* Kegiatan *

2683 Kata
Semua dokter, perawat dan beberapa staff rumah sakit telah berkumpul di hall rumah sakit, karena mereka akan berangkat menggunakan bis rumah sakit. Nayra baru mengetahui hal tersebut satu hari sebelum keberangkatan, maka dari itu semalam Nayra cukup kelelahan menyiapkan semua perlengkapan untuk hari ini. Dia banyak memilah barang tidak terpakai di kontrakannya yang masih layak untuk bisa dirinya bagikan ke warga desa yang butuhkan. “Dokter Nayra bawa apa saja? Kok banyak banget?” tanya Anita yang kembali menjadi rekan Nayra dalam kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan setiap tahunnya. “Saya bawa baju-baju dan beberapa buku buat anak-anak di sana. Habisnya saya tahu ini dadakan jadi gak persiapan kantung yang besar untuk tempatnya,” ujar Nayra. Dia membawa hampir sepuluh kantong yang berisi barang-barang yang akan dirinya donasikan nanti. “Tapi saya cuma bisa bantu bawa dua kantong, Dok,” ujar Anita, dia tidak akan tega membiarkan Nayra membawa kantong-kantong tersebut. Karena, beberapa petugas harus membawa banyak persiapan dari rumah sakit, maka dari itu sepertinya setiap bawaan akan dimasukkan ke dalam bis sendiri. Nayra tersenyum, “gak apa-apa, Suster Anita. Saya bisa bawa ini dengan dua kali bawa,” tidak mungkin Nayra meminta setiap orang membawakan bawaannya, di saat semua orang punya bawaan masing-masing juga. “Di!” teriak Anita memanggil rekan kerja sekaligus rekan berdebatnya, karena memang perawat pria yang ikut jadwal hari ini hanyalah Adi yang dia cukup kenal. Adi yang sedang mengobrol dengan Rama menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Dia kemudian menghampiri Anita. “Ada apa, Suster Anita yang galak?” tanya Adi masih saja ingin menggoda Anita. Dia sepertinya senang sekali membuat Anita kesal padanya. Anita memutar matanya ketika Adi memancing perdebatan, “kamu bisa bantu Dokter Nayra bawa katong-kantongnya, gak?” pertanyaan sekaligus sebagai pernyataan untuk meminta bantuan. Adi kemudian melirik beberapa kantung yang dia pastikan adalah barang bawaan Nayra, “itu semua?” tanya Adi, masalahnya kantong-kantong itu cukup banyak dan dia pun membawa beberapa bawaan miliknya dan juga beberapa perlengkapan dari rumah sakit. Sebenarnya jika saja bus ini akan mengantarkan mereka sampai pada tempat sosialisasi yang ada di pelosok desa, maka kantong-kantong itu tidak akan menjadi beban bagi siapa pun. Tapi bus mereka hanya akan mengantar di kantor kecamatan yang berada di pinggir jalan, sehingga untuk mencapai lokasi utama maka mereka akan berjalan kaki karena jalan menuju lokasi tersebut tidak bisa dimasuki oleh mobil apalagi bus. “Paling sisanya empat kantong lagi, karena tadi Pak Herman petugas konsumsi bakal bawa sebagian di motor,” jawab Anita, “lagian ringan-ringan, kok. Payah banget sih kamu bawa kantong isi baju saja,” ledek Anita sebenarnya itu adalah pancingan sehingga Adi merasa tertantang. “Sebagian biar saya yang bawa saja!” sebuah suara datang dari arah kedatangan Adi tadi. Ya, suara dokter tampan yang mengenakan kemeja biru dongkernya, Dokter Rama. Nayra yang tidak menyangka bahwa Rama akan ikut andil dalam percakapan mereka cepat-cepat menyela, “tidak usah, Dokter Rama. Semuanya bisa dibawa oleh kami, kok,” Nayra tidak ingin terlibat apa pun lagi dengan Rama, tapi semesta seakan selalu menyediakan ruang bagi mereka, termasuk acara sosialisasi ini. “Apa kamu tidak kasihan pada Anita dan Adi? Jika mereka membawa banyak kantong-kantong ini ditambah bawaan mereka, pasti akan kelelahan. Karena jarak dari kantor kecamatan ke tempat sosialisasi cukup jauh,” ujar Rama menyanggah penolakan dari Nayra. “Saya-,” Rama memotong perkataan Nayra dengan tawanya, “jangan bilang kamu yang bakal bawa semua sisa kantongnya karena isinya Cuma baju dan buku,” Rama mengerti apa yang ada di pikiran Nayra, gadis yang lebih mengorbankan dirinya sendiri dibandingkan harus membebankan orang lain. “Tapi-,” “Adi kamu bawa dua saya bawa dua  juga!” instruksi Rama kepada Adi yang sempat terdiam karena sesi tolak-tawar Rama dengan Nayra. Rama langsung mengambil dua kantung di hadapan Nayra, karena memang bus mereka akang segera berangkat. “Dokter Nayra, ayo! Bus nya sudah siap,” ajak Anita kepada Nayra yang masih terdiam di tempat. Nayra memandangi punggung tegap Rama yang membawa dua kantung bawaannya. Kenapa Rama harus selalu memberi bantuan dan berkomunikasi dengannya? Nayra tidak ingin terhanyut terlalu dalam pada perasaan masa lalunya. Mereka tiba di desa tersebut setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, tidak terlalu jauh untuk waktu tempuh tersebut. Seperti apa yang telah menjadi informasi umum yang telah diberitahukan, bahwa bus hanya akan mengantar sampai kantor kecamatan saja, karena jalan menuju tempat sosialisasi merupakan jalanan kecil yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua saja. “Kamu cape?” tanya Rama yang tiba-tiba muncul di samping Nayra. Nayra yang terkejut karena kehadiran Rama yang lagi-lagi mendadak tercekat, “enggak, kok. Saya gak cape!” sanggah Nayra, walaupun memang tubuhnya sedikit kelelahan karena dirinya sedang tidak enak badan. “Wajah kamu tidak mendukung jadi seorang pembohong, Nayra! Saya tahu bahwa kamu kelelahan,” ujar Rama, dia bisa melihat jalan Nayra yang sedikit berbeda dari biasanya, sepertinya gadis itu sedang tidak dalam kondisi tubuh yang baik. Nayra mengabaikan kehadiran Rama karena memang dirinya sedang lelah berdebat. Secara tiba-tiba salah satu kantung bawaannya direbut oleh orang di sampingnya, siapa lagi jika bukan Rama yang masih berjalan beriringan dengannya walaupun tidak Nayra tanggapi. “Dokter Rama kenapa, sih? Itu kantungnya kenapa direbut?” tanya Nayra protes, kelakuan tidak jelas Rama malah membuat tenaganya habis jika terus diladeni. “Biar saya saja yang bawa, jalan kamu saja sudah seperti kura-kura!” ujar Rama. Apakah Nayra tidak merasa jika dari sebelum Rama berjalan mundur, dia adalah pejalan yang paling akhir? Semua orang tidak akan mengawasi satu sama lain karena membawa bawaan mereka masing-masing. Mendengar ucapan Rama membuat Nayra kesal karena disamakan dengan seekor kura-kura, dia bukannya tidak bisa berjalan cepat tapi dia hanya menghemat energi. “Kalau begitu Dokter Rama duluan saja!” usir Nayra. Rama terkekeh mendengar usiran secara lembut Nayra, “kamu sadar gak, sih? Kamu itu sudah jauh dari tim rumah sakit yang lain, gak liat apa jalanannya juga jelek,” ujar Rama yang terdengar seperti mengomeli anaknya. Entah kenapa Rama sangat khawatir ketika melihat Nayra masih berjalan di belakang walaupun masih ada beberapa staff yang di belakang, namun setiap orang memiliki bawaan masing-masing yang lumayan banyak. Mendengar hal itu membuat Nayra menengok sekelilingnya, benar saja dia berada di belakang yang lain dan jalanan yang memang sepi. “Benar, kan? Kamu kalau lagi gak enak badan bilang saja, jangan sampai pingsan karena bawa bawaan banyak gini!” ujar Rama setelah melihat raut Nayra yang berubah setelah memeriksa sekelilingnya. Nayra melihat kantung bawaannya dan memang dia cukup kesulitan membawanya walaupun ukuran kantung-kantungnya tidak terlalu besar. “Saya gak merasa berat membawanya, kok,” ucap Nayra meyakinkan keraguan Rama, bodoh saja jika dirinya berniat berbohong mengenai keadaan badannya yang kurang sehat kepada dokter hebat di depannya ini. Rama berdecih mendengar elakan Nayra untuk kesekian kalinya, memang benar apa yang diceritakan oleh Septa, kalau Nayra memang keras kepala jika mengenai dirinya sendiri. Rama langsung merebut satu kantung bawaan Nayra karena mau sampai matahari terbenam pun gadis itu pasti masih pada pendiriannya. “Saya bawain, kamu masih kuat gak bawa sisanya?” tanya Rama, bukan dia terlalu perhatian pada seorang gadis yang baru dirinya kenal, tetapi melihat wajah pucat Nayra saja membuat Rama sedikit kasihan terlebih dirinya diberi amanat oleh Septa untuk menjaga Nayra. “Eh, jangan Dokter! Biar saya bawa semuanya saja, lagian sudah dekat kok tempatnya,” Nayra yang juga melihat bawaan Rama yang cukup banyak tidak ingin memberatkan Rama. Namun, karena tampaknya Rama tidak akan berubah pikiran, akhirnya Nayra mengangguk, sudah tidak berniat menolak lagi, mereka berjalan beriringan dengan Rama tampak sibuk membawa cukup banyak bawaan. Rama berdeham memecah keheningan antara dirinya dan gadis di sebelahnya, perjalanan mereka hanya dipenuhi oleh suara hewan kecil di sepanjang jalan. “Nayra,” panggil Rama, terdengar dari suaranya sepertinya Rama ragu akan apa yang akan dirinya katakan pada Nayra. Ketika namanya dipanggil, Nayra langsung melirik orang yang memanggilnya tersebut, siapa lagi jika bukan Rama. “Iya ada apa, Dok? Apa dokter berat membawa barang-barangnya?” tanya Nayra, sebenarnya sejak tadi dia ingin menanyakan ini karena merasa merepotkan membuat Rama harus membawa barang-barangnya. Rama menggeleng, “bukan, saya tidak kebaratan membawa barang-barang ini,” ujar Rama menyanggah kekhawatiran Nayra, “saya hanya ingin bertanya sesuatu padamu,” ungkap Rama. Dahi Nayra mengerut, sepertinya pertanyaan Rama cukup berat karena ucapan hati-hati pria itu. “Iya, ada apa, Dok?” ucap Nayra mengizinkan. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Rama kemudian, pertanyaan yang sebenarnya ingin dirinya tanyakan pada Nayra sejak pertemuan mereka. Rama merasa tidak asing dengan wajah dan suara Nayra, namun dia tidak ingin memaksa memorinya mengingat hal itu, akan berakibat fatal baginya. Tentu Nayra terkejut mendengar pertanyaan tersebut, apa pria itu telah masih mengingatnya tapi kenapa Rama seperti orang asing. “Menurut Dokter, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Nayra ingin memastikan apa Rama masih mengingatnya. Rama menggeleng, “saya tidak tahu, tapi rasanya kamu tidak asing bagi saya,” jujur Rama. Wajah Nayra berubah menjadi serius, sepertinya ada yang aneh dan janggal dengan Rama saat ini. “Lalu?” tanyanya penasaran akan apa yang akan dirinya ketahui. “Saya kehilangan sebagian besar memori saya karena kecelakaan. Jadi, saya ingin bertanya apakah kita saling mengenal? Karena saya merasa kamu tidak asing,” ujar Rama, entah kenapa dia harus memberitahu Nayra akan ini, bahkan Rama tidak pernah memberitahukan hal ini pada siapa pun termasuk Karin. Walaupun Septa dan keluarganya memang tahu akan hal tersebut. Seperti ada sesuatu yang terangkat dalam diri Nayra, akhirnya dia tahu kenapa Rama sangat berubah saat ini. “Saya-,” “Dokter Nayra! Dokter Rama!” teriak beberapa staff yang berbalik menghampiri mereka. “Aduh, kok masih diam? Kalian sudah ditunggu saa yang lain,” ujar salah satu staff tersebut. Ternyata mereka ketinggalan sangat jauh dari mereka. “Oh, maaf. Tadi-,” “Tadi saya meminta beberapa makanan Dokter Nayra karena saya belum sarapan, mau minta kepada divisi konsumsi sudah pada jauh,” lanjut Rama yang tahu akan kebingungan Nayra. Awalnya memang mereka berjalan lamban karena Nayra yang kelelahan, tapi mereka terhenti lama karena percakapan yang dimulai oleh Rama. Ketika sampai di tempat kegiatan, banyak warga yang telah berkumpul. Acara rutin ini memang sangat ditunggu oleh masyarakat di sana, apalagi oleh kalangan anak-anak. Ketika kegiatan ini para anak akan mendapat vitamin, pengajaran dasar, mainan dan beberapa alat tulis yang telah dikumpulkan dari pihak rumah sakit. “Acaranya kok rame banget?” tanya Rama yang takjub akan antusiasme para warga menyambut kegiatan dari rumah sakit mereka. Adi yang mendampingi Rama di pos ketiga ikut melihat arah pandang Rama pada kumpulan anak-anak yang sangat gembira mendapat mainan dan juga alat tulis dari para staff. “Iya, karena memang desa ini lumayan jauh dari perkotaan sehingga jarang mendapat fasilitas memadai, bahkan warung di sini saja sebagian besar hanya menjual keperluan pokok saja,” jawab Adi, tidak heran desa tersebut menjadi tempat rutin untuk kegiatan dari rumah sakit mereka. “Ohiya, Di,” panggil Rama kepada Adi yang masih merapikan beberapa peralatan untuk pemberian pengobatan juga konsultasi kesehatan para warga nanti, “kamu kenal sama Septa sejak kapan?” tanya Rama kemudian. Dahi Adi berkerut mendapat pertanyaan aneh tersebut, “sejak saya bekerja di rumah sakit ini, sekitar lima tahun yang lalu,” jawab Adi walaupun dia heran mendapat pertanyaan seperti itu. “Dengan Nayra?” tanya Rama kemudian. “Kalau sama Dokter Nayra sepertinya dua tahun yang lalu, dia dokter baru juga tapi sepertinya Dokter Santoso sama Dokter Septa sudah mengenal Dokter Nayra cukup lama,” jelas Adi, “saya pernah dengar kalau Dokter Nayra adalah salah satu mahasiswa Dokter Santoso dan memang sangat dibanggakan oleh beliau. Gak heran langsung diterima di rumah sakit,” lanjut Adi. “Tumben tanyanya ke saya, padahal bisa langsung tanya ke Dokter Septa biar lebih rinci,” tanya Adi, pasalnya Septa dan Rama sangat dekat jadi bohong jika mereka tidak pernah membahas hal ini, terlebih Rama tahu bahwa sahabatnya tergila-gila dengan Nayra. “Gak apa-apa, saya cuma ingin tahu saja,” sahut Rama yang telah berfokus pada beberapa obat yang telah dirinya siapkan dari rumah sakit. Kegiatan tersebut berjalan lancar seperti biasanya, ditambah dengan antusiasme ibu-ibu desa yang berebutan ingin berkonsultasi kesehatan dengan Rama yang menurut mereka mirip pangeran. Namun, setelah semua staff akan bersiap untuk pulang salah satu penanggung jawab kegiatan datang mengumpulkan mereka semua. “Saya barusan mendapat kabar dari pihak rumah sakit yang berada di kantor kecamatan, akan bahaya bagi kita jika kembali ke sana sekarang. Sepertinya jalanan akan sangat gelap juga hujan semakin lebat, jika kita memaksakan kembali sekarang dikhawatirkan akan sulit menempuh jalanan yang cukup berjarak jauh dari kantor kecamatan,” ujar Pak Bambang, selaku penanggung jawab kegiatan tersebut. Hujan memang selepas waktu dzuhur terus turun dan semakin deras dan diakhiri dengan keputusan dari pihak rumah sakit yang melarang semua staff untuk kembali. Dan keputusan akhirnya adalah mereka akan menginap sehari dan kembali esok pagi. “Untuk para dokter akan menginap di rumah kepala desa sedangkan untuk staff yang lain akan disebar menginap di beberapa rumah warga,” ujar Pak Bambang memberi instruksi sebelum memasuki waktu magrib. “Nit, kamu berarti beda tempat sama saya?” tanya Nayra kepada Anita yang sudah bersiap merapikan perlengkapannya menuju salah satu rumah warga untuk tempatnya menginap. Anita mengangguk, “iya, Dok. Kan tadi sudah diinstrusikan sama Pak Bambang,” ujar Anita yang masih sibuk mengemasi beberapa alat kesehatan pada tas medisnya. “Saya sama siapa di rumah Pak Kades?” “Dokter Ida, Dokter Herman sama Dokter Rama. Jumlah Dokter hari ini akan hanya empat orang dengan Dokter Nayra,” jawab Anita. “Bukannya Dokter Ida sama Dokter Herman adalah pasangan suami istri, ya?” kedua dokter yang terkenal dengan keharmonisannya dan sekarang Nayra akan menjadi obat nyamuk di antara mereka. Ya, walaupun ada Rama tapi rekan pria berbeda dengan wanita, andai saja dia satu jadwal dengan Fani sekarang. “Sabar ya, Dokter Nayra. Cuma semalam, kok. Kalo bosan ingin ngobrol ada Dokter Rama juga,” goda Anita kepada dokter cantik yang sedang resah karena harus menginap berbeda tempat dengannya. “Nayra, Ayo!” panggil Dokter Ida yang telah bergandengan dengan suaminya, keromantisan mereka tidak lekang oleh waktu. Nayra hanya mengangguk, tidak mungkin juga dia berada di tengah pasangan suami istri tersebut. “Kamu mau tidur di posko, Nay? Bentar lagi magrib, jarak rumah Pak Kades lumayan jauh, lho,” Rama tiba-tiba muncul tepat di depan Nayra yang masih berdiam di tempat. Nayra melirik sekelilingnya dan benar saja hampir semua staff sudah tidak ada hanya beberapa warga yang sedang merapikan perlengkapan sehabis kegiatan tadi. Apalagi langit sudah tampak gelap dan hal tersebut membuat Nayra bergidik. “Kenapa belum tidur, Nay?” tanya Rama kepada Nayra yang sedang duduk di balkon depan rumah Pak Kades, Rama yang awalnya berniat hanya untuk ke kamar mandi teralihkan fokusnya pada gadis tersebut. Nayra yang terkejut karena kedatangan Rama yang selalu tiba-tiba di hadapannya. “Saya lagi butuh udara segar, ternyata udara di sini enak banget,” jawab Nayra sembari menghirup dalam udara di sana yang benar-benar sangat segar. Rama berjalan duduk di samping Nayra tentunya dengan jarak yang aman agar Nayra tidak kabur. “Kenapa gak jawab pertanyaan saya?” tanya Rama menagih pertanyaan yang tadi sempat dirinya ajukan ketika perjalanan menuju sana. “Menurut Dokter Rama sendiri, apa Dokter kenal saya sebelumnya?” ujar Nayra. Dia ingin tahu kenapa Rama bisa melupakan masa lalunya, walaupun tadi Rama sempat membahas mengenai kecelakaan yang dialami oleh pria itu. Bohong, jika Nayra tidak peduli tentang apa yang Rama alami sampai harus kehilangan memorinya. “Saya sudah bilang jika saya kehilangan memori saya, namun saya merasa kita pernah saling mengenal sebelum ini,” ujar Rama. Akhir-akhir ini dia seperti banyak mendapat potongan memori tentang masa lalunya, namun tidak bisa dirinya ingat terlalu keras. “Mungkin nanti Dokter Rama akan mengetahuinya seiring berjalannya waktu,” ucap Nayra sembari beranjak dari tempat duduknya, Nayra belum berniat memulai cerita untuk mengembalikan ingatan masa lalu mereka. Salah satu alasannya adalah karena jika Rama tahu bahwa mereka pernah memiliki cerita pada masa lalu mereka, maka akan berdampak pada hubungan pria itu dengan kekasihnya saat ini. Nayra tidak ingin merusak hubungan Rama dengan kekasihnya, karena sepertinya hubungan mereka sudah cukup serius.              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN