Jessi melangkahkan kakinya, menapaki setiap aspal yang berada tepat di bawah pijakannya. Sedih, marah, kebingungan, semua perasaan emosional itu memenuhi rongga dadanya yang kosong. Gadis itu menundukkan kepala, seperti seseorang yang merasa tak yakin apakah dirinya sudah mengikat tali sepatu dengan benar atau belum. Atau, barangkali ada sesuatu yang menghalangi jalan, sehingga mata itu terus menatap ke bawah, mengawasi tanpa arti. Yang sejatinya tundukan kepala lemah itu hanyalah bukti bahwa dirinya enggan mengangkat kepalanya, menghadapi dunia yang mendadak berprilaku kejam terhadapnya.
Ia kehilangan sebagian memori otaknya. Namun bagian yang terparah adalah Jessi kehilangan Rachel, sahabatnya, yang mungkin saja – kemungkinannya memang cukup besar – dapat membantu gadis mud aitu mengembalikkan sebagian atau sedikit banyak kenangan di dalam kepalanya.
Mata-mata yang terkejut dan bisik-bisik suara mulai terdengar di sana, memaksa menyelinap masuk ke dalam telinga Jessi yang baru saja duduk di kursinya. Sebuah kursi di jajaran belakang, paling sudut. Dimana tempat duduknya dapat menjadi lokasi strategis untuk mengamati semua murid di dalam kelas tanpa terkecuali.
Pandangannya beralih ke samping kiri, sebuket batang lili yang masih segar tergeletak di sana. Dengan tulisan ‘Rest In Peace’ yang tertulis di atas secarik kertas berpola garis-garis putih di bawah bunga tersebut. Air matanya jatuh tak terbendung, Jessi menangis. Namun gadis itu tak lagi mengeluarkan suara atau menjadi histeris seperti malam-malam sebelumnya. Jessi hanya mengatup mulutnya, membiarkan air mata jatuh membasahi kedua pipinya dalam beberapa saat sebelum kemudian menyekanya sendiri sebelum ada orang lain yang menyadarinya.
Terlambat, satu dari mereka sudah menyadarinya. Itu Jason. Mantan pacar Rachel. Yang tiba-tiba menarik kursi kosong di sebelah Jessi dan duduk di sana tanpa permisi. Gerakannya lugas dan penuh percaya diri, ia jelas ingin memperjelas situasi bahwa Rachel sudah tiada dan Jessi harus berhenti meratapinya.
Jessi agak terkesiap dan buru-buru mengusap pipinya yang terasa masih basah. “Permisi? Kurasa kau duduk di bangku yang salah. Kursinya –“
“Ada apa dengan kursinya?” sela Jason, terdengar tak merasa bersalah sama sekali. Namun intonasinya cukup tenang dan Jessi merasa masih baik-baik saja dengan itu. “Bukankah ini kosong?”
“Kursinya, milik sahabatku.” Jessi mengedikkan kedua bahunya cepat. “Kau sebaiknya tidak duduk disana.”
Jason menatap bunga lili yang menghiasi permukaan meja Rachel – yang sudah beberapa hari di sana – sebelum kemudian tersenyum tipis. “Aku turut prihatin atas apa yang menimpamu dan –tentu saja Rachel,” ucap Jason, kali ini suaranya agak pelan dan terbata. “Kudengar kau tidak bisa mengingat apapun.”
Gadis yang membiarkan rambut cokelat panjangnya terurai ke punggung itu hanya mengangguk mengiyakan. Tidak berusaha menampik kebenaran yang ada. “Sepertinya lebih parah dari yang kupikir.”
“Ingatan apa yang hilang?”
Kali ini pertanyaan yang keluar dari mulut Jason, berhasil membuat Jessi menyipitkan kedua matanya curiga. Ia bahkan memundurkan tubuhnya, memberi lebih banyak jarak di antara keduanya agar Jessi dapat mengamati perubahan ekspresi yang terlihat di wajah laki-laki muda berambut hitam itu. “Kenapa kau ingin tahu?”
“Entahlah. Hanya ingin tahu saja.”
“Oh, sungguh. Kau bersikap aneh, Jason.”
Jason mendengus geli, kemudian menggelengkan kepalanya perlahan. Terlihat salah satu tangannya yang berbalut jam tangan hitam dimasukkan ke dalam saku celana seragamnya, sebelum kemudian kembali membuka percakapan. “Menurutmu, kenapa aku dan Rachel harus berakhir?”
Jessi mendesah pelan. “Well, kau berbohong,” jawabnya berterus terang.
“Berbohong? Tentang apa?” Jason yang balik bertanya justru membuat Jessi keheranan sekarang. Ada jeda di sana sampai kemudian laki-laki bermata hijau itu menyadari situasi yang terjadi di bawah atmosfer mereka. “Apa Rachel yang bilang?”
“Kudengar kau berkencan dengan Maribeth,” pungkas Jessi.
Sementara Jason hanya mengernyitkan keningnya tak paham. Jessi bahkan tidak bisa membedakan apakah laki-laki itu memang tidak mengerti, atau hanya berpura-pura saja. Keduanya terlihat mirip. Ditambah lagi, Jessi memang tidak terlalu mengenal Jason dengan baik. Mereka hanya teman satu kelas, yang kebetulan Jason dan Rachel sempat menjadi sepasang kekasih. Rachel cukup tertutup soal hubungannya dengan salah satu murid terpopular di sekolah itu. Jessi hanya mendengar beberapa cerita. Jason sangat menyukai baseball. Terpaksa meminum obat tidur karena seringkali mengalami masalah susah tidur. Dan cerita singkat tentang Jason yang berbohong tentang hubungannya dengan Maribeth. Jason berkencan dengan teman satu kelas mereka dan tiba-tiba hubungannya dengan Rachel berakhir begitu saja.
Apakah Rachel terlihat sedih? Jawabannya adalah tidak. Rachel terlihat baik-baik saja meski Jason dan Maribeth terus bersikap merasa bersalah setelahnya. Jessi tidak banyak berkomentar, hanya menerima cerita-cerita itu dengan baik, kemudian memendamnya sendirian.
“Aku dan Maribeth hanya kebetulan bertemu di sana,” kata Jason mengoreksi.
“Di mana?”
“Mall, salah satu Mall di pusat kota.”
Jessi mengangkat kedua bahunya. “Bagaimana dengan taman?”
“Kami tidak pergi ke taman.”
“Sungguh?”
Jason mendesah kesal dan menatap Jessi lurus-lurus. “Apa kau serius, Jessi? Apakah Rachel sungguh berkata bahwa aku pergi ke taman, berpiknik dan berkencan dengan Maribeth di sana?”
“Aku hanya mendengarkan ceritanya. Dia sahabatku, bukankah sudah seharusnya aku percaya?”
Namun sebuah senyum rendah yang terkesan meremehkan muncul di sana. Jason menggelengkan kepalanya perlahan dan kini menyilang kedua tangannya di d**a. “Apa kau sungguh sahabatnya, Jessi?”
“Apa maksudmu? Tentu saja!”
“Apa kau sungguh-sungguh sahabatnya?”
Jessi menggertakan gigi dan balas melipat kedua tangannya di d**a. Satu alis Jessi terangkat dan ekspresi marah itu jelas terlihat sekarang. “Jangan main-main denganku, Jason. Sebaiknya kau pergi. Jangan duduk di sana dan jangan ganggu aku.”
“Jika kau berpikir aku sedang berusaha menggodamu, kau salah. Aku hanya ingin tahu apakah kau benar-benar lupa ingatan dan sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan kalian berdua malam itu?” Jessi menekuk alisnya, bingung. “Apakah polisi sudah menemuimu?”
“Belum, kurasa.”
“Kudengar polisi menyimpulkan bahwa kasus ini hanyalah kasus bunuh diri pada awalnya. Namun-“
“Namun apa?” sela Jessi dengan tak sabar.
“Mereka menemukanmu.”
Jessi menyemburkan napas kesal dan menyibak rambutnya ke belakang. Membiarkan wajahnya yang tak sabar dan sangat penasaran terlihat jelas oleh sang lawan bicara. “Bisakah kau berbicara dengan lebih jelas, Mr. Beck?”
“Kau ada di sana, Jessi,” tandas Jason, berusaha memperjelas situasi.
“Lalu?”
“Astaga!” Jason mendecak, balik terlihat kesal. “Apa kau belum menangkap inti pembicaraan kita?”
“Jason, katakan dengan jelas karena kepalaku akan meledak sekarang!”
Netra emerald Jason kini berfokus pada Jessi. Lurus dan dalam, penuh arti meski Jessi tidak benar-benar menangkap maksud pandangan laki-laki muda itu. Jason sempat menarik napas dalam sebelum kemudian berkata, “Seseorang mungkin saja berniat membunuh kalian berdua.”
“Apa?!”
***