Papa Killa kolaps. Itu juga yang sedari tadi jadi kekhawatiran mereka, karena memang Tirta Adiwangsa punya penyakit jantung. Siapapun pasti sulit menerima permasalahan pelik yang membuat hubungan keluarga mereka jadi kisruh begini. Tirta lebih arif menyikapi aib yang mencoreng nama baik keluarga mereka. Hutang budi ke keluarga Lin membuatnya merasa malu sekaligus bersalah, karena kehamilan Killa telah menghancurkan kebahagiaan kedua cucu Jonathan Lin.
Suasana semakin menyedihkan saat mereka mendengar kabar tentang kondisi papa Killa yang kritis setelah dilarikan ke rumah sakit. Terlebih bagi Gala. Jelas dia merasa tertekan, karena akar permasalahannya adalah dia dan Killa. Belum lagi hubungannya dengan Jingga yang benar-benar kandas. Rumah mereka yang biasanya hangat dengan derai tawa, kini menyisakan senyap. Semua masih syok dan butuh waktu untuk bisa menerima fakta yang seperti mimpi buruk itu.
Terlebih bagi Ibra dan Freya. Gala biarpun hanya anak angkat, tapi bagi mereka adalah amanah dari mendiang sahabatnya yang harus dijaga. Itu kenapa mereka bahagia bukan main saat Jingga dan Gala saling jatuh cinta. Sayang, takdir berkata lain. Jingga dan Gala sekarang sama-sama tersakiti, tapi percayalah Ibra dan Freya jauh lebih sakit karena kedua anaknya terluka. Freya bahkan tidak bisa berhenti menangis di kamar. Takut setelah ini Gala yang merasa bersalah akan memilih pergi dari mereka. Tidak, dia tidak akan sanggup kehilangan anaknya itu.
“Setelah kondisi papa Killa membaik, kita akan segera urus pernikahanmu, Gal. Papa tahu ini sulit untuk kalian, tapi selain legowo kita tidak punya pilihan lain lagi. Kalian sudah sama-sama dewasa. Satu permintaan dari kami, jangan saling menjauh setelah ini. Biarpun tidak berjodoh, sampai kapanpun kalian adalah saudara. Ya?” Ibra menatap lembut kedua anaknya yang sengaja dipanggil dan diajak bicara di ruang kerjanya.
Freya yang duduk di tengah kedua anaknya menggenggam tangan mereka erat. Matanya sembab memerah. Sekarang pun masih basah oleh bening yang tidak bisa berhenti mengalir. Nelangsa membayangkan sesakit apa hati kedua anaknya dipaksa berpisah dengan cara paling menyakitkan begini.
“Mama tahu ini tidak mudah. Kalian pasti juga butuh waktu untuk bisa berdamai dengan keadaan. Tapi, tidak boleh ada yang menjauh! Kalian sakit, Mama dan papa lebih sakit lagi. Lebih tidak terima lagi kebahagian anak kami diorat-arit begini. Jadi tolong, yang kuat ya Nak! Percaya takdir Tuhan tidak pernah salah.” Freya terisak mendekap genggaman tangan mereka.
“Maaf, Ma. Aku sudah mengecewakan kalian. Aku sudah menyakiti Jingga. Maaf ….” Gala menunduk dengan air mata merembes. Terpukul sesal juga rasa bersalahnya.
“Nggak, kamu tidak salah. Mereka yang jahat. Apapun masalahnya, kenapa sampai berbuat sejauh ini? Punya dendam apa mereka ke kita?” Freya menggeleng. Tidak habis pikir bagaimana bisa berbuat sekotor itu ke anaknya.
Jingga masih dengan diamnya. Sejak kejadian ribut tadi siang, sampai sekarang baru keluar dari kamar. Itu pun karena dipanggil oleh papanya. Matanya memang memerah, tapi tidak menunjukkan tangisnya di depan mereka. Itu yang justru membuat orang tua dan saudara-saudara sesak. Dari enam bersaudara, Jingga lah yang paling kuat mewarisi sifat dan pemikiran papanya. Dingin tak tersentuh. Maka tak heran meski anak perempuan, Ibra justru memilih dia untuk jadi penerusnya.
“Mama jangan khawatir, aku tidak selemah itu. Bohong kalau tidak sakit hati, tapi aku tidak punya waktu untuk meratapinya. Siapapun yang bertanggung jawab atas skandal Gala, aku dan papa pasti akan memburunya sampai ketemu.” Akhirnya Jingga buka suara.
“Lalu, bagaimana dengan aku? Aku tidak bisa melepasmu, Jingga.” Gala menoleh dengan tatapan terluka.
“Ini bukan lagi perkara bisa atau tidak, tapi harus! Pikirkan juga anakmu yang di perut Killa. Jangan karena keegoisan kita, dia yang tidak bersalah harus menanggung akibatnya.” Jingga menoleh membalas tatapan Gala.
Sakit, hatinya juga berdarah-darah. Mungkin dia akan melewati ribuan malam menangisi pria ini, tapi lebih baik begitu daripada harus membiarkan bayi tidak berdosa lahir tanpa status. Jingga bisa jahat ke Killa, namun dia masih punya hati untuk tidak mengorbankan anak yang hadir dari kesalahan mereka itu.
“Aku tidak membencimu, Gala. Karena aku tahu, kamu sudah memegang janjimu untuk setia selama ini. Sesakit apa kamu, seperti itulah juga aku. Tapi, apa yang tidak bisa kita perbaiki, percuma terus kita genggam. Itu hanya akan membuat semua semakin sulit. Aku tidak mau kamu disalahkan Om Satria. Tidak mau hubungan keluarga kita renggang. Jadi, ayo kita mengalah karena lawan kita kali ini adalah takdir!” Suara Jingga terdengar serak, tapi dia masih berusaha tersenyum.
Freya berbalik begitu merasakan tangan anaknya yang gemetar, lalu memeluknya. Mendekap Jingga yang tersengal menahan tangis.
“Ingat! Kamu anaknya Papa Ibra. Harus gentle dan kuat! Ya?” Di pelukan mamanya tangan Jingga terukur mengusap air mata Gala yang duduk mematung.
Pintu diketuk. Freya melepas pelukannya dan mengusap air mata yang menetes di pipi Jingga. Seberapa pun Jingga berusaha untuk kuat, dia tetaplah wanita yang punya sisi lemah.
“Gala, temui opamu dulu! Papa dan Jingga ada hal yang mau dibicarakan dengan Om Brian,” ucap Ibra begitu melihat tamu yang ditunggunya datang.
“Hm,” angguk Gala menggandeng mamanya bangun.
Matanya menyipit melihat salah satu dari ketiga tamu papanya. Pria berwajah bule yang sejak dulu keberadaannya membuat Gala tidak nyaman. Lebih tepatnya cemburu. Max, anak rekan bisnis papanya itu selalu terang-terangan menatap Jingga lain. Pria ini juga yang selalu membuatnya ketar-ketir selama berjauhan dengan Jingga. Hanya saja karena hubungan bisnis dan papa mereka berteman dekat, Gala juga tidak mungkin mempermasalahkan keberadaannya yang sering bertemu Jingga.
Setelah Gala dan mamanya keluar, Jingga pindah duduk di samping papanya. Selain Brian Carlos Alexander dan anaknya, Max, ada Ezra yang datang atas permintaan Ibra. Dia ingin meminta bantuan mengusut soal kejadian di London waktu itu, karena Brian punya saudara dan relasi di sana.
“Bapaknya Satria katanya kolaps. Bagaimana keadaannya?” tanya Brian yang tadi sempat mendengar cerita dari Max.
“Masih kritis,” jawab Ibra menoleh mengelus kepala anaknya. Jingganya yang sedang hancur, tapi mati-matian mengangkat wajah karena tidak ingin kalah dengan keadaan.
“Seperti yang aku ceritakan tadi. Bantu aku untuk mengusut masalah ini! Siapapun b*****t yang sudah berani mengusik anakku, tolong cari sampai dapat!” Ibra memulai pembicaraan mereka.
“Sudah sebulan lebih, Ib. Bukan tidak bisa, tapi pasti akan sulit. Mereka tidak akan sebodoh itu meninggalkan jejak untuk kita lacak,” lontar Brian Carlos. Pria bule yang Ibra kenal lewat Ezra. Seorang pengusaha yang juga punya bisnis besar di pasar gelap sebagai pemasok senjata. Ezra sendiri dulu adalah mantan bodyguard kepercayaan Brian.
“Kalau mudah, aku tidak akan minta bantuanmu. Apapun caranya, tolong cari sampai ketemu dalang yang sudah menjebak anakku!” Ibra tampak serius. Jarang dia meminta tolong, tapi kali ini bagaimanapun caranya dia harus mengusut tuntas semua.
“Adiknya Om Sat apa punya informasi, Om? Mungkin akan bisa sedikit membantu. Gala tidak sadar, tapi kalau yang perempuan cuma mabuk harusnya sedikit banyak masih punya ingatan,” tanya Max.
“Kalaupun ingat, dia juga tidak akan buka mulut!” sahut Jingga yang muak setiap kali ingat seringai di wajah Killa.
Bibir Max berkedut. Kadang greget ke Jingga yang tidak ada ramah-ramahnya.
“Itu fakta atau emosinya orang yang lagi sakit hati?” sindirnya.
“Sialan!” umpat Jingga, tapi Max malah tertawa terkekeh.
“Max …” tegur Brian yang merasa sungkan ke Ibra karena anaknya tidak sopan.
Jingga melengos. Seringkali dia dibuat jengkel oleh mulut pedas pria menyebalkan satu ini. Tapi, lucunya Jingga malah berteman akrab dengan adik perempuan Max. Tentu saja karena Ruby tidak menyebalkan seperti kakaknya.
“Bisa, kan?” tanya Ibra memastikan kesanggupan temannya itu untuk pengusutan di London.
“Tapi, tidak gratis,” gurau Brian Carlos.
“Gampang itu! Yang penting ada hasilnya,” angguk Ibra.
“Ok!” Brian akhirnya menyanggupi permintaan Ibra.
Dia merogoh ponselnya. Sebenarnya tanpa Ibra minta pun, tadi Brian Carlos sudah bicara dengan adiknya untuk mencari tahu keberadaan nightclub yang dikunjungi Gala dan hotel itu. Sekarang dia hanya butuh mengkonfirmasi tentang rencananya mengirim orang ke sana.
“Max …”
“Iya.” Max menoleh ke papanya.
“Besok kamu sama Ezra berangkat ke London. Aku sudah bilang ke tante dan om kamu. Kalian nanti tinggal mengikuti orang suruhannya yang akan membantu mencari informasinya!” titah Brian.
“Bang Ezra bisa ikut? Kalau tidak nanti aku ajak Liam,” tanya Max, karena Ezra juga punya kesibukannya sendiri di studio tato dan showroomnya.
“Bisa. Tidak masalah,” angguk Ezra.
“Terima kasih.” Ibra tampak sedikit lega.
Paling tidak ada harapan menemukan pelakunya. Meski seperti yang Brian katakan tadi, bakal sulit karena sudah sebulan lebih. Kemungkinan bukti sudah dihilangkan dan pelaku pun pasti telah kabur. Akan sulit melacaknya.
“Kali ini yang kamu hadapi iparmu sendiri, Ib. Sabar!” Brian yang kenal betul dengan Satria sepertinya paham bagaimana sulitnya di posisi Ibra dan mertuanya.
“Begitulah, serba salah! Apalagi Satria orangnya keras dan sulit mengontrol emosi. Untung anakku bisa lebih dewasa.” Ibra tersenyum meraih tangan Jingga.
“Dia bukan dewasa, Om. Tapi, terlalu kulkas!” celetuk Max seperti sengaja membuat jingga marah.
“Kamu kalau diam, tidak ada yang akan menganggapmu bisu!” balas Jingga nyelekit dengan tatapan sinisnya.
Max mengedikkan bahu. Sama sekali tidak merasa tersinggung. Lebih menyenangkan mendengar ucapan kasar Jingga, daripada melihatnya bungkam dengan muka masam. Ezra gedek. Selalu saja begitu kalau mereka berdua ketemu.
“Kalau begitu saya pulang dulu buat mempersiapkan ke London besok, Om,” pamit Ezra yang diikuti Max.
“Iya,” angguk Ibra.
Jingga juga keluar. Menyisakan Ibra dan Brian Carlos yang masih melanjutkan pembicaraan mereka. Sudah waktunya Jingga harus berangkat ke Mirror yang sebentar lagi buka. Nightclub elite yang sudah beberapa tahun ini dia ambil alih dari papanya. Iya, seperti inilah dunia Jingga yang akrab dengan dunia malam. Sering kali berurusan dengan pengedar yang mencoba mengotori tempatnya dengan bisnis haram itu. Atau perkelahian pengunjung yang mabuk dan bikin gaduh. Itu sudah hal biasa baginya.
“Mau ikut ke London?” tanya Max saat mereka sampai di teras.
“Sejak kapan aku betah di tempat yang ada kamunya?” sahut Jingga tanpa menoleh. Malas melihat muka angkuh yang mulutnya selalu bikin dia emosi.
“Tapi, aku betah.” Max mengulum senyum mendapat tatapan galak gadis di depannya yang sudah mengenakan jaket hitam dan topinya.
“Pulang sana!” usirnya.
Dibentak Jingga malah membuat Max keranjingan. Dia menyenggol Ezra yang sedang sibuk membalas pesan dari istrinya.
“Bang, mau tambah lima anak lagi, nggak?”
Entah apanya yang lucu dari pertanyaan Max itu. Tapi, Ezra kemudian tertawa tergelak sampai Jingga menatap mereka aneh. Kalau saja dia tahu, taruhan gila apa yang Max buat jika bisa mendapatkan dirinya!