* Pengkhianatan *

1806 Kata
“Kamu mau ketemu sama Rama?” tanya Wira yang masih berada di kamar Karina ketika melihat Karina yang sedang bersiap-siap di depan meja riasnya. Karina mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari cermin riasnya, karena dari cermin pun dia tahu bahwa saat ini Wira sedang menatap dirinya. “Iya, karena kemarin gak jadi. Dia baru pulang kegiatan rumah sakit tadi pagi,” jawab Karina. Wira tersenyum hambar, kenapa dirinya bisa sebodoh ini. Dirinya dan Karina hanya sepasang sahabat yang memang saling melengkapi kebutuhan pribadi mereka, terutama Karina yang mustahil mendapatkan hal tersebut dari Rama. Karina tidak pernah menganggap dirinya lebih dari teman dan lihatlah betapa senangnya Karina ketika akan menjumpai Rama, kekasihnya. “Kamu kalau masih ngantuk tidur saja di sini. Terus, aku sudah pesan makanan dan ada di kulkas tinggal kamu angetin saja, ya!” pesan Karina kepada Wira yang saat ini sudah bergelung dalam selimut. Sudahlah, Karina tidak ingin pusing memikirkan apa yang membuat Wira yang tiba-tiba kesal seperti itu. Rama sudah berada di depan apartemennya dengan setelan jas yang luar biasa membuat pria itu sangat tampan. Untunglah penolakan Rama yang tidak pernah ingin mampir dulu ke dalam apartemennya membuat Karina tidak harus ambil pusing tentang Wira yang sedang tidur di kamarnya. “Sayang!” panggil Karina dengan antusias dan tidak sabaran berlari ke arah Rama berada. Karin langsung memeluk Rama dengan sangat erat, setelah beberapa rencana kencan mereka selalu gagal membuat dia sangat merindukan kekasih yang baru saja pulang dari luar negeri. “Aku kangen banget sama kamu. Kamu kangen gak sama aku?” tanya Karin manja menghirup dalam-dalam aroma Rama yang tidak pernah berubah sejak mereka memulai sebuah hubungan asmara. Seperti biasa, Rama tidak pernah membalas pelukan Karin sejak dulu. Dia hanya tertawa renyah mendapat tingkah manja kekasihnya. “Aku kangen banget sama Ibu model yang super sibuk ini,” jawab Rama membalas ungkapan rindu kekasihnya itu. Karina mendongakkan kepala agar bisa melihat wajah Rama tanpa melepaskan tautan tangannya di pinggang kekasinya itu. “Kalau aku super sibuk, terus bapak dokter ini apa? Super duper sibuk?” sindir Karina. Rencana kencan malam kemarin saja gagal karena Rama harus menginap di kegiatan rumah sakitnya. Jadi, siapa yang benar-benar sibuk di sini? Mereka makan malam di sebuah restoran mewah yang sudah ditentukan Karina. Sejak memasuki restoran tersebut tautan tangan mereka tidak terlepas karena Karin yang meminta itu. “Tangan kamu gak kebas megang tangan aku mulu?” tanya Rama dengan senyuman gelinya. Karina menggeleng, “Enggak, aku kangen banget sama kamu jadi malam ini aku gak akan ngelepasin tangan kamu ini,” ucapnya dengan matanya yang menunjuk tautan tangan mereka. Acara makan malam mereka berjalan dengan sangat baik dan berakhir pada tengah malam. Karina sangat bahagia walaupun hanya makan malam bersama Rama saja. Walaupun Rama sangat jarang menunjukkan perhatiannya tetapi dia sangat nyaman berada di sisi Rama, saat pria itu mendengarkan semua ocehannya dan tanggapan pria itu sangat manis di depan Karin sampai kapan pun. “Kamu.. gak mau mampir dulu?” tanya Karin. Suaranya terdengar ragu karena dia takut Wira masih berada di apartemennya dan dia tidak mau Rama mengetahui hal itu. Walaupun Rama tahu jika Karina dekat dengan Wira, namun Rama pernah berpesan jika batasan Wira dan Karina hanya sebatas di kantor atau tempat pemotretan saja tidak boleh sampai masuk ke dalam apartemennya. Karina tidak bisa mengelak itu, karena fakta bahwa Rama sangat menghormatinya membuatnya menyetujui batasan yang dibuat kekasihnya itu. Rama melirik ke arah kamar apartemen Karina, “kamu lupa matiin lampu pas berangkat, ya?” ujarnya ketika melihat lampu kamar Karina menyal Mendengar hal tersebut membuat Karina terkejut setengah mati, dia langsung melihat ke arah fokus Rama saat ini.  Benar dugaannya kalau Wira masih berada di kamarnya dan mungkin sekarang sedang beraktivitas lain di ruangan apartemennya. “Hah? Oh iya, kayaknya tadi aku buru-buru saking senangnya mau ketemu kamu, jadi lupa matiin lampu,” alibi Karina, untung saja Rama tidak menyadari kalau tadi ketika dirinya keluar apartemen lampu kamarnya sudah dirinya matikan. Rama mengangguk, “lain kali matiin, sayang listrik juga,” ucapnya seraya terkekeh. “Kalau begitu aku pulang dulu ya, selamat malam,” pamit Rama mengusap lembut puncak kepala kekasihnya. “Iya, hati-hati di jalan!” sahut Karin melambaikan tangannya ke arah Rama yang akan memasuki mobilnya. Setelah memastikan mobil Rama telah jauh dari area apartemennya dia langsung berjalan menuju kamar apartemennya. Untung saja tadi Rama tidak curiga padanya, lain kali dirinya dan Wira memang harus lebih hati-hati. Namun, sepertinya Karina harus segera mengakhiri hubungannya dengan Wira. Ketika makan malam tadi, Rama memberinya sebuah kalung indah dan Rama bertanya apakah Karin ingin hubungan mereka masuk ke tahap serius. Artinya Rama ingin melamarnya bukan setelah mendapat izin orang tuanya, tentunya Karin sangat menyetujui hal itu. “Sudah pulang?” tanya Wira yang sedang menonton televisi di ruang tengah apartemen Karina. Karina mengangguk, “iya,” sahutnya dengan mata masih memerhatikan Wira. Dia harus mengatakan ini semua pada Wira semua, seperti dirinya yang akan memulai sebuah ikatan serius, Wira juga harus mulai memikirkan seorang wanita untuk masa depannya. Sadar akan tatapan serius yang tertuju ke arahnya, Wira mematikan layar televisi tersebut. “Ada yang mau kamu katakan?” tanyanya pada Karin yang masih diam berdiri di posisi awalnya. Karin mengangguk dan melangkahkan kakinya ke arah sofa tempat Wira duduk. Dia menatap Wira serius, “kamu tahu kan kalau aku sayang sama kamu, Wir?” ucap Karin. Wira mengangguk, “Iya, sebagai sahabat atau mungkin sebagai kakak,” jawabnya. Memangnya apa yang Wira harapkan dari hubungannya dengan Karin. “Iya, tapi aku sayang sama kamu Wira,” jelas Karina dengan penekanan setelah melihat raut kecewa dari wajah Wira yang sekarang memalingkan wajahnya ke arah lain. “Rama mau lamar aku!” ucap Karin kepada Wira dengan air mata yang tiba-tiba keluar begitu saja dari matanya. Mendengar hal tersebut membuat Wira menatap Karin kembali. Dia melihat Karin menangis, bukan tangisan sedih melainkan tangisan kebahagiaan. Setelah itu Wira langsung memeluk Karina, dia tahu apa yang akan dikatakan wanita itu selanjutnya. “Jangan katakan itu! Aku mohon, Rin!” ujar Wira masih mendekap wanita itu dalam pelukannya. “Aku gak akan larang kamu untuk nikah sama Rama, tapi plis jangan bilang hal itu sama aku. Aku akan selalu ada buat kamu walaupun kamu nantinya sudah nikah,” ucap Wira. “Tapi kamu juga berhak bahagia, Wira! Kamu juga harus menikah dan hidup bahagia dengan wanita baik!” ucap Karina kepada Wira. Wira menggeleng menolak ucapan wanita di pelukannya itu, “kebahagiaan aku adalah melihat kamu bahagia,” ucapnya. Mendengar hal tersebut membuat tangis Karin semakin pecah. “Kayaknya dia lebih menyayangi kamu dibandingkan aku, ya,” sebuah suara membuat pelukan mereka terurai. Sebuah suara yang membuat jantung Karin berdetak kencang, dia berharap ini semua adalah mimpi. Dia tidak ingin Rama meninggalkannya. Karin langsung beranjak dari tempatnya dan menghampiri Rama yang sudah berada di ruang apartemennya. Dia tidak bisa menyalahkan Rama masuk ke apartemennya sembarangan tanpa izin, karena dirinya sendiri yang memberitahu Rama kode masuk ke apartemennya. “Ram,” Karin menatap Rama tidak percaya, “sejak kapan kamu ada di sini? Bukannya kamu-,” “Sejak kalian saling berpelukan dan aku melihat bekas pakaian kalian yang berceceran,” ujar Rama dengan mata terfokus pada pakaian yang berceceran di sofa. Karin dan Wira lupa membereskan pakaian mereka semalam. Wira menutup matanya, bukan karena dia takut dihajar oleh Rama melainkan dia tidak siap melihat kehancuran Karin oleh kekasinya. “Ram aku bisa jelaskan ini semua!” ujar Karin dengan suara yang tergesa-gesa, dia berharap ini semua mimpi. Rama mengangguk dengan wajah tenangnya, “silakan. Aku akan dengar semua penjelasan kamu,” ucapnya seraya duduk di sofa yang berhadapan dengan Wira. “Aku sama Wira hanya-,” “Friend with benefit, right?” potong Rama. Setelah mendesak Septa dan juga ibunya Rama akhirnya mengetahui alasan kenapa mereka tidak menyukai Karin. Dan benar saja apa yang dikhawatirkan mereka terjadi padanya, Rama akan melihat sendiri sebuah fakta yang sangat menyakitinya. Karina menggeleng dengan air mata yang terus menetes, jika tadi adalah tangisan kebahagiaan berbeda dengan sekarang yang merupakan tangisan ketakutannya. “Bukan! Ram aku mohon-,” Karin sudah buntu akan alasan apa yang dirinya keluarkan. Fakta dirinya bermain api di belakang Rama sudah sangat jelas di depan mata Rama. “Iya!” bukan jawaban dari Karin melainkan dari Wira, “dan semuanya bermula dari lo, Ram!” ucap Wira dengan tatapan tajam pada Rama. Dia tidak tahan melihat Karin menangis tergugu seperti itu. Rama mengerutkan dahinya, “kenapa salah gue?”, ucap Rama. “Di sini yang selingkuh itu kalian! Bukan gue!” amarah Rama akhirnya meledak, dia bisa bersikap tenang lagi seperti rencana awalnya. Fakta bahwa wanita yang dicintainya mengkhianatinya sangat membuatnya terluka. “Lo yang kurang perhatian sama Karin! Lo yang selalu egois dan mementingkan diri lo!” ujar Wira dengan tatapan masih mengisyaratkan sebuah amarah dan protes. “Terus itu salah gue kalian selingkuh? Gue cuma pengen menjaga dia!” ucap Rama. Apa Karin tidak tahu seberapa berat dia menahan diri di kala godaan wanita itu selalu mengusiknya? Dia hanya ingin menjaga wanita yang dirinya cintai karena Karin pantas untuk dijaga. “Dan cara lo menjaga dia yang membuat dia melakukan ini!” balas Wira. Rama tergelak mendengar semua ucapan Wira yang seolah-olah dirinya penyebab perselingkuhan itu. Rama mengangguk mengerti enggan terlalu panjang berdebat karena semuanya sudah sangat jelas baginya. “Karena lo yang lebih bisa menjaga Karin dibandingkan gue,” ucapnya menatap Wira, “Jadi, sepertinya hubungan kita hanya berakhir sampai di sini. Maaf karena cara aku menjaga kamu malah membuat kamu harus melakukan hal keji seperti ini,” lanjutnya beralih menatap Karin yang balas menatapnya dengan tatapan rasa bersalahnya. Rama beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju arah pintu apartemen tersebut. “Ram aku mohon maafin aku!” ucap Karin tergugu menahan tangan Rama yang hendak membuka pintu. Tidak ada balasan apa pun dari Rama, dia hanya menyingkirkan tangan wanita itu dari tangannya. Ini semua sudah berakhir baginya. Rama bisa mendengar suara tangisan Karin yang meledak setelah kepergiannya. Ketika menuju parkiran mobil ponselnya berdering menandakan adanya panggilan masuk. Rama melihat ponselnya dan nama sahabatnya ada di sana. “Gue sudah tahu semuanya bahkan gue liat semuanya,” ujar Rama dengan tawa sumbang. Terdengar helaan napas di ujung sana, “gue yakin ada wanita yang lebih baik dari Karin yang Tuhan persiapkan buat lo,” ucap Septa. Inilah yang dirinya dan ibu Rama khawatirkan ketika Rama mengetahui perselingkuhan Karin. Mereka takut Rama akan kecewa berat, karena dia tahu seberapa besar rasa cinta Rama pada Karin sejak dulu. “Tenang aja, gue cuma sedikit waktu untuk menerima ini semua,” sahut Rama dengan tenang. Satu hal kelebihan dari Rama adalah dia akan mampu bersikap sangat tenang dalam situasi mendesak sekalipun dan hal itu yang menjadi kekhawatiran keluarga dan juga orang di sekelilingnya. “Gue harap ini semua mimpi,” gumam Rama setelah panggilannya dengan Septa terputus.          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN