Langit tidak bermaksud menutupi apapun dari mereka. Kalaupun ada yang tidak dikatakan perihal kejadian selama di London, itu karena dia tidak ingin memperkeruh hubungan keluarganya dengan omnya. Seperti yang diketahui, Satria Lin adalah anak Tirta Adiwangsa dari istri pertama. Saat bayi dibuang di panti asuhan, kemudian besar jadi anak jalanan. Sampai kemudian diadopsi oleh kakek Jingga. Jonathan Lin dan Ibra juga yang kemudian mendamaikan permusuhan antara Satria dengan Tirta.
Sementara itu Killa adalah anak Tirta dari istri ketiganya, Fiona. Wanita selingkuhan yang terpaut usia dua puluh lima tahun dari Tirta. Jadi jangan heran kalau Killa terlihat seperti cucunya. Tirta dulu juga bukan orang baik, hanya saja tobat setelah jatuh bangkrut. Namun, bukan itu yang membuat mereka sejak dulu tidak menyukai Killa. Lebih karena sifatnya yang judes, bermulut pedas, dan angkuh. Sedikit mirip dengan abangnya, Satria Lin.
Masalahnya ketika kuliah di London, Satria justru menitipkan Killa ke Langit dan Gala. Jonathan Lin memang punya rumah besar yang letaknya dekat dengan kampus. Itu sengaja dibeli untuk cucunya yang kuliah di sana. Bahkan, beberapa tahun awal kakek dan nenek Jingga juga menemani cucunya tinggal di sana. Meski tidak begitu menyukai Killa, Gala dan Langit tetap mengiyakan permintaan omnya. Itu yang jadi awal malapetaka. Sekarang menyesal pun tiada guna.
“Killa itu susah diatur. Mungkin karena di rumah selalu dikekang, saat di sana jadi semaunya sendiri. Meski tidak satu kampus, tapi kami tahu pergaulannya dengan orang-orang seperti apa. Sering keluyuran malam, bahkan kadang tidak pulang. Kami sampai jengah menegur, tapi tidak digubris. Awal-awalnya aku dan Gala bahkan sering tengah malam kelabakan mencari keberadaannya yang tidak pulang. Sampai kemudian kami bosan dan membiarkan dia seperti itu. Rhea dan Thea pun tahu kok. Makanya saat mendengar Killa hamil, Tante Sifa tidak ikut-ikutan menyalahkan Gala. Karena dia sudah paham kelakuan keponakannya.” Langit akhirnya mulai menceritakan perihal gadis itu.
“Definisi buah jatuh tidak jauh dari pohonnya ya gitu!” cibir Kenes. Max tersenyum melihat muka judes gadis itu. Beda dengan Jingga yang datar angkuh, kalau Nes judesnya itu imut.
“Kenapa tidak terus terang ke Om Sat?” lontar Jingga.
“Pernah kami ancam gitu. Killa bilang kalau abangnya tahu pasti dijemput pulang, lalu kuliahnya gimana? Biarpun suka keluyuran, tapi kan memang kuliahnya tidak pernah ketinggalan,” jelas Langit.
“Bego! Salah sendiri tidak tegaan. ujung-ujungnya kalian juga yang ketiban sial!” dengus Jingga. “Dia masih sering nempel dan kejar-kejar Gala, kan?!” tebaknya langsung membuat Langit terdiam, lalu mengangguk.
Jingga tersenyum sinis. Max tampak sedikit kaget saat mendengar kalau ternyata sejak awal Jingga tahu Killa mengincar tunangannya. Ironisnya kenapa mereka semua malah diam dan memberinya celah masuk jadi musuh dalam selimut.
“Kalau kamu sudah tahu, lalu kenapa tidak protes saat om Sat menitipkan Killa tinggal di rumah kalian?” tanya Max.
“Karena dia omku! Seberapa pun aku tidak suka ke Killa, mana mungkin melarangnya tinggal di rumah kami. Om Sat kan juga anaknya opa. Dia juga berhak atas rumah itu.”
Iya, itulah yang membuat mereka semua serba salah. Didikan keluarga membuat anak-anak Ibra jadi sosok yang dewasa dan punya kepedulian tinggi. Satria memang hanya anak angkat opanya, tapi mereka benar-benar menghargai dan menghormatinya. Sebelumnya juga hubungan mereka baik-baik saja kok. Bahkan, adem ayem tinggal berdampingan di dua rumah berjajar yang halamannya jadi satu. Sekarang gara-gara skandal Killa dan Gala jadi kisruh tidak karuan.
“Ada teman Killa yang orangnya memang punya kehidupan liar. Beberapa kali sempat berurusan dengan hukum, tapi tidak tahu bagaimana caranya dia bisa lolos dan tetap berkeliaran. Mungkin keluarganya punya relasi orang penting. Kamu bisa coba selidiki dia. Karena aku tahu malam itu Killa pergi dijemput dia!” ucap Langit.
“Siapa namanya?” tanya Max.
“Nero Arkatama. Biasa juga dipanggil Mars. Lingkar pergaulan mereka sepertinya juga bukan orang biasa. Mereka sering mengadakan pesta di rumah atau dugem di nightclub. Tak jarang Killa membujuk Gala ikut dia pergi, tapi selalu ditolak mentah-mentah. Untung kita tahu seperti apa mereka. Sayangnya dia diingatkan tidak pernah mau menggubris. Aku juga tidak paham bagaimana bisa Gala yang malam itu ke pesta temannya, justru berakhir kena jebak tidur dengan Killa. Padahal teman Gala itu juga tidak saling kenal dengan Mars.” terang langit.
Dia kemudian merogoh ponselnya mencari orang yang dimaksud. Mungkin itu akan lebih memudahkan Max dan Ezra mengusutnya.
“Ini Mars! Satunya lagi itu Jayden. Teman Gala yang malam itu ulang tahun. Dia juga sepertinya patut dicurigai, karena setelah kejadian sulit dihubungi. Sekarang bahkan Sagara bilang orangnya sudah pindah tidak tinggal di apartemennya lagi!”
Max menerima ponsel dari Langit dan melihat dengan seksama dua pria yang dimaksud. Jingga beringsut mendekat ikut melihatnya.
“Kamu kirim dulu informasi yang di situ ke Bang Ezra. Nanti aku akan minta Elang mencari tahu tentang keduanya,” ucap Jingga juga merogoh ponselnya untuk mengirim pesan ke orang yang dia maksud.
“Hm,” angguk Max mengirim ke nomor miliknya dan Ezra. Bukan, dia juga meminta omnya yang di london untuk mencari tahu lebih dulu, supaya lebih mempercepat proses untuk mendapatkan titik terang.
“Apa menurutmu ada kemungkinan mereka sekongkol, Max?” lontar Jingga sambil mengetik balasan pesan dari Elang.
Siapa Elang? Anak dari sahabat papanya yang sekembali dari kuliah di Jerman, lalu bergabung di LinZone. Perusahaan keluarga Lin yang merupakan perusahaan farmasi terbesar untuk saat ini. Elang mengikuti jejak Naresh ayahnya menjadi tangan kanan mereka yang punya peran vital di bagian IT LinZone. Hackers yang selalu bisa diandalkan.
“Bisa jadi,” sahut Max. “Atau malah mungkin adik om kalian pun ikut andil bagian!”
“Aku juga sempat berpikir begitu,” sahut Langit reflek menoleh ke rumah sebelah. Sangat disayangkan karena gara-gara adiknya yang seperti Killa, sampai membuat Om Satria mereka kehilangan respek dari para keponakannya.
“Memang dasarnya dari dulu si ulat bulu gatal kalau ketemu Bang Gala! Jijik banget lihatnya. Om Satria kalau mengira kita mengada-ada, coba saja suruh tanya sendiri ke Tante Rena, Bang Dewa, atau Kak Nay! Sengaja banget hamil, biar bisa dapetin abangku. Dih, dasar kudis!” Kenes yang sedang membetulkan sepatu angsanya tampak uring-uringan.
Menoleh ke saudara kembarnya, Jingga terlihat masih jengkel karena Langit tidak tegas mengatakan semua ke om mereka. Atau paling tidak memberitahu tentang kelakuan Killa ke mereka, supaya papa dan opa mereka bisa mengambil tindakan.
“Pelajaran lagi buat kamu untuk bisa bersikap tegas ke siapapun itu, tanpa terkecuali jika memang yang dilakukan salah. Sungkan bukan alasan. Kalau kamu masih saja kayak gini, bagaimana papa bisa tenang mempercayakan LinZone ke kamu nantinya! Sekarang hanya Gala dan keluarga kita yang dibuat berantakan. Sedang nanti kalau kamu masih lembek, maka LinZone dan puluhan ribu nasib pegawai yang dipertaruhkan! Dunia terlalu jahat untuk orang yang terlalu baik hati dan kurang tegas sepertimu juga Gala! Terlebih dalam bisnis,” ucap Jingga.
“Iya, aku tahu,” angguk Langit.
“Ada hal lain yang ingin kamu sampaikan?” tanya Max melirik jarum jam di tangannya.
“Temui Nolen, pacar Killa yang masih di sana! Nanti Sagara yang akan mengantar kalian ke tempatnya. Dari dia mungkin kamu bisa menggali lebih banyak perihal Killa,” lontar Langit.
“Ok,.” Max mengangguk paham.
Langit menyunggar rambutnya dengan hembusan nafas yang terdengar berat. Hancurnya hubungan Gala dan Jingga, juga kisruh di keluarganya benar-benar membuatnya menyesal setengah mati. Terutama melihat Jingga yang lagi-lagi harus mengalah dan terluka sedalam ini. Sejak dulu adiknya selalu fokus untuk bisa menjadi tangan kanan, yang bisa meringankan tanggung jawab besar papa mereka. Langit saja kadang malu sekaligus minder, karena sebagai anak sulung laki-laki dia tidak bisa sekuat Jingga.
“Aku beberapa kali menghubungi Killa sejak balik dari London dan tahu yang terjadi dengan mereka. Entah apa yang di otaknya, seperti yang Gala bilang kalau dia memang selalu menghindar. Sampai kemudian aku nekat mendatangi rumahnya dan dia terpaksa menemuiku di luar, supaya pembicaraan kami tidak didengar Om Tirta dan Tante Fiona. Dari situ dia mengaku sudah hamil!” tuturnya tampak geram mengingat reaksi Killa yang justru terlihat santai. Bukan, lebih tepatnya senang.
Diam bukan berarti tidak sakit hati. Mana mungkin Jingga tidak terluka ketika tahu sudah dibohongi begini oleh Langit dan Gala. Dia juga kecolongan karena Killa bisa merampas apa yang telah lama ingin direbutnya.
“Aku sudah berusaha menghentikan keinginan gilanya mengacaukan rencana pernikahanmu, dengan menawarkan diri untuk mengambil tanggung jawab Gala. Tapi, dia menolaknya! Malah tiba-tiba nyelonong datang bikin gaduh di sini.”
“Ya jelas tidak mau, karena bukan kamu targetnya. Yang perlu kita cari tahu sekarang adalah siapa dalangnya? Apa motifnya? Killa beneran korban atau malah ikut terlibat? Karena mendengar dari kalian, sepertinya dia memang sudah punya bibit terobsesi ke Gala,” sahut Max tersenyum dengan tatapan menerawang.
“Menarik! Sepertinya bakal seru dramanya!” gumam Max.
“Kamu punya ide untuk menggagalkan pernikahan Gala dan Killa?” tanya Langit ke Max, tapi pria bule itu justru menoleh dengan tatapan gelinya,
“Kamu salah orang kalau tanya ke aku,” jawabnya melirik ke Jingga yang mendecak dengan muka sebal.
Langit tetaplah Langit dengan pemikirannya yang kadang terlalu sederhana. Padahal baru saja tadi menonton bagaimana Max menggoda adiknya, tapi malah sekarang minta saran untuk menggagalkan pernikahan Gala dan Killa. Apa dia tidak paham, Max yang paling senang Jingga tidak jadi menikah dengan Gala! Terkesan jahat, tapi tidak ada yang salah untuk dia yang telah rela diam-diam menyukai Jingga selama enam tahun lamanya.
Sempat nyaris patah hati karena Jingga betul-betul mau menikah. Tapi, ternyata Tuhan memberinya kejutan yang luar biasa. Dia memang telah lama jatuh cinta ke Jingga, tapi tidak pernah berusaha mendekat apalagi merusak hubungannya dengan Gala. Max hanya diam berharap ada keajaiban. Dan, sekarang takdir memberinya jalan untuk mendapatkan Jingga. Tidak salah, kan?
“Berangkat jam berapa?” tanya Jingga mengingatkan Max.
“Sekarang mau jemput Bang Ezra dulu,” jawab Max beranjak bangun setelah mengelus Barbar.
“Nes mau dibawakan apa?” Max menoleh ke Kenes.
“Monster munch sama coklat,” jawab Nes nyengir.
“Ok,” angguk Max sebelum melangkah pergi dengan diikuti Jingga di belakangnya.
Sampai di samping mobil Max melempar pandang ke gadis yang kini berdiri tak jauh darinya itu. Ada banyak kata ingin dia sampaikan. Terutama menanyakan keadaannya yang sudah pasti tidak baik-baik saja. Hanya saja Max tahu hubungan mereka tidak sedekat itu untuk menyinggung soal pribadi. Jadi, dia menelannya lagi.
“Max ….” panggil Jingga ketika pria itu membuka pintu mobilnya.
“Jangan khawatir, aku pasti akan mengusahakan sebisaku untuk mencari titik terang dari masalah tunanganmu itu!” ucap Max ke Jingga yang tersenyum mengangguk.
“Apapun hasilnya nanti, terima kasih.” Kali ini Jingga benar-benar tulus mengatakannya.
Max hanya membalas senyumnya, lalu naik ke mobil. Waktunya sudah mepet untuk segera berangkat ke bandara. Menatap mobil sport merah itu menjauh, Jingga menghela nafas panjang. Entah keributan apalagi yang akan terjadi di rumahnya setelah ini. Kematian Tirta Adiwangsa pasti akan semakin memperumit keadaan. Yang jelas omnya dan Killa pasti akan kembali menuntut pernikahan dari Gala. Sanggupkah dia terus berpura-pura kuat dan setenang ini ,saat tiba waktunya nanti melihat Gala bersanding di pelaminan menikahi Killa?