Bab 5

2054 Kata
"Apa yang kau katakan? Kau pasti bercanda, 'kan?" Lizzie membuang muka, mendengkus mengeluarkan napas melalui rongga hidungnya. Panas terasa seolah saja ada api di dalam dadanya. Keith Chase menyukainya? Astaga, seperti mimpi saja. Tidak, bukan mimpi karena di dalam tidur pun Lizzie tidak pernah berani memimpikannya. Disukai oleh seorang pangeran sekolah, dia pasti sedang berkhayal. Dan, kesadaran kembali menariknya ke dunia nyata. Keith tadi mengatakan sepertinya yang berarti mungkin saja dia salah. Keith tidak benar-benar menyukainya, dia hanya berpikir bahwa dia menyukainya. Lizzie tertawa keras dalam hati. Untung saja dia menjaga hatinya agar tidak terpesona pada Keith atau pemuda mana pun di sekolahnya. "Aku tidak bercanda, Lizzie, aku serius!" Keith berusaha meyakinkan. Jika tadi ia masih belum yakin dengan perasaannya, sekarang ia sudah benar-benar meyakininya. Ia ingat n menghabiskan waktunya bersama Lizzie sebagai sepasang kekasih. "Kau sangat tidak lucu, apa kau tahu itu?" Keith menggeleng. "Astaga! Aku benar-benar serius, Lizzie!" Ia mengusap wajahnya. "Apa yang harus kulakukan agar kau percaya padaku?" "Tidak ada!" Lizzie menggeleng. "Kau tidak perlu melakukan apa-apa karena aku tidak akan memercayainya." Dia menjilat bibirnya yang terasa kering. Udara yang dingin bisa membuat bibirmu pecah-pecah karena tidak diberi pelembap, dan sialnya dia lupa membawanya sehingga mau tak mau dia harus sering menjilat bibir. "Apa pun yang akan kau lakukan aku tidak akan percaya. Jadi, bisakah kita pulang sekarang? Aku kedinginan." Keith mengusap wajah kasar sekali lagi. Ia harus bagaimana agar Lizzie percaya padanya. Sungguh, ia benar-benar menyukainya. Lizzie berbeda dengan gadis kebanyakan yang suka mencari celah untuk menarik perhatiannya. Bukannya ia menyombongkan diri, tetapi kenyataannya memang demikian. Banyak gadis di sekolahnya yang mencoba mendekatinya dengan segala cara. Berbeda dari Lizzie yang bahkan menganggapnya biasa saja. Lizzie juga tidak terlihat tertarik padanya seperti gadis yang lainnya. Namun, sikapnya tidak sama seperti Marleen. Jika Marleen selalu menunjukkan persahabatan, Lizzie menjauhinya. Sikapnya yang seperti itu yang membuatnya penasaran. Rasa penasaran yang berubah menjadi ketertarikan tak biasa, yang baru pertama kali dialaminya. "Kita tidak akan pulang sebelum kau percaya padaku," kata Keith menggelengkan kepala. "Apa maksudmu?" tanya Lizzie memprotes. "Jika kau tidak mau pulang sekarang, baiklah. Aku akan pulang sendiri!" Lizzie berdiri, merapatkan jaketnya untuk menghalau dingin. Angin sedikit kencang bertiup, sepertinya akan turun hujan. Gumpalan awan berwarna kelabu tampak di atas mereka. Bukan sesuatu yang buruk, hujan di akhir musim dingin yang sudah tidak lagi bersalju. Lizzie mengibaskan rambutnya, menyandang ransel di bahu kiri, siap melangkahkan kaki. Namun, cekalan lembut tangan Keith di lengannya menginterupsi langkahnya. Lizzie melirik tangan kanannya, berharap Keith segera melepaskannya agar dia cepat pergi dari taman ini. Dia harus segera pulang ke rumah, atau akan mendapatkan hukuman yang berat dari orang tuanya. Mereka paling tidak suka jika dia pulang terlambat tanpa alasan yang jelas. "Bisa kau lepaskan tanganku?" tanya Lizzie meminta setelah beberapa detik Keith tak juga melepasnya. "Aku harus segera pulang, Keith. Orang tuaku sudah menungguku di rumah, mereka tidak suka jika aku pulang terlambat." Keith bergeming,. kepalanya menggeleng. "Sudah kubilang, aku tidak akan membiarkanmu pulang sebelum kau percaya padaku," katanya keras kepala. Ia mengeratkan cekalannya. "Aku akan mengantarkanmu pulang dan menjelaskannya pada orang tuamu." Lizzie menghela napas panjang mengembuskannya dengan lumayan kuat. Dia membuang muka, menatap orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan di depan mereka. Sudah sore, nyaris tak ada satu pun lagi kendaraan yang lewat di sini, hanya ada satu dua saja, itu pun jarang. Jalan ini bebas kendaraan saat sore hari seperti ini. "Aku janji tidak akan sampai jam makan malam." Lizzie menatap Keith sekilas mendengar perkataannya. Entah apa yang diinginkan pemuda ini darinya, dia tidak merasa memiliki sesuatu yang bisa membuatnya tertarik. Namun, Keith selalu saja mengganggunya, sejak hari pertama pemuda itu masuk di sekolahnya. Sungguh, dia menyesal sudah memberikan sambutan padanya di hari pertama Keith masuk di sekolahnya, di kelasnya. Seandainya saja tahu akan kejadian seperti ini, dia tidak akan melakukannya. Biarkan saja tidak ada yang menyambutnya. "Aku hanya ingin menceritakan sesuatu padamu." Keith masih berusaha menahan Lizzie. Tak peduli jika ia memaksa, ia hanya ingin Lizzie memercayainya. Percaya pada perasaannya. "Ini mengenai sahabatku yang juga menjadi korban perundungan sepertimu." Entah karena kata-kata Keith yang menyentuh, atau karena hal lainnya, yang pasti Lizzie kembali menjatuhkan bokongnya pada kursi yang tadi didudukinya. "Ceritakanlah!" pintanya tanpa menatap. Jujur saja, Lizzie takut dia akan terpesona pada Keith. Pemuda itu benar-benar seperti pangeran. Rambut pirang, mata biru, seperti Ken kekasih Barbie saja. Siapa yang tidak terpesona dan jatuh cinta padanya. Namun, Lizzie sadar diri, dia tahu pemuda seperti Keith tak mungkin tertarik padanya. Okeh sebab itu, dia menjauhinya. Selain untuk keamanan dan kenyamanannya di sekolah. Anak-anak populer itu pasti akan kembali membullynya jika dia juga mengidolakan Keith Chase. "Ini soal Marleen Johnson, sahabatku." Keith menundukkan kepala. Menyebut nama Marleen selalu membuat luka yang berusaha disembuhkannya kembali terbuka. Ia tidak akan menyebutnya lagi seandainya tidak melihat sesuatu yang sama dengan yang menewaskan Marleen setahun yang lalu. "Dia meninggal setelah anak-anak yang menyebut diri mereka sebagai kelompok populer membullynya. Mereka mengurung Marleen di kamar kecil tak terpakai hingga dia tewas." Lizzie tak berkomentar apa pun, mulutnya terkatup rapat. Dia bahkan tidak menatap Keith, tatapannya jatuh pada trotoar di bawah kakinya. Tewas karena perundungan, memang terdengar sangat menyedihkan, dan dia tak ingin mengalaminya. Jadi, karena itulah Keith menyelamatkannya? Sebab dia tak ingin hal yang menimpa seperti sahabatnya terulang lagi. Keith menolongnya bukan karen peduli, melainkan karena pemuda itu masih terjebak dalam bayang-bayang kematian sahabatnya yang tragis. "Aku menceritakannya padamu bukan karena hal lain, Lizzie, tetapi karena aku peduli padamu." "Terima kasih," sahut Lizzie datar. Dia sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan. "Namun, kau tidak perlu khawatir. Tidak perlu repot-repot menjagaku karena aku bisa menjaga diriku sendiri. Jika memang itu yang kau maksudkan...." "Bukan hanya karena itu aku ingin menjagamu!" bantah Keith, kepalanya menggeleng. "Aku peduli padamu bukan karena ceritamu mirip dengan Marleen, bukan karena aku merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kematiannya. Bukan juga karena aku ingin mengobati rasa bersalahku atas kematian Marleen. Aku benar-benar ingin menjagamu, Lizzie." Lizzie menggeleng pelan beberapa kali. "Untuk apa?" tanyanya dengan tatapan meminta penjelasan. "Untuk apa kau ingin menjagaku, sedangkan kita tidak saling mengenal. Dengarkan aku, Keith!" Sekali lagi Lizzie menjilat bibirnya. Angin yang berembus benar-benar membuat bibirnya terasa kering. "Lupakan saja apa yang sudah kau lihat, anggap saja itu tidak pernah terjadi. Aku tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan semua itu, dan percayalah, alu bisa mengatasinya." Sejujurnya, Lizzie tidak yakin dengan perkataannya. Dia ragu apakah bisa mengatasi perundungan kali ini yang akan menimpanya. Dia yakin, Rachel dan kedua temannya tidak akan berhenti untuk mengganggunya hanya karena Keith beberapa hari ini selalu membuntutinya. Gadis-gadis populer itu pasti semakin geram karena tidak bisa mengganggunya. "Aku tidak yakin kau terbiasa." Keith tertawa mengejek. "Tidak ada seorang pun yang terbiasa perundungan. Semakin sering mereka mengalaminya, rasanya pasti akan semakin menyakitkan." "Keith Chase, bisakah aku meminta satu hal padamu?" tanya Lizzie setelah diam berpikir beberapa saat. "Tentu saja!" jawab Keith penuh semangat. "Apa itu, katakanlah;" pintanya tersenyum. Lizzie tak segera menjawab. Dia berdiri lagi, menepuk-nepuk bagian belakang celananya, sekedar untuk menghilangkan debu yang menempel. "Jangan menggangguku lagi!" pintanya kemudian menjilat bibir. "Aku tidak pernah memiliki masalah denganmu, jadi aku mohon menjauh dariku!" Lizzie segera pergi, melangkah dengan cepat meninggalkan tempat itu. Dia menghentikan sebuah bus yang melaju, memasukinya, dan meminta sopir bus untuk segera menjalankan kendaraan besar beroda empatnya saat ekor matanya menangkap bayangan Keith berlari mengejarnya. Dia tidak ingin berurusan dengan pemuda itu lagi yang membuat hidupnya tak lagi merasa aman. Untung saja mereka berada di pusat kota sehingga anak-anak populer di sekolah tidak memperhatikan mereka. Anak-anak itu jarang berkeliaran di taman, mereka lebih suka memadati satu-satunya pusat perbelanjaan yang ada di kota ini. Mereka akan berbelanja semua aksesori dan hal lainnya untuk menunjang penampilan mereka. Lizzie mengembuskan napas lega setelah bus menjauhi taman tanpa Keith bisa mengejarnya. "Terima kasih, Mr. Smith," katanya menganggukkan kepala sebelum duduk di salah satu bangku kosong di deretan nomor dua tanpa menunggu respons pria tua berambut putih itu. *** Keith menampar udara kosong di atas kepalanya. Kenapa sangat susah untuk meyakinkan Lizzie tentang perasaannya? Baiklah, mungkin memang salahnya karena mengatakan kupikir, seolah saja ia tidak serius dengan apa yang dirasakannya. Padahal ia harus mengumpulkan seluruh keberaniannya hanya untuk mengungkapnya. Keith kembali ke tempat awal, duduk di bangku yang tadi didudukinya bersama Lizzie. Ia menundukkan kepala, menopangnya dengan kedua tangan, sedangkan siku menumpu pada kedua pahanya yang terbuka. Di akhir musim dingin terkadang cuaca bisa lebih buruk dari awal ataupun pertengahan. Bukan karena salju belum mencair atau kembali turun, melainkan karena suhu udara yang tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin. Keith sudah mengetahuinya dari prakiraan cuaca di internet jika cuaca sore hari akan lebih ekstrem. Oleh sebab itu ia sudah mempersiapkan segala macam kebutuhan untuk menghalau dingin, di dalam tas ranselnya. Tidak berat, hanya jaket berbahan lebih tebal dan kaus tangan rajut. Sekarang semua benda itu tidak berguna. Rencana ia akan mengenakannya jika Lizzie menerima ajakannya untuk makan malam di restoran pizza yang tak jauh dari taman ini. Sayangnya, Lizzie sudah menolak dan pergi sebelum ia sempat mengajaknya. Keith mengusap wajah kasar. Ia bangkit, melangkah gontai menuju rumahnya yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari taman kota. Dengan kecepatan ini ia akan tiba di rumah tepat sebelum makan malam. Lebih cepat dari yang direncanakan. *** Angin berembus semakin kencang pada malam hari. Lizzie sudah membenamkan tubuhnya di atas tempat tidur sejak sesudah makan malam. Dia mendekam di balik selimut tebal bermotif kepala kelinci. Selimut berwarna merah maroon yang didapatnya sebagai hadiah Natal dua bulan yang lalu. Mama yang memberikannya padanya, untuk menggantikan selimutnya yang sudah tipis dan berwarna usang karena dimakan usia. Ranting pohon bergoyang, mengetuk-ngetuk jendela kamarnya. Lizzie menutup telinganya menggunakan bantal, suara itu sangat mengganggu. Dia tidak bisa tidur karena suara ketukannya yang berulang. Padahal dia sangat ingin terlelap sebelum tengah malam, tepatnya sekarang agar dia bisa melupakan semua yang dikatakan Keith padanya. Kata-kata pemuda itu terus terngiang, seperti suara dari kaset rusak yang terus berulang. Bahkan dia sudah menghafalnya sejak beberapa menit yang lalu. Keith menyukainya. Bukankah itu sesuatu yang lucu? Maksudnya, tidak mungkin seorang pemuda populer seperti Keith memiliki perasaan seperti itu padanya. Oh, ayolah! Dia sadar siapa dirinya, sangat tidak pantas berdampingan dengan seorang siswa baru yang bergelar pangeran sekolah. Sungguh, dia bukan siapa-siapa. Di sekolah, tidak ada yang mengenalnya. Seandainya pun mereka kenal, pasti sebagai dirinya yang selalu menjadi korban perundungan. Elizabeth Miller yang aneh, selalu berpakaian kebesaran dengan wajah pucat, dan rambut yang kusut dan berantakan. Lizzie tersenyum lirih di balik keremangan kamarnya. Dia memejamkan mata, mencoba untuk meraih mimpi dan berkelana di sana. Hanya di dalam mimpinya saja dia bisa menjadi apa saja yang diinginkannya. Dia bahkan bisa menjadi seorang pahlawan super yang menumpas Rachel dan teman-temannya. Baru beberapa detik Lizzie memejamkan mata, ketukan di jendela sudah kembali mengganggu saja. Mungkin besok di akan meminta Papa untuk memotong ranting itu agar tidak mengganggu tidurnya lagi setiap angin bertiup sedikit lebih kencang seperti sekarang. "Lizzie!" Lizzie berjengit kaget, dia sedikit menjauhkan kepalanya dari bantal. Benarkah yang didengarnya itu? Seseorang memanggil namanya dijeda ketukan. Apakah itu artinya yang mengetuk jendela kamarnya sekarang adalah manusia, bukan ranting pohon seperti sebelumnya? Lizzie menarik selimutnya, lebih merapatkan ke tubuh mungilnya. Memang tidak dapt melindunginya dari apa pun selain dari rasa Ding n, tetapi setidaknya dia merasa lebih aman. Lizzie memejamkan mata, berharap semoga panggilan itu hanya khayalannya saja. Namun, ketika sekali lagi dia mendengarnya, Lizzie yakin dia tidak sedang bermimpi. "Psstt, Lizzie!" Suara itu memang suara manusia, suara seorang laki-laki. Lizzie mengerutkan keningnya, menurunkan selimut, meyakini dalam hati bahwa tidak ada hantu di dunia ini. Tidak ada penyihir jahat, juga tidak ada Frankenstein. Semuanya hanya ada di buku dongeng saja. Dengan tubuh bergetar dan d**a yang berdebar, Lizzie turun dari tempat tidur. Melupakan dinginnya lantai ubin karena lantai di kamarnya tidak dipasangi karpet, Lizzie melangkah pelan mendekati jendela. Dia tidak membawa apa-apa yang bisa digunakan sebagai alat untuk melindungi diri. Dia tidak bisa bermain baseball, tidak juga olahraga lainnya sehingga tidak ada satu pun alat semacam itu di dalam kamar tidurnya. Keluarganya hanya memiliki satu garpu taman yang tersimpan di dalam gudang yang ada di belakang rumah, dan jaraknya cukup jauh dari kamarnya sehingga Lizzie menghapus benda itu dari daftar satu-satunya alat untuk melindungi diri. "Lizzie, ini aku Keith. Bisa kau buka jendelanya?" Mata biru Lizzie melebar mendengarnya. Keith? Apa yang dilakukannya di sini? Dari mana pemuda itu tahu rumahnya? Lizzie berdecak, ketakutannya sirna seketika. Dengan langkah cepat segera dihampirinya jendela dan membukanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN