08 : PENOLAKAN

1322 Kata
Suara pukulan terdengar cukup keras, berkali-kali. Krystal yang sedang duduk di kursi tamu, menyibak gorden jendela. Ia dapat melihat sang ayah dan kakaknya tengah berlatih. “Bagaimana? Kamu mau ikut latihan juga?” Seana duduk di samping Krystal dan mengelus surai hitam milik putrinya. “Bu, kenapa ya Kak Draco itu tidak pernah lelah berlatih?” Krystal menatap ibunya yang ikut melihat putra sulungnya yang sedang berlatih. “Itulah yang diajarkan oleh Ayahmu sedari dulu padanya. Dia harus menjadi lelaki yang tangguh, yang bisa melindungi dan menolong semua orang yang ada di sekelilingnya.” Krystal kembali melihat sang kakak yang terus-menerus melakukan serangan tanpa henti. Bahkan, sampai ayahnya terlihat kelelahan untuk menghindar dari pukulannya. “Bawakan air minum untuk Ayah dan Kakakmu,” suruh Seana pada putrinya. Perempuan yang memakai baju terusan warna kelabu segera menuju dapur dan mengambil kendi. Lalu, segera bergegas ke luar rumah. “Ini diminum dulu, Kak, Yah.” Krystal memberikan kendi kepada dua lelaki yang sangat ia sayangi. Draco tanpa basa-basi meneguknya. Sedangkan, sang ayah, Peter, malah memandangi putrinya yang sudah dewasa dan cantik. “Kenapa Ayah memandangiku seperti itu?” Pipi Krystal bersemu merah, malu, dipandangi sebegitu intensnya oleh sang ayah. “Tidak apa-apa. Anak-anak Ayah sudah dewasa,” ujar pria berkepala empat itu. Krystal duduk di hadapan Draco dan menatap ke arah Kakaknya yang sedang memperhatikan kendi. “Kapan Kakak akan mengajariku berlatih lagi?” Draco mendongak, surai hitamnya menutupi sebagian mata. “Nanti, jika egomu untuk menang sudah hilang.” Perempuan berambut sebahu mengerucutkan bibirnya. Ia tidak akan bisa lagi membujuk kakaknya untuk mengajarkannya berlatih tarung. Padahal, memang sedari awal kakaknya kurang setuju dan berkat ucapannya kemarin. Kakaknya semakin terlihat tak menginginkan ia berlatih. Peter berdeham, membuat Krystal dan Draco menatap ke arahnya. Ia lantas tersenyum dan menepuk pundak kedua anaknya. “Ajari Adikmu bertarung dengan teknik yang baru Ayah ajarkan, dia pasti bisa menguasainya dengan cepat.” Peter menatap anak-anaknya bergantian. Draco terlihat menggeleng. “Aku tidak akan pernah mengajarinya lagi, Ayah. Dia selalu ingin menang, menang, dan menang.” Krystal merengut, dan wajahnya masam. “Aku berjanji tidak akan mengeluh lagi, Kak.” Draco mengangkat bahu, lalu berdiri dan masuk ke rumah. Membiarkan ayah dan adiknya berbincang-bincang terlebih dahulu. Ia sendiri tidak marah, hanya sebaiknya Krystal tak usah susah payah berlatih. Toh, masih ada dirinya yang bisa menjaga adik kecilnya itu. Peter menghela napas, melihat putranya tidak mengatakan apa pun. Ia lalu melirik pada Krystal yang tampak menunduk, seakan dia telah melakukan kesalahan. “Krystal ...,” ujar Peter menatap ke anak bungsunya yang langsung mendongak. “Ayah tahu, kamu ingin berlatih tarung. Tetapi, jangan memaksakan dirimu untuk menang. Berlatihlah dengan tenang, kuasai semua teknik yang diajarkan. Lambat laun, jika kamu sudah menguasainya, kamu akan dengan sendirinya memenangkan pertarungan.” Krystal menatap dalam ke bola mata ayahnya. Pria paruh baya di depannya, memang tidak pernah berhenti untuk menasihati. Ia lalu tersenyum dan mengangguk. Selama ini, dia memang terlalu egois. Sehingga, ia tidak bisa berkembang seperti kakaknya Draco. “Dan juga, saat kamu latihan tarung dengan Kakakmu. Suruh Kakakmu itu menyerangmu, agar kamu tahu sampai di mana kamu menguasai teknik pertahanan satu dan yang lainnya.” Jelas Peter. Krystal akan mengingat nasihat yang diberikan oleh ayahnya. Ia akan meminta ibunya untuk mengajarkan dia berlatih, selama kakaknya tak ingin mengajarkannya. Lihat saja! Ia akan membuat kakaknya mau melatihnya lagi. Seana yang memperhatikan sedari tadi tersenyum lalu menatap Draco yang sedang mengambil busur dan anak panah. Ia lantas berdiri dan mendekati Draco yang sedang mencari sesuatu. “Ketemu,” katanya lalu menatap Seana yang berdiri tak jauh darinya. “Ada apa, Bu?” Seana memegang pundak Draco, dan membiarkan tubuh putra sulungnya menghadap dirinya. “Apa kamu sedang menguji Krystal?” Pemuda bersurai hitam menatap sebentar ke arah pintu. Tak ada tanda-tanda, adik dan ayahnya akan masuk. Ia pun mengangguk. “Aku ingin tahu, seberapa besar tekad dia untuk berlatih bertarung. Sekaligus, agar ia memikirkan bahwa pertarungan tidak hanya persoalan tentang menang.” Seana menepuk pipi Draco dan terkekeh kecil. “Sisanya, Ibu yang akan urus,” katanya. Pemuda yang memakai pakaian serba abu-abu tidak mengerti dengan ucapan sang ibu. Tapi, ia hanya mengangkat bahu dam bersiap untuk pergi latihan memanah. Semenjak rumah mereka pindah, ia jadi agak sulit untuk menentukan tempat yang cocok untuk melatih ketangkasannya memanah. Tidak mungkin juga, ia latihan dengan sasaran pohon-pohon di dekat rumah. Karena, tak jarang anak-anak kecil suka sekali menaiki pohon-pohon itu. Draco menyusul Ibunya yang sudah lebih dulu ke luar rumah. Ia tak lupa mengambil tas tali tarik dan membawa bekal minum. Bertepatan dengan pemuda tampan itu ke luar rumah, prajurit yang diberi perintah oleh Alvate datang dan turun dari kuda. Kedua prajurit itu langsung menghampiri Peter yang kebingungan dengan kehadiran orang-orang yang dipercayakan menjadi bagian dari istana. “Selamat siang, Tuan Peter. Kedatangan kami kemari, ingin menemui Tuan Draco.” Seana, Krystal dan Peter langsung menatap ke arah Draco yang mengangkat bahu. Pasalnya, pemuda yang ada di depan pintu, tak tahu mengapa prajurit istana datang menemuinya. “Kalau boleh tahu, ada apa kalian ingin menemui Draco?” tanya Peter sambil menyuruh putra sulungnya mendekat. “Yang Mulia Kaisar Alvate, meminta kami untuk membawa Tuan Draco ke istana. Tujuannya, karena Tuan Draco sangat cocok sebagai kandidat pemimpin untuk menjaga wilayah keamanan Blomerys,” jelas prajurit yang memiliki mata sipit. “Yang Mulia Kaisar Alvate, ingin mengetahui secara langsung ketangguhan Tuan Draco.” Peter menyuruh kedua prajurit itu menunggu sebentar. Sedangkan, ia bersama anak dan istrinya berdiskusi. “Sayang ... apa pendapatmu?” Peter menatap ke arah Seana yang tampak memperhatikan dua prajurit itu. “Aku tidak memiliki pendapat apa pun. Semua kuserahkan pada kalian berdua,” ujarnya. Ia merasa tidak perlu khawatir ketika memang Alvate yang mengundangnya secara langsung. “Aku tidak setuju!” Krystal membekap mulutnya sendiri, karena ia bicara terlalu lantang. “Maaf, Ayah, Ibu. Tapi, kita tidak tahu apa sebenarnya tujuan beliau mengundang Kakak. Perasaanku tidak enak.” Peter menepuk pundak Krystal. “Mereka sudah memberi tahu bahwa Kakakmu akan menjadi pemimpin prajurit untuk menjaga keamanan wilayah Blomerys.” “Aku tahu, Ayah. Maksudku, aku hanya khawatir jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan di istana. Lagi pula, aku tidak terlalu menyukai ... mereka yang tinggal di sana.” Krystal hanya berusaha jujur dari lubuk hatinya, apalagi tempo lalu, Jacob pernah menabraknya dan hanya meminta maaf tanpa membantunya berdiri atau sekedar basa-basi. Peter menatap Draco yang tampak sedang berpikir. Pemuda itu lalu menuju ke arah dua prajurit yang sedang menunggunya. “Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku tidak akan pergi ke istana,” katanya dengan tegas. Kedua prajurit itu tampak terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa Draco akan menolaknya. Sebab, mereka yakin, tidak ada seorang pun yang menolak untuk menjadi bagian dari istana. Krystal yang mendengar jawaban kakaknya, justru tersenyum. Matanya berbinar, ia bersyukur dengan keputusan Draco. Sedangkan, baik Peter maupun Seana, mereka tetap menerima putusan anak sulungnya itu. Apa pun demi kebaikan. “Apa alasan Tuan Draco menolak undangan ini?” tanya salah satu prajurit. Draco tersenyum tipis, ia lantas maju dan menatap langit yang biru. “Aku tidak yakin bisa menjaga amanat itu. Aku juga tidak tangguh seperti yang kalian pikirkan. Masih banyak pemuda lain yang pasti akan menerima amanat ini.” Salah seorang prajurit menatap ke arah Draco. “Tuan bisa pergi dulu ke istana. Lagi pula, Tuan tidak akan langsung diangkat menjadi pemimpin prajurit.” Draco melirik ke prajurit itu. “Aku mengerti. Tetapi, ini sudah keputusanku.” Pemuda bersurai hitam itu mundur dan berdiri di samping ibunda tercinta. Membiarkan kedua prajurit itu saling pandang dan tak bisa melakukan apa-apa selain menerima keputusan Draco yang gagah. “Jika begitu—” perkataan prajurit itu berhenti. Saat suara ringkikan kuda terdengar sangat kencang. Sosok yang memakai jubah panjang dan lebar, turun dari hewan berbulu hitam itu dan menghampiri keluarga Zero. Menampakkan wajah dengan membuka tudung jubahnya. Mata hitam Peter melebar, ia mengenal sekali pria yang baru saja datang dan tersenyum padanya. “Alder?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN