"Mau lo sebenarnya apa sih, San?" Luna memijat pelipis. "Gila!" umpatnya untuk kesekian kali memicing tajam kepada Sandra begitu menekan menuntut penjelasan.
Sandra yang memilih diam menahan pusing, menyesal lantaran sudah menceritakan semua yang telah terjadi di antara dirinya dengan Bayu kepada sahabatnya.
"Nggak paham gue sama jalan pikiran lo!" sentak Luna mengalahkan suara televisi di hadapan mereka. "Lo tahu 'kan kalau gue nggak terima penolakan lo lagi ke Bayu!" Tidak bisa memahami isi kepala temannya. Perbuatan Sandra kali ini sudah tidak bisa mendapatkan toleransi kembali.
Sementara Sandra hanya melirik malas berdebat.
Tidak mendapatkan balasan, Luna berdecak sebal. "Nggak habis pikir gue."
Kini Sandra menatap jengah. "Luna, bisa nggak lo jangan marah-marah?" Akhirnya berucap dengan tujuan mengalah. "Gue ke sini supaya nggak pusing, tapi kenapa justru makin pusing." Denyutan di kepala memang lebih terasa.
"Gue nggak ngerti lagi, Sandra." Luna tampak putus asa melihat Sandra terlalu santai menghadapinya. "Ya ampun, San, rasanya gue mau nangis. Tiga kali lo tolak lamaran si Bayu. Astaga! Mau jadi apa hidup lo," sambungnya dramatis.
Mengingat kelakuan Sandra sungguh keterlaluan. Pertama kali ia menolak lamaran Bayu, alasannya mungkin masuk akal. Kedua kali, bisa mendapatkan toleransi serta kesempatan kedua. Namun, tidak untuk kemarin. Ketiga kalinya. Secara tidak langsung Sandra memang telah mencampakkan Bayu.
Sandra menghela napas berat. Lagi-lagi tersadar.
"Diam? Nyesal, 'kan?" tebak Luna meremehkan.
"Nyesal karena gue cerita semua." Itu yang tengah Sandra pikirkan dari semalam. Jelas, Luna salah. Sepanjang malam Sandra bahkan sudah merenung untuk mencari sebab ataupun penjelasan tentang dirinya. Alih-alih menyesal sampai menangis, perasaan Sandra justru terlalu terasa asing. Hanya merasakan bersalah kepada Bayu.
"Masih bisa becanda lo?" Luna menggeleng tak percaya.
"Ngobrol yang lainnya aja, Lun," pinta Sandra setengah memohon. "Gue jadi kepikiran Bayu, nggak enak sama dia." ungkapnya jujur. Bahkan pagi tadi, Sandra berusaha untuk menelepon Bayu memastikan keadaan kekasihnya baik-baik saja.
Melihat mimik wajah sahabatnya terlihat memelas sedikit menyesal, akhirnya Luna menghela napas mengalah. Tidak tega untuk melanjutkan dan sedikit khawatir dengan Sandra. Disamping itu pula niat sebenarnya memang tidak ingin mencampuri urusan keduanya, baik Bayu maupun Sandra. "Tapi, sorry, kali ini gue nggak dipihak lo, walaupun lo sahabat gue."
Sangat disayangkan karakter keras kepala Sandra sering dinilai sesuka hati. Menurut Luna sendiri hanya Bayu yang dapat mengerti pola pikir Sandra. Terlebih hubungan mereka hampir tak pernah ada konflik menerpa. Karena Bayu yang pengertian, bisa memahami, lebih sabar, hingga seperti kali ini membuatnya sering kali mengalah.
"Terus, kira-kira lo mau nikah umur berapa?" tanya Luna tiba-tiba.
"Tuh 'kan ... mulai lagi," desis Sandra terdengar semakin malas.
"Tahun depan lo masuk tiga puluh tahun. Tahun depan, gue mau nikah," balas Luna seraya memamerkan cincin pada jari manisnya. "Lo kapan? Jangan sampai keduluan adik lo," lanjutnya tertawa meledek.
"Namanya jodoh, nggak ada yang tahu. Anggap saja lo udah ketemu jodoh. Kalau gue masih dalam proses memperbaiki diri," alibi Sandra berkelit seraya mengedikkan bahu.
"Lo nggak tahu diri, sableng!" Luna mendengus geli. "Nggak masuk akal. Pacar ngajak serius, tapi lo tolak. Tiga kali! Orang gila!" Tidak berhenti mengumpat.
Sandra berdecak kecil namun tidak tersinggung. Ia sendiri sudah tahan dengan makian Luna sejak pertama kali dirinya menolak Bayu. "Nikah nggak segampang itu. Nggak mudah. Gue perlu mempersiapkan mental, memperbaiki diri. Lo, gue, bahkan semua ... maunya sekali seumur hidup. Jadi perlu pertimbangan yang matang."
"Kematangan juga nggak enak. Kelamaan nanti jadi busuk." Luna tak ingin kalah. "Sampai kapan? Sampai lo menopause?" lanjutnya sengit.
"Jahat banget mulut lo-" Sandra tidak terima akan tetapi mendadak terbungkam, ketika tayangan pada televisi baru saja berubah.
Lama tak mendengar kabar, kini Arkanu Andanu diberitakan terlibat cinta lokasi dengan lawan mainnya, Selina Putri. Ditemui di lokasi syuting selasa lalu, di tempat yang sama dengan waktu yang berbeda, keduanya tak lantas menjawab pasti.
Fokus Sandra sepenuhnya teralihkan masih mendengarkan tayangan tersebut. Ia tidak lagi memedulikan Luna yang tengah menatapnya curiga.
"Apa? Bagaimana? Kata siapa?"
Sandra semakin tertegun memandang layar tipis menampilkan sosok Arkanu. Entah sudah berapa lama dirinya tak pernah melihat pria itu.
"Kita memang udah lama kenal. Pernah satu tempat gym sama dia. Sempat satu agency juga." Kanu terkekeh kecil.
Dada Sandra berdenyut mendengar sekaligus melihat pria itu menyunggingkan senyum bibirnya.
"Kemarin jalan bareng?" ucap Kanu menirukan salah Reporter. Kemudian kembali tersenyum simpul. "Iya sih, memang jalan bareng. Tapi nggak cuma berdua. Sama teman, sama Manager saya juga. Udah, ya, saya mau lanjut take."
Kerap kali ditanya perihal hubungan di antara keduanya, baik Kanu maupun Selina tetap menyangkal. Akan tetapi mereka tak mampu untuk menutupi chemistry yang terlihat jelas.
Kini televisi tersebut meliput Selina yang tersenyum kecil. "Jadian nggak sama Kanu?" Ia meringis samar. "Aduh, gimana ya ... aku no comment deh," ucapnya yang berlalu meninggalkan kerumunan awak media.
Tayangan di televisi sudah berganti beberapa detik lalu, tetapi Sandra masih betah terpaku. Benaknya seakan terpisah, jiwanya pun seakan di ambang delusi. Namun kenyataan memang jelas begitu adanya yang memaksa Sandra harus percaya.
"Lo kagét?" tanya Luna memelankan suara, menatap Sandra tampak begitu mengamati.
Bukan hanya terkejut, Sandra nyaris menertawakan nasibnya pula. Akan tetapi, ia tidak bisa pula untuk mengatakan secara gamblang mengenai perasaan sesungguhnya. Hanya bisa menggumam pelan mengakui.
"Awalnya lo udah tahu?"
Lebih dari tahu. Bahkan berkali-kali Sandra mencoba menenangkan diri ketika memikirkan Kanu telah menemukan adiknya dan kini tengah berbahagia. Sementara dirinya masih belum berhasil melupakan semua. Terbalut penyesalan akan kesalahannya tidak juga bisa lepas dari Bayu.
"Beberapa hari yang lalu gue baca artikelnya." Omong kosong. Sandra tidak setenang ini sejak mendengar penuturan mereka tadi, jiwa bagaikan melayang terpisah.
"Kira-kira Kanu tahu nggak, kalau lo itu kakaknya Selina?" tanya Luna sedikit takut.
Sandra mengulas senyum getir sambil menggeleng samar.
"Lo masih merasa bersalah?" Hal ini tentu ada di benak Luna, selama ini mengetahui semua yang telah terjadi pada lingkaran pertemanan mereka.
"Terakhir kali gue ketemu dia marah besar. Nggak terima." Sampai sekarang Sandra pun masih mengingat jelas tatapan Kanu memandangnya penuh luka.
"Jangan bilang lo tolak lamaran Bayu karena masih merasa bersalah sama dia?" tebak Luna menajamkan pandangannya.
Tanpa perlu dijawab, akhirnya Luna tahu alasan yang sebenarnya penolakan Sandra kepada Bayu selama ini.
Sandra bergeming tidak berkutik. Seakan terpaku setelah mendapat tatapan tajam dari Luna. Membuat mulutnya kembali membisu. Meski barisan kata tersusun rapi di benaknya, tetapi tak ada satupun yang mempu Sandra ucapkan, lidahnya mendadak kelu.
"Lupain dia, San. Dia bakalan sama adik lo." Luna menepuk pundak Sandra pelan. Ia hanya bisa berharap, jika Sandra tidak lagi peduli dengan kisah masa lalunya.
Sedangkan Sandra harus menelan fakta itu secara utuh. Pada awalnya ia yang meninggalkan. Namun dirinya tidak mengerti begitu sulit untuk melupakan. Kanu, yang membuat detak jantungnya berdebar tak menentu. Sampai saat ini, Sandra masih mengingatnya. Semua bukan hanya sekedar rasa bersalah.
*
Sandra memarkirkan mobil di pelataran rumah orang tuanya. Rasa pegal mulai mendera pada bagian punggung ketika mencoba untuk menegakkan badan. Perjalanan Bandung - Jakarta tanpa Sopir pribadi tak semudah perkiraan dan tak seindah bayangan. Lantas, tak membuang waktu, Sandra melangkahkan kaki jenjang memasuki rumah bergaya mediterania berdiri kokoh di hadapan.
"Kamu ada di rumah?" Sandra tidak dapat menutupi rasa terkejut melihat sang adik tengah duduk santai di atas sofa.
Selina memandangnya sekilas. "Nggak biasanya kakak pulang ke rumah."
Selalu seperti ini. Hubungan Sandra dengan Selina memang tak sedekat adik dan kakak pada umumnya. Perbedaan usia lima tahun terasa cukup jauh membuat Sandra dan Selina jarang sekali melewati waktu bersama. Tidak ada curhat, berbincang pun jarang mereka lalukan. Seperti saat ini, sekedar menyapa lalu menjawab tidak pernah lebih.
Berawal dari Sandra memilih untuk memilih mengembangkan cabang perusahaan milik sang Ibunda. Sedangkan Selina memilih terjun ke dunia entertaiment. Justru membuat hubungan di antara keduanya semakin merenggang. Karena sibuk dengan urusan masing-masing. Belum lagi, intensitas bertemu mereka semakin tipis lantaran ada jarak yang membentang.
Tiga bulan yang lalu, terakhir kali Sandra dan Selina bertemu hanya berpapasan tak ada perbincangan. Semenjak itu, beberapa kali Sandra kembali ke kediaman orang tuanya, ia tak bertemu dan tidak menemukan keberadaan Selina di rumah yang tengah menyelesaikan kontrak syuting film terbarunya.
"Masih ingat rumah?" sambung Selina mencebikkan bibir.
"Hari ini nggak ada acara?" tanya Sandra memilih tak meladeni.
"Nanti jam tiga," jawab Selina kembali berkutat dengan ponselnya. Dengan sesekali menahan senyum.
Sandra kembali termenung teringat akan berita yang kini tengah beredar luas diberbagai media. Semua membahas kedekatan adiknya dengan mantan kekasihnya. Bolehkah Sandra tertawa?
Hal tersebut menjadi suatu tamparan tersendiri bagi Sandra. Tak menyangkal, membuatnya lebih sering memikirkan pria itu. Jika Sandra dapat memutar ulang waktu, jika Sandra lebih memahami arti pentingnya kasih, sayang dan cinta. Ia yakin tak mungkin menyesal karena dirundung rasa seperti ini. Rasa yang membuatnya salah.
Di mana kata hati Sandra ingin mengulang kembali kebersamaan dengan yang pernah terjalin. Untuk pertama kalinya, Sandra diperkenalkan dengan rasa kecewa terhadap diri sendiri.
"Kak, nanti ke kantor Mama?" Suara Selina menyentak Sandra dari lamunannya.
"Memangnya kenapa?"
"Aku ikut, ya?" Selina setengah merajuk.
Sandra mengernyit heran. "Ke kantor Mama? Nggak biasanya."
Selina memutar mata jengah. "Bukan. Aku turun di hotel dekat sana."
"Kenapa nggak di antar Sopir?"
"Ada yang ikut Papa. Satu lagi nunggu Mama di kantor," balas Selina menghela napas panjang.
Sandra menunduk memandang marmer yang dipijak. "Nggak di antar pacar kamu?" Sambil menahan perasaan asing yang mulai terasa. Belum lagi, perih memenuhi hatinya.
"Kakak tahu?" tanya Selina terkejut, tak bisa menahan senyum.
"Aku nggak sengaja lihat. Beritanya sering muncul di televisi akhir-akhir ini." Sandra sepenuhnya jujur.
"Aku kira kakak nggak sempat nonton televisi."
"Aku nggak sesibuk itu." Perasaan Sandra tergelitik, membuatnya bingung. Ia bahkan tak bisa menerangkan apa yang dirasakan. Perasaannya terlalu rumit untuk dimengerti dan dijelaskan dengan kata.
Sepanjang perjalanan tak ada suara obrolan. Sandra sibuk dengan pikirannya sendiri, sedangkan Selina terlihat lebih senang dengan ponselnya.
"Kak, minggu depan pulang lagi bisa nggak?" ucap Selina tiba-tiba, memecah keheningan.
"Memang ada apa?" Sandra penasaran.
"Makan malam. Aku mau undang beberapa teman juga."
Sandra terdiam, tak lantas menjawab.
"Bisa, 'kan? Ajak Kak Bayu sekalian," ucap Selina kembali memastikan.
"Nggak biasanya," gumam Sandra.
"Sebenarnya memang lebih enak sewa tempat sih. Cuma berhubung Mama mau kenal sama teman-temanku, terpaksa di rumah acaranya."
Sandra tersenyum tipis masih fokus menyetir. Kini, iri ikut melesak di d**a, memenuhi. Mamanya memang lebih perhatian kepada Selina. Selama ini, Mama bahkan tidak sama sekali menyuruh teman-teman Sandra untuk berkumpul di rumah. Teringat hal tersebut membuatnya menghela napas. Papa dan Mama Sandra terlalu sibuk dengan bisnis masing-masing.
"Pulang ya, bisa 'kan?" ulang Selina.
Sandra menggeleng pelan.
Selina mendesah kecewa. "Kenapa nggak bisa?"
"Itu acara kamu. Lagipula, aku harus urus beberapa Investor yang baru gabung. Ada proyek Mama yang sedang jalan juga. Kebetulan Bayu lagi dinas ke Riau." Sandra tidak berbohong kali ini.
"Jumat malam kakak pulang, sabtu sore acaranya. Kakak bisa istirahat sebentar di rumah," ucap Selina setengah memaksa.
"Aku belum tahu." Di samping alasannya, Sandra tidak siap jika harus bertemu dengan Kanu. Bersiap untuk berhadapan kembali dan mendapat tatapan benci dari pria itu. Cukup enam tahun lalu, ia mendapatkannya.
Selina berdecak kesal.
"Kenapa harus? Memang acara kamu mau sekaligus lamaran? Anggota keluarga harus lengkap." Atau Sandra memang harus membayar perbuatannya yang terdahulu, dengan melihat Kanu bersama adiknya.
Selina tergelak. "Jadi, kakak kasih izin?"
Jika hal itu terjadi, Selina tidak memerlukan izinnya. Mengingat Mama pasti tidak memberikan Sandra kesempatan untuk menolak.
Tanpa disadari, Sandra mendengus geli seraya mengeratkan genggaman di kemudi mobilnya. Andai waktu itu ia menerima lamaran Bayu mungkin tidak akan ada pertanyaan Selina kali ini. Namun, rasa tidak rela mencoba ikut serta. Beberapa kali Sandra menolak, ia tetap tak akan mampu merelakan.
Semua pernyataan di hati kecilnya terus menerus melintasi pikiran. Sampai mobil Sandra melintas di atas kavling, memasuki latar utama sebuah ballroom hotel. Lantas Sandra terdiam memandang Selina lekat-lekat. Seulas senyum manis tersungging di wajah cantik adiknya. Sangat cantik.
"Thanks, Kak," ucap Selina.
Sandra hanya membalas tersenyum tipis, masih memandang Selina yang tengah keluar dari mobil. Untuk pertama kalinya, Sandra melihat Selina sebahagia ini.
"Hai, Revan!" pekik Selina dari luar mobil. Membuat
Sandra mengikuti arah pandang Selina. Hingga seketika pias mendominasi wajahnya. Menyadari pria yang tengah disapa adiknya merupakan pria yang juga ia hindari.
Terlihat Revan melangkah mendekati Selina, tersenyum kecil dengan kedua tangan masuk ke dalam sakunya.
Dada Sandra makin terasa terhimpit, denyut jantungnya meningkat beberapa kali lipat. Sandra perlu waktu untuk menunjukan diri di hadapan mereka. Ia pasti akan, tapi tidak sekarang. Napasnya seakan tertahan melihat langkah pria itu semakin mendekati pintu mobilnya yang masih terbuka.
"Kamu di antar sama siapa?" Samar suara pria itu bisa Sandra dengar.
"Sama Kakak," Selina tersenyum kecil membalas Revan.
Sandra mendengar suara tawa kecil Revan. "Sayang banget, Kanu lagi sibuk."
"Kak Sandra, kenalin teman aku," ucap Selina membuat Sandra semakin membisu.
"Kak Revan, kenalin itu kakak aku, Sandra."
Revan berhasil menutupi rasa terkejutnya. Setelah melihat Selina dan Sandra bergantian. Ia bahkan tak salah lihat dan sadar akan dua hal. Orang yang di hadapannya adalah Sandra yang telah merusak persahabatannya. Namun, kenyataan yang membuat Revan tak percaya, bahwa Selina merupakan adik dari Sandra.
"Maaf nggak bisa turun, saya buru-buru." Sandra gagal menutupi rasa gugupnya.
Revan tersentak, dengan cepat mengubah tatapannya datar. "Nggak masalah."
Setelah enam tahun, selesai sudah masa pelariannya. Batin Sandra kembali terbebani. Bahkan untuk bertemu dengan Revan, ia merasa malu. Pertemuan yang baru saja yang Sandra hadapi menyuarakan lebih.
* * *