Galau 3

1296 Kata
Desta melambaikan tangan dengan semangat saat melihatku turun dari kereta Argo Bromo. Aku melangkah gontai mengikuti kerumunan orang yang turun di stasiun Gubeng. "Piye, mbak? Berhasil?" Pertanyaan retorik itu muncul dari bibir laki-laki yang tetap merah meski seorang perokok. "Berhasil raimu*! Kalau berhasil mbak nggak bakal ninggalin Jakarta, pekok*," jawabku judes sambil menyerahkan travel bagku supaya ditarik oleh adik tengilku itu. "Aku pulang...tanpa beban...kuterima kekalahanku..." Desta menyanyikan sepenggal lagu milik band Sheila on Seven yang entah judulnya apa, aku lupa. "Bedes! Rame ae. Durung tau disawat gempiyak koen*, huh?" Aku berkacak pinggang menatap wajah annoying adikku itu. Fix, dia tengil hari ini. (Monyet! Berisik aja. Belum pernah dilempar bakiyak kamu, huh?) Desta malah ngakak. "Mbak, ke J-Co sek, ya. Pacarku nitip donat." "Males yoh!" Jawabku sengit. "Bentaran aja, mbakyu. Nanti kalau aku pulang nggak bawa J-Co pesanannya, bisa diputusin aku." "Urusanmu, Des!" "Kalo aku susah move on gimana? Kan mbak juga yang ikutan sedih kalau aku patah hati." Deh dasar cowok melankolis. Aku mendecih dan mencibir. "Babah lomoh*!" jawabku lalu merendahkan jok mobil penumpang bagian depan. Masih kuliah, duit jajan minta Bapak Ibu aja sok-sokan belikan donat mahal buat pacarnya. Dasar buaya buntung emang si Desta nih. Dia pakai magic apa sampai bisa bikin cewek-cewek pada kebat kebit tiap kali cowok itu tersenyum. Apanya yang dilihat sih? Dia cuma menang bibir merah sama hidung mancung doang. Tinggi juga nggak seberapa. Paling nggak sampai 170cm. Pendek sih itu untuk ukuran laki-laki. Saat aku memintanya menambah kecepatan mobil Desta berkomentar. "Awakmu kesusu moleh, kate nangdi seh, mbak? Nganggur ngunu loh," celoteh Desta saat mobil baru memasuki kota Pasuruan, kemudian terbahak setelah meloloskan celotehan unfaedahnya itu. (Kamu keburu pulang mau ke mana sih, mbak? Menganggur gitu loh.) "Jangkrik!" umpatku kesal. Sehina itukah status 'nganggur' di mata masyarakat, Ya Robb. Sesampainya di rumah, Yang Terhormat Raden Sudarmono sudah menunggu di teras rumah. Dia tersenyum puas melihat kedatanganku. "Piye? Jadi kapan boyongan ke Jakarta, mbak?" Aku tidak menjawab pertanyaan mencemooh itu. Masuk kamar mengunci pintu lalu menelungkupkan kepala ke bantal, aku menangis sejadi-jadinya. Kegagalan ini lebih menyakitkan dari pada putus cinta. Selama sekolah dan kuliah, aku tidak pernah gagal mendapatkan apa pun yang aku mau. Tinggal menjetikkan jari semua keinginanku bisa terpenuhi. Ranking satu, juara umum selama tiga tahun berturut saat SMA, ipk 4, lulus dengan penghargaan cumluade, semuanya dengan mudah aku raih. Namun untuk mencari pekerjaan, kenapa menjadi hal yang begitu sulit bagiku??? Ini nggak adil, Tuhan. Suara ketukan diiringi panggilan lembut dari Ibu menghentikan tangisku. Sambil terisak aku membuka kunci pintu kamarku. Ibu membelai rambutku yang sengaja aku kuncir model cepol. Kalau tidak begitu, higtlightnya pasti kentara. "Maem sek yo, nduk. Ibu bikin sup buntut kesukaanmu," ujar beliau dengan sabar. (Makan dulu ya) Aku menggeleng. "Mbak nggak lapar, bu. Ibu sama Bapak makan duluan aja." Ibu mengangguk, tidak memaksaku makan. "Yo wes, solato sek, trus turu yo, nduk." (Ya sudah, solat dulu, lalu tidur ya, nduk) "Enggeh, Bu." (Iya, bu) Ibu memang tahu kalau saat ini aku sedang ingin sendiri. Beliau paham kebiasaanku yang larut malam akan terbangun jika belum makan malam. Aku melangkah gontai menuju meja riasku. Melepas softlens, lalu membersihkan wajahku dengan pembersih wajah dan penyegarnya. Menjelang pukul sembilan malam, Desta masuk kamarku membawa sekotak donat yang tadi ia beli. Aku tertawa mengejek. "Wedokanmu* masih tetep mutusin meski udah bawa donat mahal jauh-jauh dari Surabaya?" (Cewek/kekasih) Desta menggeleng sambil tersenyum simpul. Dia menyomot satu donat dengan taburan kacang kenari di atasnya. Lalu menyodorkannya ke depan mulutku. "Aaakkk...." katanya sambil menahan tawa. "Opo wae sih, Des?" (Apa sih?) "Jangan sedih maneh. Kemenkop rugi nggak nerimo mbak jadi pegawai barunya," imbuh Desta. "Koen ngomong ngunu cuma mau bikin mbakmu iki seneng sesaat aja kan?" "Adekmu iki tulus loh mbak ngomongnya. Suudzon sama adek sendiri masuk neraka loh?" "Jasik*..." (mengumpat) Aku memukul bagian belakang kepalanya karena telah menyumpahiku masuk neraka, lalu tertawa dengan mulut penuh donat. Desta berdecak karena melihat kelakuanku yang paling tidak disukainya--berbicara dan tertawa dengan mulut penuh makanan. Sok elegan memang si tengil itu. "Eh, mbak. Kata temenku, di bank mikro tempat kakaknya kerja lagi butuhin CS untuk gantiin kakaknya yang mau resign bulan depan. Butuh cepet katanya. Kamu ngelamar di sana aja. Nanti aku rekomkan deh yang baik-baik tentang mbak." "Hah? Bank Mikro? Bank opo iku? Kok nggak mbois ngunu jenenge*?" tanyaku penuh selidik. (Kok nggak keren gitu namanya) "Mana aku tahu karena aku lebih suka tempe," jawab Desta asal. "Semprul! Syaratnya apa?" "Sing penting S1, cewek, lajang dan menarik." (Sing=kata sambung yang) "Ngunu thok*? Nggak mesti berpengalaman kerja minimal dua tahun? Biasane syarate sak ndayak*," tanyaku skeptis. (Gitu aja) (biasanya syaratnya banyak) Desta mengangguk. "Nggak perlu pengalaman kerja. Piye? Coba'en sek. Be'e beruntung. Dari pada dadi tukang ngukur kain seumur hidup? Gelem?" kelakar Desta. (Dicoba dulu. Siapa tahu beruntung. Daripada menjadi tukang ukur kain seumur hidup? Mau?) Mengangguk beberapa kali, aku mengusap dagu dengan telunjukku. "Hmmm... syarate setitik men*? Mencurigakan." (Syaratnya sedikit banget) "Nethink thok wae, pantes jomlo dan nganggur koen, mbak." (Negatif thinking aja, pantas jomlo dan menganggur kamu, mbak.) "Destaaa, j*****m banget sih cangkemmu*..." (mulutmu) Desta terbahak lalu beranjak dari ranjangku. "Cepet mbak buat surat lamarannya. Biar nggak disalip orang lain. Kata temenku butuh cepet dan lebih mengutamakan rekomendasi orang dalam," ujarnya lalu keluar dari kamarku. Membuka laptop aku menuruti apa yang Desta perintahkan. Membuat surat lamaran yang ditujukan pada pimpinan Bank mikro cabang yang membutuhkan Customer Service, menyiapkan CV, dan berkas-berkas lain yang dibutuhkan. Dengan sisa semangat dan harapan bisa bekerja selain menjadi tukang ukur kain, aku memasukkan semua berkas ke dalam amplop warna cokelat kayu. Dengan penuh harap, akan kukirim surat lamaran kerja ini besok melalui Pos. ¤¤¤ Ternyata si tengil Desta nggak dusta. Tiga hari setelah aku mengirim surat lamaran ke Bank Mikro itu, aku mendapat panggilan untuk tes tulis dan psikotes di kantor regional Malang. Kali ini Desta yang mengantarku ke Malang. Bapak memang nggak pernah bisa melepas anak perempuannya yang terlalu cantik ini keluar kota sendirian. Berapa pun umur anak, dia akan tetap bayi bagi sang orang tua. Begitu kata Bapak saat aku selalu mendebat tidak mau ditemani bila ada urusan ke luar kota. Setelah melalui rangkaian tes, diantaranya tes psikologi, wawancara dan tes kesehatan akhirnya aku diterima. Aku sudah resmi diterima bekerja di bank mikro cabang sebuah kabupaten mulai minggu depan. Tempat kerjaku nanti beda kota dengan tempat tinggalku. Kira-kira jarak tempuhnya sekitar 97 kilometer dari kota tempat tinggalku yang berada di ujung timur pulau Jawa ke kota tempat kerjaku. Jadi aku memutuskan untuk ngekos saja di kota itu. Selesai menandatangani kontrak kerja dengan pimpinan cabang--yang kali ini ditemani oleh Bapak--aku mencari tempat kos untukku. Karena mulai besok lusa aku harus ikut OJT* sebelum menjalani pendidikan training selama dua minggu di Bogor, lima hari lagi. Seperti biasa, bukan aku yang rewel dalam menentukan tempat kos untukku, melainkan Bapak yang bertingkah seperti tim penyidik saat melihat kamar, kamar mandi, seluruh rumah kos dan menginterogasi induk semang atau pemilik rumah kos. Bapak oh bapak, kapan Anda berhenti bersikap menganggap bahwa aku masih gadis kecil lima belas tahunnya. Mungkin Bapak lupa kalau tahun ini usiaku masuk angka 23 tahun. Setelah berkeliling selama hampir lima jam, akhirnya pilihanku jatuh pada rumah kos yang letaknya di belakang kantor. Jadi aku tidak perlu repot naik becak atau angkot untuk menuju tempat kerjaku--karena aku belum memiliki kendaraan pribadi. Bapak menawariku mobilnya, motor yang dulu aku gunakan saat kuliah, atau motor milik Desta untuk aku gunakan. Namun aku menolaknya dengan halus, karena kendaraan-kendaraan itu lebih dibutuhkan di rumah daripada untuk kepentinganku. Bapak tidak lagi memaksaku, kali ini beliau mengikuti keputusanku tanpa perdebatan panjang. --- *Raimu = semacam ujaran seruan dalam bahasa jawa yang artinya mukamu *Pekok = bodoh *Babah lomoh = semacam seruan kekesalan seperti 'biar aja' atau 'biarin' 'terserah'. *Jasik = semacam umpatan dalam bahasa Jawa *OJT = on the job training --- ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN