* Pertanyaan *

4290 Kata
Rama tiba di ruangannya dengan menenteng sebuah tas kecil berisi makanan yang dibekalkan oleh ibu tercintanya. Pagi-pagi sekali setelah salat subuh, ibunya sudah sibuk di dapur menyiapkan bekal untuknya dan juga sarapan pagi mereka. Rama tersenyum sendiri melihat isi bekal yang diberikan ibunya, makanan kesukaan Rama tentunya. “Oh iya, gue belum tanya Septa sudah sampai atau belum,” ujar Rama merogoh sakunya mengambil ponselnya dan mencari kontak sahabatnya. “Halo, Bro?” sapa Rama setelah panggilannya terhubung. “Halo, Ram,” jawab Septa dari sana. “Sudah sampai Lombok, Lo?” tanya Rama sembari mencari berkas daftar pasiennya. Terdengar suara berisik lalu lintas dari tempat Septa. “Iya, sudah sampai ini. Gue lagi cari makan lapar banget. Tega banget Mama sama Papa gak kasih makan gue!” ujar Septa dengan nada mencak-mencak. Rama terkekeh, sepertinya bukan tidak disiapkan tapi Septa yang terlalu pilih-pilih terkait sarapan ataupun makanan yang akan dirinya santap. “Sudah liat pos kesehatannya?” tanya Rama. “Belum, gue kayaknya sehari ini masih di hotel karena buat persiapan ke pos kesehatannya dan juga ada beberapa data yang masih belum gue terima dari pusat,” ucap Septa terdengar dia sedang memakan sesuatu di sana. “Eh iya, tolong sampaikan pamit gue ke Nayra, ya. Gue lupa mau pamitan ke dia kemarin, karena dia pulang duluan,” titah Septa masih sibuk dengan kegiatan makannya. “Hm, baiklah pangeran, akan saya sampaikan kepada tuan putri,” canda Rama dengan kekehan. Ini seperti kebalikan keadaan ketika dirinya di Jerman, bedanya dulu dia hanya meminta Septa menyampaikan kabar pada ibu dan ayahnya, karena untuk sekedar berpesan pada Karin saja Septa tidak pernah mau dan bahkan langsung mematikan sambungan panggilan mereka. “Oke, thanks Ram. Gue tutup ya, kalo makan sambil telponan takut keselek gue!” ucap Septa dengan candaan. “Iya, hati-hati!” pesan Rama kepada sahabatnya itu dan panggilan mereka terputus. Setelah mengumpulkan semua data pasien yang akan dia tangani hari ini, Rama keluar dari ruangannya untuk menuju bangsal-bangsal pasiennya yang telah menunggunya. Ketika akan memasuki lift, dia berpapasan dengan dua dokter cantik yang sepertinya akan melakukan tugas yang sama dengan dirinya. “Pagi, Dokter Rama,” sapa seorang di antara mereka dengan senyum cerianya, seorang dokter dengan rambut sebahunya. “Pagi..  Dokter Fani, benar?” tanya Rama melirik nama di jas gadis itu, “ dan Dokter Nayra,” Rama tidak melewatkan gadis berhijab di sebelah gadis berambut sebahu itu. Nayra yang masih diam tanpa ekspresi ceria seperti rekannya, Rama harus mencoret nama Nayra dari sangkaan gadis yang diceritakan oleh ibunya. Nayra hanya mengangguk dengan senyum sopan. “Dokter Rama, apa dokter Septa sudah berangkat ke Lombok?” tanya Fani dengan nada sedikit ragu. Rama mengangguk, “sudah, dia sudah merasakan makanan lombok sekarang,” ujar Rama dengan diksi candaan. Fani tampak lega, namun berbeda dengan Nayra yang  masih diam menunggu lift terbuka. “Em, nanti tolong bilangin hati-hati sama jaga kesehatan ke dokter Septa ya, Dok,” ucap Fani ragu-ragu namun dia ucapkan juga. Rama agak terkejut namun seketika bisa mengerti dan tahu jika gadis itu menyukai Septa, sahabatnya. Benar-benar dunia yang aneh, Septa menyukai Nayra namun buta kalau ada gadis lain yang sepertinya sangat menyukainya. “Oh, baik. Saya juga dititipin salam pamitan dia kepada... kalian,” awalnya Rama hanya akan berpesan untuk Nayra saja, namun dia tidak tega menghancurkan keceriaan Fani yang merupakan teman Nayra juga. Binar keceriaan yang bertambah berkali-kali lipat tampak pada wajah Fani saat ini, ternyata Septa masih memiliki jiwa karismatiknya yang dapat membuat seorang gadis meleleh seperti ini hanya karena pesannya saja. “Saya duluan,” pamit Nayra setelah lift terbuka, entah kenapa perasaan Nayra sedang tidak baik-baik saja apalagi melihat Rama untuk saat ini. “Ayo dokter Rama, mau ke lantai 3 juga, kan?” ajak Fani yang masih menyelipkan senyuman cerianya berbeda dengan temannya, Nayra, ini memang perasaan Rama saja, atau memang Nayra berubah menjadi dingin dan menghindarinya. Seingat Rama, Nayra kemarin memang terlihat canggung padanya namun tidak bersikap dingin seperti ini. Apa Rama melakukan kesalahan atau mengucapkan perkataan yang berhasil membuat Nayra kesal? Ketika pintu lift akan tertutup, Fani menghentikan pergerakan tangan Rama yang akan menutup akses pintu lift. Ponsel di saku jasnya bergetar dan Fani melirik sebab getaran pada ponselnya. “Eh, bentar Dok. Saya sepertinya harus kembali ke ruangan saya lagi,” ucap Fani sembari membaca sebuah pesan pada layar ponselnya. Nayra mengerutkan dahinya, “ada yang ketinggalan, Fan?” tanya Nayra kepada Fani yang sepertinya terfokus pada pesan di ponselnya. “Suster Ratna bilang ada yang cari aku dan dia sudah tunggu di ruangan aku, Nay,” ujar Fani tampak serius dan bingung. “Ya sudah, saya permisi duluan ya, Dokter Rama,” pamit Fani kepada seniornya, walaupun Rama baru pindah ke rumah sakit ini tapi Rama setara dengan Septa di sana. “Oke, Nay. Aku balik dulu ke ruanganku ya, nanti aku menyusul kamu,” ucap Fani kepada Nayra yang sepertinya bingung juga dan penasaran siapa yang berkunjung ke ruangan Fani pagi-pagi begini. Akhirnya, pintu lift tertutup menyisakan Nayra dan Rama di dalamnya. Rama sedari tadi mencuri lirik pada gadis di sebelahnya itu. Entah kenapa, dia penasaran akan sikap Nayra yang tiba-tiba berubah jadi dingin. “Em, Nayra?” panggil Rama kepada Nayra dan tepat di detik itu dirinya mendapati Nayra melihat ke arahnya namun masih dengan sorot datar. “Apa ada ucapan atau perbuatan saya yang membuat kamu tersinggung?” tanya Rama to the point. Dia tidak bisa menunggu ataupun menebak-nebak akan apa kesalahan yang dia perbuat. Jika dia berbuat salah ataupun menyakiti perasaan orang lain, maka Rama hanya ingin orang tersebut langsung menginterupsinya. Seperti yang sering Rama dan Septa lakukan, jika ada salah satu dari mereka yang tidak suka akan sikap masing-masing, maka mereka akan langsung mengkritik satu sama lain. Nayra meluruskan kembali pandangannya ke arah depan. “Maksud Dokter Rama bagaimana? Dokter Rama tidak berbuat salah apa pun pada saya, kok!” jawab Nayra. Bukan ucapan atau tindakan Rama selama berinteraksi dengannya yang membuat dirinya tidak dalam kondisi hati yang baik, melainkan karena percakapan Rama dengan seseorang dalam panggilan yang tidak sengaja Nayra dengar. Setelah mendengar percakapan itu, entah kenapa situasi hati Nayra mendadak mendung. Ya, percakapan mesra antara Rama dengan kekasihnya, Karin, kemarin. “Terus kenapa? Saya merasa kamu menghindari saya,” jujur Rama. Dia tidak ingin Nayra bersikap canggung dan dingin seperti ini padanya, karena selama satu bulan tentu mereka akan bekerja sama sebelum Septa kembali. Nayra mencoba menetralkan kembali suara dan raut wajahnya. “Saya biasa saja, Dok. Itu sepertinya hanya perasaan dokter Rama saja,” ujar Nayra dengan senyum sopannya. Rama mengangguk mengerti, dia tidak mau membuat Nayra semakin tidak nyaman dengannya. “Mungkin hanya perasaan saya saja, ya?” gumam Rama terdengar tidak yakin dan tidak puas akan jawaban Nayra. “Jika ada sesuatu yang membuat kamu tersinggung baik dari perkataan atau tindakan saya, segera beri tahu saya!” lanjut Rama dan hanya diangguki kelu oleh Nayra. Kenapa perubahan sikap Nayra sangat membuat Rama gelisah, bahkan mereka baru mengenal kurang dari seminggu. Nayra keluar dari lift mendahului Rama. “Saya duluan, dokter Rama,” ucapnya kemudian berlalu menuju ruangan pasien yang akan dirinya kontrol. “Gak marah bagaimana? Sudah jelas sikap dia ke gue jadi dingin!” ucap Rama masih memperhatikan punggung Nayra dari tempatnya sekarang. Nayra menghampiri seorang suster yang berjaga di tempat administrasi, seperti biasa dia tersenyum ramah pada setiap perawat yang sedang bertugas di sana. “Assalamu’alaikum, Suster Anita dan Suster Ira,” sapa Nayra dengan nada ramah. Nayra adalah salah satu dokter yang amat dikagumi oleh para perawat wanita di sana dan sangat didambakan oleh para perawat pria maupun dokter-dokter muda, contohnya Septa. “Wa’alaikumussalam, Dokter Nayra. Selamat pagi, Dokter,” balas kedua perawat itu dengan senyum tak kalah ramah. Jika sudah bertemu dengan Nayra, suasana di sana mendadak  hidup dan penuh keceriaan. “Data pasien yang telah mengajukan untuk pulang sudah direkap?” tanya Nayra sembari membuka beberapa catatan diagnosis pasien baru yang telah mendapatkan kamar inap tadi malam. Anita memberikan sebuah map kuning kepada Nayra. “Ini, Dok. Total pasien yang mengajukan pulang adalah sepuluh orang, tapi lima orang di antaranya masih perlu perawatan intensif,” jelas Perawat Anita kepada Nayra. Nayra mengangguk mengerti. “Apa lima orang itu memberikan alasan kenapa mengajukan pulang padahal harus mendapatkan perawatan yang intensif?” tanya Nayra. “Hampir semuanya beralasan karena kondisi keluarga, Dok. Ada yang memberikan alasan harus bekerja dan khawatir anak-anak mereka di rumah,” terang Perawat Ira memberikan penjelasan sesuai apa yang disampaikan oleh pasien. Nayra mengangguk mengerti, “baik, Suster Anita sekarang kita jadwalkan dulu untuk kelima pasien tadi! Untuk pasien yang baru mendapatkan kamar, kita jadwalkan nanti sore, ya,” ujar Nayra dan diangguki oleh Perawat Anita. Nayra diikuti oleh perawat Anita memasuki sebuah ruangan kelas  dua di rumah sakit tersebut. Dia memasuki ruangan tersebut dengan senyum khasnya, melangkahkan kakinya menuju bangsal yang telah berada dalam rekapannya. “Assalamu’alaikum, Bu Fatmi?” tanya Nayra ramah kepada seorang ibu yang berusia kisaran lima puluh tahun. Di sana, ibu tersebut hanya seorang diri tidak ada sanak keluarga yang menjaga. “Wa’alaikumussalam, Dokter. Iya saya Fatmi,” ujar ibu tersebut membalas senyuman dokter cantik tersebut. “Bagaimana sekarang perutnya? Masih sakit atau masih susah buang air besar?” tanya Nayra sembari menekan pelan perut pasien tersebut. “Masih suka terasa sakit, Dok. Tapi, kalau buang air besar sudah lancar,” sahut Bu Fatmi. Mendengar hal tersebut, Nayra mengeluarkan mulai memeriksa perut Bu Fatmi dengan pelan. Rama sedang didampingi seorang perawat pria yang awalnya adalah perawat yang selalu mendampingi Septa. Untuk sementara, pasien-pasien kelas dua yang pernah mendapat operasi ditangani oleh Septa, diserahkan kepada Rama. “Dokter Rama melanjutkan spesialis di Jerman?” tanya Adi, perawat sekaligus ajudan Septa ketika di rumah sakit. Rama mengangguk, “iya,” jawab Rama. Mereka sedang menuju sebuah ruangan di kamar kelas dua. “Cewek-cewek di Jerman cantik-cantik gak, Dok?” tanya Adi dengan kekehan. Ini alasan kenapa Septa ingin didampingi Adi untuk menjadi ajudannya, karena Adi itu tipe orang yang lumayan polos terbilang sangat polos. Mendengar pertanyaan aneh Adi, Rama tergelak, bisa-bisanya dirinya mendapat pertanyaan itu. Dasar anak didikan Septa. “Ya sama saja, namanya cewek itu pasti cantik,” jawab Rama dengan senyum jenaka menjawab pertanyaan aneh dari Adi. Mereka sampai di depan pintu ruangan tujuan mereka, Rama sedikit mengerutkan dahinya bingung. Kenapa pintunya terbuka, bukankah sekarang jadwal dirinya yang memeriksa pasien di ruangan tersebut, tidak ada dokter lain yang memiliki jadwal. “Di, apa sekarang ada dokter yang punya jadwal di ruangan ini?” tanya Rama kepada Adi yang tampaknya bingung juga. “Kayaknya gak ada deh, Dok. Coba saya lihat dulu,” tawar Adi dan langsung melangkahkan kakinya mengintip siapa gerangan dokter yang sedang memeriksa. Karena, peraturan di sana adalah pintu ruangan wajib tertutup apabila dokter belum datang memeriksa, sebagai tanda kepada keluarga pasien yang akan menjenguk dengan beruntun. “Siapa, Di?” tanya Rama ketika Adi sudah berada di posisinya semula. “Dokter Nayra,” jawab Adi dengan cengirannya. Rama semakin mengerutkan dahinya, bukankah Nayra memiliki jadwal di ruangan lain? Lalu, mengapa dokter itu ada di ruangan tersebut? Rama melangkahkan kakinya dan memasuki ruangan tersebut yang ditempati oleh sepuluh pasien, untuk ukuran ruangan tersebut cukup luas ditempati sepuluh pasien. “Ibu mengajukan pulang hari ini kepada pihak administrasi?” tanya Nayra masih memeriksa perut Bu Fatmi yang tampaknya masih agak membengkak. Dia belum mengetahui bahwa ada dokter lain yang baru saja datang ke ruangan yang sama dengan dirinya. Bu Fatmi mengangguk, “Iya, Dok,” jawab Bu Fatmi. “Tapi, kondisi ibu masih perlu perawatan di rumah sakit. Saya khawatir jika ibu pulang, keadaan ibu akan kembali parah seperti pertama kali dirawat,” jelas Nayra. Setelah memeriksa keadaan Bu Fatmi benar, benar saja kondisi pasien tersebut masih perlu perawatan serius di rumah sakit. Tidak memungkinkan untuk pulang dekat-dekat ini. “Suami ibu ada?” tanya Nayra, karena dari pertama kali dipindahkan ke ruangan ini, Bu Fatmi tidak dijaga oleh sanak keluarganya. Dia hanya melihat suaminya sekali ketika Bu Fatmi masih berada di IGD. “Suami saya jaga anak saya di rumah, Dok,” ucap Bu Fatmi dengan mata menerawang kosong, sepertinya ini yang membuatnya mengabaikan kesehatannya untuk bisa mengurus anaknya kembali di rumah. Gerakan tangan Nayra yang memeriksa perut Bu Fatmi terhenti. “Suami Ibu tidak bekerja selama ibu dirawat?” tanyanya, dia merasa seperti menyelami keadaan keluarga pasiennya tersebut. “Suami saya kerja jualan es cendol, Dokter. Jadi, setiap hari anak saya dia bawa berjualan berkeliling, maka dari itu saya tidak tega karena anak saya masih sangat kecil untuk panas-panasan ikut bapaknya,” ujar Bu Fatmi dengan suara tertahan menahan tangis. Ibu mana yang tega membiarkan anaknya yang seharusnya mendapat fasilitas yang baik, malah ikut berkeliling di bawah terik matahari. “Jadi, saya boleh pulang hari ini, Dokter?” tanya Bu Fatmi dengan mata mengharap. Dia tahu jika saat ini dia mengabaikan kesehatannya, karena tidak bisa dipungkiri perutnya masih sering kali sakit melilit, tapi jika dia masih memikirkan hal itu bisa-bisa anaknya ikut masuk ke rumah sakit. Nayra menarik tangannya dari perut Bu Fatmi, dia mengambil napas dalam menekan semua isak yang sedari tadi mendesak keluar. “Baik, Bu. Karena kesehatan ibu belum pulih sempurna, jadi sebagai gantinya saya yang akan tiap hari memberikan perawatan ke rumah ibu sampai ibu sembuh sesuai target dari rumah sakit,” ucap Nayra dengan senyum ramahnya. Semua mata di sana tertuju pada dokter muda tersebut terutama Bu Fatmi yang tidak percaya jika dia akan mendapat perawatan khusus agar dirinya bisa sembuh. “Dokter Nayra, yakin? Bulan ini jadwal dokter kan sibuk, ditambah karena dokter Septa ke Lombok beberapa pasiennya diberikan kepada Dokter Nayra,” ucap Perawat Anita yang hanya dibalas dengan anggukan dan senyuman manis dokter cantik tersebut. “Dokter Rama kenapa senyum-senyum begitu?” tanya Adi kepada Rama yang sekarang sudah berada di sampingnya, tepat di depan ranjang pasien nomor satu. “Dia memangnya gak sibuk?” tanya Rama tanpa mengalihkan pandangan dari salah satu ranjang pasien di ujung sebelah kanan ruangan tersebut. Adi mengerutkan keningnya, “maksud Dokter Rama siapa?” tanyanya tidak tahu arah pembicaraan mereka. Kemudian Adi mengikuti arah pandang Rama dan mengangguk mengerti. “Owalah, Dokter Nayra?” ucapnya. “Sebenarnya hampir semua dokter sangat sibuk bulan ini, karena beberapa dokter dikirimkan ke Lombok. Jadi, beberapa pasiennya dipindah alihkan kepada dokter lain. Termasuk pasien Dokter Septa, beberapa ada yang diserahkan kepada Dokter Nayra juga,” jelas Adi yang semalam membaca data-data pasien dan dokter pada bulan ini yang telah direvisi oleh pihak rumah sakit. “Tapi, kenapa Nayra sampai punya waktu untuk merawat pasien yang tidak mau dirawat di rumah sakit?” tanya Rama untuk dirinya sendiri namun, ditanggapi oleh Adi. “Dokter Nayra memang kayak gitu. Dia itu selain cantik, baiknya juga kebangetan gak heran Dokter Septa klepek-klepek,” ujar Adi diakhiri dengan kekehan, bagaimana pun juga dia adalah tempat berkeluh kesah Septa ketika di rumah sakit apalagi mengenai Nayra. Rama menoleh ke arah Adi, “tapi ke saya dia dingin banget?” ujarnya sedikit merasa tidak adil, dia merasa Nayra malah semakin menjauhinya dan menjaga jarak dengannya. Walaupun mereka baru mengenal, tapi Rama rasa ke orang lain Nayra tidak bersikap seperti itu. “Perasaan dokter Rama saja itu. Saya saja pas baru kenal dua hari, Dokter Nayra baik banget sama saya kalau ketemu di jalan gak pernah absen  menyapa apalagi senyumnya gak pernah luntur,” puji Adi sekaligus menyanggah pernyataan dari Rama. “Kalau saja Dokter Septa bukan sohib saya, sudah saya tikung dia!” kekeh Adi. Apa gue ada salah sama dia yang gak gue sadari? Batin Rama untuk ke sekian kalinya. “Pagi, Dokter Nayra,” sapa Adi ketika Nayra dan Perawat Anita melewati mereka sebelum keluar dari ruangan tersebut. “Dih, sok manis banget kamu Adi!” judes Perawat Anita kepada Adi. Adi memang terkenal dengan sikap ramah-tamahnya kepada setiap wanita, terutama kepada para dokter cantik dan perawat di rumah sakit. “Judes banget sih, Suster Anita. Pantesan jomblo!” ujar Adi. Perawat Anita adalah salah satu perawat yang sering digoda Adi, namun bentengnya sangat kokoh alias tidak mempan gombalan-gombalan Adi. Sebuah hantaman map mengenai kepala Adi dengan pelaku adalah Perawat Anita, mereka terkenal dengan pasangan perawat yang tidak pernah akur. “Sakit tahu, Nit. Kalau aku hilang ingatan bagaimana?” rengek Adi masih memegangi kepalanya yang masih terasa kebas karena hantaman map. “Bodo amat! Dokter Rama mending cari partner perawat lain, deh. Dokter Septa saja ketularan Adi jadi kasihan,” ucap Anita memberikan saran kepada Rama. Rama tertawa mendengar ocehan Anita, “malah saya suka kalo dapat partner yang spesies langka seperti ini,” ujar Rama bercanda. “Wah, Dokter Rama boleh juga,” tanggap Anita mendengar candaan Rama yang memihak padanya. “Suster Anita dan Adi, saya duluan, ya? Ada berkas yang harus saya kerjakan,” entah lupa atau bagaimana Nayra melupakan pamit pada Rama dan berjalan begitu saja meninggalkan ketiga orang di sana. “Lihat, kan? Dokter Nayra kalau ke saya dingin banget!” ujar Rama mengulik kembali pertanyaannya yang tadi sempat dia tanyakan kepada Adi. “Tapi ke saya enggak tuh barusan,” ujar Adi. “Duh, saya duluan deh mau susul Dokter Nayra,” Anita mengabaikan percakapan dua lelaki tersebut dan langsung menyusul Nayra, dia tidak mau lepas tugas karena hanya meladeni sesi bercanda dengan pasangan dokter dan perawat itu. “Di-,“ “Dok, nanti saja sesi curhatnya. Itu pasiennya sudah tunggu dokter!” potong Adi ketika Rama akan memulai sesi pertanyaan yang dia rasa akan berdurasi lama. Benar-benar teman sejati, persis seperti Septa, namun Rama adalah versi jinaknya. Kalau Septa, ketika akan curhat apalagi mengenai Nayra, dia bisa saja uring-uringan bahkan saat memeriksa pasien dan membuat pasiennya menganga terkejut. Mendengar itu membuat Rama menggaruk pelipisnya, entah sejak kapan perubahan sikap Nayra bisa membuatnya jadi seperti ini. Bahkan, dia dan Nayra saja baru saling mengenal walaupun gadis itu sering sekali menjadi topik pembicaraannya dengan Septa ketika sedang dimabuk asmara.   “Mas Wira?” ucap Fani ketika menemukan dan tahu siapa sosok yang mendatangi dirinya di sana. “Hai, dek?” sapa Wira ketika melihat sepupunya itu memasuki ruangannya. “Kok gak bilang-bilang mau ke sini? Tumben banget ke sini lagi!” ujar Fani sembari mendudukkan dirinya di sebelah Wira. Wira menunjukkan sebuah paper bag yang berada tepat di atas meja kerja Fani. “Ada titipan dari Mamih buat keponakan kesayangannya,” ujar Wira. “Wah, Tante Ami terbaik pokoknya,” puji Fani kepada ibu dari Wira, Fani memang tinggal di Jakarta seorang diri karena merantau dari Surabaya, untungnya ada keluarga Wira yaitu keluarga dari adik ayahnya yang tinggal di Jakarta yang selalu berperan sebagai keluarga keduanya. “Biasanya yang bawain makanan ke sini Mbak Puja, kok tumben Mas Wira gak sibuk,” ujar Fani, salah satu anak dari Tante Ami ini memang paling sibuk, jangankan ada waktu untuk dirinya, bahkan Wira sering absen jika ada acara keluarga dengan alibi sibuk akan pekerjaannya sebagai fotografer yang memang cukup andal dan direkrut oleh banyak perusahaan dengan brand ternama. “Sudah lama gak ketemu Bu Dokter ini, terus kangen juga sama bau rumah sakit,” ujar Wira. Fani memutar matanya mendengar ucapan dusta Wira. “Bau rumah sakit kok dikangenin sih, Mas,” ujar Fani. Sebuah ketukan pintu membuat perhatian mereka teralihkan. “Fan? ini aku Nayra. Lagi apa?” suara Nayra, memang Nayra walaupun sudah sangat dekat dengan Fani tetapi dia sangat menjaga adab jika masuk ke dalam ruangan orang lain, tidak terkecuali ke ruangan sahabatnya sendiri. “Masuk, Nay!” izin Fani mempersilakan sahabatnya itu untuk masuk. Nayra membuka pintu ruangan Fani dan dia cukup terkejut karena di sana tidak hanya ada Fani, tetapi ada sesosok laki-laki di sana. Kedua orang di sana menatap Nayra. “Oh, Maaf Fan. Aku kira gak ada tamu di ruangan kamu,” ucap Nayra sungkan, dia takut jika kedatangannya mengganggu urusan mereka. Fani menggeleng dengan tersenyum, “enggak kok, Nay. Kenalkan ini sepupuku namanya Mas Wira, anaknya Tante Ami,” jelas Fani memperkenalkan Wira pada sahabatnya. Wira tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya, “halo, kamu Nayra? Saya Wira,” ujar Wira memperkenalkan diri kepada sahabat dari sepupunya itu. Tidak ada sambutan uluran tangan dari Nayra yang membuat Wira mengerutkan dahinya. Fani yang sadar akan hal itu menyikut lengan Wira dan berbisik, “mas gak lupa, kan? Sahabat aku yang benar-benar baik yang sering aku ceritakan?” bisik Fani kepada Wira dan diangguki oleh pria itu. Wira menarik kembali uluran tangannya, “maaf Nayra, saya buat kamu tidak nyaman,” ucap Wira dengan senyum canggung. Dia kira apa yang dikatakan orang baik oleh Fani mengenai sahabatnya itu adalah  hanya sekedar attitude Nayra yang sangat baik, ternyata di luar dugaan. “Tidak kok-,” “Panggil Mas Wira saja, saya gak suka dipanggil bapak atau abang,” kekeh Wira memotong, karena dia tahu bahwa Nayra sedang bingung memanggilnya. “Maaf Mas Wira, saya Nayra sahabatnya Fani,” sahut Nayra canggung. Wira mengangguk dan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannnya, “Fan, Mas pamit dulu, ya. Ada urusan,” ujar Wira. Fani yang telah sibuk dengan santapan yang dibawakan oleh Wira tadi hanya merespons dengan mengancungi dua jempolnya dan mulut yang sedang sibuk mengunyah. “Saya pamit dulu, Nayra. Senang mengenal kamu,” ucap Wira sebelum keluar dari ruangan tersebut. “Duduk, Nay!” suruh Fani ketika melihat Nayra hanya berdiri di posisinya. Nayra mengangguk kelu, “Ohiya,” jawab Nayra dan langsung duduk di single sofa di sana. “Ganteng ya Mas-ku, Nay?” tanya Fani berniat menggoda Nayra. Wira memang bisa dikatakan good looking karena tampangnya. “Apaan, sih. Biasa saja kayak kebanyakan cowok,” jawab Nayra datar, seperti biasa ketika membahas tentang pria. Fani cemberut, “kamu itu ya, Nay, selalu saja begitu. Memangnya gak ada cowok yang kamu suka selama ini?” tanya Fani, dia tidak habis pikir dengan kisah percintaan Nayra yang sangat nol besar. Walaupun dirinya sangat tergila-gila kepada Septa sekarang, tapi Fani tetap pernah punya banyak cerita cinta semasa hidupnya. Ya, dia berharap kisah cinta terakhirnya adalah Septa. Nayra diam saja, dia tidak mungkin memberitahu Fani jika satu-satunya pria yang bisa masuk ke dalam hatinya adalah Rama, sosok dokter baru di rumah sakit mereka bekerja. Akan jadi suatu berita besar jika satu rumah sakit tahu Rama adalah cinta pertamanya, terlebih Rama sepertinya tidak ingat apa pun mengenai masa lalunya. Fani masih menunggu jawaban Nayra, walaupun hal ini sudah sering dilontarkan pada sahabatnya itu. “Benaran gak ada?” tanya Fani memastikan, “kamu cari yang seperti apa, sih Nay sebenarnya?” lanjut Fani lagi-lagi sudah lelah merekomendasikan beberapa pria kepada Nayra dan lagi-lagi sepertinya Nayra tidak tertarik pada sepupunya yang bisa dikatakan cukup digandrungi para wanita itu. Wira tidak semenarik itu di mata Nayra. “Aku masih mau fokus pada pekerjaanku dulu, Fan,” ucap Nayra. “Kamu fokus pada pekerjaan itu memang bagus, tapi seenggaknya kamu harus ada incaran cowok dong, Nay!” ujar Fani, walaupun hanya sebatas mengagumi tanpa sebuah status hubungan pun sudah bisa dikatakan menikmati hidup menurut Fani, seperti rasa kagum atau memang rasa sukanya pada Septa. “Kayak kamu ke Dokter Septa,” tanya Nayra dengan nada menggoda, Fani itu paling jago jika memberi wejangan percintaan ke setiap orang, namun dirinya sendiri belum berani mengatakan langsung perasaannya kepada Septa. “Kalo aku tinggal tunggu waktu yang tepat saja, Nay. Lagian orangnya juga sudah ada,” bela Fani. Untuk mengungkapkan perasaannya dia ingin terlebih dahulu mengetahui situasi hati Septa. Dirinya tidak mau malu sendiri jika ditolak oleh Septa, dia belum siap. Nayra mengangguk tanda dia pasrah akan semua alibi sahabatnya itu, “iya, terserah kamu saja, Fan,” ujar Nayra menyandarkan kepalanya pada sofa, entah apa yang membuat pikirannya lelah akhir-akhir ini. “Eh, Nay. Kamu berarti besok berangkat mau dari rumah sakit apa langsung ke sana?” tanya Fani yang sekarang sibuk dengan beberapa camilan di atas mejanya. Fani memang hobi makan tapi tubuhnya masih tetap kecil dan tidak bisa dikatakan mendekati gendut. Mata Nayra yang awalnya terpejam seketika terbuka terkejut, “hah? Besok ke mana?” Nayra masih belum tahu apa-apa mengenai topik yang dibicarakan mereka sekarang.  Fani menghentikan kegiatan makannya, “kamu gak tahu? Makanya liat grup rumah sakit dong!” kebiasaan dari Nayra yang sangat jarang ikut percakapan dalam grup rumah sakit bahkan sepertinya Nayra jarang membuka grup tersebut juga. Nayra langsung merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponselnya, dia membuka aplikasi chat-nya. Matanya tiba-tiba membuka lebar pertanda kaget, “sejak kapan pengumuman ini ada? Kok aku baru tahu, sih!” tanya Nayra, sebenarnya kesal pada dirinya sendiri. “Sejak kemarin pagi sudah ada, aku kira kamu sudah tahu,” jawab Fani sudah tidak terkejut lagi dengan kelakuan Nayra yang terlewat cuek akan setiap sesuatu terutama dengan hal yang memang kurang bermanfaat baginya. Karena, bagi Nayra isi percakapan grup rumah sakit sering dijadikan sebagai tempat obrolan tidak jelas anggota-anggotanya, maka dari itu Nayra sering mengabaikan grup tersebut. “Kok nama kamu gak ada, Fan?” tanya Nayra setelah membaca beberapa nama dokter dan perawat yang akan ikut kegiatan sosialisasi di desa-desa sekitar daerah ibu kota. “Itu buat jadwal minggu ini dan aku kebagian minggu setelahnya,” sahut Fani. Sebenarnya dia ingin tugas di minggu yang sama dengan Nayra, tapi keputusan jadwal rumah sakit tidak bisa diubah. Jika mereka seenaknya mengajukan perubahan jadwal, itu bisa dikatakan tidak profesional apalagi hanya karena ingin bersama dengan sahabat dekat, sangat pribadi. Dan satu hal lagi yang membuat Nayra terkejut, jika dirinya akan ditugaskan di hari dan tempat yang sama dengan Rama. Lagi-lagi Rama, kenapa akhir-akhir ini mereka seolah-olah selalu berada di lingkungan yang sama. Untungnya proses bimbingan adaptasi Rama hanya berlangsung tiga hari saja, Rama adalah orang yang cukup pandai beradaptasi dengan lingkungan baru. Tetapi, kadang Nayra masih sering memberitahu beberapa hal pada Rama walaupun tidak harus sesering tiga hari awal.            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN