BCS 3

1069 Kata
"Hai, ganteng!" Terlihat seorang wanita menyapa dengan senyuman penuh. "Tumben, pagi-pagi sudah di sini." Matanya seolah tidak dapat memutus pandangan dari wajah tampan Arkanu Andanu. Aktor yang tengah berada di puncak karir. Belum lagi, paras gantengnya berhasil menahan pandangan para gadis maupun wanita. "Biasa nih." Aktor tersebut menghentikan langkahnya tepat di hadapan wanita itu. "Sibuk banget kamu, mbak?" Melihat tumpukan kertas di kedua tangan. "Poster project si Revan nih, baru jadi." Lalu berdecakan kesal membuat Arkanu tertawa pelan. "Aku 'kan sudah bilang, kita seumuran. Kamu nggak perlu panggil aku mbak, kak, atau apapun itu. Kecuali 'sayang' bolehlah...." "Nggaklah. Nanti Aldy cemburu." Kanu membalas candaan tersebut. "Aldy apa pacarmu yang cemburu?" Wanita itu semakin penasaran mengenai gosip yang beredar di berbagai media. Mumpung ada orangnya, tidak ada salahnya bukan ia bertanya. "Siapa tuh?" Kanu justru kembali bertanya. "Konfirmasinya dong, ganteng...." Semakin menjadi. "Konfirmasi apa?" Kanu berpura-pura tidak mengerti. Sayang sekali. Ucapan tersebut membuatnya paham jika Kanu tidak ingin membahas lebih. "Ini weekend buat cowok seganteng kamu masih aja kerja, ya?" Mengubah obrolan dengan mengulang senyuman. Sudah ganteng, pekerja keras, tidak sombong, terlebih belum menikah, nyaris sempurna untuk seorang Arkanu Andanu. "Iya, makanya butuh asupan penambah stamina." "Espresso mau?" "Mbak yang buatin?" Jika harus membuat sendiri di pantry, lebih baik Kanu tidak meminum kopi itu. Semalam menginap di rumah orang tuanya menjadikan jarak tempuh menuju kantor agency semakin jauh. Akhir pekan dengan schedule kosong, ia seharusnya masih berada di dalam mimpi pagi ini. "Iya dong! Biar kamu makin semangat." Wanita itu semakin terpesona pada Kanu yang tengah tersenyum. "Aku antar ke ruangan kamu setelah bawa 'ini', ya?" "Thank you, mbak." Kanu melihat wanita tersebut mengedipkan mata sebelum akhirnya menjauh. Benar saja, tidak sampai lima belas menit asisten dari Managernya menghampiri seraya menyodorkan secangkir espresso. Kepulan asap di atas cangkir tersebut terlihat jelas, bersamaan dengan menguar aroma kopi memenuhi indra penciuman. "Minum dong, jangan dilihatin." Kanu menggapai kopi tersebut kemudian disesapnya sedikit. Rasa asam, pahit dan manis menjadi satu di lidahnya. Semua begitu pas. Sedikit lebih memperbaiki keadaannya. "Aldy masih lama?" Mulai bosan menunggu. "Dia lagi meeting sama orang dari Production House. Sabar ya, ganteng." "Sudah sampai aja lo, bro." Tiba-tiba Revan menginterupsi keduanya. "Dari tadi?" Kanu mengangguk singkat sambil memandang Revan yang baru saja tiba. "Gue tinggal deh," ucap perempuan itu. "Espressonya enak, terima kasih." "Gue mau juga sekalian, mbak," ujar Revan secepat menyadari ada secangkir kopi di hadapan Kanu. "Buat sendiri, gue sibuk." Senyum wanita itu kepada Kanu mendadak lenyap kala mendengar permintaan Revan. "Sialan, gue suruh buat sendiri. Giliran lo dibuatin." Revan duduk tepat di hadapan Kanu. "Nih, minum punya gue." Kanu menyodorkan kopi tersebut kepada Revan. "Kusut banget muka lo." Revan meneguknya sedikit. "Enak nih!" Nyaris berdecak kagum merasakan espressonya. Justru Kanu makin menyandarkan tubuhnya lelah. Lalu memejamkan mata singkat. "Semalam minum? Atau belum ketemu Selina?" "Bukan...." Yang Kanu pikirkan saat ini hanyalah permintaan Ibunya tadi malam. Membahas bisnis keluarga yang seharusnya sudah ia kerjakan dari tiga tahun lalu. Umurnya memang sudah tidak muda lagi. Banyak pula aktor dan aktris muda-muda pendatang baru. Ucapan orang tuanya tidak salah, terlebih hanya Kanu yang diharapkan mengganti jabatan sang ayah nanti. "Syuting lancar aja, 'kan?" Revan kembali mengesap kopi milik Kanu. "Kayaknya ini bakalan jadi project terakhir, Van." Kanu serius. "Jadi masuk kantor bokap?" Revan sudah tahu masalahnya. Bahkan menurutnya lebih baik jika Kanu rehat dari dunia entertaiment. "Belum tahu. Gue juga mau tanya nih pendapat Selina nanti." "Gitu dong, bro. Terbuka." Revan mengangguk-anggguk turut bahagia, Kanu memperjelas hubungannya. Namun, seketika teringat dengan kejadian kemarin sore. Cassandra merupakan kakak dari Selina. Wanita yang dulu sempat menjalin hubungan dengan Kanu selama dua tahun yang berakhir tidak baik untuk keduanya. Revan bahkan sempat meragu mempertimbangkan akan harus berterus terang pada Kanu. Ada pula terpikir tentang membiarkan Kanu mengetahui dengan sendirinya. Membebaskan mereka untuk menyelesaikan masalah yang telah tertunda selama bertahun-tahun. "Kemarin gue ketemu Selina. Dia diundang juga?" semua kata-kata masih tertahan di mulut Revan. "Selina cerita juga ketemu sama lo." Kekasihnya memang bercerita sepanjang malam melalui video call. Karena kedua orang tua menginginkan Kanu menginap, ia tidak bisa menemani Selina sore lalu. "Termasuk dia di antar kakaknya?" Kanu tertawa kecil. "Gue nggak tanya, karena Selina bilang dia bareng managernya atau sama sopir. Kenapa lo bahas kakaknya Selina? Naksir?" Memandang Revan jenaka. Revan meringis seraya menggaruk tenguk. Sepertinya, ia memang harus membahas masalah ini. "Kemarin gue ketemu Sandra," akhirnya mengungkap jujur. Saat ini, justru Kanu memandangnya dengan kernyitan bingung. Kanu terdiam sejenak. Sandra bukan urusannya lagi. Ia bahkan tak habis pikir Revan bisa membicarakan perempuan itu. "Kakaknya Selina, lo naksir?" Tidak tertarik menanggapi ucapan Revan, Kanu memilih membahas hal sebelumnya. "Kalau niat lo benar, gue bisa bilang Selina." Kini Revan yang memandang Kanu datar. "Sandra kakaknya Selina." "Gue nggak mau bahas dia lagi." Tidak mau ada bantahan, Kanu masih tak percaya. "Gue cuma mau kasih tahu. Takut nantinya lo kagèt." Revan memang berniat baik. Ia tidak ingin Kanu mengulang perasaan yang dulu terjadi. "Kemarin gue lihat dia. Jelas. Dan nggak mungkin salah. Karena gue sempat kenalan lagi sama dia." Perkataan Revan berhasil mengusik Kanu perlahan. Meski tidak diperlihatkannya. Bahkan Kanu tak tahu harus bereaksi seperti apa, ia merasa dipermainkan. Sandra merupakan kakak Selina. Seberat ia melupakan Sandra, sejauh menjauh, sesudah melewati dirinya yang dulu mengapa Sandra kini kembali berada di dekatnya. "Dia gugup. Dia nggak berani lihat gue," lanjut Revan. "Pasti lo penasaran, 'kan?" Justru Kanu lebih tidak ingin membahasnya. Namun, memilih diam tak membalas. "Gue nggak minta buat lo percaya. Karena lo pasti bakalan tahu nanti." Kanu semakin termangu mendengar penuturan Revan. Mengingat apa yang dilakukan oleh perempuan itu membuat Kanu tak terima. Rasa kesal selalu datang, tiap kali mengingat kejadian kelam lalu. Di saat dirinya telah menjelma menjadi sosok cover boy, bisa dikhianati Sandra. Sandra yang Kanu sayang ternyata memadu kasih di belakangnya dengan sahabat dekatnya. Menyedihkan sekali. Luka peninggalan Sandra dulu membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkan. Bahkan cukup lama hingga bertahun-tahun tidak menjajakin sebuah hubungan. Sebelum akhirnya, Kanu bertemu Selina dan memutuskan untuk memilihnya. Sadar bahwa hidup terus berjalan, waktu terus berganti dan zaman semakin maju. Enam tahun lalu mungkin Kanu masih berada pada titik terendah, mengajarinya agar menjaga dan menghargai apa yang telah ia miliki. Tidak lagi untuk sekarang, saat ini ataupun nanti. Kanu akan menunjukan siapa dirinya yang sebenarnya. Tak ada lagi masa lalu, Kanu akan mengubah prinsip hidupnya. Kanu yakin, waktu telah menyembuhkan lukanya, yang bahkan sudah mengubur satu per satu kenangan bersama wanita itu. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN