* Kesempatan Kedua *

3189 Kata
Kejadian semalam bagaikan sebuah mimpi buruk bagi Rama, namun hidupnya harus tetap berjalan, bukan? Tidak bisa dipungkiri jika Rama masih membutuhkan waktu untuk menerima ini semua, namun dirinya tidak bisa tiba-tiba mengajukan cuti ke pihak rumah sakit. Hubungan asmaranya dengan Karin cukup lama dan pengkhianatan wanita itu kepadanya cukup membuat hatinya merasa amat kecewa. Apa benar yang dikatakan oleh Wira, jika semua pengkhianatan Karin adalah karena dirinya? Entahlah, mungkin benar jika Rama harus lebih memperbaiki diri dan juga Karin memang bukanlah jodohnya. “Pagi, Dokter Rama,” sapa beberapa perawat ketika dokter tampan itu melewati mereka. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, mereka kini hanya dibalas dengan senyuman yang bisa dikatakan adalah senyuman terpaksa. Sosok Rama yang sehangat mentari pagi, hari ini seakan hilang. Rama langsung menuju ruangannya tanpa mau sekadar berbasa-basi dengan Adi yang sedang berkumpul menunggu jam mulai pergantian shift. “Itu Dokter Rama kenapa, Di?” tanya Anita kepada Adi. Adi menggeleng, “Enggak tahu, perasaan pas balik dari kegiatan kemarin dia masih kayak mentari pagi yang menebarkan senyum ke siapa pun!” jawab Adi. Dia sendiri bingung akan sikap Rama yang berubah dalam jangka waktu semalam. “Ini kenapa pada liatin ke lorong sana? Ada apa?” tanya Nayra yang baru saja tiba dan memang kebiasaan para dokter ikut berkumpul dengan para perawat hanya sekadar bertukar sapa atau malah menikmati hangatnya kopi di pagi hari. Anita melirik kepada Nayra, “Itu, Dok. Kita aneh aja sama Dokter Rama, gak biasanya dia kayak begitu,” ujar Anita. Nayra mengerutkan dahinya bingung, “Maksudnya?” tanya Nayra yang masih belum mengerti akan apa yang terjadi pada Rama. “Aneh aja kayak lagi galau, terus mukanya kusut kita aja gak berani bercanda ke dia tadi,” ujar Anita memperjelas apa yang mereka tangkap dari sikap Rama. Walaupun Rama termasuk dokter baru, tapi pria itu cukup pandai beradaptasi sehingga cepat akrab dengan orang-orang di rumah sakit. “Baik, Bu. Kita akan lihat besok bagaimana perkembangannya, jika tekanan darah ibu sudah normal besok ibu bisa mengajukan untuk pulang, ya,” jelas Nayra kepada salah satu pasiennya dengan sangat ramah. Hampir semua pasien Nayra sangat puas dan senang ditangani olehnya, karena sikap Nayra yang sangat mengerti bagaimana keadaan pasien. “Dok... Dokter Nayra-,” panggil seseorang dengan suara terengah-engah seperti habis berlari maraton. Dan benar saja, Adi baru saja datang dengan terengah-engah menuju posisinya. “Kamu kenapa lari-lari, Di? Tarik napas dulu dan tenangkan diri kamu!” pinta Nayra. Jika dalam keadaan tidak tenang seperti itu, maka akan sulit menjelaskan tujuan Adi kepadanya. Adi mengatur napasnya agar bisa tenang dan mampu menjelaskan apa yang membuatnya terburu-buru mendatangi Nayra. “Gini, Dok. Pasien di ruangan kenanga mengalami kejang-kejang dan kondisi harus segera ditangani!” ucap Adi. “Hah? Kok bisa? Saya gak ada pasien di ruang kenanga,” sahut Nayra. Dia akan selalu memeriksa keadaan semua pasien di bawah tanggung jawabnya, tidak mungkin dia ada keliru melewatkan satu pasien apalagi sampai membuat kondisinya darurat seperti itu. “Sebenarnya itu adalah pasien dari Dokter Rama,” jawab Adi dengan ragu, dia dapat memastikan bahwa Nayra akan marah besar. Namun, tidak ada lagi pilihan selain meminta bantuan kepada Nayra. Karena jika dia meminta penanganan dari dokter lain atau melaporkannya ke pihak rumah sakit, hal tersebut akan berdampak pada status Rama yang masih dalam masa orientasi. Walaupun, Rama sangat dekat dengan pemilik rumah sakit ini, tapi Dokter Santoso bukanlah tipe pemimpin yang seperti itu. Dia akan menghukum bahkan memecat siapa saja dokter yang lalai akan tugasnya, termasuk sahabat dari anaknya sendiri. Nayra langsung berlari menuju pasien yang dimaksud oleh Adi tersebut, namun setelah sampai di sana dia bisa melihat keadaan pasien telah membaik. Rama telah berada di sana, tidak heran jika Rama bisa menangani pasien darurat seperti ini dalam waktu sangat singkat, karena memang Rama adalah lulusan terbaik kedokteran salah satu universitas Jerman. Adi menghela napas lega, untung Rama bisa datang tepat waktu walaupun memang awalnya dokter itu terlambat dan bisa dikatakan lalai pada pasien yang dalam penanganan serius tersebut. “Dokter dari mana, sih? Saya hampir jantungan karena pasien ini tiba-tiba kejang. Makanya saya langsung minta bantuan Dokter Nayra,” ujar Adi menjelaskan. “Maaf saya tadi lupa-,” “Lupa? Apa Anda tidak sadar bahwa kelalaian Anda bisa berakibat fatal pada pasien ini!” ucap Nayra menatap tajam pada Rama. Selain dia mengkhawatirkan kondisi pasien tersebut, dia juga mengkhawatirkan karier Rama. Jika diketahui oleh pihak rumah sakit, bisa-bisa Rama dipecat ditambah lisensi kedokterannya akan ditangguhkan. “Maaf,” hanya satu kata itu yang bisa Rama katakan. Satu hal yang tak terduga terjadi, Nayra menangis di depan matanya. Tentu hal tersebut bukan hanya membuat Rama terkejut, begitu pun dengan Adi. “Dokter Nayra kenapa nangis?” tanya Adi khawatir, dia menjadi merasa bersalah melibatkan Nayra pada situasi genting tadi. Walaupun keadaan tersebut berhasil ditangani oleh Rama sendiri. “Kamu kenapa nangis, Nay?” tanya Rama. Apa pasien ini adalah sanak saudara Nayra atau temannya? Ah tidak mungkin, terus kenapa Nayra menangis? Nayra tidak menjawab semua pertanyaan kebingungan kedua pria itu. Nayra pergi meninggalkan ruangan tersebut meninggalkan Rama dan Adi yang kebingungan. “Apa pasien ini saudara atau temannya, Nayra?” tanya Rama kepada Adi. Adi menggeleng, “bukan sepertinya, Dok,” jawab Adi yang masih menampakkan wajah kebingungan. “Saya titip pasien ini, ya. Kalau kejang lagi langsung telepon saya!” setelah mengatakan itu Rama langsung berlari keluar ruangan tersebut. Rama berhasil menemukan Nayra di atas rumah sakit, karena tidak mungkin Nayra akan menangis di sekitaran banyak orang. Dia melihat gadis itu masih menangis dengan menenggelamkan wajahnya pada tumpukkan tangannya. Rama merasa sangat bersalah, entahlah karena apa tapi yang jelas Rama merasa sangat bersalah. “Kamu nangis karena kesal sama saya?” tanya Rama yang sudah duduk di samping gadis itu. Nayra mendongakkan kepalanya melihat siapa yang duduk di sampingnya, walaupun dia tahu siapa orang tersebut. Nayra mengusap kasar wajahnya yang penuh dengan air mata. Tidak ada jawaban dari Nayra. “Kamu itu nangis karena kesal atau memang karena kasihan sama pasien tadi, sih?” tanya Rama. Dia sendiri bingung harus mengartikan penyebab tangisan Nayra seperti apa, dirinya saja yang hampir celaka karena lalai akan tanggung jawab masih tenang-tenang saja. “Apa dokter gak mikir? Kalau seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan pada pasien itu bagaimana?” ujar Nayra masih tersenggal-senggal akibat menangis tadi. “Saya hanya beli kopi ke depan dan lupa bawa ponsel saya. Saya lagi banyak pikiran jadi sedikit kacau hari ini,” jelas Rama. Pikirannya sangat kacau hari ini, namun entah kenapa tangisan Nayra lebih mempengaruhi pikirannya, “Untung dokter bisa datang tepat waktu, kan? Kalau dokter dan saya terlambat bagaimana? Pihak rumah sakit akan memecat dan menangguhkan lisensi dokter!” jelas Nayra kentara sekali nada kekhawatiran dalam suaranya. Mendengar alasan Nayra sampai menangis seperti ini karena khawatir terhadapnya membuat Rama menatap tanpa ekspresi pada gadis itu. Hatinya menghangat dan ada rasa senang ketika dia mendengar itu. “Kamu nangis karena khawatir sama hidup saya?” tanya Rama memastikan. Kenapa hanya dengan melihat Nayra, dia bisa melupakan ingatan pengkhianatan Karin semalam? Ada apa dengan dirinya? “Saya permisi dulu, Dok!” sadar akan ucapannya yang spontan karena terlalu mengkhawatirkan Rama membuat Nayra malu dan bingung harus bersikap seperti apa. Apalagi tatapan serius Rama padanya, tatapan yang selalu pria itu berikan dulu kepadanya. Pergelangan tangan Nayra dicekal, sehingga membuat gadis itu menghentikan langkahnya masih dalam posisi membelakangi Rama. “Apa kamu bisa jelaskan Nayra kenapa kamu harus begitu khawatir terhadap saya? Dan, jika memang kita saling mengenal tolong beritahu saya,” ujar Rama. Dia semakin yakin jika Nayra memang pernah ada dalam memorinya dan gadis itu tahu mengenai masa lalunya. Nayra melepaskan cekalan tangan Rama padanya, “saya tidak bisa memberitahukan hal ini. Mungkin jika Dokter Rama ingin tahu, tanyakan pada diri dokter sendiri,” itulah jawaban yang Nayra berikan. Lagi-lagi jawaban Nayra adalah diri Rama sendiri. Rama baru saja pulang sehabis isya dari rumah sakit dan ketika dirinya sampai di depan pintu apartemennya, ada Karin di sana. Ya, Karin di sana menunggu Rama pastinya. “Ram, kamu baru pulang? Aku dari tadi nungguin kamu, kenapa gak angkat telepon aku?” ucap Karin dengan senyumnya namun tidak bisa menutupi raut kesedihannya. “Iya, di rumah sakit tadi sibuk. Bisa minggir?” sahut Rama dengan tatapan datarnya. Tidak ada lagi suara kehangatan yang selalu Karin dapat dari Rama. Karin berhambur memeluk Rama, “aku minta maaf, Sayang. Kasih aku satu kesempatan lagi!” tangis Karin pecah, dia sangat amat menyesal dan tidak ingin hubungannya dan Rama harus berakhir seperti ini. Rama tertawa hambar mendengar permintaan Karin. Mungkin dulu setiap permintaan Karin adalah sebuah kewajiban untuknya, namun saat ini rasanya hambar di telinga Rama. “Sudah malam, Rin. Bahaya wanita kalau pulang jam segini. Atau kamu diantar Wira?” tanya Rama, mungkin sebuah sindiran untuk Karin juga. Rama hanya ingin menjauhi semua yang berhubungan dengan hubungannya dan Karin. Karin menggeleng keras, “enggak, Ram. Aku gak cinta sama Wira! Aku cintanya sama kamu!” sahut Karin semakin tergugu dalam pelukannya terhadap Rama. “Tapi Wira cinta dan sayang sama kamu, bahkan melebihi rasa cinta aku sama kamu!” balas Rama. Dia bisa melihat ketulusan kasih sayang Wira terhadap Karin, maka dari itu Rama tidaklah berat menyerahkan Karin pada pria yang memang bisa memberikan seluruh perhatiannya pada Karin. Karin lagi-lagi menggeleng, “aku gak peduli! Aku cuma pengen sama kamu, Ram!” tolak Karin. “Tapi aku gak bisa memulai atau memperbaiki hubungan kita lagi,” ujar Rama, “benar apa yang Wira bilang, kalau pengkhianatan kamu itu memang salahku. Jadi, sepertinya Wira memang bisa membuat kamu bahagia lebih saat kamu sama aku,” lanjut Rama. Dia melepaskan pelukan Karin pada tubuhnya, ternyata hubungannya dengan Karin harus berakhir sampai di sini dan tidak mungkin ada kesempatan kedua untuk mereka merajut kasih lagi. Di balik pintu apartemen miliknya Rama masih bisa mendengar tangisan Karin yang sepertinya masih berada di posisi tadi. Namun, sebuah suara menyusul di sana. Ya, suara seorang pria yang bisa Rama pastikan adalah Wira yang sedang membujuk Karin untuk pergi dari sana. Rama rasa keputusannya sudah sangat benar, mengikhlaskan wanita yang dirinya cintai bersama orang yang lebih mencintai Karin. Karena, jika fakta mengenai penyebab Karin berkhianat adalah karena dirinya, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan terjebak dalam kejadian yang sama lagi. Sudah seminggu lebih hubungan Rama dan Karin berakhir dan Rama harus bersikap profesional sebagai seorang dokter, jangan sampai kejadian pasiennya yang tiba-tiba kritis akibat kelalaiannya terjadi lagi. Hampir setiap hari Rama mendapat pesan dari Karin yang berisi kalimat penyesalan wanita itu, bahkan setiap malam Karin selalu menghubunginya, namun Rama tidak ingin terjebak dalam suatu hubungan yang sama lagi. Ternyata dikhianati sangatlah menyakitkan, namun fakta bahwa penyebab kekasihnya berselingkuh karena dirinya lebih melukai dirinya. “Dokter Rama dipanggil Dokter Santoso,” ujar Nayra membuyarkan fokus Rama yang baru saja membaca rangkaian kata dari mantan kekasihnya. Entah kenapa setiap melihat Nayra, semua bayangan pengkhianatan Karin seakan lenyap. “Oh baik, Nayra. Tumben bukan Adi yang kasih tahu saya,” ucap Rama sembari memasukkan ponselnya ke dalam jasnya. Selama seminggu ini dirinya banyak berinteraksi dengan Nayra karena memang banyak hal menyangkut pekerjaan yang harus dirinya kerjakan dengan Nayra sebagai pembimbingnya. “Adi lagi disuruh bantu operasi darurat Dokter Herman,” jawab Nayra. Mereka berjalan beriringan menuju lantai lima tempat ruangan Dokter Santoso selaku pemilik rumah sakit ini berada. Karena bukan hanya Rama yang dipanggil, Nayra pun diminta datang ke sana. Selama perjalanan menuju ruangan Dokter Santoso suasananya sangatlah hening, karena memang kawasan lantai tiga ke atas adalah khusus ruangan VIP dan pemulihan pasien pasca operasi. “Nay,” panggil Rama. Nayra yang satu langkah berada di depan Rama menoleh kepada Rama yang sekarang sudah berada di posisi yang sejajar, “Iya?” sahut Nayra. Kenapa setiap kali Rama ingin berbicara kepadanya selalu seperti ini, kenapa tidak langsung bicara saja. “Kamu tahu gak perasaan Septa sama kamu?” tanya Rama. Dia hanya memiliki kesempatan berbicara pada Nayra memang hanya saat seperti ini. Nayra akan menghindar jika ditemui secara pribadi, Nayra akan sangat fokus dan tidak akan menjawab obrolan di luar pekerjaan jika sedang menangani pasien atau di ruang perawatan. Dahi Nayra mengerut mendengar pertanyaan aneh tersebut, “maksudnya? Perasaan dokter Septa kepada saya?” tanya Nayra yang sebenarnya masih belum paham akan maksud pertanyaan Rama tersebut. Rama mengangguk, “iya. Apa kamu tidak menyadari semua tindakan perhatian Septa sama kamu?” mungkin ini sudah masuk urusan pribadi Nayra, namun entah mengapa Rama ingin sekali mengetahui perasaan atau tanggapan Nayra pada semua perhatian yang sahabatnya itu berikan. Nayra mengangguk dan hal itu berhasil membuat perasaan Rama sedikit berbeda. Apa Rama kesal karena ternyata Nayra menyadari segala bentuk perhatian Septa adalah karena menyukai gadis itu? Lalu, apa yang Rama harapkan dari semua ini? “Dokter Septa perhatian sama saya karena menganggap saya sebagai adik, kan?” Boom! Sebuah senyum terbit dari lengkungan bibir Rama, entah apa yang Rama rasakan saat ini karena hatinya mendadak berbunga. “Dokter Rama kenapa senyum? Ada yang lucu? Saya menganggap Dokter Septa memang sebagai seorang kakak,” merasa ditertawakan, Nayra sedikit menaikkan suaranya. Apa yang lucu memang dengan jawabannya? “Enggak, kok. Terus-,” “Lagian mana mungkin saya mengartikan perhatian Dokter Septa itu lebih dari seorang senior dan kakak, di saat sahabat saya malah mengharapkan perhatian di luar konteks tersebut,” potong Nayra. Dia rasa jawabannya yang tadi belum cukup lengkap. Karena Rama dekat dengan Septa, dia berharap Rama bisa mendekatkan Fani dengan Septa. Rama tidak percaya akan rumitnya kehidupan Septa saat ini. Wanita yang dicintai Septa malah menganggap sahabatnya itu sebagai seorang kakak dan parahnya sahabat Nayra malah menaruh rasa pada Septa. Sejak mengenal Nayra, Rama bisa memastikan jika gadis itu tidak akan menerima Septa karena Nayra sangat menjaga hubungan persahabatannya. Rumit sudah. “Maksud kamu?” walaupun Rama kurang lebih tahu arti dari jawaban Nayra tadi, namun Rama ingin memastikan tentang sahabat Nayra yang menaruh rasa pada Septa. Sejak Nayra menjawab pertanyaan Rama, mereka sudah menghentikan langkah mereka menuju ruangan Dokter Santoso. Mereka sekarang berada di dekat jendela yang menampilkan hiruk pikuk jalanan Jakarta, tepatnya berada di lantai empat. “Sahabat saya, Fani, sangat menyukai Dokter Septa. Saya ingin mendekatkan mereka, tapi saya terlalu segan dengan Dokter Septa,” ucap Nayra dengan hati-hati. Mungkin ini saatnya Nayra membantu Fani secara aksi bukan hanya mendengar curahan hatinya saja. “Terus? Apa hubungannya dengan saya?” tanya Rama bingung. Sejak tangisan Nayra waktu itu, Nayra lebih terbuka padanya dan juga tidak lagi menghindarinya lagi. Entahlah, sikap Nayra memang sulit ditebak termasuk saat ini. Nayra tersenyum, “Dokter Rama mau gak bantu Fani buat dekat sama Dokter Septa?” pinta Nayra, biarlah dirinya di cap tidak tahu malu oleh Rama, “Saya kasihan sama sahabat saya itu, Dokter Septa itu kayak belut sawah, licin banget jadi susah didekati sama Fani,” bisa-bisanya Nayra menyamakan Septa dengan belut sawah. Kepala Rama terasa berdengung memikirkan teori dari kenyataan kisah asmara Septa kali ini. “Kamu tahu gak, Nay?” Rama menjeda ucapannya. Apa dia harus memberitahukan hal ini kepada Nayra, di saat hatinya malah menolak tindakan Rama tersebut. “Dokter Nayra! Dokter Rama! Baru saja mau saya jemput ke ruangan kalian, Dokter Santoso sudah menunggu kalian di ruangannya,” suara salah satu perawat mengalihkan perhatian mereka. Apa Rama harus merasa lega karena tidak harus memberitahu fakta bahwa Septa mencintai Nayra sudah sejak lama? Apa Rama tidak egois ingin lebih lama menjalani interaksi sederhana namun menghangatkan hatinya ini bersama Nayra? Entahlah. “Tolong dipertimbangkan ya, Dokter Rama. Sahabat saya sangat butuh bantuan Dokter Rama untuk ini!” ujar Nayra sebelum menyusul perawat tadi ke lantai lima untuk menemui Dokter Santoso. Akhir-akhir ini, Nayra merasa sosok Rama yang dulu telah kembali, maka dari itu dia sedikit lebih terbuka kepada Rama. Apa pun yang telah terjadi pada Rama, dirinya tidak peduli untuk saat ini izinkan Nayra menikmati momen yang pernah dirinya rasakan dulu bersama Rama. Tolong, ya! Kak Rama kan baik! Sebuah memori baru saja terlintas dalam kepala Rama membuat dirinya penasaran akan kelanjutan memori tersebut. Namun, jika Rama memaksakan dirinya mengingat semua memori tersebut kepalanya akan terasa sangat sakit. Akhir-akhir ini memori Rama selalu bermunculan dan anehnya hal tersebut muncul persis sama seperti yang dikatakan atau dilakukan Nayra. “Lagi-lagi gue merasa Nayra memang pernah ada dalam masa lalu gue!” gumam Rama masih memegangi kepalanya. Rasa sakit yang dirasakan Rama pada kepalanya tidak terlalu berdampak sampai membuatnya pingsan, karena dia sudah rutin lagi memeriksa keadaannya ke salah satu dokter saraf kenalannya. Tanpa sepengetahuan orang tua dan juga Septa. Rama ingin menggali kembali masa lalunya dan tidak ingin membuat khawatir keluarganya yang selalu takut berdampak pada kesehatan bahkan akan mengakibatkan trauma Rama kembali. Mereka tiba di ruangan Dokter Santoso dan disambut dengan ramah oleh pemilik ruangan tersebut. Dokter Santoso tampak sangat ceria dan langsung mempersilakan kedua dokter muda tersebut duduk. “Bagaimana, Ram? Betah kan di sini, gak ada kesulitan, kan?” tanya Dokter Santoso kepada sahabat anaknya tersebut. Rama tersenyum, “Aman kok, Om... eh, Dok-,” “Gak apa-apa panggil saja Om kalo di ruangan Om. Kalo di luar sih baru,” potong Dokter Santoso. Rama memang sudah terbiasa memanggilnya seperti itu, maklum saja persahabatan Rama dan Septa sudah terjalin lama dan keluarga mereka pun sudah dekat, walaupun ketika Rama di Jerman mereka minim komunikasi. Rama mengangguk mengerti dengan tangan menggaruk pelipisnya. Dokter Santoso kemudia mengalihkan fokusnya pada dokter cantik di sebelah Rama. Seperti biasa, Nayra tidak akan mendongakkan kepalanya sebelum diajak berbicara. “Bagaimana kabar kamu, Nayra? Apa tugas membimbing Rama tidak membuat kamu kewalahan, kan?” tanya Dokter Santoso kepada mantan mahasiswanya tersebut. Nayra mendongakkan kepalanya menatap sumber suara, “baik, Dok,” jawab Nayra. Kemudian, dia melirik sekilas kepada Rama, “Dokter Rama ternyata cukup pandai beradaptasi, malah mungkin saya yang dibimbing oleh beliau dalam beradaptasi di rumah sakit ini,” puji Nayra dengan senyumannya. Sama seperti dulu, Nayra akan selalu memuji Rama kapan pun dan di mana pun. “Bagus lah, kalau begitu. Sepertinya kalian sudah cukup akrab,” ujar Dokter Santoso. Sadar akan ucapan Dokter Santoso membuat Nayra salah tingkah, apa jawabannya terlalu berlebihan dalam memuji Rama. “Saya senang jika kalian akrab, pasti Septa juga akan senang jika mengetahui ini,” lanjut Dokter Santoso ketika melihat raut Nayra berubah menjadi tidak nyaman. “Kalau begitu saya akan mulai saja apa yang membuat saya memanggil kalian berdua,” ucap Dokter Santoso. “Kepulangan Septa dipercepat menjadi akhir pekan ini, karena memang keadaan di sana sudah stabil maka beberapa relawan ditarik kembali termasuk Septa. Mungkin ini terkesan permintaan pribadi, namun saya ingin mengundang kalian makan malam dalam penyambutan kepulangan Septa,” lanjutnya dengan senyum harap seorang ayah yang sedang menyiapkan kado untuk anaknya. “Terutama saya sangat mengharapkan kehadiranmu, Nayra,” timpal Dokter Santoso menatap Nayra yang masih diam tanpa kata. “Dan tentunya akan semakin lengkap dengan kehadiran sahabat baik Septa,” Dokter Santoso mengalihkan tatapannya kepada Rama. “Saya akan usahakan datang, Om,” sanggup Rama. Sangat tidak sopan jika menolak ajakan tersebut. “Terima kasih, Ram. Bagaimana Nayra-,” “Om maaf saya sepertinya harus ke ruangan saya dulu, saya lupa ada jadwal konsultasi dengan salah satu pasien,” pamit Rama sembari melirik jam tangan di pergelangan tangannya.                    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN