Bab 4. Melepasmu

1759 Kata
Pulang dini hari atau bahkan kadang pagi itu sudah biasa bagi Jingga. Mengingat memang pekerjaannya sebagai penanggung jawab nightclub. Itu sudah dilakoni sejak jaman kuliah. Bayangkan, saat saudaranya yang lain bisa fokus belajar dan menikmati masa mudanya, Jingga justru menghabiskan waktu luangnya untuk bergulat dengan banyak kesibukan. Bukan cuma mengurus Mirror, tapi juga menjalani gemblengan fisik dan kadang menemani papanya ke acara penting bertemu para rekan bisnisnya. Jangan salah! Jingga adalah seorang petarung handal yang sanggup mengimbangi Ezra, seorang mantan bodyguard pilihan kepercayaan papa Max. Di kalangan dunia hitam dia sudah dikenal sebagai calon pengganti papanya, Ibra Abraham. Jarinya boleh lentik, tapi dia ditakuti karena tak segan mengotori tangannya dengan darah. Andai saja Killa tahu, semengerikan apa di balik sosok diamnya seorang Jingga. Yakin nyalinya tidak akan sebesar itu memantik api, yang bisa saja berbalik membakarnya sewaktu-waktu. Pulang dengan langkah gontai menjelang dini hari. Bukan raganya yang lelah, tapi berisik di kepalanya dan berpura-pura terlihat baik-baik saja itu melelahkan. Kuat itu bohong. Semua terpaksa karena keadaan yang tidak memberinya pilihan lain. Terlebih Jingga tidak ingin semakin membebani pikiran orang tua dan opanya, dengan menunjukkan sehancur apa dia sekarang. Selama dia masih bisa menelan rasa sakitnya, maka cukup dia sendiri yang tahu sedalam apa lukanya. “Ayang ….” Panggilan itu bukan hanya membuyarkan lamunan Jingga, tapi juga membuat dadanya sesak. Dia berhenti begitu mendapati Gala yang baru saja keluar dari pintu kamarnya di lantai dua. Sepertinya memang sengaja menunggu kepulangannya. “Mulai sekarang jangan memanggilku seperti itu lagi!” ucap Jingga melanjutkan langkah melewati Gala menuju kamarnya di sebelah. “Aku mau bicara.” Gala meraih tangan Jingga. Begitu ditepis, dia menarik pinggangnya merapat. Jingga menggeram kesal mendorong Gala mundur. Sayangnya pria sinting itu justru menyeretnya masuk ke kamar dan mengunci pintu. Gelagapan Jingga berbalik dengan tatapan nanarnya. Kalau sampai ada yang memergoki bisa ribet urusannya. “Jangan gila kamu, Gal!” geramnya lirih. Takut membangunkan penghuni rumah yang lain. “Aku bukan cuma gila, tapi rasanya sakit sampai mau mati!” Gala melangkah mendekat ke Jingga yang perlahan mundur menghindar. Bukan hal sulit kalau cuma ingin memukul jatuh Gala, meski dia juga bisa bela diri. Kemampuan Jingga jelas jauh di atasnya. Tapi, dia tidak melakukannya. “Berhenti! Tolong, jangan seperti ini! Kamu hanya akan membuat semua semakin sulit, Gal.” “Memangnya apa yang lebih sulit dari kehilangan kamu? Aku hampir gila setiap kali membayangkan pernikahan yang aku impikan, justru bukan dengan kamu. Lebih tidak terima lagi enam tahun perjuanganku, hancur seminggu sebelum pulang karena ulah mereka para b*****h sialan itu!” ucap Gala dengan suara beratnya. Kaki Jingga terhenti setelah mentok menabrak sofa. Mereka berdiri saling berhadapan dengan tatapan lekat. Tangan Gala terulur menyentuh wajah cantik Jingga. “Katakan, aku harus bagaimana supaya kita bisa tetap bersama? Aku tanpa kamu akan seperti apa? Mereka sangat tahu bagaimana menghancurkan aku. Dengan membuatmu menjauh. Bangsattt! Sakitnya bukan main, Jingga.” Mata Jingga memburam panas melihat air mata Gala meleleh. Dia ingin memeluknya, sangat. Jingga tahu seberat apa beban Gala yang terpaksa harus menikahi Killa. Tertekan karena disalahkan, tanpa mau mengerti posisinya yang juga hancur. Terlebih memikirkan calon anak yang hadirnya sama sekali tidak dia inginkan. “Aku juga terluka. Sama hancurnya denganmu,” ucap Jingga dengan bibir gemetar menahan tangisnya. “Kamu pikir apa aku tidak sakit membayangkan kamu tidur dengan perempuan lain, meski itu di luar kendalimu! Aku juga tidak mau kamu menikahi Killa, tapi selain mengalah aku bisa apa?! Sakit, Gal! Sakit banget,” geleng Jingga bercucuran air mata. “Maaf.” Gala merengkuh Jingga dalam pelukannya. Mendekapnya erat dengan tangis tertahan. Dia merasa b******k. Andai saja waktu itu kukuh menolak ajakan temannya, pasti semua tidak akan begini jadinya. Padahal Langit sudah mengingatkan, tapi dia yang merasa tidak enak hati karena temannya terus memaksa. Jingga terisak. Pelukan yang nantinya tidak akan dia miliki lagi. Sakit itu terasa membunuhnya setiap kali membayangkan Gala bercinta dengan Killa. Jingga juga tidak yakin sanggup melihat Gala hidup bersama perempuan lain. Awalnya mungkin sulit, tapi anak di perut Killa pasti nantinya akan mengalihkan perhatian Gala. Dan, dia harus disuguhi kebahagiaan mereka. Mengasihani diri sendiri itu ternyata sakitnya bukan main. Sialannya lagi kenapa perempuan itu harus KIlla? “Aku salah tidak jujur soal itu, karena aku terlalu takut kehilangan kamu. Sialnya dia malah hamil. Sesulit itukah hal sederhana yang kita ingin untuk bisa hidup bersama? Aku bahkan tidak pernah minta lebih. Hanya ingin bisa terus hidup denganmu, jadi bagian keluarga ini,” ucap Gala makin erat memeluk Jingga. Takut, setelah ini tidak akan bisa memeluknya lagi. “Sudah terjadi. Menyesal juga percuma. Pernikahanmu dengan Killa akan segera diurus. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk merelakan kamu yang ternyata bukan takdirku. Sakit, tapi aku pasti bisa.” Jingga mengusap sisa basah di matanya, lalu melepas pelukan Gala. Senyumnya berakhir getir manakala menatap wajah tampan pria yang sepenuh hati dia cintai ini. Dia akan setengah mati merindukannya. Diam-diam menangis tidak rela melihatnya bersama Killa. Entah butuh berapa lama untuk sembuh dari lukanya. “Boleh aku minta satu hal darimu?” “Hm,” angguk Gala. “Apapun yang terjadi, tetaplah jadi anak papa dan mama. Dengan alasan apapun, jangan pernah berpikir untuk pergi dari kami! Di sini rumahmu, selamanya akan begitu. Mama tidak akan sanggup kalau harus melepasmu. Ingat itu!” ucap Jingga. “Hm.” Lagi-lagi Gala hanya mengangguk. “Mulai sekarang belajarlah untuk menerima Killa. Jangan jahat ke anak di perutnya, Gal! Kamu boleh tidak suka ke Killa, tapi sayangi anakmu! Hadirnya memang di luar keinginanmu, namun biar bagaimanapun dia adalah darah dagingmu.” Menghela nafas panjang, Jingga membalas tatapan putus asa Gala. Dia bersumpah akan menghancurkan siapapun yang sudah membuat mereka sesakit ini. “Sudah, ya? Jangan seperti ini lagi! Aku benar-benar berharap masalah ini bisa selesai tanpa menyisakan perselisihan. Baik-baik, Gala. Sesulit apapun jalan yang nantinya kamu lalui, kami semua akan selalu ada bersamamu.” Gala masih diam tak merespon. Bagaimana mungkin dia akan baik-baik saja tanpa Jingga. Kalaupun harus menikahi Killa, maka dia pastikan itu hanya sebuah status. Gala tidak akan membiarkan perempuan itu menggunakan bayi di perutnya, untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Jika nantinya terbukti Killa ikut andil atas skandal mereka, maka dia akan membuat hidupnya seperti neraka. Tidak peduli jika harus berhadapan dengan Satria Lin atau tantenya Killa, Sifa Haidar. Jangan harap dia bisa hidup tenang setelah menyakiti dan menghancurkan mereka seperti ini. “Aku capek, mau tidur!” pamit Jingga beranjak pergi, tapi baru beberapa langkah terhenti oleh pelukan dari belakang. “Gala ….” “Jangan pergi!” ucapnya lirih. Menelan ludah kasar. Tenggorokan Jingga terasa seperti dicekik. Sakitnya sampai ulu hati. Andai saja bisa menuruti keinginan daripada kenyataan, dia juga tidak mau kehilangan Gala. Mengusap tautan tangan yang melingkar di perutnya, Jingga menoleh menatap wajah Gala yang bertumpu di bahunya. “Andai saja aku boleh seegois itu, aku juga akan kukuh tidak akan melepas genggaman tanganmu. Apa yang tidak ditakdirkan untuk kita, akan menemukan jalannya untuk pergi. Begitupun kamu. Takdir kita hanya untuk jadi saudara. Seperti dulu orang menganggap kita kembar tiga dengan Langit,” ucapnya. Jantung Jingga berdegup saat Gala mencium pipinya. Tidak apa, anggaplah ini yang terakhir karena setelahnya dia hanya abangnya. “Bahagiaku itu kamu. Cintaku juga sudah habis di kamu. Drama menyedihkan seperti apa yang akan aku lalui nanti setelah menikahi dia? Apa ini juga yang kamu bilang takdir?” gumam Gala mengeratkan pelukannya. “Gala ….” “Kalian semua tahu pernikahan itu akan seperti apa, tapi masih memaksa harus terjadi!” “Karena ada nyawa kecil yang harus kalian perjuangkan kebahagiaannya! Jangan karena hadirnya dari kesalahan dan rahim wanita yang tidak kamu cintai, lalu tidak menginginkannya. Jangan sejahat itu, Gala! Mungkin sekarang kamu berpikir anak itu membuatmu kehilangan banyak hal. Tapi percayalah, dia akan jadi yang paling berharga di hidupmu nantnya,” bujuk Jingga. “Jingga ….” “Kita akan punya kehidupan sendiri-sendiri setelah ini. Aku akan belajar move on, meski mungkin masih akan menangisimu. Tidak apa, semua butuh proses dan aku yakin bisa melewatinya. Orang bilang nikmati sakitnya, sampai hilang cintanya. Setelah itu kita bisa pergi, tanpa ada rasa yang tertinggal sedikitpun.” Bening menetes seiring suara parau Jingga yang menikmati hangat pelukan Gala. Merasakan degup jantung yang menempel di punggungnya dan basah di bahunya. Pada akhirnya hanya luka yang tersisa. Sakitnya pun entah sampai kapan akan bisa terobati. “Maukah kamu menungguku sekali lagi?” pinta Gala berbisik lirih. “Jangan pernah punya pikiran seperti itu, meski kamu menikahinya karena terpaksa.” Jingga menggeleng. Tidak ingin jadi alasan Gala untuk menjadikan pernikahan seperti mainan. “Kita selesai. Mari kita hapus apapun tentang kemarin! Sebentar lagi kamu akan punya tanggung jawab yang lebih berat. Mengambil alih perusahaan keluargamu, tanggung jawab sebagai kepala keluarga, juga mengurus usaha peninggalan papamu. Itu semua tidak mudah. Bangkit, jangan terlalu lama terpuruk! Hadapi dengan gentle. Buktikan kalau anak didikan Papa Ibra dan Opa Lin tidak pernah mengecewakan! Ya?” Tak ada sahutan. Jingga melepas tautan tangan Gala, lalu benar-benar pergi dari sana. Baru saja menutup pintu, Jingga kaget mendapati Langit yang ternyata berdiri di luar kamar Gala. Entah sejak kapan abang kembarnya itu berada di situ. Tak berniat menyapa atau menjelaskan kenapa dia di kamar Gala. Jingga yang masih kecewa malah ngeloyor pergi menuju ke kamarnya di sebelah. “Comel ….” panggil Langit yang mengekor di belakangnya. Karena tidak digubris oleh adiknya, Langit pun menahan gagang pintu sebelum Jingga sempat meraihnya. “Maaf, aku tahu salah sudah ikut menutupi semua!” ucapnya penuh sesal sekaligus iba melihat mata sembab adiknya. “Ketidakjujuranmu memberi mereka celah, hingga keluarga kita bisa sampai kisruh begini. Kesalahan yang dulu membuatmu kehilangan Hera, ternyata masih belum cukup memberimu pelajaran. Ditinggal nikah Gala, aku masih bisa move on. Sama seperti kamu yang dulu hancur saat Hera nikah sama Bang Ezra. Tapi Lang, bagaimana dengan Gala yang harus terjebak dalam pernikahan dengan perempuan seperti Killa? Akan semenderita apa hidupnya nanti?” ucapnya kecewa. “Maaf ….” “Sudahlah! Aku tahu ini juga bukan salahmu. Dengan cara apapun mereka juga pasti akan menjalankan rencananya menjebak Gala. Masalahnya bukankah aneh dari begitu banyak perempuan di night club itu, bisa begitu kebetulan justru Killa yang ditiduri oleh Gala?!” Jingga menatap abangnya yang tampak bingung harus ngomong apa. Jingga mendengus kesal. Langit paling tidak bisa berbohong. Jadi memang benar masih ada yang dia sembunyikan darinya. “Jangan bicara denganku sebelum kamu menceritakan semua tentang yang terjadi di sana! Waktumu hanya sampai besok sebelum Max dan Bang Ezra berangkat ke London, atau jangan pernah mengajakku bicara lagi!” tegas Jingga mendorong abangnya minggir, lalu masuk ke kamar dan membanting pintunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN