“Gimana kabar Bapak Septa di sana? Apa ada perawat atau dokter cantik yang berhasil memikat hati?” tanya Rama ketika berada di panggilan dengan sahabatnya Septa, sudah hampir seminggu dia tidak bertukar kabar dengan Septa.
“Gila, lo! Gue disini jadi relawan bukan ikut acara pencarian jodoh!” sanggah Septa menggebu-gebu.
“Siapa tahu, kan. Lo kepincut sama bidadari di sana!” balas Rama masih menggoda Septa.
“Hati sama mata gue sudah buta gara-gara Nayra, Bro!” ujar Septa. Rama bisa pastikan bahwa saat ini mata Septa berbinar-binar.
Rama berdecak, membicarakan Nayra membuat dirinya teringat dengan obrolan mereka saat di desa kemarin. Apakah jawaban gantung dari Nayra bisa dipastikan jika memang mereka pernah saling mengenal pada masa lalu? Entahlah, Rama sendiri bingung akan dirinya sendiri yang penasaran akan hal itu.
“Eh, gue denger lo satu jadwal kegiatan sosialisasi sama calon bini gue, ya?” pertanyaan percaya diri dari Septa kepada Rama, siapa lagi jika bukan Adi sebagai media pencarian informasinya.
“Iya, kenapa?” tanya Rama, walaupun dirinya tahu apa saja yang akan dibahas oleh Septa setelah ini.
“Lo jagain dia, kan, Ram?” tanya Septa kepada Rama yang telah diamanati olehnya untuk menjaga Nayra selama dirinya di Lombok, lebih tepatnya mengawasi.
“Gue bawain kantong-kantong bawaan dia yang banyak banget!” aku Rama, sebenarnya dia memang ikhlas dan memang keinginannya bukan karena amanat Septa padanya.
“Lo memang sahabat gue yang bisa diandalkan,” puji Septa.
Rama berdecak mendengar pujian Septa padanya, “Kenapa giliran lo gue suruh jaga Karin gak mau?” tanya Rama, dia ingin mendengar alasan apalagi yang akan dilontarkan oleh Septa.
Terdengar helaan napas dari seberang sana, “nanti lo bakal tahu sendiri kenapa gue dan kedua orang tua lo bersikap kayak begitu sama Karin,” ujar Septa.
“Tapi kapan?” gumam Rama yang tidak akan terdengar oleh Septa karena seperti biasanya, sahabatnya itu telah memutus panggilan secara sepihak.
Rama membuka tas dirinya untuk mengeluarkan baju-baju kotornya dari kegiatan kemarin. Dia baru saja sampai apartemen setelah mampir sebentar ke rumah sakit hanya untuk memberikan data pasien kepada dokter penggantinya hari ini, karena semua staff yang baru pulang diizinkan untuk libur sehari oleh pihak rumah sakit.
“Ini bukannya ID Card punya Nayra?” tanya Rama pada dirinya sendiri ketika menemukan sebuah ID Card dari dalam tasnya, sepertinya istri Pak Kades salah menaruh barang Nayra karena memang Nayra berangkat sangat buru-buru. Entahlah, dia merasa gadis itu lagi-lagi menghindarinya.
Rama memerhatikan potret Nayra yang tertera pada ID Card di tangannya. Sebuah senyuman manis terpatri pada wajah gadis itu, senyuman yang mampu membuat setiap orang merasa tenang melihatnya. Tangan Rama bergerak menyentuh bagian potret Nayra, “kenapa kamu sepertinya tidak asing dalam ingatan saya, Nayra?” ujar Rama masih menatap potret Nayra di tangannya.
Sebuah suara pintu terbuka menyadarkan Rama dari kegiatannya. Dia sangat terkejut dan melihat siapa gerangan yang bertamu saat ini padanya, lebih tepatnya bertamu secara tidak diundang. Helaan napas Rama terdengar tatkala melihat siapakah tamu tersebut, tidak lain adalah ibunya sendiri.
Bu Retno tersenyum memamerkan senyum manisnya seraya mengangkat tangannya yang sedang membawa rangkaian rantang yang bisa dipastikan berisi makanan untuk putra tercintanya. “Assalamu’alaikum anaknya Umi,” sapa Bu Retno seraya melangkahkan kakinya pada meja pantry di apartemen tersebut. “Kamu pasti belum makan, kan? Ini Umi sengaja bawa makanan buat kamu, Umi tahu kalau kamu baru saja sampai dari acara sosialisasi di desa kemarin, kan?” rangkaian pertanyaan, bukan, pernyataan ibunya mengisi ruangan apartemen tersebut.
“Umi tahu dari mana kalau Rama baru pulang dan ada kegiatan sosialisasi di desa?” tanya Rama sembari menghampiri ibunya yang sibuk menyiapkan makanan yang dibawanya.
Bu Retno memamerkan senyumnya, “kemarin Umi ke rumah sakit dan tanyain kamu. Pas Umi tanya katanya kamu ada jadwal sosialisasi ke desa dan karena cuaca yang buruk dipastikan menginap semalam di sana,” tutur Bu Retno. Kemarin adalah jadwalnya pemeriksaan rutin, namun karena dokter kesayangannya tidak ada maka dia mengalihkan tujuannya untuk bertemu dengan putranya. Namun, ternyata Rama juga berada di jadwal yang sama dengan dokter kesayangannya itu.
“Tumben tanya dulu gak langsung serobot ke ruangan?” tanya Rama menyindir akan kebiasaan sang ibu sejak dulu.
Bu Retno mendelik kesal akan sindiran putranya, “sudah, sekarang kamu makan dulu. Baju-baju kotor kamu biar Umi yang urus!” ujar Bu Retno ketika melihat tadi putranya sedang sibuk dengan baju-baju yang dikeluarkannya dari tasnya.
Rama tertawa rendah, “makasih Umi-ku sayang. Tahu saja anaknya lagi kelaparan,” ucap Rama lalu mengambil piring yang telah disiapkan oleh ibunya dan duduk untuk menyantap makanan yang terlihat sangat menggiurkan di atas meja pantry tersebut.
“Gini ini yang keras kepala ingin tinggal sendiri! Padahal kalau tinggal di rumah Umi, kamu ada yang urusin, kan?” celoteh Bu Retno seraya melangkahkan kakinya menuju sofa yang berada di tengah ruangan.
“Habisnya jarak apartemen ini cukup dekat sama rumah sakit tempat Rama kerja. Kalau dari rumah kita jaraknya cukup jauh, bisa ribet juga nanti,” sahut Rama.
“Makanya cepat-cepat cari istri, biar ada yang urusin kamu!” sindiran telak ibunya namun, Rama punya satu jurus ampuh.
“Makanya cepat restui Rama lamar Karin, biar Rama ada yang urusin,” jurus telak untuk sindiran ibunya tersebut. Walaupun, selanjutnya akan berdampak pada sebuah perdebatan kecil antara mereka.
Tidak ada jawaban dari ibunya. Rama tahu ibunya sedang tidak ingin berdebat dengannya saat ini, ibunya tahu kalau Rama sangat lelah sekarang. Itulah kenapa Rama masih harus menunggu lebih sabar dalam hal mengusulkan ikatan serius kepada kekasihnya, dia harus menunggu restu sang ibu dahulu. Dirinya yakin ibunya pasti akan luluh suatu saat nanti, mungkin setelah Rama tahu alasan kenapa Kari begitu tidak disukai oleh keluarga dan sahabatnya.
“Ram,” panggil Bu Retno dari arah sofa yang berada di tengah ruangan apartemen tersebut.
Rama yang masih lahap menyantap makanannya hanya bergumam dan melirik apa yang membuat ibunya memanggilnya.
“Kamu kenal dengan Dokter Nayra?” tanya Bu Retno dengan mata masih berfokus pada sebuah ID Card di tangannya.
Rama segera meminum air dalam gelasnya untuk menjawab pertanyaan ibunya, kenapa topik tentang Nayra malah lebih tertarik daripada rasa laparnya yang baru saja diisi beberapa suap. “Iya, Rama kenal. Memangnya kenapa, Mi?” tanya Rama beranjak dari duduknya menuju ke tempat ibunya berada sekarang.
Bu Retno menatap putranya dengan mata berbinar-binar, “kamu ingat gak dokter muda yang pernah Umi ceritakan pas kamu menginap?” tanyanya dengan antusias kepada putranya.
Rama mengangguk, “iya Rama ingat,” jawab Rama membuat binar antusias di mata ibunya bertambah dan hal itu membuat senyum Rama terbit, dia paling suka jika melihat ibunya sebahagia itu.
“Ini orangnya!” ujar ibunya dengan menunjukkan potret Nayra yang ada dalam ID Card tersebut. “Namanya Nayra, iya Nayra,” lanjutnya setelah memastikan nama dari potret tersebut.
Rama sedikit terkejut mendengar pernyataan ibunya. Sebenarnya dia telah mencoret Nayra dari kemungkinan dokter yang sangat dikagumi oleh ibunya, namun setelah melihat bagaimana Nayra berkorban waktu untuk pasien dan rasa kepedulian gadis itu ketika kegiatan kemarin membuat Rama sadar jika memang hanya Nayra dokter yang pantas sangat dibanggakan oleh ibunya.
“Katanya kamu tidak kenal sama dia? Tapi kok ini bisa ada sama kamu?” ucap Bu Retno menggerutu namun matanya masih berbinar melihat potret Nayra.
Rama duduk di samping sang ibu, “dia rekan Rama di rumah sakit yang membimbing Rama dalam adaptasi lingkungan rumah sakit seperti yang disuruh Om Santoso,” jawab Rama, “terus itu kayaknya lupa kemasukin ke dalam tas Rama pas kemarin menginap di rumah Pak Kades,” jelas Rama, dia takut ibunya berpikiran sangat jauh akan hubungannya dengan Nayra. Ibunya adalah salah satu penganut ilmu cocoklogi.
“Jadi kemarin kalian tugas bareng?” tanya Bu Retno dengan binar senang.
“Iya bareng sama yang lain juga, Mi!” jelas Rama agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam dugaan ibunya.
Bu Retno menyimpang barang tersebut di atas meja, “Cantik, kan?” tanyanya dengan semangat.
Dahi Rama berkerut bingung akan pertanyaan aneh ibunya, “Maksudnya?” tanya Rama meminta penjelasan.
“Dokter Nayra menurut kamu cantik, gak?” ulang Bu Retno memperjelas tujuan pertanyaannya.
Rama berdeham, “Ya namanya cewek pasti cantik dong, Mi!” jawab Rama. Tidak mungkin juga dia berkata jujur jika memang Nayra memiliki paras yang sangat cantik kepada ibunya, bisa-bisa dirinya akan semakin sulit mendapat restu untuk hubungannya dengan Karin. Mau bagaimana rasa tertariknya kepada Nayra, dia tidak mungkin mengkhianati kekasihnya, Karin.
“Lagian dia itu calonnya Septa, Mi,” ucap Rama yang sebenarnya akan mematahkan harapan sang ibu, namun sebelum ibunya semakin berharap Rama harus memberitahukan hal ini. Dia tidak mungkin meninggalkan Karin dan tidak mungkin mengkhianati sahabatnya, Septa.
“Maksud kamu?” tanya ibunya, tampak raut kecewa dari wajah paruh bayanya.
Rama mengambil napas dalam, “Nayra adalah gadis yang dicintai Septa dan Rama tahu itu memang sejak dulu, Septa sangat mencintai gadis itu. Dan, Septa berniat melamar Nayra setelah kepulangannya dari Lombok,” jelas Rama benar-benar memutus harapan sang ibu.
Bibir Bu Retno mengerucut kesal, “Ya, keduluan deh Umi sama Pak Santoso!” ujarnya kecewa.
“Umi,” lanjut Septa kemudian, “apa dulu Rama kenal sama Nayra? Gatau kenapa Rama seperti tidak asing dengan wajahnya,” ucap Rama. Karena yang mengetahui seluruh memorinya yang hilang adalah keluarganya.
Mata Bu Retno terbuka lebar dia menyempurnakan posisi duduknya, “Umi juga ketika bertemu sama dia kayak gak asing, tapi Umi gak tahu kenal sama dia dimana,” ujarnya. Ternyata, bukan hanya Rama yang merasakan demikian.
“Tapi mukanya sekilas mirip sama nenek kamu,” ujar Bu Retno, mungkin karena itu dia semakin penasaran dengan Nayra selain karena perilaku sopan Nayra.
“Masa muka Nayra disamain muka nenek, sih!” ucap Rama dengan tawanya. Memang wajah Nayra tidak asing namun tidak mirip nenek-nenek juga.
Bu Retno memukul lengan anaknya yang sedang tertawa, “kamu pikir Umi bercanda, Rama? Maksudnya wajahnya mirip sama keturunan nenek, kayak bibi kamu yang di Bandung,” jelas Bu Retno. Keluarga besar ayah Rama memang berada di Bandung, sudah lama juga Rama tidak mengunjungi keluarga ayahnya di sana karena belum siap dan orang tuanya yang tidak mengizinkan. Rama mengalami kecelakaan ketika masih menduduki bangku SMP dengan sopir pribadi ayahnya, karena kecelakaan itulah dia harus kehilangan memorinya dan sopir pribadi terdekatnya meninggal dalam kecelakaan tersebut.
“Entahlah! Saat Rama melihat wajah Nayra secara tiba-tiba ingatan Rama suka bermunculan, maka dari itu Rama tanya Umi,” ucapnya.
“Apa Nayra adalah kenalan kita selama kita tinggal di Bandung dulu?” tanya Bu Retno semakin penasaran setelah Rama mengungkit ingatannya, karena Rama hanya tidak bisa mengingat memori selama mereka tinggal di Bandung.
Rama menggeleng tidak pasti, “gak tahu juga. Soalnya tidak mungkin Nayra tinggal di sini kalau memang dia orang Bandung. Apalagi kalau memang benar Nayra adalah kerabat kita, setahu Rama keluarga ayah cukup ketat juga sama anak perempuan mereka,” ujar Rama menolak argumen sang ibu.