Ketenangan Lizzie di taman sekolah kembali terusik. Keith Chase lagi-lagi duduk di sisinya –tanpa dia sadari. Headset yang menutupi telinganya dan buku yang sedang dia baca membuatnya tak menyadari kehadiran pemuda itu. Seandainya saja Keith tidak menepuk bahunya untuk menawarkan sekaleng soda dia tidak akan tahu jika bangku taman yang tadi hanya diisi oleh dirinya sekarang juga diduduki oleh Keith. Lizzie berjengit, sepasang alis pirangnya mengernyit. Jujur saja, dia tidak menyukai apa yang dilakukan Keith. Senyum tak bersalah yang tersungging di bibirnya yang berwarna merah semakin membuatnya jengah Ini tempat umum dan Keith Chase mendekatinya –duduk di sampingnya– seolah mereka saling mengenal lama. Keith juga menawarkan sekaleng soda padanya. Percayalah, ini bukan sesuatu yang baik. Ketenangannya pasti akan terusik.
"Kupikir aku sudah mengatakannya padamu agar tidak mendekatiku ...." Lizzie membuang muka. Dia sudah salah bicara. Sepertinya kata mendekati terlalu berlebihan karena Keith tidak sedang mendekatinya. Lizzie menyumpah dalam hati. "Maksudku, kita sudah sepakat untuk tidak saling berbicara lagi. Urusan kita sudah selesai." Dia meralat kata-katanya.
Keith mengedikkan bahu. Meletakkan kaleng soda yang tidak disambut Lizzie. Dia menolaknya, dan Keith tidak tersinggung sama sekali dengan itu. Begitu juga dengan kata-katanya, meskipun bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang kasar, ia tidak menyalahkannya. Itu hak Lizzie, ia tidak berhak untuk melarang. Lagipula apa yang dikatakannya benar. Lizzie sudah mengatakan hal itu beberapa menit yang lalu, hanya saja ia terlalu keras kepala untuk membiarkan Lizzie begitu saja. Lizzie terlalu menarik untuk dibiarkan sendirian.
"Aku tidak merasa sudah mengiakan. Kau memutuskannya sendirian."
Lizzie mendengkus kasar. Dia tidak suka keadaan seperti ini Saat –hampir– semua mata yang berada di taman menatap ke arah mereka. Dia baru menyadarinya jika sedang berada di taman, bukan di dalam kelas yang tidak ada orang sama sekali saat istirahat seperti sekarang. Lizzie menyalahkan Keith atas semua pandangan itu. Seandainya Keith tidak menghampirinya, para siswa perempuan tidak akan menatapnya penuh permusuhan seperti sekarang.
Lizzie berdiri, meninggalkan Keith sendirian di bangku taman, tanpa berbicara lagi. Dia lebih memilih berada di perpustakaan, tempat yang menurutnya aman untuk saat ini. Jika dia kembali ke kelas, besar kemungkinan gadis-gadis tadi akan menyusul dan menyeretnya ke kamar mandi kemudian menguncinya di sana. Meskipun dia ingin melawan mereka, tetapi selalu saja tidak bisa. Jumlah mereka yang lebih dari satu orang membuatnya tidak berdaya. Dia kalah dan harus merelakan dirinya menjadi korban perundungan teman-teman sekelasnya.
Melapor pada pihak sekolah juga percuma, mereka tidak akan memercayainya. Gadis-gadis populer itu berasal dari keluarga yang lebih segala-galanya dibandingkan dengan dirinya. Laporannya tidak akan digubris, yang ada malah dirinya yang akan semakin dipojokkan oleh mereka. Jalan satu-satunya hanyalah diam dan menghindari mencari masalah dengan mereka. Namun, sepertinya kali ini dia tak dapat menghindar lagi. Hanya tinggal menunggu waktu saja dia akan kembali menjadi bulan-bulanan teman-teman sekelasnya –lagi. Itu pun jika mereka menganggapnya sebagai teman sekelas. Dia curiga gadis-gadis itu, terutama Rachel, hanya menganggapnya sebagai patung, atau bahkan mereka tidak menganggapnya ada.
Menjadi minoritas sangat tidak nyaman. Tidak akan ada yang membantumu saat kau dijahati. Siswa yang lain bukannya menolong, mereka hanya membiarkan. Beberapa di antaranya bahkan ada yang mentertawakan seolah perundungan adalah sesuatu yang lucu. Lizzie menggelengkan kepala, dia mempercepat langkah, nyaris setengah berlari. Dia merasa bukan hanya di taman sekolah saja dia diawasi, di sepanjang koridor sepertinya juga. Ataukah ini hanya perasaannya saja karena terlalu takut pada apa yang akan dilakukan teman-temannya?
Sekali lagi Lizzie menggeleng. Kakinya gemetar menginjak lantai berubin perpustakaan. Aroma buku yang biasanya mampu membuatnya tenang sekarang seolah tak berfungsi. Haruskah dia menyalahkan Keith Chase untuk semua ini? Seandainya pemuda itu tidak mengajaknya berbicara di taman tadi, tak mungkin dia merasa ketakutan seperti sekarang ini. Lizzie melangkahkan kaki lebih ke dalam. Menyapa Mrs. Daphne –pustakawati sekolah– yang hari ini kena tugas berjaga, mengisi buku pengunjung, dan melangkah masuk ke bagain dalam perpustakaan.
Tempat ini merupakan tempat favoritnya di sekolah. Dalam keadaan apa pun, perpustakaan selalu membuatnya merasa nyaman. Aroma buku baru dan lama yang menusuk indra penciumannya merupakan aroma paling digemarinya. Selain itu, di perpustakaan juga kau akan mendapatkan ketenangan. Untuk seseorang yang memuja ketenangan seperti memuja seorang kekasih, tentu tempat ini merupakan surga bagi Lizzie.
Rak-rak buku yang berjejer rapi di kanan kirinya merupakan pemandangan paling indah bagi Lizzie. Dia bisa lupa waktu bila sudah berada di antara buku. Dia bukan seorang kutu buku, hanya seseorang yang menyukai ketenangan dan menemukannya di sebuah tempat bernama perpustakaan. Lama kelamaan dia jadi menyukai buku. Membaca menjadi salah satu hobinya sampai sekarang. Ke mana pun pergi selalu ada buku di tangannya.
Lizzie mengambil tempat di sebuah meja yang kosong. Dia tak pernah suka duduk di meja yang sudah terisi, rasanya kurang nyaman, dan mengganggu konsentrasinya pada bacaan. Dia merasa bisa lebih meresapi n****+ yang dibacanya bila duduk sendirian. Semua hal itu akan terlaksana seandainya saja Rachel dan dua orang sahabat setianya tidak menyusulnya sampai ke perpustakaan. Rachel dan Jean duduk di sisi kanan dan kirinya, sementara Sonia menjaga bagian belakangnya. Mereka mengurungnya. Dia tidak dapat bergerak karena di depannya pun terhalang meja sepanjang lima meter.
"Kita perlu bicara, b***h!" Sengaja Rachel menekankan panggilan itu. Baginya Lizzie tak berbeda dari seorang jalang yang sering ditemuinya di klub malam atau pun di tengah jalan. Mereka sama tidak bergunanya.
Lizzie mengembuskan napas lelah Dia tak menyangka gadis-gadis ini nekat mengejarnya sampai ke perpustakaan. Tempat ini merupakan tempat yang tak pernah mereka –para siswa populer di sekolah– masuki. Biasanya mereka akan menghindari perpustakaan. Menurut mereka tempat ini bukanlah tempat yang keren. Mereka tidak bisa membanggakan diri bila berdiam di perpustakaan selama jam istirahat ataupun saat bel pulang sekolah berbunyi.
"Apa yang kalian inginkan?" Lizzie bertanya malas. Dia sedang tidak ingin diganggu karena dia merasa tidak menganggu mereka.
"Jangan berpura-pura bodoh, i***t!" Rachel menggeram tertahan. Dia masih menyadari di mana mereka berada, tidak boleh berisik di perpustakaan. "Ataukah kau memang benar-benar bodoh?"
Lizzie meringis menahan nyeri Rachel mencengkeram lengannya kuat. Bahkan dia mengikutsertakan kuku-kukunya yang tajam dan runcing. Seandainya saja dia tidak mengenakan kemeja berlengan panjang, Lizzie yakin kulitnya pasti sudah tergores.
"Kau sengaja memberikan sambutan untuk Keith Chase kemarin agar dia mendekatimu, 'kan?"
Tuduhan yang keji. Namun, Lizzie tidak dapat membela diri. Mereka tidak akan percaya dengan apa yang dikatakannya. Setiap pembelaan yang dia lontarkan hanya akan menambah kemarahan mereka saja. Diam adalah yang terbaik.
"Tadi di taman kami juga melihatnya." Jean menambahkan. "Keith mendekatimu dan memberikan sekaleng soda, tapi kau menolaknya. Kau pikir siapa dirimu berani menolak pemberian siswa paling keren di sekolah?" tanyanya geram.
Lizzie meringis lagi. Kali ini karena Sonia yang menjambak rambutnya. Sebenarnya tadi dia ingin memekik karena terkejut. Beruntung dia dapat dengan cepat menggigit pipi dalamnya sehingga hanya ringisan yang dia keluarkan. Untuk menjawab pertanyaan Jean pun dia urungkan Dia masih menyayangi dirinya, menjawab hanya akan membuat gadis-gadis ini menyakitinya lebih kejam lagi.
"Dengarkan aku, b***h!" Rachel memperkuat cengkeramannya. "Sebaiknya kau menjauhi Keith jika tak ingin kami melakukan sesuatu yang lebih menyakitkan lagi!" ancamnya kejam.
"Kupikir mengurungnya di kamar mandi yang dipenuhi kecoa dan tikus merupakan ide yang sangat bagus." Sonia yang sejak tadi hanya mendengarkan sekarang ikut berbicara. Dia menarik rambut Lizzie dengan kuat sehingga kepalanya mendongak.
Lizzie mengerang tertahan. Kulit kepalanya terasa panas, lehernya juga sedikit nyeri. Sonia terlalu kuat menarik rambutnya sehingga dia merasakan rasa terbakar di kulit kepalanya. Helaian rambutnya juga ada yang tercabut, dia yakin itu.
"Anak aneh ini tidak akan mengerti jika kita hanya mengancamnya. Lebih baik sekarang saja kita bawa dia dan mengurungnya di kamar mandi itu."
Kata-kata Sonia sungguh tanpa perasaan. Itu yang dirasakan Lizzie. Ketiga gadis ini memang selalu membullynya sejak mereka sekolah dasar. Entah apa yang ada di pikiran mereka, sepertinya mereka tidak akan tenang bila tidak menyiksanya sehari saja. Sudah beberapa hari –lebih tepatnya sepuluh hari– mereka tidak mengganggunya. Hari ini mereka melakukannya lagi, dan semuanya disebabkan oleh seorang siswa laki-laki baru yang bernama Keith Chase.
"Ide yang bagus!" Jean mengangguk menyetujui usul Sonia. "Bagaimana menurutmu, Rach?" tanyanya pada si pirang yang masih saja mencengkeram lengan lizzie.demgan kuat, seolah sangat takut dia akan lari.
"Aku juga setuju denganmu, Sonia." Rachel tersenyum lebar. "Ide yang sangat brilian!" pujinya.
Sonia mengangguk. "Baiklah, kalau begitu." Dia tersenyum, menarik rambut pirang Lizzie lebih kuat lagi, memintanya berdiri. "Ayo, bangun, Gadis Bodoh!" Sonia memerintah Lizzie yang masih saja duduk. "Ataukah kau ingin seluruh helaian rambut emasmu ini tercabut?" tanyanya sadis.
Sebenarnya Lizzie sangat enggan menuruti. Yang pertama, dia masih ingin membaca. Kedua, dia merasa tidak pernah menganggu gadis-gadis ini. Kalaupun Keith Chase tadi mendekatinya, pemuda itu hanya menawarkan air minum –sekaleng soda– padanya, tidak lebih Lagipula, dia sudah menolak pemberian itu, dan celakanya itu juga salah di mata mereka. Memang semua yang dilakukannya tidak benar di mata para gadis populer itu. Selalu saja dirinya yang disalahkan, dan itu dijadikan mereka alasan untuk menjahatinya.
Sonia dan Jean menarik kedua tangannya, masing-masing kanan dan kiri. Mau tak mau Lizzie harus berdiri dan menuruti keinginan mereka. Di luar perpustakaan dia mencoba meronta, tapi dua orang gadis berbeda warna rambut itu semakin kuat memeganginya. Jarak mereka dengan kamar mandi yang dimaksudkan Sonia semakin dekat, Lizzie semakin berontak, dia tak ingin berada di dalam kamar mandi yang sangat kotor. Kamar mandi itu adalah kamar mandi paling kotor di sekolah mereka. Ada sebuah insiden kecil yang menyebabkan hilangnya seorang siswa laki-laki di kamar mandi itu Sejak saat itu tidak ada lagi yang berani mendekat ke sana. Berbagai macam dugaan berembus, mulai dari anak itu menghilang karena melarikan diri –artinya dia menghilang karena keinginannya sendiri– sampai dugaan si anak telah diculik.
Dugaan kedua yang paling santer. Apalagi saat itu memang sedang marak penculikan terhadap anak-anak usia sekolah seperti mereka. Sebab insiden itu, kamar mandi tidak lagi digunakan. Seiring berjalannya waktu, tempat itu tidak pernah lagi dibersihkan, dan menjadi tempat paling kotor di sekolah. Anak-anak tidak ada yang mau mendekati, tempat itu sudah menjadi sarang tikus dan kecoa. Ke tempat itulah Lizzie akan dikurung. Sangat tidak berprikemanusiaan, tapi memang seperti itulah sifat mereka, layaknya binatang.
Beberapa langkah lagi mereka pasti akan tiba dan Lizzie akan dimasukkan ke dalam toilet super kotor di sekolah, seandainya saja sebuah suara dalam dan besar khas seorang pria menginterupsi langkah mereka. Tiga orang gadis yang lain langsung berbalik. Jean melepaskan tangannya dari lengan Lizzie, begitu pula dengan Sonia. Lizzie tahu mengapa, mereka bertiga hanya ingin siswa baru yang menurut mereka sangat keren mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Sementara Lizzie hanya berdecak kesal. Dia tak ingin Keith ikut campur dalam masalahnya. Pemuda itu akan semakin membuatnya dalam masalah
"Kalian mau ke mana?" tanya Keith. Sebenarnya ia sudah tahu apa yang terjadi. Sejak dari perpustakaan tadi ia sudah mengetahui rencana gadis-gadis itu. Ia hanya berlagak tidak tahu.
Keith mengikuti Lizzie, tentu saja tanpa sepengetahuannya. Ia mengikutinya secara diam-diam. Ketenangan Lizzie dan tidak pernahnya gadis itu menoleh ke sana kemari membuatnya mudah membuntuti. Di perpustakaan pun demikian. Ia berharap bisa duduk bersama Lizzie dalam satu meja. Keith juga merasakan gelagat tidak baik saat Sonia menarik Lizzie berdiri kemudian melangkah di depannya Keith terus mengikuti sampai ke tempat ini. Benar saja, mereka memaksa Lizzie kemudian mengiringnya di dalam kamar mandi tidak terawat.
Apa yang terjadi pada Lizzie sama seperti dengan apa yang terjadi pada sahabatnya, Marleen Johnson. Marleen menderita nyctophobia, dan mereka mengurungnya di ruangan yang tak terkena cahata sama sekali. Marleen tidak bisa.bernapas dan darah segar mulai merembes dari hidungnya. Marleen tewas setelah satu jam terkurung di sana.
Kali ini ia melihat Lizzie, dan akan diperlakukan dengan hal yang sama dengan yang menyebabkan Marleen meninggal. Mengurungnya! Bagaimana jika seandainya Lizzie takut dengan kwgelapan sama seperti Marleen Jangan berharap ia akan diam saja kali ini, ia akan membantu, tidak akan membiarkan ada Marleen yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Ia akan menghentikan semua tindakan perundungan yang dilihatnya.
"Bukankah kamar mandi itu sudah rusak dan tidak terpaku? Lalu,.untuk apa kalian ke sana?"
"Kami sebenarnya tidak ingin ke kamar mandi kotor itu, Sebenarnya kami hanya ingin melihat dan lewat di depannya Benar, 'kan, Teman-teman?" Rachel tersenyum manis, menatap kedua sahabatnya bergantian.
"Benarkah itu?" tanya Keith. Mata birunya menatap Lizzie lekat. Ia ingin mendengar Lizzie yang menjawab, bukan gadis berambut pirang bergelombang. itu.
"Iya." Lizzie mengangguk. "Semuanya baik-baik saja," jawabnya putus-putus.
Namun, dari jawabannya itu Keith menemukan keterpaksaan..