Perdebatkan Wenda dan Dana akhirnya terhenti, saat Kiki tiba - tiba datang ke posko wanita.
"Cewek - cewek ... ayo buruan siap - siap ... kita kedatangan tamu yang bakal bantuin kita jalanin posdaya."
Seketika Sora, Wenda dan Dana langsung melompat dari kursi jati. Mereka dan para anggota kelompok KKN lain, langsung duduk lesehan di atas tikar.
Ternyata Kiki tidak datang sendirian. Ia datang bersama semua anggota laki - laki, dan seorang pemuda asing. Entah siapa.
Yang jelas, pasti orang itu lah yang dimaksud Kiki sebagai seseorang yang akan membantu mereka semua menjalankan posdaya.
Seperti biasa, tiap kali ada diskusi, semua berkumpul di posko wanita, duduk melingkar, dengan masing - masing bersandar pada dinding.
Memang para perempuan di sana tidak bisa melihat laki - laki bening sedikit. Begitu melihat seseorang yang baru datang itu, semua langsung berbisik - bisik, saling melirik, sambil senyam - senyum. Kecuali Sora dan kedua temannya tentu saja. Anti jelalatan - jelalatan club.
"Assalamualaikum. Teman - teman ... mohon maaf karena kali ini diskusi kita tanpa rencana. Karena ini juga mendadak memang. Tadi aku ketemu sama Mas Hasi ini, di Masjid depan. Lalu kami terlibat obrolan. Dan aku tahu bahwa Mas Hasi bisa membantu kita menjalankan posdaya yang kita rencanakan dengan lebih mudah. Mas Hasi ... silakan ...."
Kiki memberikan waktu dan tempat sepenuhnya pada seseorang yang dipanggil Mas Hasi itu.
"Ya ... terima kasih, Mas Kiki." Pemuda itu memiliki suara bas yang dalam. Tipe suara yang disukai kebanyakan wanita. Yang membuat perempuan - perempuan di sana semakin terlemahkan.
"Assalamualaikum, teman - teman semua." Ia mulai mengucap salam.
Para mahasiswi itu semangat sekali menjawab salam sambil cengengesan. Astaga ... Sora sampai malu sendiri. Ia saling bertatapan dengan Dana dan Wenda. Sepertinya pikiran mereka sama.
"Perkenalkan, nama saya Hasi. Saya adalah ketua karang taruna desa Selopanggung. Saya sudah dengar dari Mas Kiki tentang program - program yang teman - teman semua buat. Saya rasa program - program itu sangat lah baik. Oleh karenanya, saya dan anggota karang taruna semuanya, bersedia untuk membantu teman - teman semua, menjalankan posdaya yang ada, supaya bisa dengan lebih mudah terselesaikan. Salam kenal, dan semoga kehadiran kami benar - benar memberi manfaat untuk teman - teman semuanya."
Sora mendengarkan ucapan pemuda desa itu dengan baik. Ia tidak menyangka, di desa ini organisasi seperti karang taruna itu masih dilestarikan. Sementara di tempat tinggal Sora, sama sekali sudah tak ada sepertinya. Atau Sora saja yang tidak tahu menahu - nahu. Yang jelas sejauh ini, Sora hanya tahu Karang Taruna secara teori. Karena pernah dibahas dalam buku pelajaran saat masih sekolah dulu.
Sora tiba - tiba berdiri saat Hasi masih melakukan sesi perkenalannya. Ia berjalan dengan membungkuk tanda menjaga sopan santun, berjalan di harapan teman - temannya, menuju ke arah dapur. Baru ketika ia sudah selesai melewati teman - temannya, ia bisa berjalan dengan normal.
Seperti biasa, follower sejati Sora -- Dana dan Wenda -- langsung ikut dengan junjungan mereka tanpa keraguan.
Eh, tidak hanya dana dan Wenda. Alshad juga mengajak Albert untuk ikut dengan Sora berserta antek - anteknya menuju ke dapur.
"Ya salam ... kamu kenapa sih ngajak aku ke belakang di tengah forum?" Albert agak kesal. Bukan karena ia sedang asyik mengikuti jalannya diskusi. Tapi lebih karena ia sudah berada dalam posisi uwenak. Sehingga enggan meninggalkan tempat duduknya.
"Biar gimana pun, ini masih hari piket kita. Kamu nggak lihat partner piket kita pada ke belakang semuanya? Mereka pasti mau bikin suguhan buat tamu itu dan teman - teman yang lain. Ya kita harus bantu lah," jawab Alshad.
"Alah ... alesan aja kamu." Albert tidak setuju dengan ucapan Alshad. "Mau bantu ngapain? Yang ada juga nanti kamu cuman duduk sambil gangguin Sora. Tabok aku kalau omongan aku salah!"
Alshad hanya senyam - senyum mendengar ucapan Albert.
Sementara di dapur, Sora, Wenda, dan Dana langsung merebus air. Sambil menunggu air mendidih, mereka rupanya saling membuka sesi curhat.
"Gila ya tuh anak - anak. Nggak bisa lihat yang bening dikit. Tatapannya itu lho, biasa aja dikit kenapa. Jelalatan banget matanya, mana lirak - lirik sambil cengengesan. Aku aja yang lihat malu. Mereka yang ngelakuin kok biasa aja gitu kayaknya."
Wenda bicara dengan menggebu - gebu. Dana dan Sora yang tadinya juga akan mengeluhkan hal sama, kini jadi berubah pikiran. Keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Kini pikiran mereka sama.
"Wen ... semangat amat ngomongnya. Awas lho ... nanti jangan - jangan malah jadi kamu yang ikutan jatuh cinta sama Mas Hasi." Sora cekikikan mengatakannya.
"Jangan - jangan malah si Wenda udah jatuh cinta sama Mas Hasi. Makanya jadi kesel karena cewek - cewek semua pada kesemsem juga sama Mas Hasi." Tambahan ucapan dari Dana itu membuat dua gadis itu tertawa.
Sementara Wenda langsung mencebik kesal. "Enak aja. Sorry aja, ya. Dia bukan tipe aku!" Wenda langsung tak terima dan melakukan penolakan.
Di tengah - tengah tawa mereka bertiga, tiba - tiba Alshad dan Albert datang. Membuat ketiganya menoleh.
"Lhah, kalian ngapain ke sini?" tanya Wenda.
Alshad yang menjawab. "Lhah, kami kan juga piket. Nanti kalau kamu nggak bantu, malah kalian gosipin."
"Nah gitu dong rajin," puji Dana. "Ya udah tuh. Mending kalian tata aja deh gelasnya. Ntar kami tinggal racik kopinya kalau airnya udah mateng."
Alshad menatap Sora yang hanya diam. Alshad mengernyit. Tidak seperti biasanya. Biasanya Sora paling semangat mendebat dirinya. Lalu kenapa Sora jadi diam saja seperti ini?
Alshad tanpa menjawab apa - apa, langsung menuju ke rak gelas untuk melakukan perintah Dana. Tentu saja Alshad juga menggamit Albert.
Sambil menata gelas yang beragam bentuknya itu -- tentu saja beragam karena gelas - gelas itu dibawa oleh 20 manusia yang berbeda -- Alshad sesekali mencuri pandang ke arah Sora. Dan benar dugaannya, Sora memang tidak seperti biasanya. Kenapa kira - kira? Kenapa Sora terlihat murung begitu?
Alshad lalu tak sengaja menatap toples kopi di hadapannya. Seakan mendapatkan petunjuk dari Tuhan ... Alshad langsung mengambil toples itu, lalu membukanya.
"Kamu ngapain, Shad?" tanya Albert. Tentu saja ia terheran - heran. Karena tidak biasanya Alshad membuat kopi sendiri.
"Ssstt ...." Alshad langsung menyuruh Albert untuk diam, sebelum mengundang curiga.
Awalnya tujuan Alshad ikut ke dapur hanya untuk bisa memperhatikan Sora dari dekat. Tapi ia seakan mendapatkan hidayah untuk melakukan hal ini juga.
Alshad membuka toples kopi itu, mengambil satu helai tas kresek hitam, lalu memasukkan bubuk kopinya secara keseluruhan ke sana.
Albert semakin heran saja dengan kelakuan Alshad itu.
Alshad langsung menyingkir dari sana, seperti biasa turut serta mengajak Albert.
Alshad lihat, air sudah mendidih. Ia tahu, Sora pasti akan jadi orang pertama yang akan menyadari bahwa air itu telah matang, dibandingkan kedua temannya itu.
Dan dugaan Alshad tidak meleset sama sekali. Sora baru saja berdiri, menuju ke kompor. Ia matikan kompor itu, membawa teko berisi air mendidih itu menuju ke meja untuk segera meracik kopi.
"Lho ... udah umup to." Wenda cekikikan. Umup adalah bahasa Jawa yang artinya mendidih.
Sora hanya mengangguk. Ia meraih toples kopi, lalu membukanya.
"Hah ... kosong ... astaghfirullahal adzim."
Alshad susah payah menahan tertawa mengetahui bagaimana reaksi Sora melihat toples kosong begitu. Gadis itu malah menirukan iklan di televisi.
"Kenapa, Sora?" tanya Dana.
"Ini nih, kopinya habis."
"Lhah ... kok bisa? Perasaan tadi pagi masih banyak, deh." Dana juga keheranan. Sampai datang untuk mengecek sendiri keberannya. Dan ternyata betul, toples itu kosong.
"Astaga ... terus gimana dong kalau habis begini? Warung depan juga pasti udah tutup kan jam segini. Lagian ke mana sih habisnya itu kopi. Orang tadi pagi masih penuh." Wenda langsung panik. "Jangan - jangan ... diminum Genderuwo lagi. Soalnya aku pernah Denger, kalau Genderuwo itu juga demen ngopi."
Wenda mengucapkan opini ngawurnya itu dengan wajar ketakutan. Nah, si Dana malah ikut takut. Beda dengan Sora yang tidak banyak memberikan reaksi.
Alshad dan Albert berusaha menahan tertawa. Pikir Alshad, mana ada Genderuwo yang ganteng parah seperti dirinya ini.
"Kenapa harus bingung sih. Tuh ... si Sora punya simpenan kopi banyak kok," celetuk Alshad.
Semua pasang mata langsung tertuju pada Alshad. Tak terkecuali Sora, yang terheran - heran.
Pandangan Sora menuju pada Alshad, tapi Pikirannya menuju ke tadi siang. Saat dirinya membeli kopi.
Apa itu kopi yang Alshad maksud? Tapi ... dari mana Alshad tahu kalau ia beli kopi?
Soda teringat tadi siang ia bertemu dengan Alshad di pintu dapur. Atau jangan - jangan saat itu Alshad menang sengaja mengikutinya?
"Tahu dari mana kamu kalau Sora punya kopi?" tanya Wenda.
"Ya tahu lah. Alshad gitu lho. Kalian tanya aja tuh Sama sora, di mana dia menyimpan kopi." Alshad masih menatap Sora dengan lekat.
Berharap Sora akan memberikan reaksi lebih atas perhatian yang ia berikan. Tapi sora tetap lah Sora.
Gadis itu hanya langsung berjalan menuju ke Motornya untuk mengambil kopi tentengan di dalam jok. Tanpa tunggu waktu lama, ia langsung membuka kemasan kopi dengan cepat, memasukannya dalam gelas - gelas itu.
"Lhah, Sora ngapain kamu beli kopi segitu banyak?" tanya Wenda.
"Iya, Sora. Kapan kamu belinya? Kok kami nggak tahu!" Dana ikut - ikutan.
"Buat persediaan aja sih. Jaga - jaga kalau hal seperti ini terjadi," jawab Sora.
Dan Alshad tahu, itu bukan Jawaban jujur Sora. Meski ia sendiri juga tidak tahu apa jawaban sesungguhnya.
Alshad menduga, sebab Sora membeli kopi, ada hubungannya dengan murungnya Sora malam ini.
Tak apa jika Ternyata Sora belum mau jujur.
Yang penting bagi Alshad, kini Sora tahu, jika Alshad benar - benar memperhatikan nya, bahkan untuk hal kecil sekali pun.
***