Rama terkekeh melihat gerakan terpaksa Septa dan juga gerutuan sahabatnya itu ketika memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Malam ini, Septa akan berangkat ke Lombok maka dari itu Rama membantunya berkemas, sepertinya bukan dalam rangka membantu melainkan sebagai pendengar gerutuan Septa.
“Cuma sebulan aja, kok,” ujar Rama sembari memainkan beberapa miniatur avengers koleksi Septa di kamarnya.
“Itu lama, Ram. Kalo gue kangen sama Nayra bagaimana?” ujar Septa dengan tingkah lesu.
Rama menggelengkan kepalanya, sahabatnya ini benar-benar dimabuk cinta. “Ya lo tinggal telepon atau gak ajak video call!” saran Rama tanpa menghadap Septa, karena dia lebih tertarik dengan mainan Septa yang terbilang punya harga beli yang tinggi. Sultan memang sahabatnya ini.
Septa berdecih, “boro-boro video call. Dia telepon gue saja cuma buat tanya Papa gue”. Keluh Septa, sepertinya dia hanya perantara Nayra ketika berurusan dengan ayahnya saja, karena jika Nayra bertanya langsung maka akan canggung.
“Wah, bisa-bisanya lo suka sama cewek kayak Nayra,” Rama menaruh salah satu miniatur yang tadi sempat dirinya mainkan. “Bukannya tipe lo itu yang agak liar?” gelak tawa Rama pecah ketika mengingat jajaran mantan sahabatnya itu mayoritas gadis populer dan aktif di sekolah dulu.
“Dia itu beda, Ram. Pokoknya ada satu hal yang bikin gue jatuh cinta pakai banget sama dia,” ungkap Septa dengan mata berbinar, sepertinya dia melupakan sejenak kekesalannya.
“Dia tahu lo suka sama dia sampai begini?” tanya Rama mendudukkan dirinya di samping Septa.
“Kalo dia sampai gak peka sama perasaan gue, berarti Nayra benar-benar cewek polos banget!” tebak Septa akan keadaannya selama mendekati Nayra. “Lo tahu sendiri, kan? Gimana gue memberikan perhatian sebegitu detail ke dia?” curhat Septa pada sahabatnya itu.
“Kalau dia gak peka sama perasaan lo, kemungkinan dia suka ke orang lain?” tanya Rama sedikit hati-hati.
Septa meluruskan punggungnya dan menggeleng pasti. “Kayaknya gak ada yang dia suka, deh. Dia itu benar-benar menjaga diri dan gue gak pernah dengar dia dekat sama cowok lain selain pas dibimbing sama gue,” ungkap Septa. Karena alasan itulah dirinya tetap maju dan tenang hati dengan alasan Nayra memang harus diperjuangkan.
Rama mengangguk mengerti. “Good luck, Bro. Gue berharap semua usaha lo gak sia-sia buat dapetin dia,” ujar Rama menepuk bahu Septa.
“Gue semakin yakin, sepulang dari Lombok gue ingin lamar dia,” jujur Septa mengutarakan rencana yang sedari beberapa waktu lalu dia pikirkan.
“Lo yakin mau lamar dia?” tanya Rama kepada Septa, walaupun dia sudah melihat keseriusan dalam mata berbinar sahabatnya itu.
“Gue belum pernah seyakin ini sebelumnya, Ram!” ungkap Septa yakin. “Jadi, lo harus jagain dia sampai gue pulang. Jangan sampAI ada cowok lain yang deketin dia!” ujar Septa dengan kekehan kepada Rama.
“Siap, Dok. Asal jelas saja bayarannya, Pak Dokter,” canda Rama.
“Itungan banget lo sama gue, Ram. Kalo Nayra nerima lamaran gue, Lo bakal gue ajak liburan dalam ajang honey moon kita,” gelak tawa Septa terdengar, membayangkan Nayra menerima lamarannya saja sudah sebahagia itu.
-0-0-0-
“Assalamu’alaikum, Umi Abi!” ucap Rama ketika memasuki rumah kedua orang tuanya, baru sekarang dia ke rumah orang tuanya sejak tiga hari yang lalu menginjakkan kakinya di tanah air.
“Abi! Liat siapa yang dateng?” suara ibunya menggema dengan tangan masih memegang piring dari dapur, sepertinya orang tuanya baru akan makan malam. Ketika Rama belum pindah ke apartemen, mereka selalu makan betiga, lalu setelah Rama memutuskan mandiri tinggal di apartemen hasil usahanya kedua orang tuanya hanya menempati rumah ini berdua.
“Aduh, Umi kenapa teriak-teriak untung ini gelas gak pecah!” kesal Pak Permana dari arah dapur dengan memegang dua buah gelas couple. Ada-ada saja kelakuan romantis kedua orang tuanya itu.
“Umi kebiasaan banget, sih,” Rama menghampiri ibunya dan mengecup pipi kiri ibunya, “Rama, kan bukan maling yang harus diteriaki,” kekeh Rama kepada ibunya yang bersiap untuk menyemburnya dengan seribu omelan andalannya.
“Kemarin Umi minta kamu datang alasannya banyak, sekarang sekalinya pulang tiba-tiba banget!” omel sang ibunda dengan tangan merengkuh tubuh tegap anaknya. Anak semata wayangnya telah dewasa dan tumbuh dengan baik.
“Kamu jangan bikin Umi jantungan begitu dong, Ram!” Pak Permana menghampiri anak dan istrinya yang sedang berpelukan. Dia tahu di balik pelukan itu, istrinya pasti sedang menangis. Mari kita buktikan.
“Itu kan, benar. Umi-mu nangis,” kekeh Pak Permana melihat istrinya menangis namun enggan melepaskan anaknya dari pelukan.
“Rama kangen banget sama Umi dan Abi,” Rama merengkuh tubuh kedua orang tuanya, seketika tangisan sang ibu malah semakin kencang.
“Kok makin kenceng sih nangisnya, Mi?” celoteh Pak Permana menggoda istrinya.
“Umi ketawa bukan nangis, Abi!” kesalnya karena terus-terusan digoda oleh suaminya.
Rama terkekeh melihat tingkah ibunya, “Rama lapar banget, Umi gak mau kasih makan Rama?” ucap Rama dengan nada merajuk yang dibuat-buat.
“Ayo makan! Sini!” ibunya membimbing Rama tanpa melepaskan tangan sang putra. Dia amat sangat merindukan putranya yang baru kembali dan bahagia karena putranya akan menetap di tanah air tercinta mereka.
“Giliran ada Rama , Abi dikacangin!” ujar Pak Permana menyindir istrinya yang sangat antusias dengan kedatangan putranya.
Istrinya menoleh ke arah Pak Permana. “Dasar, sudah tua juga main cemburuan sama anak sendiri!” hal itu sontak membuat Pak Permana dan Rama tergelak karena ucapan pedas nyonya rumah tersebut.
“Kamu jadi kerja di rumah sakit milik papanya Septa?” tanya ibunda Rama sembari menuangkan nasi pada piring putranya.
Rama mengangguk sembari memperhatikan isi piringnya yang sudah berisi aneka ragam masakan ibunya. “Iya, Rama sudah mulai kerja hari ini,” ujar Rama kepada kedua orang tuanya.
“Kenapa gak buka praktik saja, Ram?” ujar Pak Permana kepada putra tunggalnya tersebut. Dia beberapa kali menawari putranya itu untuk membuka praktik pribadi sejak Rama masih berada di Jerman. Tapi, anaknya selalu mencari alasan untuk menolak, salah satu alasannya adalah tidak ingin membuka praktik dari uang orang tuanya. Padahal, Pak Permana sama sekali tidak keberatan mengeluarkan uang untuk karier anaknya itu.
Rama menggeleng, “kayaknya Rama mau coba kerja di Rumah sakit milik Om Santoso dulu, deh. Rama juga masih perlu tahu bagaimana lingkungan bidang kesehatan di tanah air kita,” jelas Rama, sebenarnya dia pernah ada niatan untuk membuka praktik pribadi tapi sepertinya dia perlu pengalaman terlebih dahulu dan ayah dari sahabatnya adalah guru yang tepat untuknya mengenali secara dalam mengenai kariernya sebagai dokter.
Pak Permana mengangguk mengerti akan keputusan anaknya, semenjak Rama keluar dari bangku SMA dia sudah melepas tujuan hidup anaknya itu. Awalnya, dia ingin Rama meneruskan pendidikannya di bidang bisnis karena sejak kecil Rama pun sudah terlihat bakat berbisnis, namun menjelang kelulusannya dari bangku SMA, Rama memberitahu mereka jika dia akan melanjutkan kuliahnya di bidang kesehatan, anaknya ingin menjadi seorang dokter. Namun, bakat berbisnis Rama pun masih melekat pada dirinya, lihat saja bagaimana bisa Rama memiliki beberapa cabang bisnis bidang kuliner di tanah air sedangkan dirinya masih mengenyam pendidikan di negeri orang.
“Kamu kenapa gak tinggal sama kita saja di sini, Ram?” ajak ibunya untuk ke sekian kalinya.
Rama terkekeh, “Rama gak bisa, Mi. Lagian Rama ingin hidup mandiri juga. Tidak mau terus-terusan hidup di bawah tanggung jawab Umi sama Abi,” alasan yang tidak pernah berubah ketika mendapat rengekan seperti itu dari ibunya.
“Terus, kapan kamu mau nikah?” pertanyaan sensitif keluar di tengah kegiatan makan malam mereka. “Kamu itu sudah lebih dari kata mapan dan siap, Ram. Kamu itu sudah waktunya memikirkan sebuah pernikahan, Umi juga sudah iri dengan ibu-ibu pengajian yang selalu membawa menantu dan cucunya kalo ada pengajian mingguan,” celoteh Bu Retno, ibunda tercinta Rama.
“Rama tinggal tunggu Karin siap saja, Mi,” jawab Rama dengan tenang sambil terus melahap makanannya.
Sebuah dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar dari posisi Bu Retno. “Umi gak mau punya menantu seperti Karin. Apa kamu tidak bisa berpisah sama dia dan mencari perempuan lain?” ujar Bu Retno kepada anaknya. Dia akan tetap pada pendiriannya, tidak setuju dengan hubungan asmara anaknya.
“Apa karena dia seorang model?” tanya Rama menatap serius pada ibunya, sepertinya selera makannya mulai menghilang karena topik ini.
Pak Permana menyikut pelan lengan istrinya agar menghentikan percakapan tak mengenakan ini. “Sudah, Mi. Dibahasnya nanti saja, Rama kan baru saja kembali dari Jerman,” cicit Pak Permana tidak ingin ada perdebatan antara istri dan anaknya.
Bu Retno menghela napas dalam, dia harus sedikit lebih sabar membuka mata Rama dalam mempertimbangkan hubungannya dengan Karin. “Benar kata Abi, kita bahas nanti saja. Kamu habiskan makanmu, jangan karena kita bahas ini kamu jadi membuang-buang makanan!” ungkap Bu Retno kepada anaknya tanpa melihat ke arah Rama.
Makan malam mereka berlanjut dengan keheningan, hanya suara dentingan sendok beradu dengan piring yang terdengar di sana. “Kamu mau menginap, Ram?” tanya Pak Permana memecah keheningan di antara mereka. Rasanya seperti berada di antara kutub es, istri dan anaknya cukup keras kepala.
“Kayaknya gak deh, Bi. Umi masih ngambek sama Rama,” goda Rama, jika kadar kekerasan Bu Retno adalah sembilan dari sepuluh, maka Rama hanya lima saja. Ya, Rama adalah satu pihak yang selalu ingin memperbaiki kecanggungan dengan orang lain, apalagi dengan ibu tercintanya.
“Apaan sih, kamu! Masa malam ini gak mau nginep,” jawab Bu Retno sembari menuangkan air ke dalam gelasnya. Melihat hal tersebut, Pak Permana tersenyum, anak dan istrinya memang sering berdebat tetapi tidak akan sampai melebihi waktu 24 jam. Percayalah.
Setelah makan malam, Rama telah berada di kamarnya. Ya, kamar masa kecil dan remajanya. Karena, sejak duduk di bangku kuliah dia sudah tidak tinggal dengan orang tuanya. Rama ternyata memiliki penghasilan dai usaha yang awalnya dia mulai dengan iseng-iseng saja, namun ternyata hal tersebut menjadi sebuah usaha yang cukup memberikan keuntungan bagi Rama. Dan untuk sekadar informasi, Rama menempuh sebuah bisnis ini dengan sahabatnya, yaitu Septa. Maka dari itu, sejak berada di bangku kuliah Rama dan Septa sering dijuluki kepompong dan ulat. Sahabat sejati yang tidak bisa terpisahkan, mereka hanya berdebat kecil, namun selanjutnya akan melupakan seolah-olah mereka tidak pernah berada dalam sebuah perdebatan.
“Baju kamu yang ada di lemari masih muat gak? Lagian kenapa gak bawa baju ganti, sih,” ujar ibunya membawa sebuah selimut di tangannya diiringi omelan merdu di telinga Rama.
“Kayaknya masih cukup kok, Mi,” jawab Rama duduk di meja belajar yang dulu menjadi saksi perjuangannya ketika tes memasuki perguruan tinggi. “Soalnya Rama kan abis dari rumah sakit langsung kesini, saking kangennya sama Umi,” goda Rama dengan senyum jahilnya.
“Bisa saja kamu!” sudah biasa dengan godaan putra semata wayangnya, Bu Retno hanya sibuk merapikan tempat tidur Rama dengan mengganti seprainya dengan yang baru. “Rumah sakit Papanya Septa itu namanya Rumah sakit Kartika?” maklum saja, Bu Retno sudah cukup berumur terkadang dia suka terbalik mengenali seseorang apalagi sebuah nama rumah sakit.
Rama menggeleng, “Bukan, Mi. Itu rumah sakit yang nawarin Rama, tapi Rama tolak,” jawab putranya. “Memangnya kenapa? Umi gak sampai menanyakan ruangan Rama di sana, kan?” tanya Rama menginterogasi ibunya.
Dulu, ketika Rama menjadi ketua OSIS di SMA, ibunya pernah datang ke sekolah dan malah menanyakan Rama ke ruangan Pramuka. Maka dari itu, Rama sering menghubungi ibunya jika ada kegiatan atau yang membuat dia tidak bisa pulang. Dan sekarang, dirinya takut ibunya akan salah seperti dulu.
“Terus, rumah sakit tempat kamu kerja itu di mana?” tanya Bu Retno, sepertinya dia penasaran akan sesuatu.
Rama berdiri, “hm, itu yang ada di depan rumah sakit kartika,” ucap Rama. Sebenarnya, ada apa dengan ibunya itu.
Bu Retno menepuk jidatnya. “Sebentar, Umi mau memastikan sesuatu dulu,” Bu Retno keluar dari kamar anaknya dan tidak berselang Rama dia telah kembali ke sana dengan membawa sebuah kartu pemeriksaan rutinnya.
“Rumah Sakit Assyifa Ahsan?” dia membaca kartu pasiennya menyebutkan nama rumah sakit tempat dirinya selalu melakukan pemeriksaan rutin untuk tekanan darahnya yang terkadang tinggi.
“Nah, iya. Itu rumah sakit tempat Rama bekerja sekarang,” ujar Rama setelah mendengar sebuah nama rumah sakit dari mulut ibunya. “Kok Umi punya kartu pasien di sana?” tanya Rama ketika sudah memastikan bahwa kartu yang berada di tangan ibunya adalah sebuah kartu pasien, artinya ibunya adalah pasien yang sering melakukan pemeriksaan di sana.
“Kok kamu gak bilang sih kerja di sana?” ucap Retno seakan menyalahkan anaknya yang tidak memberitahu nama tempat dirinya bekerja.
“Umi gak tahu nama rumah sakit milik Om Santoso? Ya ampun, Mi. Kita sudah kenal sama Om Santoso itu sudah cukup lama,” ujar Rama sembari terkekeh.
Bu Retno mendelik, “Umi kan sudah tua, Rama. Maklum kalau lupa!” ujarnya dengan nada kesal.
Rama menghampiri ibunya dan memeluk ibunya dengan gemas, “aduh, ibuku ini. Nanti kalau ada jadwal kontrol atau mau periksa mampir dulu ke ruangan Rama, ya,” ucap Rama.
“Tapi kok Umi tidak pernah lihat Septa atau Pak Santoso di sana? Padahal Umi termasuk pasien lama di sana,” tanya Bu Retno, maklum saja dirinya tidak tahu bahwa rumah sakit itu adalah milik keluarga sahabat anaknya, karena dia sama sekali belum pernah bertemu dengan Pak Santoso apalagi dengan Septa.
“Mana? Rama lihat kartu pasiennya,” Rama mengambil kartu di tangan ibunya.
Bu Retno memberikan kartu pasiennya kepada putranya, sebenarnya dia baru memikirkan hal ini ketika Rama memberitahu bahwa pindah tempat kerja di rumah sakit milik ayah sahabatnya.
Rama membaca kartu yang diberikan ibunya, dia sedikit tersenyum. Benar-benar ibunya, dia lupa kalau rumah sakit yang selama ini menjadi langganan pengobatannya adalah tempat kerja anaknya saat ini, walaupun dirinya baru bekerja hari ini. Tapi, setidaknya ibunya kenapa bisa melupakan fakta pemilik rumah sakit itu adalah ayah dari Septa.
“Ini rumah sakit Assyifa Ahsan memang tempat kerja Rama sekarang, Mi. Kok, Umi bisa lupa kalau ini rumah sakit milik Om Santoso, papanya Septa?” tanya Rama menyimpan kartu tersebut di atas tempat tidurnya.
“Umi kan sudah tua. Jangankan sekarang, dulu saja pas kamu masih SMA Umi sampai salah masuk ruangan gara-gara pelupa,” ujar Bu Retno sembari terkekeh, menertawakan dirinya sendiri. “Tapi, Umi gak pernah liat Pak Santoso apalagi Septa di sana. Padahal kalo dihitung Umi sudah lama jadi pasien di sana,” tanya Bu Retno yang bisa dikatakan sebagai pernyataan juga.
Rama membaca kembali kartu milik ibunya sekilas, “Umi perawatan di lantai 2, jadi kecil kemungkinan ketemu sama Om Santoso dan Septa juga. Kalo Om Santoso itu biasanya ada di lantai 5 dan keluar ruangan kalau operasi kelas VVIP saja,” jelas Rama yang telah mengetahui beberapa tentang rumah sakit tersebut dari Nayra tadi.
“Kalo Septa, dia itu biasanya khusus penanganan operasi khusus jantung dan penyakit dalam, makanya jarang mampir ke lantai selain ke ruangannya sama papanya,” lanjut Rama menerangkan tentang apa yang dia tahu kepada ibunya.
“Pantes Umi gak pernah ketemu mereka, orang-orang sibuk banget ternyata mereka,” terdengar decak kagum dari mulut Bu Retno. “Sudah lama juga Umi gak ketemu Septa, terakhir itu pas dia mampir buat pinjam kunci apartemen kamu dua bulan lalu kalo gak salah,” ujar Bu Retno. Septa itu terbilang mudah dekat dengan semua golongan, begitu pun dengan kedua orang tua Rama. Mereka berdua memang sudah sangat bersahabat bahkan dengan keluarga mereka masing-masing.
“Kemungkinan ketemu mereka itu di parkiran kayaknya, Mi,” kekeh Rama. “Nanti Rama bilang kalo Umi kangen sama Septa, deh,” lanjut Rama menggoda ibunya.
“Dasar, kamu ini senang banget menggoda Umi,” ucap Bu Retno mencubit pinggang putranya gemas.
“Eh, tapi Septa malam ini atau subuh nanti sudah berangkat ke Lombok, Mi. Jadi, salamnya Rama tunda dulu ya,” ujar Rama menginformasikan kepada ibunya.
Dahi Bu Retno mengerut, “dia mau apa ke Lombok?” tanyanya. “Kan, di sana masih rawan karena bencana kemarin?” lanjut Bu Retno.
“Dia ditugaskan di sana, karena kekurangan tenaga medis,” jawab Rama.
Bu Retno mengangguk mengerti, “eh, Ram. Kamu kenal gak ada dokter muda dan cantik di rumah sakit tempat kamu kerja,” tanya Bu Retno dengan wajah berbinar, mengartikan bahwa dia sangat antusias dalam topik ini.
Sekarang giliran dahi Rama yang mengerut mendengar penuturan sang ibu. “Mi, dokter wanita dan masih muda di sana itu banyak,” jelas Rama meminta ibunya agar lebih spesifik jika berbicara agar tidak ada kesalahpahaman.
“Oh iya, ya. Umi lupa,” ujarnya dengan cengiran. “Tapi menurut Umi dia yang paling cantik, terus baik sama sopan banget,” tutur Bu Retno menceritakan sosok tersebut dengan penuh binar.
“Siapa namanya, Mi?” tanya Rama, pasalnya di rumah sakit itu banyak sekali dokter muda dan tentunya cukup cantik.
“Aduh, Umi lupa lagi tanya namanya!” Bu Retno menepuk dahinya. Sepertinya usia telah semakin membuat dirinya menjadi pelupa. “Nanti kalau Umi kontrol lagi, Umi bakal tanya,” ucapnya yakin.
“Ya sudah, Umi ke kamar dulu. Kamu istirahat yang nyenyak, ya!” Bu Retno berdiri dan mengecup pelipis putra kesayangannya dan di balas kecupan di pipi oleh putranya, Rama.