Sejelas dan sebanyak apapun Jingga mencoba memberi pemahaman, tidak akan didengar oleh Gala yang belum rela mengakhiri hubungan mereka. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menghindar bertemu di rumah. Canggung dan wajah-wajah murung mereka membuatnya lebih memilih untuk menghabiskan waktu di rumah Ezra. Hera, istri Ezra adalah bestinya sejak orok. Gadis tengil yang jadi temannya tawuran dan balap liar sejak remaja, tapi pilih nikah muda setelah patah hati dari Langit. Anak mereka bahkan sudah berumur lima tahun. Diberi nama Lingga biar mirip dengan namanya. Sebestie itu Jingga dengan Hera.
Dia masih di sana saat mendengar kabar meninggalnya ayah Killa. Iya, Tirta Adiwangsa yang kolaps setelah mendengar kehamilan anaknya itu pun benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya, setelah sempat dua hari kritis. Tidak ada yang menyangka masalah ini akan berujung duka. Jingga langsung pulang. Di benaknya justru memikirkan Gala yang pasti tertekan. Entah siapa yang harus disalahkan. Yang jelas mereka tahu Satria akan semakin memojokkan Gala.
“Mau ikut melayat ke rumah Om Tirta?” tanya Ibra yang sudah bersiap pergi bersama istri dan mertuanya.
“Nggak,” gelengnya duduk di samping opanya. Jingga mendusel memeluk lengan pria berwajah lembut yang rambutnya sebagian sudah memutih itu.
Kalau ditanya siapa orang paling baik hati dan sabar, sudah pasti dia akan menjawab kakeknya. Jonathan Lin yang dicintai banyak orang, karena meski punya harta tak habis tujuh turunan tetap arif dan rendah hati ke siapapun. Itu kenapa Tirta Adiwangsa malu bukan main ketika tahu kelakuan Killa. Kebaikan kakek Jingga sampai kapan pun tidak mungkin bisa dia balas.
“Dari mana?” tanya Jonathan mengelus tangan cucunya.
“Dari rumah Hera. Tadi aku yang jemput Lingga pulang sekolah, terus main di sana,” jawabnya menyandarkan kepala di bahu opanya.
“Kalau kamu butuh istirahat, minta Biru untuk sementara menggantikan tugasmu di Mirror,” bujuk Jonathan tidak sampai hati melihat wajah lelah cucunya.
“Tidak usah,” gelengnya. “Nes mana, Ma?” Jingga celingukan mencari adik bontotnya.
“Di halaman samping sama Langit.”
Mendengar adik bontotnya sedang sama Langit, Jingga jadi malas mencarinya. Kembarannya itu tetap pilih bungkam setelah ultimatum yang dia berikan semalam. Max dan Ezra nanti sore akan berangkat. Sialnya Langit tetap tidak mau buka mulut. Entah apa yang coba dia tutupi.
Jingga beranjak bangun saat melihat Gala turun dari tangga dengan mengenakan kemeja hitam. Tentu saja mau melayat calon mertuanya. Ada sakit yang tidak bisa dia ungkapkan. Harusnya dia tidak perlu peduli, tapi semua hal selalu tentang Gala yang dia khawatirkan lebih dulu. Seperti tadi saat mendengar Tirta meninggal. Jingga cemas dia akan kena amuk disalahkan oleh omnya itu.
“Nanti malam aku tidur di rumah Hera, Ma!” ucap Jingga sambil berlalu pergi. Meninggalkan mereka yang saling lempar pandang. Sedang Gala hanya menoleh.
“Comeelllll ….” seru gadis cantik adik bontot Jingga yang datang dari pintu samping bersama angsa kesayangannya. Barbar, angsa bongsor yang sudah menemani Kenes dari kecil.
Jingga berdiri di dekat tangga menunggu adiknya mendekat, lalu membiarkan Kenes memeluknya. Biasanya mereka lebih sering ribut rebutan papanya. Kalau sekarang Kenes lebih kalem, itu karena tahu kakak kesayangannya sedang tidak baik-baik saja.
“Nanti malam mau tidur di rumah Lingga, ya?” tanya bontot yang sudah beranjak remaja itu. Jarak usia mereka lumayan jauh. Kenes saja sekarang baru mau masuk SMP.
“Hm,” angguk Jingga merapikan poni adiknya.
Mereka lima bersaudara. Selain dia dan Langit yang kembar, kedua adik laki-lakinya Sagara dan Biru pun juga terlahir kembar. Terakhir Kenes ini. Si paling rusuh, manja, bikin pusing, tapi ngangenin. Hanya saja karena Gala sejak kecil sudah diadopsi, jadi orang mengira orang tua mereka punya enam anak.
“Ikuuuttttt ….” rajuk adiknya.
“Nggak! Kamu berisik!” geleng Jingga.
“Paaaaa! Bilangin Comel, suruh ajak aku ke rumahnya Kak Oneng!” teriaknya mulai mengadu ke papanya.
“Haish!” Jingga menoyor kepala adiknya yang cekikikan. Kebiasaan kalau memanggil Hera kadang dengan sebutan Oneng. Meski iya sih, sejak dulu Hera memang kadang agak-agak oneng.
Langit yang menyusul masuk menghampiri Jingga dengan muka tegang. Mungkin takut Jingga masih marah.
“Ayo, kita bicara!” ajaknya.
Mendengar itu Jingga menghela nafas panjang. Matanya melirik jarum jam di dinding yang sudah lewat dari siang. Dia merogoh ponselnya. Karena waktunya mepet terpaksa minta Max mampir ke sini dulu sebelum berangkat ke bandara.
“Hallo ….” suara berat pria menyebalkan itu mengangkat panggilan telepon dari Jingga.
“Kamu dimana?” tanyanya.
“Kenapa? Mau ikut?”
“Ck … aku serius, Max! Kamu berangkat ke bandara jam berapa? Bisa ke rumahku dulu?” Jingga mendecak kesal.
Sekarang giliran Gala yang merengut tidak suka mendengar Jingga uring-uringan ke pria bule itu. Apalagi meminta Max datang ke rumah. Ibra menepuk bahu Gala. Mengajak mereka berangkat ke rumah duka melayat Tirta Adiwangsa.
“Bisa mampir dulu, nggak? penting! Mungkin ini bisa sedikit membantu penyelidikan kalian di sana nanti.”
“OK. Aku ke situ sekarang,” ucap Max menyanggupinya sebelum menutup telepon.
Tahu Jingga memanggil Max datang untuk ikut mendengar apa yang akan dia sampaikan, Langit tampak meringis. Tapi, mau bagaimana lagi. Dia memang harus mengatakan apapun yang diketahuinya.
“Maaf, aku janji tidak akan mengulangi kebodohan yang sama,” ucapnya ke Jingga yang berdiri merangkul adik bontot mereka.
”Kayak aku percaya saja!” dengus Jingga menggandeng Kenes ke teras depan. Angsa mereka mengekor girang tahu akan ditemani main di halaman.
“Jangan sedih lagi, Comel! Aku tidak suka melihat kamu sama Bang Gala saling diam dan tidak akur. Mama juga sering terlihat menangis di kamar. Semua gara-gara si Killa sialan itu! Papa dia saja sampai dibikin mati jantungan gara-gara ulahnya!” gerutu Kenes yang duduk di lantai sambil mengawasi angsanya yang wira-wiri di taman.
Selain angsa, Nes juga punya beo yang diberi nama Juweh dan Pai si tupai terbang. Sementara Jingga punya peliharaan sepasang herder besar buas, Demon dan Devil.
“Nggak boleh ngomong kayak gitu, Nes. Dia kan juga adiknya Om Sat. Lagi pula mereka sekarang sedang berduka.” Jingga menoleh ke adiknya yang cemberut dengan mata memerah. Kenes sangat dekat dengan Gala. Pasti sangat kecewa saat tahu kedua kakaknya tidak jadi menikah.
“Om Sat juga jahat ke Bang Gala, Comel! Kemarin dia sempat pulang dari rumah sakit. Bang Gala datang tanya kondisi papanya, tapi malah dibentak-bentak. Sumpah! Aku jadi ikutan benci ke Om Sat. Suruh belain tuh adiknya yang kayak ular!” adunya menangis sesenggukan.
Dada Jingga mencelos melihat adiknya yang terlihat benar-benar sakit hati. Iya, dia pun sama. Inilah yang dia khawatirkan. Gala akan jadi pelampiasan amarah dan disalahkan oleh omnya atas kematian Tirta Adiwangsa. Langit yang berdiri di pintu ikut menyimak obrolan mereka tampak diam dengan muka kakunya.
“Bilang ke Bang Gala, jangan nikah sama tuh ulat bulu! Sejak dulu paling eneg lihat dia! Sudah di London numpang hidup di rumah kita, sekarang malah tidak tahu terima kasih ngerusuhin hubungan kalian. Najis!” geram Kenes mengusap air matanya.
“Tapi … Bang Gala memang harus nikah sama Killa, Nes.”
“Kalau begitu aku jamin akan bikin dia tidak betah tinggal di sini! Lihat saja, dikira bisa seenaknya main serobot abangku!” ancam Nes.
Jingga tertawa pelan. Itulah yang membuatnya sesak. Membayangkan setelah mereka menikah harus tinggal seatap. Bahkan, kamarnya dan Gala juga bersebelahan. Bisa saja dia minta pindah ke apartemennya, tapi itu pasti akan membuat Gala tidak enak hati dan pilih keluar dari rumah ini. Jadi Jingga sepertinya juga tidak punya pilihan selain bertahan tinggal dan bersiap sakit hati.
“Maaxxxx ….” seru Nes begitu melihat Max turun dari mobilnya.
“Panggil bang, Nes! Jangan tidak sopan gitu!” tegur Jingga, tapi adiknya malah nyengir.
Mengenakan celana jeans hitam dan kemeja putih dengan lengan ditekuk hingga siku, pria tampan berperawakan tinggi gagah itu berjalan mendekat. Brewok tipis dan sorot mata tajamnya makin membuat pembawaannya yang angkuh semakin tampak dingin tak tersentuh. Biasanya dengan Jingga meski sering bertemu, bahkan Max tak jarang nongkrong di Mirror, tapi mereka jarang sekali mengobrol. Bicara hanya seperlunya saja. Sekalinya mangap pasti membuat Jingga geram. Tapi impas, karena Jingga sendiri kalau bicara dengan Max juga tidak pernah ramah. Untung anak Brian Carlos itu tidak pernah marah, malah cengengesan.
“Barbar, ada idolamu!” Kenes memanggil angsanya yang langsung berlari mendekat.
Jingga saja sampai tertawa melihat kelakuan ganjen angsa mereka yang tidak tahu malu ndusel di kaki Max.
“Aku pikir kamu menelpon mau menerima ajakanku kemarin,” ucap Max setelah duduk di samping Kenes. Dia mengelus angsa yang sekarang tumbuh bongsor itu.
“Ajakan apa?” tanya Nes penasaran.
“Ajakan nikah,” celetuk Max tanpa melihat Jingga yang belum-belum sudah mulai dibuat meradang oleh mulutnya.
“Beneran kamu mau nikah sama Max?!” Sialnya Kenes malah menganggap serius sampai melongo syok.
“Nggak! Siapa juga yang mau jadi istrinya?!” jawab Jingga mendelik ke Max yang terkekeh.
“Awas kena omongan sendiri! Jodoh mana ada yang tahu. Kayak kamu sama ….”
“Maxxx!!” bentak Jingga greget ingin menjambaknya.
“Apa?” sahut Max tanpa rasa bersalah.
Kalau saja bukan karena ada urusan penting dan sekarang mereka butuh bantuannya, mana sudi Jingga memanggilnya datang. Kenes yang duduk di tengah tolah-toleh melihat keduanya bergantian. Telinganya sampai berdengung saking keras bentakan Jingga barusan. Sementara Langit di belakang juga menatap max lekat.
Dia sering mendengar Gala menggerutu tidak menyukai pria ini. Mungkin karena Jingga sangat mengidolakan papa mereka, jadi Gala menganggap Max sebagai saingan yang bisa saja membuat adiknya berpaling. Bukan tanpa alasan, Langit sendiri juga mengakui kalau Max dari segi sifat dan pembawaan memang mirip papanya. Apalagi dia juga bergelut di dunia hitam sama seperti Jingga. Sosok kuat yang lebih bisa memahami dan menopang tanggung jawab berat Jingga.
“Kamu menyebalkan!” dengus jingga.
“Iya, kah?!” Max mengedikkan dagu bertanya ke Kenes.
“Tidak juga. Buktinya Barbar suka ke Max kok!” jawab Kenes seketika kicep begitu ditoyor kepalanya dari belakang oleh kakaknya yang marah.
“Jangan galak gitu ke calon iparku!” tegur Max sambil menyikut pelan Kenes yang menunduk, tapi matanya melirik ke arahnya sambil bisik-bisik.
“Diam, Max! Nanti kena bogem!”
Max menoleh ke Jingga. Benar saja, dia tampak marah. Tapi, bukan Max kalau takut. Semakin Jingga meradang, justru dia makin girang.
“Jangan cuma mendelik! Dari dulu aku selalu menunggu tantanganmu. Pukul aku di sini kalau kamu memang mampu!” tantang max menunjuk ke pipinya dengan seringai mengejeknya.
“Sialan!” umpat Jingga, lalu menoleh ke Langit yang masih berdiri di belakang mereka. “Sini, kamu!”
“Dia menantangmu, kenapa jadi aku yang kamu suruh maju!” sahut Langit panik mencuri lihat ke Max.
Jingga menggeram keras, kemudian mengusap wajahnya kasar. Kepalanya seperti mau meledak. Sial sekali sudah pusing malah harus berurusan dengan Max yang makin kesini makin menyebalkan.
“Kalau kamu mau cerita sambil berdiri di situ juga tidak apa, Lang!” serunya greget ke abangnya.
“Oh, makanya kalau ngomong yang jelas! Aku kira kamu mau menyuruhku berkelahi dengan dia!” gumam Langit mendekat dan duduk di samping Jingga.
Kenes membekap mulutnya menyembunyikan gelak yang nyaris menyembur. Kenapa dia menyukai Max? Karena hanya Max yang berani sengaja membuat Jingga marah, bahkan menantangnya gelut. Sayang, sampai sekarang belum terkabul melihat mereka duel. Dulu saja saat kakaknya tarung dengan Ezra sudah seru bukan main.
“Waktu Max tidak banyak. Kamu ceritakan hal penting apa yang sekiranya bisa menjadi titik terang bagi dia dan Bang Ezra, untuk mengusut soal kejadian di nightclub malam itu!” ucap Jingga ke abang kembarnya.