tua. Pulang kampung seminggu sekali, kadang kalau sudah tidak ada kuliah bisa seminggu dua kali. Dulu Ibu sering mengomeliku yang sering pulang seminggu sampai dua kali. Selain karena kadang aku pulang dengan mengendarai motor yang membuat Ibu khawatir, beliau juga malas melihat aku dan bapak selalu berdebat kusir bila kami bertemu. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya. "Usahain pulang seminggu sekali. Nanti Bapak sama Ibu akan usahain juga untuk sering-sering nengok mbak di sini," kata Ibu setelah berada di teras tempat kosku. "Enggeh bu. Bapak sama Ibu jaga kesehatan ya. Kalau capek istirahat jangan maksain diri." Entahlah, rasanya kok lebih berat sekarang untuk meninggalkan Bapak dan Ibu. Mungkin karena pengaruh usia Bapak dan Ibu yang semakin menua, ditambah Desta juga kuliah di luar kota. Jadi nantinya Bapak dan Ibu hanya tinggal berdua saja di rumah. Ya...hal itu yang menjadi beban pikiranku saat ini. Namun aku sudah bertekad, akan menunjukkan bisa hidup mandiri tanpa membebani Bapak maupun Ibu. Aku akan memberi kebanggaan pada orang tua dengan prestasi kerjaku nantinya dan juga memberi tauladan yang baik bagi adik laki-lakiku. ¤¤¤ Pagi ini adalah hari pertamaku menjalani masa OJT. Kesan pertamaku saat berkenalan dengan penghuni kantor adalah jeng...jeng...Selamat datang di sarang penyamun. Karena dari sebelas orang penghuni kantor ini, hanya memiliki dua orang pegawai perempuan saja. Tuhan, hidayah apa yang bisa aku ambil dari pekerjaanku ini nantinya??? Bentuk asli kantor ini adalah sebuah ruko berlantai tiga. Lantai dasar ada ruangan teller untuk transaksi dengan nasabah, kemudian dibatasi oleh sekat ada ruangan lagi merupakan ruangan untuk atasan teller. Naik ke lantai dua ada ruang meeting, ruang pimpinan, bagian survey dan administrasi yang masing-masing ruangan hanya dibatasi oleh sekat setinggi bahu laki-laki. Sedangkan lantai tiga hanya bangunan tanpa atap dengan lantai beton. Kata pimpinan cabang lantai tiga itu disebut ruang bahagia. Entah mengapa disebut ruang bahagia. Setelah berkenalan dengan seluruh penghuni kantor, pimpinan cabang langsung mempersilakan aku masuk ke counter CS, atau semacam ruangan khusus untuk customer service. Bank ini cukup sederhana menurutku. Karena bila kebanyakan bank-bank lain yang pernah aku kunjungi, meja Customer service dan teller itu berbeda. Sedangkan di bank ini, CS dan teller menjadi satu. Itulah kenapa posisiku nanti dinamakan customer service teller. Aku mulai memperhatikan semua arahan dari mbak Lisa, customer service yang akan mengundurkan diri bulan depan. Saat sedang mendengarkan penjelasan dari mbak Lisa, seseorang membuka pintu counter lalu masuk ke ruangan ini juga. Makhluk perempuan lain yang ada di kantor ini selain aku dan mbak Lisa. Namanya mbak Aily, dia yang nantinya akan jadi surpevisorku. "Kamu dengerin daritadi omongan mbak Lisa tapi aku lihat nggak pegang bolpoin dan buku. Memang semua yang mbak Lisa omongkan sejak tadi bisa kamu ingat tanpa mencatat?" tegur mbak Aily dengan ketus. Dari cara cara bicaranya, kelihatan sekali kalau dia berasal dari Surabaya. Jadi pengin misuh mendengar ucapan ketusnya itu. Misuh itu semacam mengumpat. Mbak Lisa menyentuh pahaku dari bawah meja. Isyarat supaya aku tidak terlalu memasukkan apa hati dengan apa yang mbak Aily ucapkan tadi. "Nggak perlu dicatat mbak Ly, aku udah buatkan catatan khusus kok," ujar mbak Lisa lalu menyerahkan sebuah buku kecil bertuliskan nama dan logo bank mikro ini di cover bukunya kepadaku. "Wah, makasi ya mbak Lisa," ujarku tulus. "Iya sama-sama. Kamu harus lulus pelatihan ya, mbak. Jangan sampai ada materi yang harus mengulang ujiannya," balas mbak Lisa lagi. Mbak Aily melengos dariku lalu memutar tubuh dan berlalu begitu saja dari ruang CS. Mbak Lisa terlihat menahan tawanya setelah kepergian mbak Aily dari ruangan ini. "Nanti kalau dia kayak gitu lagi, biarin aja. Cuekin, masa bodo, masuk kanan keluar kiri kalau dia ngoceh-ngoceh nggak jelas," ujar mbak Lisa sambil menyentuh kedua daun telingaku secara bergantian. "Dia memang gitu orangnya. Judes, mau menangnya sendiri. Kadang sok pinter, bossy, nyebelin. Ugh, padahal aslinya lemot." "Masa mbak Aily lemot, mbak?" "Beuh, parah. Nanti kamu lihat sendiri bagaimana kelemotan tingkat hakikinya seorang Aily Nur Hidayah," ucap mbak Lisa sampai menyebutkan nama lengkap mbak Aily sambil terkekeh pelan. Aku sudah tidak sanggup menahan tawaku saat ini. Seketika tawaku pecah mengisi ruang lantai satu yang tidak begitu luas dan sepi ini. Menjelang petang, seluruh karyawan bagian lapangan kembali ke kantor. Ada yang langsung ke lantai dua menghadap pimpinan cabang untuk melaporkan hasil kerjanya hari ini, ada yang menggarap pencairan kredit, tapi ada juga yang tidak melakukan pekerjaan apa pun, hanya duduk di lantai satu sambil menunggu pekerjaan teman-teman yang lainnya selesai lalu pulang bersama-sama. Pukul tujuh malam barulah pekerjaan semua teman-teman kantor selesai dikerjakan. Meski pimpinan cabang mengizinkan aku pulang lebih dahulu pukul lima sore tadi, tapi rasanya kurang etis kalau yang lainnya pulang bersama lalu hanya aku saja yang pulang sendiri. "Bareng aku aja pulangnya," kata salah seorang karyawan bagian lapangan bernama Amran. Dia posisinya sebagai bagian pemasaran atau biasa disebut marketing. Belum menikah di usianya yang ke 30, memiliki postur tubuh yang sangat tinggi dan berisi. Mungkin tinggi badannya sekitar 180cm. Cukup tinggi menurutku untuk ukuran orang Indonesia. "Nggak usah repot Mas, aku bisa jalan kaki. Deket sini kok kosanku," tolakku dengan halus. "Nggak repot kok. Kita searah ini." "*Iku modus jenenge. Akal bulusnya Amran itu, mbak. Jangan percaya. Kosannya dia itu di sebelah barat sono, sedangkan kosan mbaknya ke arah timur. Searah dari mana coba?" sahut seorang marketing yang lainnya. Disambut gelak tawa orang-orang yang masih bertahan di depan kantor. Itu modus namanya) "*Jasik. Koen salah yo, ngene iki sing dijenengi usaha, cuk!" ujar mas Amran sambil menahan senyum manisnya. Eh. (Mengumpat. Kamu salah, seperti ini yang dinamakan usaha, mengumpat) Mas Amran ini memiliki kulit sawo matang, matanya agak belok, dan memiliki senyum yang manis dengan tambahan lesung pipit kecil di pipi sebelah kirinya. Demi apa pun, pipiku menghangat digoda seperti ini oleh kaum Adam yang ada di sekitarku. Sepertinya mereka adalah kumpulan orang-orang konyol. Ada yang sudah menikah bahkan sudah memiliki anak, ada juga beberapa orang yang masih single, salah satunya mas Amran. Meski ada juga yang menggoda supaya aku menerima tawaran Amran supaya laki-laki itu tidak seperti bunga yang layu sebelum berkembang, aku tetap bertahan dengan menggelengkan kepala lalu berpamitan kepada beberapa karyawan yang ada di sana, termasuk mas Amran. Mas Amran sendiri tidak merasa keberatan meski aku menolak tawarannya. Dia balas tersenyum ramah dan tidak memaksa lagi untuk mengantarku pulang. Sesampainya di kosan ponselku berdering. Ada nama Raden Sudarmono di layar ponselku. "Assalamualaikum, mbak," sapa Ibu saat aku menerima panggilan tersebut. Memang selalu seperti itu. Ibu selalu meneleponku menggunakan ponsel bapak, alasannya supaya langsung diangkat. Karena bila yang menelepon Ibu atau Desta pasti aku menunda-nunda menerima panggilan dari nomor kontak dua orang itu. Kalau menunda telepon dari Bapak, yang ada jatah bulananku siap-siap mendapat diskon besar-besaran. "Walaikumsalam." "Sehat mbak?" "Masih sama seperti kemarin kok, Buk. Bapak sama ibu gimana?" "Alhamdulilah sehat. Kamu sudah makan?" "Belum, sebentar lagi. Mau mandi dulu." "Selesai mandi jangan lupa solat mbak baru makan, trus istirahat." "Enggeh, buk." "Tetep solat loh, mbak, meski nggak ada Ibu yang maksa kamu solat. Solat itu penting. Solat itu tiang agama, mbak. Percuma kamu cantik, karier sukses, dan kaya raya kalo ndak solat, pancet masuk neraka paling dasar." "Astagfirullah, ibu kok malah kayak nyumpahin aku gini sih?" "Ibu nggak nyumpahin, cuma sekadar mengingatkan, mbak. Kamu kok jadi salah terima sih?" "Ya Allah, buk. Bukan salah terima. Ya wes, ya wes aku mau mandi dulu ya," ujarku menghentikan perdebatan dengan istri tercintanya Raden Sudarmono itu. Ibu yang lemah lembut bisa berubah menjadi judes tiada tara kalau perkara nasehat menasehati urusan ibadah padaku. "Yo wes. Kamu hati-hati ya. Jaga diri dan kesehatan kamu," jawab Ibu agak ketus kali ini. "Iyo. Bapak ibu juga. Assalamualaikum." Aku menyegerakan diri menyegarkan tubuhku dengan mandi air dingin. Suhu udara di kota ini cukup hangat bahkan cenderung panas karena daerahnya berada di dataran rendah dan cukup dekat dengan laut. Jadi mau mandi air dingin semalam apa pun nggak kerasa dingin sama sekali. Setelah mandi dan makan aku merebahkan diri di atas kansur tanpa dipan berukuran satu orang. Tempat kos ini sebenarnya adalah rumah biasa. Hanya saja memiliki beberapa kamar kosong yang kemudian disewakan karena pemiliknya tinggal sendiri tanpa anak dan suami. Penghuni lain alias yang mengekos di rumah ini selain aku juga ada tiga orang. Dua perempuan dan satu orang laki-laki. Namun aku belum sempat bertemu dengan ketiganya, karena semuanya sama-sama bekerja seperti aku. Berangkat pagi dan pulang malam sepertiku. --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN