* Panggilan *

3368 Kata
Rama sudah bersiap dengan setelan kemeja putih yang disandingkan dengan celana bahannya yang berwarna hitam. Ini merupakan awal dirinya akan bekerja di Rumah Sakit di tanah air tercintanya. Setelah hampir lima tahun dirinya mengejar gelar spesialis di Negeri Jerman. "Wah, Dokter Rama selamat datang," ucap Septa ketika bertemu Rama di lift. Perdebatan kecil mereka tempo hari, hanya akan menjadi sebatas masalah hari kemarin, mereka tidak akan sampai berseteru berbulan-bulan. "Terima kasih Dokter Septa," sahut Rama terkekeh. Septa memukul lengan Rama, "kenapa lo gak bilang dulu sama gue!" ujar Septa masih mengungkit awal pembicaraan mereka tempo hari, mengenai kepindahan Rama di rumah sakit ayahnya. "Gue sudah bilang alasannya," jawab Rama masih menatap lurus ke depan menunggu lift berhenti di lantai tujuan mereka. "Alasan lo gak masuk akal, Rama!" ucap Septa yang masih belum puas akan alasan yang diberikan Rama padanya. "Terserah," ucap Rama yang sudah tidak peduli akan ketidakpuasan Septa terhadap alasan yang diberikannya. Pintu lift terbuka menampilkan sesosok wanita dengan baju cokelat yang dibalut jas putih kebanggaannya. Nayra cukup terkejut melihat dua orang pria yang hendak berganti posisi dengannya dalam lift tersebut. Namun, hanya satu orang yang membuatnya terkejut hanya, Rama yang telah menghapus nama Nayra dalam memori masa lalunya. "Nayra,” sapa Septa yang sangat antusias terlihat dari wajah cerianya di pagi yang cerah ini. "Assalamu'alaikum, Dokter Septa dan Dokter Rama," ucap Nayra masih menundukkan pandangannya dari dua pria tersebut. "Wa'alaikumussalam," jawab Septa dan Rama berbarengan. "Kamu mau ke mana?" tanya Septa yang wajib bertanya pada Nayra setiap harinya. "Saya akan memeriksa pasien di lantai 2, Dok,” jawab Nayra. "Ya sudah, hati-hati!" ujar Septa yang langsung mendapat respon geli dari Rama. Apa Septa tidak terlalu berlebihan? Hanya dari lantai 5 ke lantai 2 saja harus mengucapkan wejangan? Benar-benar dimabuk asmara. Batin Rama yang benar-benar tidak percaya akan keseriusan cinta sahabatnya pada dokter muda di hadapan mereka ini. "Oh, baik. Terima kasih, Dok," ucap Nayra berlalu memasuki lift dan sempat melirik sekilas wajah Rama yang masih terkekeh entah menertawakan apa. Pintu lift tertutup yang akan membawa Nayra ke lantai 2 tujuannya. "Astagfirullah, Nay. Lupain Kak Rama, dia bahkan gak inget sama kamu," ucap Nayra pada dirinya sendiri. Otaknya telah dipenuhi sosok Rama sejak mereka bertemu. Pintu lift kembali terbuka sebelum melaju turun ke lantai 2. Dan tampak pria dengan kemeja putih dan celana katun di depan Nayra. Apa ini hanya ilusiku? "Kak Rama?" gumam Nayra ketika melihat Rama tepat di hadapannya, bukankah tadi pria itu sudah keluar bersama Septa? Berbanding terbalik dengan raut wajah Nayra, raut Rama terlihat biasa saja. Tidak untuk Nayra, sedari tadi jantungnya mulai berpacu kencang oleh hormon Adrenalin yang tinggi. "Saya buat kamu kaget, ya?" pintu lift mulai tertutup mengurung dua insan tersebut di dalam sana. Karena terlalu kaget, Nayra sampai lupa jika dirinya berada di dalam lift hanya dengan Rama saja. Sebisa mungkin, dirinya memohon ampun karena berada di satu ruangan bersama seorang pria yang bukan mahramnya. Pertanyaan yang merangkap jadi pernyataan Rama tidak ditanggapi. Nayra sudah sangat merasa berdosa karena hanya berdua dengan seorang laki-laki seperti ini. "Maaf saya bikin kamu tidak nyaman, tapi saya sangat buru-buru tadi. Jadi, mau tidak mau harus masuk lift yang sama dengan kamu," ucap Rama karena dia yakin Nayra adalah tipe perempuan yang sangat taat aturan agama, hal itu terlihat juga dari raut gelisah Nayra. Mendengar itu Nayra hanya mengangguk kelu. Hawa dalam lift terasa sangat canggung, bahkan sapuan angin sampai terdengar di dalam sana. Kok jadi canggung gini? Rama pun mengakui bahwa udara di sana begitu aneh karena lift terasa sangat lambat dan keheningan mendominasi, "um... Nayra," sapa Rama menoleh ke samping, retina matanya menangkap sesosok bidadari, itu sosok Nayra. Kenapa Nayyira cantik banget gini? Batin Rama masih memerhatikan sosok Nayra yang mempertanyakan pada dirinya yang baru sadar jika perempuan ini sangat cantik. Pantas sahabatnya tergila-gila pada Nayra. Merasa dirinya diperhatikan membuat Nayra penasaran sendiri pada perasaannya itu. Dia menoleh, tepat saat itu mata mereka bertemu, "iya. Ada apa, Dok?" Tanya Nayra gugup  yang sudah menundukkan kembali pandangannya yang sempat bertemu dengan mata Rama. Rama menelan ludahnya, saat dirinya ketahuan memperhatikan perempuan yang berada di sampingnya itu, "saya tadi dapat pesan, kalo kamu yang bakal jadi pembimbing saya di sini," jawab Rama mengontrol nada bicaranya agar tidak membuat Nayra semakin gugup. "Iya, Dok. Saya sudah mendapat informasinya dari Dokter Santoso," sahutan singkat nan lembut dari dokter muda tersebut. Akhirnya, lift terbuka menampilkan aktivitas banyak orang di sana. Mereka pikir waktu telah berhenti, karena tidak biasanya naik lift bisa selama itu. "Saya duluan, Dok," pamit Nayra mengontrol buncahan rasa pada jantungnya. Rama mengangguk kecil yang sama sekali tidak berarti sepertinya, karena perempuan itu sudah berjalan menjauh tidak ingin menoleh barang sedikit pun ke arahnya. Rama berdecak kagum, "pantes Septa cinta mati sama dia," ucap Rama masih memandang ke arah yang sama sampai pintu lift tertutup sempurna. Nayra mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Ini sangat tidak benar, Rama bahkan tidak mengingat sedikit pun tentang dirinya. "Dokter Nayra!" tepukan seseorang di pundaknya menyadarkan Nayra dari pikirannya yang kosong. Nayra terlonjak kaget, "ah, iya? Ada apa?" tanya Nayra. "Pasien nomor lima sudah menunggu, Dokter Nayra," ucap seorang perawat menunjukkan arah. Nayra mengangguk dan menyusuri lantai menuju arah yang ditunjukkan oleh perawat tadi. "Bukannya dia pasien VIP, Sus?" tanya Nayra melihat seorang wanita paruh baya di atas ranjang nomor lima tersebut. Perawat tersebut mengangguk, "iya, Dok. Tapi kali ini dia ingin dirawat di sini," ujarnya. Nayra menghampiri sosok paruh baya tersebut. Dengan menampilkan senyum cerahnya," Assalamu'alaikum. Selamat pagi, bu," sapaan hangat dari seorang dokter kepada pasiennya. Mendengar sapaan lembut tersebut membuat pasien tersebut memutar kepala hingga menghadap Nayra, "wa'alaikumussalam. Pagi, Bu Dokter," jawab pasien tersebut tidak kalah bersinar senyum terpancar dari lengkungan bibirnya. "Keluhannya apa lagi, Bu?" tanya Nayra kepada pasien langganannya di rumah sakit ini sejak sebulan yang lalu. "Sakit Hati!" "Hah?" Nayra terkejut mendengar ucapan spontan pasiennya itu, "maaf, bu," lanjut Nayra terlewat kaget dengan jawaban ajaib pasiennya. "Iya, tidak apa-apa. Maaf, pasti ibu membuat Bu Dokter bingung, ya. Ibu cuma lagi kesal sama anak ibu dan entah kenapa jadi terpikir kunjungi Bu Dokter di sini," keluh ibu tersebut. Sejak pertama bertemu dokter muda ini, dirinya sangat nyaman bercerita keluh kesahnya. Nayra tersenyum lembut menanggapi celotehan ibu tersebut, “ibu kan bisa bicara langsung kepada saya, tidak harus jadi pasien dahulu," ujar Nayra halus. "Takut Bu Dokter sibuk. Ibu tahu menjadi dokter itu pasti sangat sibuk," terangnya, "Ibu kesini cuma lupa sesuatu", lanjut Ibu tersebut. Nayra mengernyit bingung, "lupa apa, Bu?" tanyanya heran. Semua barang pasien rawat inap tentu telah dikemas pada saat pasien tersebut pulang. "Ibu lupa tanya nama sama nomor ponsel Bu Dokter," jujur Si Ibu tersebut. Entah kenapa dirinya rela harus menjadi pasien sehari demi bertemu dokter cantik ini. Nayra terkekeh mendengar jawaban jujur wanita paruh baya tersebut, "Ibu bisa tanya langsung, tidak harus menjadi pasien dahulu untuk itu," terang Nayra dengan senyum lembut. Setelah mendapat apa yang menjadi tujuan Ibu yang bernama Retno tersebut, beliau langsung pamit pulang dengan senyum terukir pada wajahnya. "Ada-ada saja, Dok," ucap Tina, perawat yang menangani Ibu Retno sedari tadi. Nayra hanya tersenyum menanggapi ucapan Tina. Dia segera bergegas untuk menghadap Dokter Santoso, tentu saja untuk membahas terkait kepindahan Rama ke rumah sakit ini. "Assalamu'alaikum, maaf saya terlambat, Dok," ucap Nayra ketika memasuki ruangan pemilik rumah sakit tempatnya bekerja tersebut. "Wa'alaikumussalam, kamu tidak terlambat, kok. Kami baru saja datang," sahut Septa. Ternyata pria itu juga berada di ruangan tersebut. "Duduk Nayra!" sambut Dokter Santoso mempersilakan Nayra duduk. Nayra mengangguk dan duduk tepat di hadapan Rama, karena hanya itu tempat yang kosong. "Karena kamu sudah tahu mengenai tujuan pertemuan ini," buka Dokter Santoso mengawali keheningan di antara mereka. "Cielah Papa-," Ucap Septa. Lucu ketika sang ayah terlalu banyak sambutan. "Diam atau keluar!" timpal Dokter Santoso. Sepertinya mereka sedang dalam mode serius. Septa menggerutu dalam hati, giliran dirinya bercanda sang ayah tidak meladeni. Sedangkan, giliran dirinya dalam suasana jelek sang ayah selalu mengganggunya. Melihat sang anak langsung diam Santoso menaikkan sedikit lengkungan sudut bibirnya, menahan senyum. Begitu pun Rama, dirinya sebisa mungkin menahan tawa melihat sahabatnya yang dibungkam ketika akan menggoda ayahnya sendiri. Dasar Septa. "Jadi, untuk keberangkatan Dokter Septa akan dipercepat menjadi hari selasa minggu depan," ucap datar pria paruh baya yang masih tampak segar bugar tersebut melirik fokus pada anaknya yang seketika menatap terkejut padanya. "Kok begitu sih, Pa? Papa bilang Septa berangkat akhir minggu depan!" gerutu Septa. Walaupun dia sudah tahu bahwa rengekannya tidak akan mengubah apa pun. Apa salahnya berusaha, bukan? "Tim di sana kekurangan tenaga, Septa. Jadi, butuh bantuan secepat mungkin," ujar Santoso memberi pernyataan kepada anaknya yang sedang merajuk. "Tenang, Bro. Badai pasti berlalu," ungkap Rama dengan geli menepuk pundak sahabatnya itu. "Cihh!" Septa enggan berkomentar apa pun saat ini. Suasana hatinya sedang memburuk. Tatapan dokter Santoso beralih ke arah Nayra yang masih diam tanpa kata, "Nayra," panggilnya meminta perhatian gadis itu. Sekarang gadis itu menoleh pada sumber suara yang memanggil namanya. "Iya, Pak?" sahut Nayra dengan suara penuh hormat kepada atasan sekaligus dosennya dulu. "Untuk tugas kamu bisa dimulai dari besok. Saya harap kamu bisa membuat Dokter Rama cepat mengenal dan beradaptasi dengan kondisi di rumah sakit ini dan membuat Dokter Rama betah di rumah sakit ini," ujar Dokter Santoso penuh perhatian pada dokter muda tersebut. Nayra mengangguk sambil tersenyum sopan, dua orang pria di hadapannya menyaksikan hal itu. Septa semakin berat untuk berangkat, dia tidak bisa berjauhan dengan Nayra, karena kesempatan bertemunya dengan gadis itu hanya ketika di rumah sakit saja. Sedangkan, Rama baru menyadari bahwa hatinya menyejuk melihat senyum gadis yang menjadi pujaan hati sahabatnya itu. "Hati-hati di sana, Bro! Take care," ucap Rama pada sahabatnya yang akan menjalani tugas mulia bagi orang-orang yang membutuhkan akibat bencana alam. "Jaga bidadari gue, ya!"  titah Septa dengan jenaka. Dia tidak khawatir jika pria yang di samping pujaan hatinya adalah Rama, karena dia tahu bahwa Rama sudah memiliki kekasih yang amat dicintainya, walaupun dia sendiri tidak terlalu menyukai kekasih sahabatnya itu. Namun, apa daya cinta tidak dapat diatur oleh orang lain, bukan? Begitu pun dengan rasa cinta Rama terhadap Karin, kekasihnya. Rama terkekeh, "sepulang dari sana apa rencana lo? Gak ada niatan tembak dia?" tanya Rama. Sejak awal dia memang merasa aneh, kenapa Septa jadi lambat seperti ini? Ketika masa putih-abu, Septa selalu bergerak cepat jika berkenaan dengan seorang wanita, apalagi perasaan Septa terhadap Nayra sepertinya sangat serius. Tapi, sekarang Septa sangat lambat untuk mengejar cinta Nayra walaupun sahabatnya itu selalu memberi perhatian pada gadis itu. "Tembak Nayra?" tanya Septa dengan nada ragu atau malah meminta penjelasan lebih mengenai pertanyaan sahabatnya itu. "Kenapa? Lo kan suka dia," otak Rama sepertinya tidak paham akan kondisi sahabatnya itu, dia tidak mengerti bagaimana alur tujuan Septa untuk mendapatkan gadis pujaannya itu. "Jangankan tembak, dia tatap gue aja gak pernah!" ucap Septa meratapi kejadian canggung namun baginya membuat hati berdebar. Baginya, Nayra tidak seperti wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. "Wah! Luar biasa! Lo sudah berubah banyak ternyata," sudah Rama katakan bukan, dulu Septa bukanlah tipe pengagum dari belakang, jika dia suka kepada seorang  gadis maka akan langsung diutarakan. Nada panggilan memecah percakapan dua dokter muda tersebut, suara ponsel dari saku celana Rama. Sebuah nama kontak bersimbol hati tertera di sana, Rama langsung meninggalkan Septa agar bisa mengangkat telepon dari Karin, kekasihnya, "halo, sayang?" sapa Rama ketika dia telah menekan tombol hijau agar dapat terhubung dengan suara kekasihnya. "Sayang, kamu gak marah, kan? Aku kemarin ada jadwal mendadak," ucap Karin penuh sesal, kemarin mereka tidak jadi bertemu karena Karin tiba-tiba mengabarkan jika dirinya ada jadwal pemotretan dadakan. “Gak apa-apa. Aku tahu jadwal kamu gak bisa dibatalkan begitu saja,” respon Rama tanpa ada nada kesal sama sekali. Dia mengerti pekerjaan kekasihnya terikat kontrak, tidak bisa menolak jadwal seenak jidat hanya karena alasan pribadi seperti kemarin. Lagi pula, dia berada di Indonesia bukan untuk sementara jadi banyak waktu untuk dihabiskan dengan kekasihnya itu. Karin menghela napas lega, “syukur, deh. Kamu memang pacar aku yang paling pengertian tapi kurang perhatian,” ujar Karin jujur. Rama terkekeh mendengar ucapan terakhir Karin, “tapi, kamu tahu kan kalau aku sayang sama kamu?,” ujar Rama dengan nada datar, namun mengandung ketulusan, “jadi, kapan Ibu Karin punya waktu luang?” tanya Rama kembali mengajukan pertanyaan untuk bertemu sang kekasih. “Hmm,” Karin tampak berpikir sejenak, “besok malam saja, jadwal aku gak sampai tengah malam,” jaw,ab Karin pada akhirnya. “Oke, nanti aku bawain kamu martabak pandan kesukaan kamu,” tawar Rama. “Iya, sayang,” jawab Karin dengan senyuman. Dia sangat mencintai Rama, namun ada satu hal yang dia tidak suka dari Rama. Kekasihnya itu terlalu sibuk dengan urusannya dan terkadang membuat dirinya merasa kecewa dan kesepian. Di sebuah studio, Karin melangkahkan kembali kakinya masuk ke sebuah ruangan yang berada di dalam studio tersebut. Dia menghampiri seorang pria yang sedang fokus membersihkan lensa-lensa kameranya. Karin melangkah mendekati pria tersebut. “Kamu lagi sibuk, ya?” tanya Karin manja melingkarkan tangannya di pinggang pria dengan kemeja coklat tersebut. “Sudah kangen-kangenannya sama pacar kamu?” tanya pria itu tidak mengindahkan Karin yang memeluk tubuhnya dari belakang. Dia masih tetap pada kegiatannya, membersihkan lensa-lensa kamera miliknya. Karin memajukan bibirnya sembari menggelengkan kepalanya manja, “jangan begitu, dong. Masa tadi Rama telepon aku gak angkat!” ungkap Karin kepada Wira, seorang fotografer muda yang berbakat. Jika seorang fotografer sudah bisa memotret seorang Karina Stefani, model papan atas incaran beberapa agensi ternama. Wira mengedikkan bahunya acuh, “aku lupa, dia pacar kamu,” ucap Wira terkekeh dengan sikapnya tadi. Karin membalikkan tubuh Wira dan menyimpang paksa lensa-lensa di tangan Wira agar pria itu bisa fokus kepadanya, “kamu jangan begitu dong, Wir. Ini kan sudah kesepakatan kita, kalau untuk sekarang aku belum bisa melepaskan Rama!” ujar Karin dengan sorot mata menuju mata Wira. “Karena kamu masih mencintai dia? Dan aku hanya pelampiasan kamu?!” jawab Wira dengan sorot menatap balik Karin. Dia meluapkan semua kekesalannya sekarang sejak melihat nama kontak yang menelepon Karin ketika mereka sedang bersama. “Jangan egois, Wir. Aku sama Rama itu sudah menjalin hubungan lama dan kalau harus putus, aku belum siap!” balas Karin, walaupun dalam lubuk hatinya sedang dilema. Dia masih sangat mencintai Rama, tapi dia butuh Wira karena kurangnya perhatian Rama. “Lalu, aku ini apa? Mainan kamu?” tanya Wira dengan sindiran tajam. Dia sangat mencintai Karin, jauh sebelum Karina mengenal Rama ketika di bangku kuliah. Wira dan Karin adalah sahabat sejak SMP, Wira selalu ada dan ingin selalu berada di samping Karina. Namun, sejak masa putih-abu Karina hanya menjadikannya sahabat tempat curahan hatinya. Karina menatap Wira tidak percaya, “kamu ngerti kan sama posisi hati aku sekarang?” tanyanya, sejak dulu hanya Wira yang mengerti perasaannya tapi kenapa sekarang pria itu seolah memaksakan perasaannya, padahal dia tahu bagaimana dilemanya Karin saat ini. Wira menghela napas dalam, dia tidak mau memperkeruh masalah ini. Dia harus bersabar sebentar lagi dan terus membuat Karin percaya pada perasaannya. Wira memeluk Karin dalam dekapannya, “maafin aku, aku tadi hanya cemburu kamu menerima panggilan dari Rama,” ungkap Wira semakin merengkuh erat tubuh wanita di pelukannya, “aku akan sabar menunggu hati kamu yakin meninggalkan Rama yang selalu egois mementingkan kepentingannya,” ujar Wira. Berawal dari Karin yang selalu melibatkan Wira ketika dirinya kecewa akan sikap Rama padanya dan berujung pada sebuah kenyamanan. Namun, hati Karin tidak bisa berbohong, dia masih sangat mencintai Rama. -0-0-0- Rama berada di sebuah ruangan yang telah disiapkan oleh pihak rumah sakit tempat dirinya akan bekerja di negara tercintanya. Dia melihat sekeliling ruangan dengan d******i warna putih, khas ruangan kesukaan seorang dokter. Sebuah ketukan di pintu menyadarkan Rama dari pengamatannya mengenai ruangannya itu. “Ya, silakan masuk!” ujar Rama mempersilakan orang yang mengetuk ruangannya agar masuk. Seorang perempuan dengan khimar menutupi mahkota tubuhnya berjalan melewati pintu berjalan ke arahnya dengan wajah sedikit tertunduk, khas seorang Nayra, “maaf, Dokter Rama. Saya mau memberikan berkas-berkas yang berkaitan dengan informasi rumah sakit ini dari Dokter Santoso,” ucap Nayra menyerahkan map berwarna merah kepada Rama. “Kalau berbicara harus tatap mata lawan bicara kamu Nayra!” instruksi Rama, “di sekolah dasar juga sudah diajari, bukan?” sindir Rama. Sebenarnya dia merasa gemas sendiri melihat tingkah canggung Nayra padanya, karena selanjutnya mereka akan bekerja sama tidak mungkin Nayra bersikap seterusnya seperti itu padanya. Refleks Nayra mengangkat wajahnya, “maaf, Kak Rama-,“ Rama mengerutkan dahinya akan sebutan spontan Nayra padanya, tidak mungkin juga kan itu adalah panggilan khusus Nayra padanya. Sedangkan, Septa bercerita padanya kalau Nayra paling susah memanggil dengan sebutan akrab apalagi panggilan “kakak” seperti tadi, “kamu panggil saya kakak?” tanya Rama sedikit penasaran. “Maaf, Dok. Saya tadi sedang tidak fokus,” ungkap Nayra merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya dia memanggil Rama dengan sebutan itu padahal Rama sendiri sudah tidak mengenalinya. Rama terkekeh, “saya kira itu panggilan khusus kamu biar kita cepat akrab,” ucap Rama walaupun dia tidak puas dengan jawaban Nayra. “Maaf, Dok. Kalau begitu saya kembali ke ruangan saya, ya. Permisi, Dok,” Nayra tidak mau berlama-lama berada dalam situasi canggung seperti itu, walaupun sepertinya hanya dia yang merasa aneh karena Rama memang tidak mengenalinya sama sekali. Nayra melangkahkan kakinya melewati pintu yang masih terbuka. Rama dari posisinya berada tersenyum, “ada-ada saja itu cewek. Tapi, kenapa gue merasa gak asing ya sama panggilan dia?” tanya Rama pada dirinya sendiri sembari menatap kepergian Nayra sampai tidak terlihat oleh penglihatannya. Sesampai di ruangannya, Nayra segera mengambil segelas air putih dan meneguknya seperti orang kehausan. Dia benar-benar merasa bodoh, bisa-bisanya membuat Rama penasaran seperti itu. “Halo, Dokter Nayra,” seseorang menyelinap masuk tanpa izin Nayra terlebih dahulu. “Kebiasaan deh, Fan!” Nayra sudah mengira siapa yang masuk ke ruangannya seperti itu, siapa lagi jika bukan sahabat tercintanya sejak masa kuliah. “Lagian kan gak dikunci!” alibi Fani langsung duduk dihadapan Nayra, “habis dari mana kamu, Nay? Kok mukanya kayak habis lari maraton”, tanya Fani ketika melihat wajah merah Nayra. “Habis lomba lari sama pasien,” jawab asal Nayra kepada Fani, dia belum mampu menceritakan sosok Rama pada Fani, karena dia khawatir sahabatnya itu akan menggodanya ketika berhadapan dengan Rama, terlebih Rama sudah memiliki kekasih dan bahkan tidak mengenalnya sama sekali. “Ngadi-ngadi banget!” celetuk Fani, “Tahu, gak-,” “Enggak tahu!” jawab Nayra langsung memotong sesi curhat Fani. Dia sudah tahu arah kedatangan Fani ke ruangannya adalah untuk mencurahkan curhatan hatinya. “Ih kok begitu. Aku belum selesai cerita, Nay!” kesal Fani dengan bibir dimajukan khas anak kecil yang sedang merajuk. Nayra membuka jasnya sembari terkekeh melihat sahabatnya merajuk, “jadi, tadi ada apa dengan Dokter Septa, sahabatku tersayang?” tanya Nayra yang sudah hafal dengan topik yang akan mereka bahas. Fani dan Nayra sudah bersahabat sejak semester dua di bangku kuliah, maka dari itu Fani adalah salah satu junior yang dibimbing oleh Septa jaga. Tidak heran jika, gadis itu begitu mengagumi sosok Septa. “Dokter Septa mau ke lombok ya, Nay?” tanya Fani, sebenarnya dirinya sudah tahu, namun dia hanya ingin mendengar informasi dari sahabatnya itu. Nayra merupakan anak bimbingan kesayangan dokter Santoso, jadi sepertinya Nayra cukup tahu banyak tentang Septa, anak dari pemilik rumah sakit ini. Nayra mengangguk, “iya, aku baru tahu kemarin,” jawab Nayra dengan tangan membuka map hijau berisi berkas data pasiennya. Fani menghela napas tidak bersemangat, “yahh. Berapa hari dia di sana, Nay?” tanya Fani dengan suara sama sekali tidak bertenaga. “Hm, sebulan katanya,” jawab Nayra santai masih fokus pada map di hadapannya. Mata Fani terbuka, ”sebulan? Kok lama banget, sih!” keluh Fani seperti seorang istri yang akan ditinggal merantau oleh suaminya, “emang gak ada dokter lain selain Dokter Septa. Kok Dokter Santoso tega buang anaknya ke tempat bencana alam,” runtut Fani yang seperti mengutarakan semua unek-uneknya kepada pimpinan rumah sakit ini. “Bagus, dong. Dokter Santoso ingin anaknya dapat banyak pahala tolong korban di sana, bukan buang anaknya,” ralat Nayra dengan kekehan, terkadang pikiran Fani akan pendek jika berkaitan dengan hati. “Masalahnya, aku bakal kangen sama dia, Nay!” ucap Fani menelungkupkan kepalanya pada tumpukan kedua tangannya di atas meja. Melihat kelakuan sahabatnya itu, Nayra hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Dasar manusia dimabuk cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN