Suasana berubah jadi canggung. Keith tetap berada di tempatnya setelah beberapa menit berlalu, tak bergerak satu inchi pun. Pemuda itu juga tidak mengeluarkan suara, hanya menatap mereka dengan tatapan tak terbaca. Lizzie ingin menghampirinya, sayangnya dia tak dak bisa bergerak bebas. Di belakangnya, di balik kemejanya, tangan Jean mencengkeram pinggangnya dengan kuat Kuku-kukunya yang runcing menembus kaus dalaman yang dikenakannya, menusuk kulitnya Perih terasa, tapi dia berusaha menahannya. Dia tak ingin membuat ketiga gadis populer ini semakin marah.
"Apa kau mau menunjukkan padaku di mana ruang kesehatan, Lizzie?" tanya Keith. Ia memberi isyarat pada Lizzie dengan menggerakkan kepalanya, berharap semoga dia mengerti dan mau mengikutinya. "Kupikir aku melupakan sesuatu. Maksudku, aku lupa meminta kuitansi p********n iuran sekolahku."
Sebuah alasan yang konyol, tapi hanya itu yang ada di pikiran Keith saat ini. Yang terpenting baginya dapat menyelamatkan Lizzie dari perundungan yang akan menimpanya.
Lizzie meringis, bukan karena kuku-kuku runcing Jean menusuk kulit pinggangnya –sekali lagi, melainkan karena alasan Keith yang terkesan terlalu dibuat-buat. Entah Rachel dan kedua sahabatnya percaya atau tidak karena mereka mengetahui jika tidak ada kuitansi atau bukti surat apa pun sebagai tanda p********n. Semua dilakukan secara digital, termasuk struk bukti p********n. Setiap orang tua siswa akan mendapatkan bukti p********n di kotak masuk di ponsel mereka, atau melalui email.
"Kuitansi p********n iuran sekolah?" ulang Sonia dengan sepasang alis berkerut. Benarkah masih ada hal seperti itu di sekolah mereka? Seingatnya semua dilakukan secara digital. "Aku baru mendengarnya."
Keith mengedikkan bahu. Ia berdehem, berusaha untuk terlihat senatural mungkin Ia baru saja menyadari kesalahannya saat melihat kerutan tak hanya di dahi gadis berambut brunette yang tadi berbicara, tapi juga di dahi kedua temannya. Ditambah dengan decakan tanpa suara dari Lizzie, juga mata birunya yang berputar dengan malas. "Ayahku lupa memberikan nomor ponselnya pada guru yang bertugas di bagian pengelola keuangan, waktu itu dia sedang terburu-buru karena kami juga baru pindah rumah. Jadi, mereka memberikan kuitansi padaku, dan memintaku mengambilnya sekarang."
Alis pirang Lizzie berkerut. Benarkah apa yang dikatakan Keith? Pemuda itu tampak sangat lancar saat menjelaskan, membuatjta berpikir jika spa yang dikatakannya bukanlah sebuah kebohongan. Meskipun masih ragu, tapi dia seolah dipaksa untuk memercayainya. Lizzie menarik napas pelan, membuangnya sedikit lebih kuat. Ekor matanya melirik ke kanan dan ke kiri bergantian, mencoba mencari tahu apakah tiga gadis populer yang tengah mencoba untuk menyakitinya, juga memercayai perkataan Keith. Dadanya berdebar kencang, menunggu salah satu dari ketiganya untuk berbicara.
Cengkeraman Jean di pinggangnya mengendur. Kuku-kukunya tak lagi bersarang di kulitnya. Rasa perih berkurang Lizzie mengembuskan napas lega melalui mulutnya, dengan begitu halus agar tak kentara di depan Keith dan yang lainnya. Dia tak ingin mereka mengira dirinya mengeluh. Meskipun ingin, tak akan dia melakukannya di depan mereka.
"Bagaimana jika aku daja yang mengantarkanmu, Keith? Kau tidak keberatan, bukan?" tanya Rachel. Sengaja dia memelintir ujung rambutnya, bergaya seperti seorang gadis manja, dan bersikap menggoda. Biasanya berhasil, gaya seperti ini selalu dapat meluluhkan hati setiap pemuda yang diajaknya berbicara, dan membuat mereka melakukan spa saja untuknya.
Rachel melangkahkan kakinya menghampiri Keith, berhenti setelah tepat berada di depannya dalam jarak satu kaki Dadanya berdebar, jantungnya bermain trampolin di dalam rongga dadanya, melompat tinggi kemudian mendarat dengan gerakan fantastis. Tubuhnya bergetar halus, pipinya terasa memanas, dia tersengal. Ternyata Keith berkali lipat lebih tampan saat ditatap dalam jarak dekat seperti sekarang. Bibir merah alaminya melekuk sexy, mengundang sebuah ciuman panas dan liar. Mata birunya bersinar tajam, sangat indah. Rahang dan lehernya terpahat sempurna, bahu kokoh dan lebar, d**a bidang, ditunjang dengan tinggi tubuh yang proporsional, Keith sangat-sangat sempurna Seperti pangeran dari negeri dongeng, atau jelmaan dari Dewa Yunani.
"Kau tidak akan rugi berjalan di sampingku." Rachel maju satu langkah kecil. Sekarang mereka berhadapan, nyaris tak berjarak. Dia benar-benar berada di depan Keith. "Justru akan membuat semua pemuda di sekolah ini iri."
Keith menaikkan sebelah alisnya, bergerak ke samping menghindari Rachel. "Tawaranmu sangat menarik."
Rachel tersenyum lebar melihat kepala pirang Keith mengangguk beberapa kali. Dia yakin Keith pasti tidak menolak tawarannya, dan mereka akan pergi ke ruang dewan guru berdua. Tak hanya ke sana, dia juga akan mengajaknya ke tempat lainnya yang lebih indah dan menantang.
"Sayangnya, aku tidak ingin membuat pemuda lain iri padaku." Keith tersenyum puas melihat wajah cantik Rachel berubah dari yang tadinya terlihat sangat gembira dan puas, sekarang menjadi mendung dan menekuk jengkel. Ia bukan pemuda seperti pada umunya yang hanya memuja kecantikan dan popularitas. Ia ingin memerangi ketidakadilan yang menimpa para siswa minoritas seperti Lizzie. Bukannya ia menganggap Lizzie tidak mampu, ia hanya merasa dia tidak memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik sehingga membuatnya dimusuhi. dan ditindas oleh anak-anak yang merasa diri mereka populer. "Aku hanya ingin pergi ke ruangan sekretaris sekolah. Terima kasih atas tawaranmu, tapi aku tetap akan meminta Lizzie untuk menemaniku."
Rachel menggeram, kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Lizzie katanya? Entah apa yang dilihat Keith dari gadis menyebalkan itu. Tak ada yang bagus dari Lizzie. Dia tidak cantik, wajahnya kusam sama seperti rambut pirangnya yang berantakan, tak pernah disisir apalagi diatur dengan rapi. Kulitnya juga pucat seperti makhluk pengisap darah yang sering dibacanya di buku-buku n****+ fantasi. Satu lagi, dan ini yang paling buruk dari Lizzie. Dia bukan salah satu siswa perempuan populer di sekolah, dan sering dijadikan bahan perundungan oleh hampir seluruh siswa yang menyandang predikat itu. Lalu, apa yang diharapkan Keith dengan meminta Lizzie untuk mengantarkannya ke ruang guru?
"Namun, Lizzie ingin bermain bersama kami!" kata Sonia berdusta, nadanya penuh ancaman. Dia tidak rela ada yang menggagalkan idenya untuk memberikan pelajaran pada gadis tidak tahu diri. Jika dilepaskan, Lizzie pasti akan melonjak. "Benar, 'kan, Lizzie?" tanyanya dengan tangan yang mencengkeram tengkuk Lizzie kuat. Dari luar memang tidak terlihat karena tangannya tertutup oleh rambut Lizzie yang tergerai.
Lizzie menggeleng membantah perkataan Sonia. Dia tahu, gadis-gadis ini pasti akan semakin murka bila dia mengikuti Keith, tapi dia tidak ingin dikurung di dalam toilet tak terurus. Tidak akan ada seorang pun yang akan menyelamatkannya bila dia terkurung di sana, tak ada seorang pun siswa yang lewat. Apalagi petugas sekolah, tempat itu terbuang dan terisolasi katena gosip-gosip tak sedap yang menyebar. Dengan kondisi seperti itu, bisa-bisa dia meregang nyawa tanpa ada yang mengetahui. Mungkin setelah ini dia akan mendapatkan gangguan lagi, tapi tak apa yang penting untuk saat ini dia selamat.
Lizzie menarik napas panjang, mengembuskannya dengan pelan. Dia mengumpulkan keberaniannya yang tersisa. "Tidak!" Kepalanya pirangnya menggeleng lagi. Kali ini lebih kuat. "Aku tidak ingin bermain bersama kalian." Lizzie menatap tiga gadis yang berdiri di kiri kanannya bergantian. Tatapannya berhenti pada wajah Rachel, sedetik kemudian menatap dia menatap Keith. "Aku akan mengantarkanmu ke sana, Keith!" serunya.
Lizzie menggeliat, melepaskan cengkeraman Jean dan Sonia pada dua bagian tubuhnya. Berlari ke arah Keith setelah berhasil meloloskan diri, tak peduli dengan tatapan membunuh dari Rachel dan kedua sahabatnya
Keith tersenyum lebar. Napas lega terembus dari mulutnya, setidaknya ia bisa menyelamatkan Lizzie untuk hari ini. Di dalam hati berharap semoga untuk hari-hari berikutnya juga bisa seperti ini
"Aku akan mengantarkanmu!" Lizzie masih berseru. Dia berpikir jika jarak mereka masih sejauh tadi, tidak sadar jika mereka sudah berhadapan dalam jarak kurang dari satu kaki. Bahkan jaraknya lebih dekat daripada Rachel yang juga berada di dekat Keith.
Keith mengangguk, menggenggam tangan Lizzie, membawanya menjauh dari tempat itu tanpa bersuara lagi. Mereka melangkah cepat, menaiki tangga menuju ruang kelas mereka yang berada di lantai dua. Kemungkinan saat ini kelas sedang kosong, anak-anak lebih memilih menghabiskan waktu istirahat mereka di taman atau di tempat lainnya. Ada juga yang menghabiskan waktunya untuk membully siswa lainnya yang terlihat lemah, seperti yang tadi dialami Lizzie.
"Kenapa kita ke kelas? Bukankah katamu kau ingin aku mengantarkanmu ke ruang guru" tanya Lizzie setelah mereka tiba di kelas mereka yang kosong. Sepasang alisnya berkerut, menatap Keith heran penuh tanda tanya. Di lela hanya ada mereka berdua, Lizzie mengentakkan tangannya dari genggaman Keith. "Jangan katakan kau berbohong!" tuduhnya dengan mata menyipit.
Keith tersenyum seraya mengedikkan bahunya. Ia juga memainkan mata "Menurutmu?" Ia balas bertanya.
Lizzie menarik napas panjang, mengembuskannya dengan kuat melewati rongga hidung. Dia membuang muka, kesal dengan Keith yang hanya akan membuatnya semakin menjadi bulan-bulanan para gadis populer itu.
"Hei, aku melakukannya hanya karena ingin menolongmu, bukan ada maksud yang lain!" Keith membela diri dari tatapan menuduh yang dilayangkan Lizzie padanya.
Lizzie mendengkus. Jadi, Keith melihat dan mengetahui semuanya. Pantas saja dia bisa tiba-tiba muncul di tempat itu. Baiklah, sepertinya dia harus berterima kasih padanya karena sudah menolongnya, mungkin nanti dia akan mentraktirnya segelas coke. Jika dia masih hidup di hari berikutnya. Sebab gadis-gadis itu tidak akan membiarkannya. Apalagi setelah apa yang dilakukan Keith tadi. Dia yakin, mereka pasti merencanakan sesuatu yang lebih keji lagi untuk membuatnya menderita
"Lalu, apa yang kau inginkan sekaran? Apakah itu ucapan terima kasih dariku?" tanya Lizzie dengan nada suara yang naik satu oktaf. "Apa kau tahu, mereka akan semakin membullyku setelah kejadian tadi!"
"Jadi, kau menyalahkanku?" Keith balas bertanya tanpa menutupi keheranan dalam nada suaranya. "Padahal aku hanya tidak ingin mereka mengganggumu. Aku sudah tahu tempat apa itu, toilet sekolah yang tidak terpakai. Tidak akan ada yang tahu jika kau terkurung di sana. Apa itu yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada suara yang sama tingginya.
Lizzie memencet pangkal hidungnya. Dia sudah tahu Keith tidak berniat buruk, niatnya baik karena tak ingin melihatnya diganggu oleh anak-anak populer itu. Hanya saja, itu tidak menolong karena gadis-gadis itu pasti akan terus mengganggunya. Ketenangannya yang baru tercipta dalam beberapa hari ini, tidak akan ada lagi, dan semuanya hanya karena seorang Keith Samuel yang tak ingin melihatnya diganggu.
"Dengar, aku minta maaf padamu jika apa yang aku lakukan ternyata salah dan akan berakibat buruk untukmu. Namun,.sungguh,.aku tidak memiliki maksud lain." Keith menarik tangan Lizzie, membawanya dalam genggamannya. "Aku tidak ingin mereka mengganggumu lagi...."
"Mereka pasti akan melakukannya lagi, Keith." Lizzie mengedikkan bahu, melangkah ke arah bangkunya, dan duduk di sana. *Meskipun kau tadi tidak datang dan menolongmu, mereka tetap akan melakukannya di lain hari."
Keith kembali membuka mulut untuk bersuara. Namun, suara bel tanda masuk kelas melengking menginterupsinya. "Pulang sekolah nanti bisalah kita pulang bersama?" tanyanya meminta, sebelum melangkah untuk duduk di bangkunya yang berjarak beberapa buah meja dari tempat duduk Lizzie. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Lizzie tak menjawab, dia hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
***
Jalanan dihiasi dengan daun-daun berwarna kehijauan, ketika mereka pulang. Sudah hampir memasuki musim semi, suhu udara sudah mulai menghangat dari biasanya. Jika seperti hari-hari lainnya Lizzie akan pulang dengan diantar oleh bus sekolah, tapi hari ini dia akan berjalan kaki bersama Keith Dia ingin mendengarkan hal yang ingin dibicarakan pemuda itu. Sepertinya itu adalah hal yang penting sehingga dia mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya.
"Bisakah kita duduk di bangku itu, Lizzie?" tanya Keith yang hanya sekedar bada-basi. Ia melangkah cepat mendahului Lizzie, dan duduk di bangku yang dimaksudkannya.
Sebuah bangku taman di pinggir jalan yang biasa disediakan bagi mereka yang lelah setelah berjalan jauh, atau para manula yang memang sering beristirahat. Lizzie terpaksa menurutinya. Dia mengekor di belakang Keith. Lagipula, sepertinya pemuda itu ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting, makanya menawarinya untuk pulang bersama.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Lizzie setelah mereka duduk. Dia tidak menatap Keith, lebih memilih orang-orang yang berlalu-lalang di depan mereka. Jalanan sore ini cukup ramai, dia tersenyum pada beberapa orang yang dikenalnya. "Kuharap sesuatu yang sangat penting agar aku tidak merasa telah membuang waktuku dengan menuruti keinginanmu."
Kata-kata yang cukup kasar, tapi Lizzie tidak sedikitpun merasa harus meralatnya. Dia merasa kata-kata itulah yang ingin dikatakannya. Dia memang membuang-buang waktunya yang sangat berharga dengan duduk bersama Keith di sini. Seharusnya dia sudah berada di dalam rumahnya sekarang, bukan duduk di bangku taman di pinggir jalan bersama siswa baru di sekolahnya.
"Kujamin kau tidak akan merasa seperti itu setelah mendengar ceritaku." Keith tersenyum yakin. "Namun, sebelumnya aku akan mengatakan ini."
Lizzie mengerutkan sepasang alisnya. Dia mengalihkan tatapan dari Mrs. Ryan yang sedang bersama cucunya di seberang sana. Mereka ingin menyeberang ke taman di belakang mereka. "Apa itu? Katakan saja apa yang kau ingin kau katakan."
Keith menelan ludah susah payah. Ini sedikit sulit baginya. Bukan, bukan sedikit sulit karena memang sangat sulit karena apa yang ingin dikatakannya ini baru pertama kali dilakukannya
"Ayolah, Keith, katakan saja!" Lizzie berdecak kesal. Dia sudah tidak sabar, Keith seperti anak kecil yang sangat suka menggantungkan kata-kata.
Keith menarik napas pelan, mengembuskannya melalui mulut dengan kuat. Dia menunggu.
"Kupikir aku menyukaimu, Lizzie. Jadilah pacarku."