Langsung Mendelik

1262 Kata
Mereka duduk di salah satu amben panjang -- tempat duduk berbentuk memanjang, terbuat dari kayu dan bambu -- di dalam warung, yang sedang tidak diduduki oleh pembeli lain. Ternyata kalau sedang tidak akhir pekan, pembeli di warung ini mayoritas adalah bapak - bapak warga sekitar. Berbeda dengan saat akhir minggu. Orang - orangnya lebih beragam. Mereka sengaja belum mengatakan apa - apa pada sang penjual. Mereka hanya menunggu sampai giliran mereka. Karena mereka yakin, bahwa sang penjual juga melihat kedatangan mereka. Sehingga langsung memasukkan mereka dalam list antrean yang ada. "Mau beli apa, Mbak?" tanya ibu - ibu paruh baya sang penjual yang sejak tadi sibuk terus. Iya, kan. Benar dugaan mereka bahwa sang penjual memang sudah memasukkan mereka dalam daftar antrean. Tipe - tipe penjual di daerah yang ahli mengenali wajah tiap pembeli yang datang, supaya mereka tidak kecewa karena yang datang belakangan justru dilayani duluan. Ibu itu bertanya, karena selain menjual tape cor, warung ini juga menyediakan berbagai gorengan seperti tahu isi, ote - ote, Rondo royal alias tape goreng, dan masih banyak lagi. Dan harganya sangat murah - meriah. Tertulis pada kertas menu di atas meja, semua gorengan harganya hanya 500 rupiah saja. Tape cor 3.000 rupiah saja. Dan menu lain seperti kopi dan berbagai jenis es lain harganya berkisar antara 2.000 - 5.000 rupiah saja. Benar - benar ekonomis. Sora sebagai wakil ketua KKN, sekaligus seseorang yang dipasrahi secara langsung oleh Kiki untuk membeli, langsung menjawab pertanyaan sang penjual. "Kami mau pesan es tape cor, Bu. Tapi kami pinjam gelasnya, ya. Buat suguhan para dosen yang datang berkunjung. Nanti kalau para dosen sudah pulang, akan segera kami kembalikan gelasnya." Sora berbicara dengan lemah lembut dan sopan. Ya, nyatanya Sora memang bisa kok bicara dengan lembut dan sopan. Terutama pada orang - orang yang lebih tua. Seperti pada penjual tape cor ini, para dosen, orang tuanya, Bude Pangestutik, Samran, dan semua orang yang lebih tua pokoknya. Sora juga seorang pembicara yang andal. Menggunakan bahasa Indonesia ia jago. Pakai bahasa Jawa dengan krama halus juga ia kuasai. Bicaranya Sora saat sopan, sangat lah menyenangkan. Sehingga tidak kali ada dosen datang ke posko, Sora lah yang langsung dipercaya untuk menyambut dan ngobrol dengan para dosen. Yang lain hanya sebagai penggembira saja. "Oh, iya. Boleh, Mbak. Mau pesan berapa?" Ibu itu menyambut dengan begitu ramah. "Yang dibawa ke posko 5 gelas, Bu. Yang diminum di sini 1 gelas aja." "Oh, iya - iya, Mbak. Tunggu sebentar, ya." Ibu itu pun mulai mengambil 6 gelas, meletakkan di atas meja, dan mulai membuat pesanan yang dilakukan oleh Sora. Pertama - tama ibu itu memasukkan dua sendok gula pada bagian dasar gelas. Disusul satu bungkus tape ketan hitam -- tape dibungkus dalam satu lembar daun pisang yang dipotong kecil. Setelah tape dimasukkan, di atasnya dibubuhi es batu. Dan terakhir, dituang lah air putih untuk mengisi sisi gelas yang masih kosong. Wah .... Baik Sora, Wenda, atau pun Dana, mereka tak pernah sengiler ini menatap sesuatu yang terbuat dari tape ketan. Mereka baru tahu jika tape yang dimaksud adalah tape ketan hitam. Sebelumnya mereka pikir itu terbuat dari tape singkong. Sejauh ini mereka makan tape ketan hitam sebatas langsung dinikmati dari wadah daun pisang atau gelas mika. Belum pernah mereka merasakan versi dibuat es seperti ini. "Oh, jadi mbak - mbak ini anggota kelompok KKN desa Selopanggung tahun ini to." Ibu itu mulai membuka obrolan yang lebih jauh. "Iya, Bu," jawab Sora. "Semoga betah ya, Mbak, di desa kami." "Betah kok, Bu," jawab Sora lagi. "Mbak ... pernah lihat penampakan nggak di rumah Mbah Nah?" Salah satu bapak - bapak yang sedang minum kopi ikut nimbrung dalam pembicaraan mereka. Duh ... mereka suka kesal jika ada warga sekitar yang mulai bicara aneh - aneh. Salah satunya adalah bapak itu. "Nggak pernah kok, Pak," jawab Sora cepat - cepat. Sejujurnya ia tidak mau pertanyaan dari dampak itu akan mempengaruhi Wenda dan Dana yang turut mendengarkan obrolan mereka. Juga untuk dirinya sendiri sih. Ya ... bagaimana ya. Rumah Mbah Nah yang dibicarakan oleh bapak itu -- rumah yang dijadikan sebagai posko KKN, posko wanita -- memang merupakan rumah bangunan tua. Terlebih, sudah lama tidak dihuni sejak Mbah Nah meninggal dunia. Sejujurnya sebelum bapak ini, sudah banyak penduduk sekitar yang menanyakan perihal keamanan mereka tinggal di rumah Mbah Nah. "Aman kok, Pak. Alhamdulillah. Nggak pernah ada penampakan atau kejadian aneh apa - apa." Sora menjawab demikian, meski sebenarnya memang ada beberapa anggota kelompok -- yang sensitif -- merasa beberapa kali diganggu oleh para penghuni rumah. Tapi menurut Sora, di setiap tempat -- bukan hanya di rumah Mbah Nah -- semua tempat pasti ada sosok penunggu dari alam lain. Karena manusia dan mereka memang diciptakan oleh Tuhan untuk hidup berdampingan di dunia. Jadi saling menghargai saja lah. Dan tidak saling mengganggu. "Wah ... pada berani - berani ya anak zaman sekarang. Warga sekitar aja suka merinding kalau lewat depan rumah Mbah Nah." Bapak itu meneruskan kata - katanya. Tuh, kan. Benar dugaan Sora. Wenda dan Dana sudah takut akibat obrolan bapak itu. Buktinya saat ini dua gadis yang duduk di kanan kiri Sora itu, langsung mengubah posisi duduk semakin dekat dengan Sora, hingga posisi duduk mereka benar - benar mepet menempel tanpa jarak. "Ini, Mbak." Ibu sang penjual meletakkan 5 gelas es tape cor pada nampan. Sementara yang satu gelas diletakkan di meja, di hadapan Sora. "Makasih, Buk." Sora langsung berterima kasih. Lalu ia menatap bapak - bapak yang bicara pada mereka tadi, seraya tersenyum. "Alhamdulillah aman - aman aja kok, Pak. Sejujurnya kami malah lebih takut sama gangguan dari manusia, sih. Soalnya beberapa kali posko kami diawasi orang. Ada anak muda desa yang kalau malam naik motor mondar - mandir depan posko. Makanya sekarang kami mengadakan piket untuk para anggota laki - laki, supaya bergiliran ada yang tidur di posko wanita. Biar kalau terjadi sesuatu yang tida diinginkan, mereka bisa melindungi para wanita." Jawaban tegas dari Sora itu sukses membuat bapak - bapak tadi berhenti bertanya aneh - aneh. Biasanya para mahasiswa KKN yang sudah - sudah, akan sangat tertarik jika diajak bicara masalah mistis. Tapi karena sepertinya Sora kurang tertarik, ia lebih memilih untuk diam saja. Dan itu sangat disyukuri oleh Sora, Wenda, dan Dana. Bahkan tanpa omongan aneh - aneh dari kanan kiri, mereka semua sudah cukup waspada kok dengan rumah yang mereka tempati. Mengingat semua tahu jika itu adalah rumah tua yang kosong. Tapi mereka berusaha memberanikan diri. Karena mau tak mau mereka memang harus tinggal di sana selama 1 bulan penuh. Jika mereka terus mendapat omongan negatif dari sekitar, ya mereka lama - lama akan terkikis keberaniannya. Mereka pun menikmati satu gelar tapi cor bersama. Sora mewakili mengaduk tapi cor itu hingga gulanya larut. Sora juga kebagian yang pertama menyeruput tape cor. Ternyata rasanya memang sangat segar. Tak heran jika minuman itu jadi primadona. Dan justru menjadi ciri khas Selopanggung dewasa ini. Mereka juga makan gorengan yang murah - murah itu. Rasanya benar - benar enak untuk ukuran gorengan seharga 500 rupiah. Padahal ukuran potongannya juga tidak kecil. Cenderung besar malah. Sebagai anak muda masa kini, rasanya tidak afdol jika nongkrong tidak sambil foto selfie bersama. Mereka menggunakan ponsel Dana. Karena kamera ponsel Dana memang yang paling bagus di antara ketiganya. Selesai berfoto ria, Sora juga mengecek ponselnya sendiri. Dan sudah ada cukup banyak pesan dari Samran yang membuat Sora terkejut. Ada apa Samran tumben - tumbennya mengirim pesan beruntun seperti ini? Dan ketika Sora membuka pesan - pesan itu, Sora dengan sukses mendelik. Astaga ... rentetan pesan itu intinya adalah, bahwa Samran saat ini sedang dalam perjalanan menuju ke Selopanggung, untuk menemui dirinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN