Sora masih merasakan kesal yang sama meski hari sudah malam. Ia bahkan belum mengecek ponsel sama sekali. Karen tidak mau tahu apakah ada pesan dari Samran atau tidak. Sekali pun tahu, Sora juga tidak akan mau membuka, membaca, apa lagi membalas.
"Diem - diem bae dari tadi. Awas kesambet ntar!" Wenda tiba - tiba datang, ikut bergabung dengan Sora yang asyik duduk diam di salah satu kursi jati ruang tamu.
Seperti biasa, tiap kali ada Wenda, di situ juga ada Dana. Dua gadis teman dekat Sora itu duduk berdua di satu kursi jati panjang.
"Lagi nggak mood aku. Lagi mau haid," jawab Sora jujur. Hanya saja tidak menyertakan apa penyebab mood - nya jadi begitu buruk.
"Kenapa nggak chat aja sama cem - ceman kamu itu?" tanya Wenda lagi.
Sora mengernyit. "Hah ... cem - teman? Siapa?"
"Itu ... tuh ... si onoh ...." Wenda sampai berkedip - kedip, karena ia jelas tak bisa menyebut nama Samran. Apa lagi menyebut terang - terangan siapa gerangan Samran itu. Atau jika ada yang mendengar, pasti akan segera tersebar kabar jika Sora dijodohkan.
"Ya pasti dia lagi sibuk. Namanya juga pemuda mapan. Beda sama yang cuman karyawan." Dana menimpali.
Mereka masih konsisten rupanya. Dana pro akan hubungan Sora dan Samran. Sementara Wenda justru kontra.
"Harusnya sesibuk apa pun, tetap harus ada waktu dan perhatian khusus dong buat yang terkasih. Seharusnya Sora gitu lebih penting dari apa pun bagi itu orang." Wenda mempertegas dengan opininya sendiri.
Dan kali ini, Sora setuju dengan Wenda.
Sejujurnya dalam pikiran Sora sejak tadi, ada korelasinya dengan apa yang saat ini jadi pembahasan obrolan Wenda dan Dana.
Karena Sora belum tahu secara pasti apa penyebab Samran batal datang ke posko KKN, ia menganggap Samran punya kesibukan mendadak yang tak bisa ia tinggalkan, yang berhubungan dengan bisnisnya. Jujur, Sora benar - benar kesel jika itu penyebabnya.
Meski pun kenyataannya, belum jelas juga apa sebabnya.
"Iya, dia sibuk terus. Sampai nggak ada waktu." Sora menimpali. Lengkap dengan mimik kesal dan kecewanya.
Dana seketika terkejut dengan jawaban Sora. Karena setahunya sejak tadi, jika ia berdebat dengan Wenda, Sora cenderung setuju dengan pendapatnya.
"Tuh, kan. Apa aku bilang. Dari pada dikasih harapan palsu sana yang baru kenal. Mending sama yang udah pasti sayang sama kamu." Wenda yang baru saja dapat persetujuan dari Sora, langsung mengegas saking sombongnya.
"Siapa yang kamu maksud baru kenal? Astaga ... kalau si S baru kenal, lalu siapa yang kamu maksud udah lama Kenal? Emang ada? Emang kamu tahu apa tentang kehidupan pribadi Sora sebelum kenal kita di posko KKN ini, hm?" Dana juga ikut - ikutan mengegas.
Untung Dana tidak lepas kontrol meski dalam keadaan penuh gas panas. Jadi ucapannya tetap terkontrol menyebutkan inisial saja dari orang yang sedang mereka bicarakan.
"Ya ... aku emang nggak tahu apa - apa tentang kehidupan Sora sebelum KKN. Tapi ya kamu tahu sendiri, kan. Siapa yang aku maksud kenal lebih lama dari si S, ya pasti si A lah. Si A yang aku anggap sebagai sosok paling cocok dan tepat buat Sora. Yang mencintai Sora sepenuhnya, bahkan ketika Sora lagi galak."
"Astaga ... Wenda .... Itu juga sama aja baru kenal. Apa yang kamu harapkan dari cowok yang baru kenal dua minggu? Ya nggak ada, lah. Sama - sama baru kenal, Wenda." Dana mempertegas.
"Ya tapi kan ... lebih lama seminggu kenal A dibandingkan kenal sama S." Wenda masih bersi keras.
Dan Sora sama sekali tidak berminat join obrolan dua temannya itu. Padahal ia sendiri adalah tokoh utama dari kisah yang sedang diperdebatkan oleh kedua temannya.
Sora mengulurkan tangan, mengambil ponselnya di atas meja. Ia membuka aplikasi chat. Rencananya ingin mengecek apakah ibunya mengirim chat atau tidak. Takut sang ibu khawatir jika ia terlalu lama membalas chat.
Sayangnya ada sedikit bagian dari chat Samran yang tak sengaja terbaca, meski tidak dibuka.
'kamu lagi sibuk apa sekarang? Udah makan atau belum?'
Seketika mood Sora jadi lebih anjlok lagi dibanding sebelumnya. Apa Samran tidak merasa bahwa pembatalan yang ia lakukan benar - benar membuat Sora kecewa? Kenapa chat yang ia kirim seakan terkesan sama sekali tak menyimpan rasa bersalah?
Sora langsung mengabaikan chat dari Samran dengan langsung scroll mencari chat dari sang ibu. Benar, ada chat dari ibunya. Sora langsung membuka chat itu.
'Apa menu makan hari Ini di tempat KKN, Mbak?'
Sora tersenyum membaca chat dari ibunya itu. Setiap hari Bu Rahma selalu menyempatkan bertanya apa saja yang ia makan di sini. Sebegitu perhatiannya Bu Rahma pada anak - anaknya.
'Aku tadi masak oseng sayur sama tahu tempe goreng, Buk. Hari ini giliran aku piket.' Sora langsung mengirim pesan balasan itu.
Tak lama kemudian Bu Rahma kembali membalas.
'Wuih ... enak, dong. Ibuk tadi masak oseng tahu, Mbak. Favorit adek kamu. Tahu sendiri adek kamu gimana kan orangnya.'
Sora lagi - lagi tersenyum sendiri setelah membaca chat sang ibu. Ya, tentu saja ia hafal benar dengan sifat adiknya. Makanan favorit adik bungsunya -- satu - satunya anak yang tinggal di rumah dengan kedua orang tuanya untuk saat ini.
Adiknya itu sangat lah menyukai tahu. Dimasak apa pun, ia akan sangat suka.
Justru sebaliknya, kalau Bu Rahma masak ayam atau protein hewani lain, adiknya justru akan mogok makan. Padahal kalau manusia pada umumnya, justru akan lebih suka protein hewani dari ayam atau daging, ketimbang protein nabati dari tahu atau tempe.
'Ya enak lah, Buk. Malah bisa irit. Bisa cepet kaya.' Sora terkikik sendiri membaca pesan balasan yang baru saja ia kirim.
Sora mengetik pesan balasan lain. 'Kebalikannya anak - anak di sini, Buk. Tiap hari dikasih protein nabati pada bosen. Maunya protein hewani. Tapi budget - nya kurang. Wkwkwk.'
Sora menunggu jawaban dari sang ibu lagi.
Sembari ia kembali memperhatikan Wenda dan Dana yang ternyata masih sibuk berdebat sampai sekarang. Astaga ... mereka itu. Kenapa betah sekali sih kalau disuruh adu urat.
"Kamu kalau mau dukung si A, ya jangan jelek - jelekin si S terus dong. Nggak fair itu namanya. Saingan itu harus sehat, Coy!"
"Lhah ... siapa yang jelek - jelekin si S. Aku cuman menjabarkan apa - apa aja kelebihan si A dibanding si S. Kok malah kamu yang sewot, sih."
Sora langsung geleng - geleng tak percaya dengan kelakuan dua temannya itu.
Sora kembali fokus pada ponselnya. Sang ibu sudah kembali mengirim pesan balasan rupanya.
Sayangnya, pesan balasan dari Bu Rahma kali ini, tidak menciptakan senyum di bibir Sora. Justru sebaliknya.
Pesan dari Bu Rahma kali ini, justru membuat Sora semakin kehilangan mood.
'Gimana, Mbak? Si Samran udah chat kamu lagi atau belum hari ini? Dia kasih pesan dan kesan atas jamuan kita kemarin atau nggak? Apa budenya kasih tanggapan juga?'
Astaga ... kenapa ibunya harus bertanya seperti itu sekarang, sih?
Huff ... sebenarnya kalau dipikir dengan logika, masuk akal sih -- dan wajar -- jika Bu Rahma bertanya seperti itu. Ia pasti memiliki kekhawatiran, apakah Samran memutuskan untuk lanjut berkenalan dengan putrinya atau tidak setelah pertemuan pertama. Dan apakah Bude Pangestutik juga memberikan tanggapan atau tidak.
Sayangnya, karena situasi hati Sora sedang tidak bagus, bukannya segera menjawab pesan itu. Sora malah kembali meletakkan ponselnya di atas meja.
***