Galau 2.2

1167 Kata
Sepertinya aku kembali terserang insomnia seperti malam-malam sebelumnya. Aku tidak akan mudah terlelap selama masih menjadi pengangguran. Aku berinisiatif menyalakan laptop milik om Hamka, menyambungkan dengan perangkat modem, lalu mulai meluncur di dunia maya. Kursor kuarahkan pada ikon f*******: pada laman yang sudah terbuka. Bukan untuk online tapi mencari informasi seputar lowongan pekerjaan di beberapa group ketenaga kerjaan yang aku ikuti. Entahlah, aku tidak begitu yakin bisa lolos tes CPNS kali ini. Jadi aku harus mencari batu loncatan sebelum benar-benar dinyatakan lolos menjadi PNS. Satu jam berselancar di dunia maya, aku tidak mendapat hasil. Aku sudah berselancar di semua situs lowongan kerja, situs resmi perusahaan swasta, BUMN, perbankan, tapi tidak ada satu pun yang membuka lowongan untuk fresh graduate tanpa pengalaman kerja. Aku mulai malas bermain internet lalu berinisiatif keluar dari akun FBku. Namun aku mengurungkan niat itu saat melihat postingan salah satu teman SMAku. Namanya Alika. Kami sempat dekat dulu waktu masih sama-sama pakai seragam putih abu-abu. Setelah aku kuliah di kota yang berbeda hubungan kami cukup renggang. Di dalam album fotonya ada beberapa foto kemesraan dengan pacarnya. Aku mencibir lalu bergumam sendiri. "Pas akur aja sayang-sayangan, pamer kemesraan, cekrek-cekrek upload di medsos. Kalo udah putus, eh, saling maki-maki lewat status medsos. PDKT yang dulunya akronim dari pendekatan kalau udah putus berubah jadi pernah dekat kemudian terlupakan. Dasar ababil!" Gerutuku kesal tanpa alasan jelas. Aku lantas bermonolog kembali. "Eh, beteweh, cakep juga cowoknya," lalu menggulirkan kursor dinosaurus ke arah akun yang ditandai dalam foto tersebut. "Daffi Harsa Pratama," Aku mengeja nama pemilik akun tersebut. Kemudian melihat profil pekerjaan dan perusahaan tempat laki-laki pemilik akun tersebut bekerja. Siapa tahu saja ada lowongan. Rejeki kan datangnya bisa dari mana saja "Banker. Beruntung banget sih, temanku itu. Masih kuliah tapi punya cowok yang udah kerja. Apa kabar aku yang udah nganggur, jomlo pula? Ya nasib mengapa begini???" Iya, temanku itu memang masih kuliah. Karena saat lulus SMA kabarnya dia langsung bekerja. Setelah dua tahun kerja baru bisa kuliah. Ah, sudahlah. Daripada meratapi nasib sendiri mending aku memikirkan masa depanku saja. Teringat nasihat Ibuk soal kehidupan yang dikaitkan dengan Filosofi Jawa. "Sejatine urip kuwi mung sawang sinawang," begitu kata Ibuk. Yang artinya kurang lebih yaitu hakekat hidup itu hanyalah persoalan bagaimana seseorang memandang atau melihat sebuah kehidupan. Kembali pada pribadi masing-masing yang menjalani. Bosan berinteraksi dengan dunia maya, aku meraih gitar akustik milik om Hamka yang tergantung di dinding kamarnya dekat lemari baju. Ternyata senar-senarnya tidak harmoni, entah sudah berapa lama gitar ini tidak dimainkan oleh om Hamka. Setelah memutar tuner, mengencangkan senar gitar aku mulai menggenjreng dan menyanyikan sebuah lagu milik Westlife yang berjudul My Love. Tidak kusangka ternyata tanganku masih cukup lihai memainkan alat musik yang kupelajari saat SMA dulu. Pintu kamar diketuk pelan, lalu dibuka oleh om Hamka. "Mbak udah isya?" tanyanya, tapi hanya kepalanya saja yang muncul dari balik pintu. "Entar lagi om, tanggung nih," jawabku tanpa menghentikan permainan gitarku. "Solat dulu gih, minta sama Gusti Allah supaya diparingi kelancaran tesnya besok," ujarnya tak menyerah. "Iya abis ini, om." "Solat dulu bentar mbak, cuma sepuluh menit loh!" Aku yakin om Hamka tidak akan pantang menyerah bila menyangkut soal ibadah. Pernah dulu waktu aku masih beranjak remaja, kelas satu SMA tepatnya. Saat itu ulang tahun nenek dari pihak ibuku yang biasa aku panggil eyang uti. Dimana semua anak, menantu, ponakan, sepupu dan cucu-cucunya berkumpul jadi satu di rumah besar beliau. Eyang uti menyuruh kami semua solat berjamaah dengan om Hamka sebagai imamnya. Meski om Hamka adalah sepupu termuda diantara saudara sepupu Ibuk yang lain, tapi dia cukup disegani oleh yang lebih tua dan cukup ditakuti oleh yang lebih muda. Tapi sayangnya tidak termasuk aku. Saat semua sudah berkumpul di mushalla pribadi eyang uti, aku justru mengajak kabur sepupu seumuranku ke kompleks kuburan Cina yang letaknya hanya beberapa belas meter saja dari rumah eyang uti. Kata Desta waktu itu, saat om Hamka memerhatikan kerapian saf dan tidak melihatku, dia langsung beranjak dari sajadahnya untuk mencariku. Tak butuh lama bagi laki-laki itu untuk menemukanku. Seperti punya insting yang kuat padaku, dia selalu dengan mudahnya menemukan keberadaanku. Melihatku sedang duduk di atas salah satu batu nisan yang besarnya setinggi tubuhku, dia lantas menyeretku tanpa ampun. Sesampainya di rumah, ia menungguiku sampai selesai wudhu, dan mengenakan mukenah dengan tepat. Barulah dia memulai solatnya. Sepertinya hal seperti itu akan terjadi lagi sekarang. Om Hamka tidak akan berhenti menyuruhku solat sebelum melihatku benar-benar selesai melakukan ibadah wajib umat muslim itu. "Kenapa sih mbak, kamu itu susah banget disuruh solat?" tanya om Hamka saat aku melipat mukenahku yang disiapkan oleh ibuk saat aku berangkat ke Jakarta. "Solat itu harusnya dikerjakan dari hati, om. Bukan karena paksaan." Bunyi argumen sok tahuku. "Iya, tapi solat itu ibadah wajib umat muslim loh, mbak." "Wajib bagi yang mau melaksanakan om," jawabku tetap tak mau kalah. Om Hamka berdecak lalu mengurungkan niatnya untuk menceramahiku, saat aku menguap dengan sedikit menambahkan sebuah suara pertanda aku mengantuk berat. Dia lalu memutuskan keluar dari kamar dan menutup rapat pintu kamar. ¤¤¤ Insiden pemaksaan solat seperti semalam terulang kembali saat solat subuh. Dengan teganya om Hamka memercikkan air es ke wajahku, kemudian meraupkan tangannya yang masih basah dan dingin itu ke wajahku. Nyebeliiin... "Kamu hapal bacaan kunut, mbak?" tanya om Hamka padaku saat aku ikut duduk di sampingnya menonton siaran televisi pagi ini, setelah solat subuh. "Dikit," jawabku. "Hapal nggak?" Om Hamka bertanya paksa. "Kadang lupa," jawabku, sambil menyeringai. "Lupa karena nggak sering dibaca. Trus kalo sering lupa baca apa dong pas qunut?" "QulhuwaAllahu sama Ayat Kursi." "Astagfirullah. Surat Al Ikhlas, mbak." Aku terbahak lalu mengganti siaran televisi yang sedang ditonton om Hamka. "Tesnya jam berapa, mbak?" "Jam delapan harus sudah ada di dalam ruangan." "Berangkat jam tujuh aja kalo gitu." "Kok jam tujuh, om? Kena macet, ntar telat loh." "Kalo naik angkot atau taksi iya macet. Om antar naik motor aja ya." "Iya deh apa aja. Yang penting nyampek." Aku lalu kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Di saat semua orang mempersiapkan diri untuk menunggu kesuksesan datang menghampiri, lain halnya denganku. Aku justru mempersiapkan mentalku supaya kuat bila nanti dinyatakan gagal lolos tes CPNS Kementrian Koperasi tahun ini. ¤¤¤ Pukul delapan kurang lima belas menit, motor om Hamka sudah ada di depan gedung tempat aku melaksanakan tes. "Nanti sms aja ya kalo udah selesai. Om ada di tempat kerja temen, sekitaran sini kok." "Siap, komandan." "Oiya, banyak baca Al Fatehah, Ayat Kursi, Al Ikhlas sama surat Al Kautsar ya, mbak," ujar Om Hamka, memberi nasehat penuh faedah padaku. Responku malah bengong, om Hamka cepat tanggap dan mengerti apa penyebab kebengonganku. Dia lalu membaca ayat-ayat dari surat pendek Al Kautsar dengan suara lirih. Suaranya merdu, padahal cara membacanya biasa saja, tanpa ada lagu seperti orang mengaji melalui towa masjid. Detik berikutnya aku tersenyum tersipu. "Om pergi aja. Aku masuk dulu ya. Dadaah..." "Walaikumsalam," ujar om Hamka lagi, kali ini menatap malas padaku. Aku tertawa melihat ekspresi lucunya itu. "Assalamualaikum, pak haji," ujarku, sambil mencium punggung tangan kanan om Hamka. Sudut bibir kanannya terangkat ke atas seraya menggeleng melihat tingkah gila keponakannya ini. ---  ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN