Bab 2. Killa Hamil

2041 Kata
Beda dengan Ibra dan istrinya yang punya sifat tenang, Satria Lin itu lebih meledak-ledak juga bermulut pedas. Begitu mendengar apa yang Jingga katakan, ditambah mendapati adiknya dalam kondisi tidak baik-baik saja membuat Satria meradang. Di pikirannya jelas langsung berasumsi Killa hamil hingga datang untuk minta tanggung jawab. Mukanya langsung berubah kaku menatap nyalang adiknya yang menunduk terisak ketakutan. “Tanggung jawab? Maksudmu apa, Killa?” tanya Satria penuh selidik. Berharap mendapat jawaban yang tidak seperti kekhawatirannya. Tak ada yang bersuara. Semua mata tertuju ke Killa yang justru bungkam dan menangis sesenggukan. Bagi Jingga tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, karena ini saja sudah lebih memberinya pemahaman. Menoleh, tatapannya pun bertemu dengan Gala yang tampak gusar dan menggeleng pelan. Seperti ada banyak hal yang ingin dia sampaikan. Namun, Jingga tahu mulai detik ini semua hal tentang mereka tidak akan lagi sama. “Jawab!” bentak Satria sampai suaranya menggelegar keras. Killa terjengkit kaget. Gemetar makin tidak berani menjawab. “Tangismu tidak akan menyelesaikan masalah! Kamu minta tanggung jawab siapa, Killa?!” Satria menarik adiknya geram. “Gala, Bang,” jawabnya lirih, namun seperti mata pisau yang menyayat hati Jingga. Dan sekarang ganti Gala yang jadi sasaran tatapan menuntut mereka. Satria mendekat. Ibra yang berdiri di samping kedua anak laki-lakinya itu masih diam. Mencoba mencerna duduk permasalahan, juga merasa sesak melihat Jingga yang bungkam dengan tatapan kesakitannya. “Apa yang sudah kamu lakukan ke Killa? Kenapa dia datang menangis minta tanggung jawab darimu?!” Itu bukan lagi pertanyaan, tapi tuduhan. Mata tajam Satria menghujam ke Gala yang tampak gelagapan bingung. “Maaf, Om Sat. Malam itu kami dijebak. Ada yang mencampur obat di minumanku. Killa juga mabuk. Saat bangun kami sudah di kamar hotel dan ….” “Kurang ajar!” Freya dan Killa menjerit melihat Satria menghantamkan kepalan tangannya, tapi tertahan oleh cengkraman Ibra sebelum mengenai muka anaknya. Sementara Langit juga pasang badan menarik saudaranya itu ke belakang punggungnya. Dia takut, tapi tidak akan membiarkan Gala diperlakukan seperti ini. Sedang dia juga sama-sama korban seperti halnya Killa. “Jauhkan tanganmu dari anakku! Bukan seperti ini cara menyelesaikan masalah, Sat!” Ibra menghempas tangan iparnya yang terkepal gemetar. “Dia sudah meniduri adikku, Bang! Aku menitipkan Killa, tapi malah dia sendiri yang merusaknya!” geram Satria menuding ke Gala. “Merusak?! Kamu tidak dengar yang Gala barusan katakan? Ada yang menjebak mereka dengan mencampurkan obat di minumannya. Jangan egois hanya memikirkan adikmu. Gala juga korban. Berhenti seenaknya menghakimi, sebelum tahu duduk masalahnya seperti apa!” ucap Ibra tidak terima Satria melimpahkan kesalahan ke anaknya. Saking sibuk mereka ribut sampai tidak sadar, kalau Jingga lah yang sebenarnya paling hancur. Hanya saja dia tidak berisik. Diam menelan rasa sakitnya dihadapkan pada kenyataan paling menyakitkan, tunangannya yang ternyata sudah tidur dengan perempuan lain. Yang lebih mengecewakan lagi, Gala tidak jujur dan Langit juga ikut menutupinya. Freya merangkul bahu anaknya yang kaku. Mengusap lembut tanpa bisa mengucap sepatah kata. Perasaannya sebagai ibu hancur tidak karuan. Tidak menyangka kebahagiaan kedua anaknya yang sudah diperjuangkan begitu lama, malah hancur di depan mata. “Aku tidak mau tahu! Dijebak atau dengan alasan apapun, Gala tetap harus bertanggung jawab!” tegas Satria. “Terus Jingga gimana? Yang Om pikirkan hanya Killa. Enteng banget Om Satria ngomong gitu tanpa memikirkan perasaan adikku!” Bahkan, Langit yang selama ini selalu sopan dan anteng pun tidak kuasa menahan amarahnya. Seumur-umur baru kali ini dia bicara dengan suara keras ke omnya. Barulah mereka menoleh ke Jingga. Satria menghela nafas kasar melihat tatapan datar keponakannya. Kalau saja gadis lain, mungkin sudah mengamuk memaki Killa yang berani datang membuka perselingkuhannya dengan Gala. Freya tidak bisa menutupi rasa kecewanya. Sebagai orang yang sudah dewasa, bahkan sudah punya dua cucu. Adiknya masih mengedepankan emosi dibanding memahami duduk permasalahannya lebih dulu. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan hidup adik dan dua keponakannya. “Kita bicara di dalam! Om Sat jangan khawatir, aku tidak akan menghalangi Gala untuk mempertanggungjawabkan semua. Aku tidak seegois itu!” ucap Jingga kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah bersama mamanya. Ibra menepuk bahu Gala yang masih mematung dengan perasaan hancur. Tidak! Dia tidak terima kalau harus kehilangan Jingga. Enam tahun dia berjuang mati-matian supaya bisa lekas pulang mewujudkan impian mereka. Sekarang saat tinggal selangkah lagi, justru semua terenggut dari genggaman. “Aku harus bagaimana, Pa? Aku tidak bisa kalau tanpa Jingga,” ucap Gala nyaris putus asa. “Kita masuk dan bicarakan semua baik-baik, Gal. Kalau memang kamu dijebak, Papa pasti akan memburu orangnya sampai ketemu! Sekarang kita selesaikan dulu permasalahanmu dengan Killa.” Ibra menggandeng anaknya melewati depan Satria dan Killa begitu saja. Sementara Langit menatap sengit Killa yang seperti sengaja berlindung di belakang abangnya. “Puas kamu sekarang?!” geramnya. “Apa maksudmu ngomong seperti itu ke killa?!” bentak Satria kesal mendengar ucapan Langit yang terang-terangan menyalahkan adiknya. “Apa maksudku, Om tanya sendiri saja ke Killa! Kesalahanku dan Gala hanya satu, tidak tegas menolak saat Om minta tolong titip dia di London!” Dengan muka sinis Langit berlalu pergi menyusul papanya dan Gala. Satria mengusap mukanya kasar. Merasa bersalah ke Jingga dan kakaknya, tapi juga marah ke Gala yang sudah meniduri adiknya. Berbalik, dia menuding dengan tangan gemetar. “Otakmu taruh mana?! Aku selalu mengingatkanmu untuk jaga diri! Kalau benar Gala dalam pengaruh obat, lalu bagaimana denganmu!? Apa kamu sadar dengan yang kamu lakukan, Killa?” “Maaf, Bang. Aku juga mabuk,” jawab Killa lirih. Suara tamparan terdengar keras. Killa terpekik menahan tangis dan pipinya yang berdenyut panas. Satria tersengal menahan emosi. Kecewa karena adiknya sudah menyia-nyiakan kepercayaannya. Harusnya dia mendengar larangan papa mereka yang sempat tidak setuju Killa meneruskan kuliah di luar negeri. “Kamu pamit untuk belajar, bukan untuk bersenang-senang hidup bebas seperti perempuan liar. Kalau sudah begini terus gimana?! Mau ditaruh mana mukaku?!” bentaknya makin membuat Killa gemetar. “Sialan!” Satria mengumpat mengambil ponselnya. Sambil melangkah masuk dia menghubungi papanya dan mama Killa. Meminta mereka datang untuk menyelesaikan masalah ini dengan keluarga Lin. Semua jadi makin rumit karena mereka masih kerabat. Apapun jalan penyelesaian yang akan diambil, tetap saja akan sama-sama tersakiti. Bayangkan akan seperti apa hubungan Gala dan Jingga nantinya! Pasangan lain pisah akan pergi dan tidak perlu bertemu lagi, tapi mereka beda. Selamanya akan tetap berdampingan sebagai saudara dan harus melihat salah satu menikah dengan orang lain. Di ruang tamu mereka duduk dengan suasana tegang. Jonathan Lin, kakek Jingga yang baru pulang tampak terpukul saat mendengar apa yang terjadi pada cucunya. Tak lama Tirta Adiwangsa ayah Killa datang bersama istrinya, Fiona. Tidak seperti Satria yang meledak-ledak. Tirta yang sudah berusia senja justru tampak menunduk setelah mereka mendengar cerita dari Gala tentang kejadian malam itu. “Ceritanya seperti itu! Terserah Om Satria mau berpikir seperti apa! Saya bertemu Killa di pesta. Bahkan, kami tidak bersama di situ. Tanya ke dia kalau tidak percaya. Ingatan saya hanya sampai saat dalam keadaan setengah sadar dan kepanasan dipapah ke kamar. Saat terbangun, sudah ada Killa di situ. Kalau bukan karena dijebak saya juga tidak mungkin sebrengsek itu menidurinya, Om.” “Dijebak atau tidak, kamu sudah meniduri adikku. Salahnya lagi setelah itu kamu justru diam dan tidak berniat bertanggung jawab. Malah sudah berencana mempercepat pernikahanmu dengan Jingga. Kalau bukan b******k, lalu apa itu namanya?!” lontar Satria masih marah, meski sudah tahu cerita sebenarnya. “Bicara yang sopan, Sat! Gala juga keponakanmu!” tegur Tirta yang merasa sungkan ke Jonathan Lin. “Killa yang bilang tidak butuh tanggung jawab dari saya. Tidak ingin merusak hubungan saya dengan Jingga. Om Sat tanya ke Killa, kenapa menghindar tidak mau mengangkat telpon dan membalas chat saya yang mau mengajaknya bicara baik-baik.” Gala melempar matanya ke Killa yang masih saja bungkam. Greget, karena sekarang dia seperti sengaja membiarkan dirinya disalahkan seolah pengecut yang lari dari tanggung jawab. “Rumahku di sebelah. Setiap hari kita bertemu. Kalau kamu memang punya niat baik, apa susahnya datang menemuiku?” cecar Satria masih saja menyudutkan Gala. “Lalu kenapa Killa juga menghindar saat Gala berusaha mengajaknya bicara? Kenapa setelah bilang tidak butuh tanggung jawab, lalu sekarang datang bikin gaduh? Kalau aku seegois kamu, aku juga akan seperti itu menyudutkan adikmu!” sahut Freya mulai meradang anaknya terus disalahkan. “Gala memang kurang bijak menyelesaikan masalah ini. Tapi, bukan berarti kamu bisa melimpahkan semua kesalahan ke dia. Mereka sama-sama korban, Sat! Coba kamu pikir sebingung apa di posisinya! Dijebak sampai melakukan kesalahan fatal dengan Killa, sedang pernikahan dengan Jingga sudah di depan mata. Kamu bahkan sangat tahu bagaimana perjuangan mereka untuk bisa bertahan hingga sekarang!” Ibra meraih tangan istrinya. Kalau terus ribut saling menyalahkan begini masalahnya tidak akan selesai. Yang ada malah makin panas dan ruwet. Jingga yang duduk di samping kakeknya masih diam mengusap cincin di jari manisnya. Bukan berarti dia tidak sakit hati, tapi apa yang dia rasakan orang lain tidak harus tahu. Marahnya, kecewanya, dan rasa sakitnya dibohongi. Cukup dia yang tahu. Sekarang dia sedang berdebat dengan dirinya sendiri. Apakah harus melepas cincinnya? “Sudah terlanjur terjadi, kami juga tidak akan lepas tangan. Siapapun dalangnya yang sudah menjebak mereka, aku pasti usut tuntas. Soal Killa kalau memang menuntut tanggung jawab, maka kami pastikan Gala juga tidak akan mengelak!” ucap Ibra dengan berat hati terpaksa menoreh luka di hati anak perempuannya. Jingga tidak bicara, tapi dia tahu sesakit apa anaknya sekarang. “Kenapa harus Jingga lagi yang dikorbankan, Pa? Bukan Gala yang b******k. Dia juga tidak bersalah. Ini tidak adil! Tidak bisakah aku saja yang mengambil tanggung jawab itu? Kalian jangan sejahat itu ke adikku!” seru Langit tidak terima hati adiknya dipatahkan seperti ini. “Langit ….” Freya tidak kuasa menahan air matanya melihat anak laki-lakinya itu menatap penuh rasa bersalah ke Jingga. Adiknya sudah mengalah mengambil tanggung jawab besar membantu beban papa mereka. “Tidak usah tanggung jawab. Killa juga salah tidak bisa jaga diri. Jangan sampai karena hal ini malah menghancurkan rencana pernikahan Gala dan Jingga,” ucap Tirta mengejutkan mereka semua. “Pa!” seru Satria. “Killa adikmu, tapi Jingga dan Gala juga keponakanmu, Sat. Tega kamu menghancurkan kebahagiaan mereka? Dulu kamu juga setengah mati saat terpaksa pisah dengan Rena dan melihatnya dekat dengan pria lain. Seperti itulah yang mereka rasakan nanti. Killa sudah dewasa. Harus bisa menerima akibat dari kesalahannya yang tidak bisa jaga diri. Kita sudah berhutang terlalu banyak ke mereka. Jangan balas kebaikan dengan hal menyakitkan seperti ini!” Tirta tampak mati-matian menahan perasaan kecewanya. “Saya tidak butuh dikasihani. Bukan cuma Killa yang harus bisa menerima akibat dari kesalahannya. Gala pun juga. Killa yang dirugikan. Kalau dia menuntut tanggung jawab, maka sudah seharusnya Gala menikahinya. Saya tidak semenyedihkan itu sampai harus berebut suami dengan orang lain!” ucap Jingga yang sekalinya buka mulut malah menjadi tamparan bagi mereka, terutama Killa dan mamanya. Killa yang tadinya menunduk langsung mendongak. Tersinggung dengan perkataan Jingga yang terang-terangan menyindir mamanya. Dia memang anak dari istri ketiga Tirta Adiwangsa. Mamanya hanyalah selingkuhan yang dinikahi setelah hamil. “Iya, aku datang ke sini memang mau menuntut tanggung jawab Gala. Dia harus menikahiku, karena aku sudah hamil anaknya!” ujar Killa menyeringai ke Jingga yang sempat tercengang mendengar pengakuannya. “Kamu hamil?!” seru Satria mendelik marah ke adiknya. “Hm,” angguk Killa yang kemudian merogoh testpack dengan garis dua dari tasnya dan diletakkan di atas meja. Mereka tidak bisa berkata-kata lagi. Kalau sudah begini, selain menikahkan keduanya memang tidak ada jalan lain. Jantung Gala mencelos. Apa yang dia takutkan akhirnya terjadi juga. Hancur, tidak ada lagi yang tersisa. Bahkan, sekedar untuk menatap Jingga saja dia sudah berani lagi. Tidak kuat melihat dia yang tersakiti. “Aku mundur! Mulai sekarang aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Gala. Silahkan kalian selesaikan masalah ini. Jangan libatkan aku di dalamnya untuk alasan apapun, karena aku dan Gala sudah selesai!” Jingga melepas cincin di jari manisnya, lalu meletakkan di depan Gala. “Nggak! Jangan begini, Jingga!” Gala berusaha meraih tangan Jingga yang berdiri dari duduknya, tapi dihentak begitu saja. Jingga tidak sekuat itu. Dia hanya tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan mereka. Tanpa menoleh dia melangkah menuju ke arah tangga. Air matanya meleleh. Sesak tercekik sakit menahan tangis. Entah apa yang salah, hingga bahagianya bersama Gala justru raib saat hampir tergapai. “Pa! Papa, kenapa?!” Suara Killa menjerit terdengar keras setelah tiba-tiba tubuh papanya ambruk dan tidak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN